It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku baru saja pamitan pada Bang Akbar dan Bang Rivaz, dan sedang menuruni anak tangga saat aku berpapasan dengan Wahid. Hari ini sampai dua hari ke depan, Warung sedang libur. Karena besok lusa adalah hari raya Galungan, dan Bli Syaka harus membantu Bokapnya di kampung halaman mereka.
Semalam aku memang main kemari, dan karena kelelahan, aku ketiduran. Bang Akbar juga tidak tega membangunkanku. Meskipun pada awalnya ada aura tidak enak yang di pancarkan Bang Rivaz, aku merasa tidak enak juga. Tapi setelah aku jelaskan padanya saat bangun tidur tadi, dia bisa mengerti. Dan aura kecemburuannya pun sirna sekejap mata.
Makanya, setelah selesai mandi, aku langsung pamitan. Tadi Bang Akbar bilang kalau semalam Bang Zaki mengkhawatirkanku. Yah. Karena aku juga cuma pamit main dan tidak pamitan menginap.
"Loh? Kakak kapan datang?" tanya Wahid heran.
"Gue abis nginep disini. Semalem ketiduran" jawabku. Kulihat jam dari layar ponselku. Sekarang baru jam enam pagi. Tapi Wahid sudah bangun sepagi ini.
Tadinya aku mau bertanya, tapi urung. Karena aku melihat ember berisi air yang sudah kotor lengkap dengan gagang pel.
"Habis bersih-bersih, Hid?" hanya kalimat itu yang akhirnya meluncur dari bibirku.
"Iya Kak. Mumpung libur. Jadi bisa bantuin Ibu lagi" jawabnya seraya menyeka keringat didahinya dengan kaus yang ia angkat.
Waw. Aku tidak pernah mengira, kalau dibalik tubuh kerempengnya itu, dia memiliki perut yang bagus.
"Elu suka olah raga apa Hid?" tanyaku lagi.
"Gak ada Kak. Palingan ya cuma bantuin Ibu aja. Kenapa Kak?"
"Oh gak apa. Mungkin karena elu sering pake baju yang size-nya kegedean, jadinya elu keliatan ceking, hehehehe..."
Tadinya aku mau bicara lebih banyak lagi. Tapi aku tidak enak sudah mengganggu aktifitas paginya. Lagi pula, sebenarnya aku juga masih mengantuk. Kalau tidak salah, semalam itu aku ketiduran jam dua atau jam tiga dini hari. Pasti kantung mataku sedikit membengkak kalau kurang tidur begini.
"Gue balik dulu deh... Masih ngantuk" kataku akhirnya.
"Hmmmm Kak..."
Aku berhenti melangkah dan menengok ke arah Wahid yang sudah empat anak tangga diatasku.
"Kalau mau, tidur aja di kamarku. Bahaya kalau ngantuk nyetir motor" ujarnya. Ada nada ragu. "Tenang aja. Kamarku bersih kok"
Sejenak aku berpikir. Tapi ucapan Wahid benar juga. Mataku masih sangat mengantuk. Kalau mengingat penyebab kematian Bang Toya yang diakibatkan kecelakaan motor, aku jadi merinding membayangkannya.
"Kamarku disitu tuh Kak... Langsung masuk aja" Wahid menunjuk sebuah kamar yang berada paling ujung.
Oh. Rupanya kamar yang jendelanya dekat dengan teras depan dan kolam ikan itu, adalah kamar milik Wahid.
"Ini Kak kuncinya" Wahid menyodorkan sebuah kunci padaku. Aku tersenyum saat melihat gantungan kunci berbentuk salah satu tokoh kesukaanku, Iron Man. "Sebenarnya aku baru seminggu di kamar itu. Karena belum ada yang ngisi, jadinya aku minta ke Ibu supaya buat aku aja kamarnya"
"Oh gitu..." aku mengangguk-angguk, antara mengerti dan masih ngantuk. "Ya udah... Elu lanjutin bersih-bersih deh... Gue langsung masuk aja"
"Iya Kak... Oh iya, hati-hati... Lantainya masih agak basah..."
Aku mengangguk dan mengacungkan jempol padanya.
Saat aku melangkah masuk ke dalam kamarnya yang bernuansa serba putih, aku langsung merasa betah. Bisa jadi karena aku masih mengantuk. Satu-satunya yang mempunyai warna berbeda adalah bed cover-nya. Warna biru langit, dengan gambar awan.
Aku berdecak kagum saat merebahkan diriku diatas kasur. Mataku sempat menyapu ke sekeliling kamar milik Wahid ini.
Semuanya serba berwarna putih. Lantai keramik putih. Dinding yang putih bersih. Sepertinya baru di cat ulang, aku menduga. Belum lagi, karena kamar milik Wahid ini tidak memiliki banyak perabotan. Cuma ada kasur, lemari besar tiga pintu, sebuah meja --yang aku duga dipakai penyewa kamar ini yang dulu sebagai meja kerja-- terbuat dari kayu jati. Diatas meja kayu itu, tersusun rapih sederet buku. Sekilas, sebelum aku melepas kaca mataku, aku melihat lebih banyak novel terjemahan di deretan buku itu.
Tapi mataku tidak bisa kompromi lagi. Kasur Wahid sudah membuaiku dengan rasa nyaman, dan membuatku seolah diselimuti kantuk teramat sangat. Untung saja aku tidak nekat pulang. Kalau tidak, pasti aku sudah nelepon Taka. Minjem duit buat nyari losmen atau hotel melati. Sekedar numpang tidur.
Sebelum memejamkan mata, sebenarnya aku lupa untuk melepas kaca mataku. Tapi tubuhku rasanya sudah berat. Ya sudahlah. Lagi pula, kalau sudah tidur, aku selalu tidak pernah berubah posisi. Aku akan bangun dengan posisi yang sama seperti sebelum aku terlelap.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku sempat kaget saat terbangun, karena mendapati kaca mataku tidak ada. Seingatku kan, aku malas melepas kaca mataku.
Tapi saat melihat ke arah meja, dimana tasku tergeletak disitu aku melihat kaca mataku diletakkan disisi tas.
"Udah bangun Kak...?"
Aku duduk dipinggir kasur. Mengusap wajahku sebentar, lalu menoleh kearah Wahid. Dia duduk bersandar dibawah jendela. Sepertinya dia sedang asik dengan ponsel barunya.
Wahid sudah bekerja di Warung sekitar lima hari, dan saat hari ketiga, dia minta tolong padaku untuk menemaninya membeli ponsel di Teuku Umar, Denpasar. Karena aku tidak pernah kesana, jadinya aku benar-benar menemaninya saja. Alhamdulillah, ponsel milikku ini, yang kubeli sejak dua tahun lalu di Jakarta, tidak pernah bermasalah. Belum lagi, kalau aku perlu membeli beberapa aksesoris, aku langsung menghubungi Liam. Teman sekelasku yang sekarang mempunyai bisnis on line shop di Bandung, yang khusus menjual aksesoris beragam jenis dan merk ponsel.
Kapan ya terakhir kali aku main ke Bandung? Aku juga sudah lama tidak bertukar kabar dengan Liam. Jadi kangen dengan bocah satu itu.
Liam itu sebenarnya berdarah campuran Cina-Bandung dengan Filipina-Australia. Tapi untuk masalah Bahasa Asing, semisal bahasa Filipina atau Bahasa Inggris, dia itu super bego! Muka aja yang keren, tapi untuk menguasai bahasa Asing, dia super payah. Tapi, kalau sudah mengenai bahasa Sunda, beuuuhhh!!! Jangan tanya dosa deh! 100% fasih!! Bahkan Emaknya yang berdarah Filipina-Australia itu pun, sangat fasih berbahasa Sunda. Sunda dengan logat-logat bule begitu deh.
Satu lagi kelebihan Liam. Dalam hal hitung menghitung. Bahkan tanpa kalkulator pun, dia bisa dengan cepat menghitung dua sampai tiga pertanyaan di papan tulis. Aku pintar Matematika pun, karena sering kali Liam bantu. Thanks to Liam karena dengan tanpa pamrih, sudah menurunkan ilmu sempoa-nya padaku. Tanpa aku perlu ribet ngambil kursus diluar jam sekolah.
Lupakan Liam sejenak. Kalau nanti aku ingat, aku akan menghubunginya. Aku pernah janji untuk mengajaknya jalan-jalan kalau dia main ke Bali.
Selama ini dia terlalu sibuk mengurus bisnis yang baru dirintisnya. Aku juga masih belum bisa mengatakan padanya, kalau aku pernah jalan dengan Astrid. Well, Liam pernah naksir Astrid. Tapi dia langsung mundur sewaktu dia ditolak Astrid. Padahal waktu itu aku yang jadi pacar rahasia Astrid.
"Sorry nih... Jadi ngerepotin elu, Hid..." aku mulai membuka suara.
"Santai aja Kak... Kalau mau numpang tidur lagi, tinggal bilang aja" Wahid berujar sambil tersenyum manis.
"Thanks..." kuulurkan tanganku, dan menepuk pelan bahunya beberapa kali. "Ada handuk bersih gak? Gue numpang mandi dong" aku beranjak menuju tasku yang berada diatas meja.
Wahid bangun dan meletakan ponselnya diatas kasur. Dia berjalan menuju lemari. "Ini Kak" Wahid mengulurkan handuk yang dia ambil dari dalam lemarinya. "Bawa baju ganti Kak?" tanyanya.
"Kagak..." jawabku sambil melepas celana jeans dan kaus yang kupakai dihadapan Wahid. "Kenapa Hid? Kok melotot gitu" aku bertanya heran saat melihat Wahid melotot dengan pipi bersemu merah.
"E-eng-enggak papa Kak... Cuma itu..." jarinya menunjuk ke bagian depan celana dalamku. Ah iya. Kan kemarin aku tidak memakai boxer. Tapi iseng memakai celana dalam yang bentuknya segi tiga. Kalau bukan karena ini pemberian saudara kembar tersayangku yang sableng, mana mau aku memakainya.
"Kenapa ama ini?" tanyaku sambil meremas gundukan besar dibagian depan celana dalamku. "Elu punya juga kan?" tanyaku lagi sambil memainkan alisku naik turun.
"Eeeung... Pu-punya sih Kak... Ta-tapi... Gak segede itu..." jawabnya sambil tersipu.
Lalu aku menyelampirkan handuk dari Wahid kepundakku. Kemudian kutepuk bahunya, seraya berkata "Yang penting kan elu punya juga. Kalo elu gak punya, gue bikin elu keenakan ama punya gue ini deh"
Aku terkekeh dan berjalan meninggalkan Wahid menuju kamar mandi yang jaraknya hanya beberapa langkah saja dari aku berdiri. Saat sudah berada di dalam kamar mandi, aku menyembulkan kepalaku keluar.
"Hid! Udah mandi?" tanyaku.
"U-udah Kak... Kenapa emangnya? Badanku masih bau kecut ya?" ia balik bertanya sambil mengendus ketiaknya.
"Coba sini mendekat" kupanggil dia dengan jari telunjukku, agar menghampiriku. Kemudian aku mengendus aroma tubuhnya yang tidak bau, tapi tidak pula mengeluarkan aroma parfum.
"Bau ya Kak?"
"Enggak kok... Wangi malah. Ya udah deh. Gue mandi dulu. Daahh..." telapak tanganku berdadah ria di depan wajahnya, lalu masuk kembali ke dalam kamar mandi, menutupnya. Tapi sengaja tidak aku kunci.
Memang sudah jadi kebiasaanku, selalu mandi tidak mengunci kamar mandi. Karena sedari aku kecil, aku selalu mandi bersama Taka. Bahkan sampai kelas 1 SMU dulu pun, aku masih sering mandi bareng Taka. Makanya, kami tau size milik kami masing-masing.
Aku juga biasa saja kalau Taka menggenggam milikku yang memang memiliki ukuran sama saat masih lemas, tapi akan sedikit berbeda saat sudah tegang. Misalnya saja, milikku ini tiga inchi lebih panjang dari milik Taka. Kami pernah iseng saling mengukur sewaktu kami sedang berdua di kamar. Karena kami kan sudah tidak tidur bersama Tika sejak kelas lima SD.
Taka sudah tidak mau mandi barengan lagi sejak pertengahan semester saat kami sudah kelas dua SMU. Awalnya dia bilang risih kalau melihat tubuh bugilku.
Terus terang saja, aku sampai menangis waktu itu. Karena aku mengira bentuk tubuhku ini menjijikan dimata Taka. Tapi selang beberapa tahun kemudian, saat kami sudah bertemu dengan Bang Toya lagi. Tepatnya saat kelas tiga SMU, Taka bilang terus terang padaku kalau dia gay. Sambil menangis meminta maaf, dia memeluk dan memohon padaku agar aku tidak membencinya.
Aku sampai ikutan mewek, karena aku tidak akan mungkin sanggup membenci saudara kembarku sendiri. Aku terlalu sayang padanya. Ke Tika juga lah pastinya.
Malahan waktu itu, aku sampai balik minta maaf pada Taka. Karena aku mengira akulah yang menyebabkannya menjadi Gay.
Yah.... Waktu itu kan wawasanku tentang dunia gay belum banyak. Aku hanya selalu mendengar pendapat negatif dari orang-orang disekitarku. Dan perlahan aku mengerti saat Bang Toya menjelaskan padaku. Juga Bang Bayu yang katanya Bisexual itu, membantu memberiku pengertian padaku.
Ngomong-ngomong tentang Bang Bayu, apa kabar dia sekarang ya? Sudah setahun ini aku tidak bertemu dengan Moni, panggilan kesayangan Harmony anak Bang Bayu dengan Teh Riana --istri Bang Bayu.
Aku juga menjadi saksi berakhirnya hubungan Bang Bayu dengan Bang Akbar. Waktu itu aku memang sedang menginap dirumah Bang Bayu. Karena rumah milik Nyokap kan udah disewain ke orang. Itu sekitar setahun setelah kepergian Bang Toya.
Aku sampai tidak berani masuk ke ruang kerja Bang Bayu. Dimana saat itu mereka sedang berdebat sampai berteriak-teriak emosi.
Mungkin aku memang belum pernah punya rasa mencintai sebesar yang dimiliki Bang Akbar, Bang Zaki ataupun Abang-abangku lainnya. Yang saat itu merasa patah hati karena ditinggal orang yang paling mereka cinta dan sayangi. Tapi saat melihat ekspresi Bang Akbar yang sama hancur-nya seperti Bang Zaki, aku pun ikut terenyuh.
Bukan karena aku tidak bisa atau tidak berani jatuh cinta. Tapi lantaran aku masih ingin membuat bahagia Bang Zaki, aku belum ada keinginan mempunyai hubungan serius dengan siapa pun.
Alasan lainnya, aku belum menemukan orang yang klik dihatiku.
"Aaahhhh... Seger banget!!" aku berseru saat keluar dari kamar mandi.
Disaat yang bersamaan, aku melihat Wahid sedang menutup lemari pakaiannya. Dan meletakan sebuah kaus berwarna hijau toska dan sebuah celana pendek berbahan jeans diatas kasurnya.
"Pakai ini aja Kak... Kayaknya muat kalo Kakak pakai..."
Aku menggosok rambutku yang basah dengan handuk.
"Anu... Ini celana dalam buat Kakak. Tadi aku beli di Mini market di depan. Mudah-mudahan aja muat" lanjutnya. Tangannya mengulurkan sebuah kantung plastik.
"Waduh! Jadi ngerepotin elu aja, Hid. But, thanks ya..." tanganku terjulur ke arah kepalanya. Mengusap rambutnya yang agak gondrong itu.
Lalu kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk mengganti celana dalam yang kupakai dengan... Hmmmm... Boxer berwarna krem pemberian Wahid. Ukurannya agak kecil. Tapi yang penting muat juga kok saat aku pakai.
"Elu ada rencana apa hari ini, Hid?" aku bertanya sambil memakai baju dihadapan Wahid.
"Gak ada. Kenapa emangnya, Kak?"
"Ikut gue yuk" ajakku.
"Kemana?"
"Udah deh... Ikut aja. Nanti pamitan dulu ama Ibu lu. Sekalian pengen kenalan" aku melanjutkan.
Celana milik Wahid ternyata pas. Aku sempat meraih kaus yang dipakai Wahid. Mengangkat sedikit. Dan benar saja dugaanku. Dia memakai ikat pinggang, yang enggak banget waktu kulihat. Kausnya juga kebesaran. Padahal kaus yang dia pinjamkan padaku, sangat pas dibadanku. Aku sampai berdecak gemas melihatnya.
Sebelum keluar dari kamar Wahid, aku mengeluarkan dompet di celana jeans milikku. Melipat celana dan kausku. Dan menaruhnya ke dalam tas selempang milikku. Kukeluarkan ponselku. Dan segera saja aku menghubungi Taka. Memintanya menemaniku juga.
Aku juga belum tau mau kemana. Tapi kami deal janjian di BeachWalk, Kuta.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Seperti dugaanku, Wahid terkejut saat kukenalkan pada Taka. Selama lima hari Wahid bekerja di Warung, Taka memang tidak pernah sekalipun menampakkan diri ke Warung.
Tugas Wahid juga stand by di Warung saja. Karena dia masih tahap training. Masih banyak yang harus dia pelajari, dan masih tahap penyesuaian diri. Karena walaupun dia cakap dan tanggap, dia masih belum hapal beberapa lokasi untuk mengambil atau menaruh beberapa benda yang sering kali aku atau Bli Syaka mintai tolong.
Kalau berkenalan dengan Bang Zaki sih, sudah dilakukan dihari ketiga. Sekalian dikenalkan pada Mbak Donna. Karena sejak kepergian Bang Toya, Mbak Donna lah yang membantu Bang Zaki menjadi staff accounting. Dulu sewaktu masih ada Bang Toya, tugas Mbak Donna sekedar membantu mengoreksi saja. Karena katanya, Bang Toya itu payah kalau disuruh memegang tugas pembukuan. m(-_-)m
Hal selanjutnya yang kami lakukan setelah mengenalkan Taka, aku mengajak beli makan siang. Perutku sudah lapar sekali karena belum makan sejak pagi. Tapi rupanya Taka membawa sekotak brownies almond kesukaannya. Lumayan buat meredakan aksi demo di perutku deh.
Ah iya. Suwek juga ikut. Karena tadi Taka minta dibonceng dengan motor menuju kemari.
Usai ngemil brownies, kami sengaja meninggalkan motor yang kami Parkir diparkiran di depan McD Kuta. Taka mengajak kami ke butik di Legian.
Tadi aku memang mengirim Whatsapp padanya kalau aku mau membeli pakaian. Akhirnya kami dibawa Taka ke salah satu butik, yang menjadi sponsor untuk photo shoot dia kemarin. Rupanya Taka sudah janjian dengan ownernya.
Sayangnya, meskipun Taka bekerja sebagai model, selera fashion dia itu beneran buruk. Tidak heran dia sengaja janjian dengan owner butik dan meminta saran beliau.
Ah iya. Owner butik yang dikenalkan Taka itu sangat cantik. Juga sexy!! Sayangnya dia sudah bersuami dan mempunyai dua orang anak. Karyawan yang bekerja di butik beliau memang ada yang sesuai seleraku. Tapi aku hanya suka lekuk tubuhnya dan senyum manisnya saja. Tidak dengan sikapnya yang kecentilan.
Taka yang sepertinya sadar kalau aku merasa tidak nyaman, pada akhirnya buru-buru mengajakku menyudahi belanja.
Wahid sempat menolak saat aku membelikannya sebuah kaus, sebuah kemeja dan sebuah celana. Toh pada akhirnya aku membelikannya, dan memaksanya menerimanya. Aku bilang sebagai rasa terima kasihku karena sudah diperbolehkan numpanh tidur, dan dipinjami pakaian. Aku tidak bilang kalau aku dibelikan boxer juga. Sungkan.
"Kemana lagi nih, Ki?" tanya Taka.
Sekarang kami berempat sedang duduk santai di trotoar di seberang MiniMart yang berada di sebelah McD Kuta. Kami sedang asik ngemil. Taka dan aku sibuk ngemil es krim. Suwek asik menikmati soft drink dan kentang goreng yang dia beli di McD. Sementara Wahid sedang sibuk menikmati kopi sambil matanya melihat bule-bule berbusana minim yang seliweran di hadapan kami.
"Difoto aja Hid... Trus posting deh di facebook lu" aku menyeletuk.
"Emoh Kak... Bisa heboh temen-temenku nanti" jawabnya tersipu.
"Masa segitu aja pada heboh?" Taka ikutan nimbrung.
"Kata Bang Akbar, si Wahid ini lulusan pesantren, Ka. Anak baik-baik. Emangnya elu!" aku menyahut.
Taka mendengus sebal setelah menampar jidatku, lalu tertawa. "Iiisshhh... Jangan buka kartu! Jaga image gue napa, Ki!" serunya.
"Ka... Nyobain es lu dong..." pintaku. Taka langsung menyuapiku dengan es krim vanila miliknya. Lalu dia minta padaku agar menyuapinya dengan es krim cokelat milikku. Tapi aku meraih kentang goreng milik Suwek, yang sudah kucolekan ke saus sambal, lalu menyuapi Taka.
"Njiirrr... Pelit lu!" Taka berseru, disusul menyikut tulang igaku. Aku tertawa saja menanggapi tingkah Taka.
"Hmmmm... Kak... Mau foto bareng gak?" tanya Wahid. "Bertiga sama Kak Taka"
"Boleh boleh..." Taka menyahut setuju. "Minta tolong ama Kakak satu ini ya? Kayaknya Kakak satu ini lagi sariawan. Diem aja dari tadi" Taka meremas bahu Suwek.
"Kak Fikar lagi sariawan?" tanya Wahid yang serius menanggapi sindiran Taka.
"Enggak kok... Cuma lagi males ngomong aja..." Suwek menyahut, memaksakan senyum. "Mana sini, gue fotoin"
"Gak usah" aku langsung merogoh isi tasku. Mengambil tongsis yang selalu ada di dalam tasku. Tapi jarang sekali kupakai. "Pake ini aja. Kita foto berempat" kataku, lalu meraih ponsel milik Wahid.
Aku lalu memberi isyarat pada Suwek untuk duduk. "Elu disebelah Wahid. Gue ama Taka di pojokan"
Foto pertama kami duduk berurutan mulai dari aku, Wahid, Suwek, dan Taka. Foto kedua, berubah menjadi Wahid yang diapit aku dan Taka. Di foto ketiga, aku meminta Suwek duduk disebelah kiriku. Wahid disebelah kananku. Dan Taka disebelah kanan Wahid.
"Eh eh... Mana seru foto disini? Kita ke pantai aja yok. Background nya pantai aja. Lebih seru" Taka memberi usul.
Jadilah, kami berempat sibuk ber-selfie ria di pantai. Tapi aku pun kadang minta tolong pada Taka untuk mengambil fotoku berdua dengan Wahid atau dengan Suwek. Saat aku foto berdua dengan Suwek, tangannya melingkar di pinggangku dengan erat. Aku balas melingkarkan tanganku dipundaknya. Disatu kesempatan, Wahid memintaku foto berdua dengan Taka.
Malahan Taka yang selalu melarang kami mengambil foto bertiga. Pamali katanya.
Kalau menurutku nih, bukan pamali yang jadi soal. Tapi Taka itu trauma. Karena dulu dia pernah foto selfie bertiga dengan Bang Zaki yang mengapit Bang Toya ditengah. Dan tak lama setelah itu, Bang Toya pergi meninggalkan kami semua.
Yang ku tau, foto mereka bertiga sempat di posting Bang Toya di Path dan Instagram miliknya.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
"Duh.... Ngantuk..." kurebahkan tubuhku di kasur Wahid.
Setelah puas foto-foto di Pantai Kuta tadi, Taka pamitan pulang. Tentunya dia pulang dengan Suwek. Karena saat berangkat tadi aku boncengan dengan Wahid, jadi aku harus mengantar Wahid pulang terlebih dulu.
Niatku tadi, langsung pulang. Tapi aku mengajak Wahid mampir ke salon dulu. Aku menyuruhnya potong rambut. Bukan masalah gondrongnya. Tapi style rambut Wahid sudah tidak karuan. Dan sementara Wahid mengantri potong rambut, aku menyempatkan diri melakukan foot massage.
Untung saja aku memakai celana pendek. Jadi aku tidak perlu menggulung celanaku deh.
"Abis dipijet kakinya, langsung ngantuk Kak?" tanya Wahid.
"Hmmm..." aku menyahut dengan mata tertutup. "Hid... Kalo gue telanjang dada, gak papa kan?" tanyaku meminta ijin.
"Ya gak papa lah, Kak. Kenapa harus ijin?" Wahid menyahut. Dia berdiri di dekatku. Karena aku minta tolong memegangi kaca mataku. Sementara aku melepas kaus yang kupakai.
Bukannya menyerahkan kembali kaca mataku, Wahid malah meletakannya diatas meja.
"Kakak tidur aja dulu. Aku mau mandi"
"Hmmm..." aku masih memejamkan mataku dan mengangguk pelan.
Saat sudah akan terlelap, aku malah merasakan akan buang air kecil.
Aduh! Mana si Wahid sedang mandi. Aku juga malas ke lantai dua, ke kamar Bang Akbar. Takut mengganggu juga.
Ah! Nekat aja deh.
Tok. Tok. Tok.
"Hid... Wahid..." aku memanggil namanya dan berdiri di depan pintu kamar mandi. Kedua tanganku memegangi selangkanganku. "Buka bentar Hid..."
Tak lama kemudian, Wahid membuka pintu kamar mandi yang dia kunci dari dalam. Kepalanya menyembul. Sebelum dia bertanya, aku langsung menerobos masuk.
"Sorry... Udah di ujung tanduk!" aku berseru sambil berdiri menghadap kearah toilet.
Setelah beberapa detik, aku mendesah lega. "Thanks Hid... Sorry udah ganggu..." kataku sambil melangkah kearah pintu.
Disitu, Wahid malah berdiri mematung. Dengan pipi bersemu merah.
"Udah sana lanjut mandi" kataku.
Tapi saat akan melangkah keluar, aku malah melangkah mundur, dan menutup pintu kamar mandi.
"Mandi bareng aja deh. Nanti kalo nunggu elu, malah kelamaan" aku langsung membuka celanaku dan menyeret Wahid kebawah shower. "Nih... Tolong sabunin punggung gue. Nanti gantian..." kataku lagi.
Aku bisa merasakan tangannya gemetar saat menyentuh permukaan punggungku. Tangannya bergerak naik turun, mulai dari pundak sampai pinggang.
Aku langsung berbalik dan berdiri berhadapan dengannya. Kemudian kuraih pundaknya dengan kedua tanganku. "Puter balik" kataku. "Begini nih nyabuninnya. Naik. Turun. Puter... Puter..." aku memberikan contoh.
PLAK!
Kutampar pantat Wahid, dan membuatnya berjengit kaget. Aku tertawa melihatnya berjengit sampai sedikit melompat.
"Gantian... Caranya sama kayak gue barusan ya" aku langsung membalikkan badan, memunggunginya.
PLAK!
Kali ini gantian Wahid menampar pantatku. Aku tertawa saja menanggapi balasannya.
"Ngebales nih ceritanya?" tanyaku sambil menyabuni dada, pundak dan perutku. Kemudian kubalikkan badanku, menghadap Wahid. "Itu gundul begitu... Sengaja atau gimana?" tanyaku saat melihat kearah selangkangannya.
"Sengaja Kak... Bukannya Kakak juga digundulin gitu?"
Kumainkan alisku naik turun. "Yoi... Gak betah kalo ada rambutnya" jawabku. "Eh... Itu punya lu kalo ngaceng, bengkok ke bawah?" tanyaku lagi. Kali ini sambil membilas busa sabun di bawah kucuran shower.
"Hmm... Iya Kak. Kok tau?" kali ini dia menatap lekat kearah selangkanganku.
"Lemes gitu aja bengkok kearah dalem, Hid. Lagaian kan tadi gue nanya" aku menjawab. "Punya gue kayak tanduk. Agak sedikit bengkok keatas gitu" aku melanjutkan.
"Ooohh... Kebalikan punyaku dong"
"Yoi..." aku menyahut setuju. "By the way... Itu handuknya gue pake ya" aku menunjuk handuk yang tergantung dibelakang pintu.
"Aku ambilin handuk Kakak aja deh"
"Kelamaan lah Hid. Elu gak punya penyakit kulit kan?"
Wahid menggeleng.
"Oke sip. Gue juga"
Usai mengeringkan badan, lantas aku memakai boxer yang kugantung sekitar dua jengkal dari handuk.
Kuletakkan celana jeans yang tadi kupakai disebelah tas yang kugantung di belakang pintu kamar. Kemudian aku kembali rebahan di atas kasur. Kali ini aku menutup diriku dengan bed cover.
"Hid... Pintunya elu kunci kan?" aku bertanya saat melihat Wahid keluar dari kamar mandi. Dia mengecek, lalu memutar kuncinya. "Ngapain di tutup? Kan tadi gue udah liat"
Aku tertawa melihat wajahnya yang langsung merah seperti tomat. Lalu dia berbalik menghadap lemari dan sibuk mencari pakaian.
Kumiringkan badanku. Kutekuk tanganku, dan menahan pipiku dengan telapak tanganku sendiri.
"Wih! Bolong tuh celana lu!" aku berseru saat melihatnya menungging sewaktu memakai celana kolornya yang berwarna biru dongker.
"Hah? Bolong Kak? Mana?" dengan cepat Wahid melepas lagi kolornya dan memutar-mutar celananya. Mencari 'bolong'an yang tadi kuserukan.
"Kalo enggak bolong, mana bisa dua kaki lu masuk kesitu, Hid" aku menjawab dengan santai. Kumainkan alisku naik turun sambil nyengir kearahnya.
"Aaazzzzhhhh... Kakak usil banget!"
Aku langsung berguling diatas kasur menghindari kibasan celananya ke arahku. Sambil terus tertawa saat akhirnya Wahid berhasil mengenai wajahku.
Dan disatu kesempatan, aku meraih pergelangan tangannya. Kutarik dan kutindih tubuhnya yang telungkup bugil. Lalu kugelitik pinggangnya sampai Wahid berteriak minta ampun.
Aku berhenti. Dan memperhatikan Wahid yang masih tertawa ringan sampai terbatuk-batuk.
Kuraba punggungnya yang halus dengan jemariku. Wahid langsung mendesis dan menggelinjang. Kuselipkan jemariku kearah dadanya dari samping. Kucubit, dan kupelintir pelan putingnya.
"Mmmmhhhh..." Wahid melenguh tertahan dengan membenamkan wajahnya di bantal.
Kubalikkan tubuh Wahid perlahan. Wajahnya bersemu merah. Dan aku tersenyum saat melihat daging di selangkangan Wahid mengeras.
"Aah!" Wahid mendesah, manakala jemariku meraba perutnya dan turun terus dan berhenti dikantung berisi telur kembarnya.
"Enak Hid? Atau suka diginiin?" tanyaku dengan suara berbisik. Wahid mengangguk saja sebagai jawaban. "Hmmmm... Elu gay?" tanyaku to the point.
"Mu-mungkin Kak..." jawabnya tersipu.
Aku langsung merebahkan diriku disampingnya.
"Pernah sama siapa aja, kalo boleh tau?" tanyaku iseng.
"A-anu... Sa-sama Kak... Kak Akbar..."
Mataku melotot mendengar jawab Wahid.
"T-ta-tapi... Cuma sebatas c-ciuman dan d-dikocokin aja, Kak..."
Alisku berkerut memperhatikan Wahid yang menatapku. "Tapi gue bukan gay loh..." kataku akhirnya.
Kujulurkan tanganku meraih daging yang mengeras di selangkangannya. Kubelai hingga membuat Wahid menggelinjang. Kedua tangannya menggenggam pergelangan tanganku. "Enak ya?" tanyaku lagi.
"Sebenernya sih gue udah kerasa... Kalo elu tuh... Begitu..." kataku sambil terus memainkan tanganku dilokasi yang sama. Kelihatan sekali, kalau Wahid bingung diantara rasa nikmat dari permainan tanganku. "Hmmmm... Elu punya rasa khusus buat gue gak, Hid? Suka gitu ke gue. Atau..."
"Iya Kak... Aku suka sama Kakak. T-tapi d-dari mana Kakak tau? Sikapku keliatan banget ya Kak..."
"Enggak kok. Tapi gue kan sekarang hidup dikelilingi para gay" aku menjelaskan. "Masa elu gak ngerasa, Hid?" tanyaku, lalu dijawab dengan gelengan kepala.
"Mm... A-anu Kak... Ini berhenti aja..."
"Kenapa? Bukannya enak?" aku terus menggodanya.
"Ahhh... Ssss.... N-nanti aku m-muncrat..."
Aku langsung berhenti.
"Ngantuk... Tidur yuk..." aku langsung memeluk Wahid yang masih bugil. Kutarik bed cover sampai menutupi tubuh kami.
"K-kak..."
"Kalo dipeluk begini, enggak dingin, kan?"
"Tapi aku bisa ke GR-an..."
"Bodo amat..." kataku cuek. Kuraih kedua tangannya dan kuarahkan ke terongku. Wahid langsung menggenggamnya dengan lembut. "Kalo bisa ngaceng, berarti gue ada reaksi ke elu. Kalo enggak... Pegangin aja dulu... Biar anget..."
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Saat aku terbangun, diluar langit sudah gelap. Suasana di lingkungan kos yang sepi, semakin senyap.
Perlahan aku turun dari kasur. Sedapat mungkin aku berusaha tidak membangunkan Wahid. Tangannya sudah tidak menggenggam terongku. Tapi memeluk erat tubuhku.
"Mau pulang Kak...?"
Aku menengok mendapati Wahid yang ternyata ikut terbangun. Dia duduk sambil memeluk bantal yang tadi kupakai.
"Iya... Kan gue gak pamitan ama orang-orang di rumah" aku menjawab. Aku mengambil pakaian yang ada di kantung kertas, yang siang tadi baru aku beli.
Sudah jam sebelas malam rupanya. Aku segera menghubungi Taka. Biasanya dia masih melek jam segini.
"Ka... Belum tidur kan?"
^Belon lah... Baru juga jam segini^ jawabnya diseberang sana.
"Iyalah... Masa anak gadis tidur sore-sore. Pamali..." aku berujar santai. Mataku melirik Wahid, karena mendengar dia tertawa kecil. Tertawa dengan mata terpejam. Dengan posisi duduk dan dagu disandarkan pada bantal.
^Elu dimana nih? Gak biasanya Abang tercinta gue kelayapan^
"Iya nih Ka... Gue lupa jalan pulang" aku menyahut. Kuhampiri si Wahid yang lagi-lagi tertawa dengan mata terpejam dengan posisi yang sama. "Tidur lagi sono! Eh bukan elu Ka. Ini si Wahid"
^Oh... Elu di tempat Wahid?^ tanya Taka. Dari suaranya, bisa kupastikan dia sedang mengunyah sesuatu dimulutnya. Aku jadi membayangkan isi makanan di dalam mulutnya muncrat-muncrat keluar.
Attitude bocah satu itu memang bisa bikin fans-nya ternganga takjub. Takjub dan merasa jijik. Ganteng sih, tapi sontoloyo! Sangat jauh berbeda dengan tingkahnya di depan kamera. Untung saja dia tidak terkenal di Indonesia.
"Ada makanan apa di rumah?" tanyaku sambil bersiap-siap berangkat. Kurebahkan tubuh si Wahid. Kutarik bed cover yang tebal, untuk menyelimuti tubuhnya yang masih bugil agar tidak kedinginan.
^Mana ada? Kan kokinya masih kelayapan^
"Kalo gak ada apa-apa, nanti gue mampir bentar ke Pepito deh. Nyari bahan-bahan buat supper. Laper banget nih perut gue" aku lanjut keluar dari kamar Wahid. Kumatikan lampunya yang sedari tadi menyala.
^Asiiikkk... Gue masak nasi dulu deh kalo gitu... Ngidam nasgor bikinan lu nih... Eh... Eh... Sekalian bikinin Sapo Tahu ya Ki...^
"Elu ngidam apa kesambet, Ka?" kali ini kusambungkan line telepon dengan headsetku. Untung saja aku selalu menaruh headset bluetooth ku di saku bagian depan tasku. Biar tidak repot kalo sibuk nyari. "Elu cek kulkas dulu gih. Apa aja bahan yang kurang"
^Oke... By the way, perlu gue transfer gak? Kali aja duit lu kurang^
"Ciyeeee... Yang abis panen duit... Boleh deh. Gue tunggu cipratan dananya... Hehehehe..." perlahan kukeluarkan motorku. Untung saja tadi kuparkir tak jauh dari pagar. Jadi tidak perlu menggeser motor lain yang terparkir. "Oh ya Ka... Bang Zaki masih melek?"
^Bentar... Gue cek dulu... Kalo si Ijul kayaknya udah tidur^
"Bangunin deh si Suwek... Suruh bantuin elu... Tapi kalo dia udah makan trus pules banget, jangan di bangunin Ka... Kesian..."
^Ok... Ok...^
"Udah dulu ya... Gue mau jalan nih" aku segera menyalakan mesin motor. Paling tidak aku butuh waktu beberapa menit untuk memanaskan mesinnya.
^Sip sip... Bye Ki... Love you...^
Aku tersenyum mendengar kalimat terakhir Taka. Mataku lurus menatap jalanan yang lengang. Ada rasa nyaman menyelimutiku saat mendengar ucapan Taka.
"Love you too, Ka..."
Setelah mematikan line teleponku dengan Taka, aku langsung membuka music player-ku. Membuka playlist yang berisi lagu-lagu favoritku. Mengendarai motor sambil mendengarkan lagu itu sebenarnya berbahaya. Tapi kalau dengerinnya dengan volume kecil, kayaknya aman aja lah.
Mudah-mudahan aman. Bismillah! Aku sudah tak sabar ingin sampai di rumah.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Hours fade I take my time
Lick my wounds and drink my wine
My heart stopped when you walked in
You took my breath but let me live
Everybody’s got an answer
Dancing to a song we never asked them to play
I don’t need a lover
Don’t need another heartache to forgive and forget
A feeling like no other
Haunts me when I see you loving somebody else
I don’t need a lover
Don’t need another heartache to forgive and forget
Don’t need another lover
Our first touch straight to my spine
Hits me hard when you pass by
Never fails to draw me in
Like throwing sand against the wind
Everybody’s got an answer
Dancing to a song we never asked them to play
I don’t need a lover
Don’t need another heartache to forgive and forget
A feeling like no other
Haunts me when I see you loving somebody else
I don’t need a lover
Don’t need another heartache to forgive and forget
Don’t need another lover
Don’t need another lover
[ I Don’t Need A Lover - Will Young ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Happy Reading Guys
@Antistante @yuzz @meong_meong @anohito @jeanOo @privatebuset @Gaebarajeunk @autoredoks @adinu @4ndh0 @hakenunbradah @masdabudd @zhedix @d_cetya @DafiAditya @Dhivars @kikyo @Tsu_no_YanYan @Different @rudi_cutejeunk @Beepe @dheeotherside @faisalrayhan @yubdi @ularuskasurius @Gabriel_Valiant @Dio_Phoenix @rone @adamy @babayz @tialawliet @angelofgay @nand4s1m4 @chandischbradah @Ozy_Permana @Sicnus @Dhivarsom @seno @Adam08 @FendyAdjie_ @rezadrians @_newbie @arieat @el_crush @jerukbali @AhmadJegeg @jony94 @iansunda @AdhetPitt @gege_panda17 @raharja @yubdi @Bintang96 @MikeAurellio @the_rainbow @aicasukakonde @Klanting801 @Venussalacca @adamy @greenbubles @Sefares @andre_patiatama @sky_borriello @lian25 @hwankyung69om @tjokro @exxe87bro @egosantoso @agungrahmat@mahardhyka @moemodd @ethandio @zeamays @tjokro @mamomento @obay @Sefares @Fad31 @the_angel_of_hell @Dreamweaver @blackorchid @callme_DIAZ @akina_kenji @SATELIT @Ariel_Akilina @Dhika_smg @TristanSantoso @farizpratama7 @Ren_S1211 @arixanggara @Irfandi_rahman@Yongjin1106 @Byun_Bhyun @r2846 @brownice @mikaelkananta_cakep@Just_PJ @faradika @GeryYaoibot95 @eldurion @balaka @amira_fujoshi @kimsyhenjuren @farizpratama7 @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep @LittlePigeon @yubdi @YongJin1106 @diditwahyudicom1@steve_hendra @Ndraa @blackshappire @doel7 @TigerGirlz @angelsndemons @3ll0 @tarry @OlliE @prince17cm @balaka @bladex @dafaZartin @Arjuna_Lubis @Duna @mikaelkananta_cakep @kurokuro @d_cetya @Wita @arifinselalusial @bumbellbee @abyh @idiottediott @JulianWisnu2 @rancak248 @abiDoANk @Tristandust @raharja @marul @add_it @rone @eldurion @SteveAnggara @PeterWilll @Purnama_79 @lulu_75 @arGos @alvin21 @hendra_bastian @Bun @jeanOo @gege_panda17 @joenior68 @centraltio @adilar_yasha @new92 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars @adilar_yasha
@GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL
@Lovelyozan @eka_januartan
@tianswift26 @abyyriza
@privatebuset @Bun @sujofin
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha
×××°•••°°•••°×××
Tiki, aku doain kamu selamat sampai tujuan. Soalnya aku rada2 trauma ni ma tulisan bang Tama.Kebanyakan tokohnya bye saat dijalanan.
Miss you Toya...
next Act bakal dikasi tau