It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE @prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars @Togomo
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset @Bun @sujofin @centraltio
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh @Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90
@ando_ibram @handikautama @babayz @seventama @Gaebara
×××°•••°°•••°×××
Maaf karena kepanjangan, postingan yang ini aku hapus dan aku bagi jadi 2 Act ya
----
Gak ngerti pas bagian percakapan dalam bahasa jawa. Bener2 blank n nebak2 aja apa yang diomongin.
Kalo boleh request,next pas ada percakapan dalam bahasa jawa, bolehlah dibuat juga terjemahan bahasa indo-nya.
anyway,thanks alot @tamagokill karena uda rajin update and share karya tulisannya
Saat tersadar, ternyata sudah pagi. Sudah pukul delapan! Dan semalaman aku duduk terjaga. Awalnya banyak hal yang kupikirkan. Sampai akhirnya aku tidak bisa memikirkan apapun. Otakku yang tumpul ini sudah mentok. Aku tak berada dimana-mana selain hanya disini. Diam tak tau harus kemana.
Kepalaku teramat sangat sakit. Aku hampir jatuh tersungkur saat turun dari kasur. Aku memang sudah jatuh. Tapi hanya lututku yang beradu dengan lantai. Sakitnya tidak seberapa dibanding sesak di dalam dadaku.
Sambil meringis kesakitan, aku berusaha bangkit berdiri. Tapi kepalaku rasanya semakin sakit. Pandangan mataku sempat kabur. Akhirnya aku hanya bisa duduk dilantai. Bersandar pada dinding dibawah jendela kamar.
Setelah menarik nafas dalam-dalam. Dan mengumpulkan segenap tenaga. Tak lupa berucap Bismillah. Aku bisa juga berdiri. Kuputar kunci. Dan kubuka pintu kamar.
Dengan terhuyung aku berjalan menuju dapur. Kulihat pintunya sudah terbuka. Aku ingin memanggil Ibu. Tapi suasana rumah sangat sepi.
Nafasku semakin terasa berat. Begitupun tubuhku. Belum pernah aku merasa badanku seperti ditarik gravitasi bumi yang teramat kuat.
Sampai pada akhirnya aku tak kuat lagi.
Pandangan mataku semakin buram. Dan seisi ruangan rasanya berputar-putar. Membuatku terasa mual. Hingga pada akhirnya, tubuhku ambruk saat itu juga.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Saat kubuka mataku, aku merasakan seluruh tubuhku berat. Persendianku pun rasanya sakit semua. Kucoba bangun. Tapi seseorang menahanku. Dan membuatku kembali rebah kekasur. Meskipun awalnya aku merasa bingung. Karena aku sudah berada di kamarku.
"Jangan bangun dulu Hid. Tidur aja"
Kubuka mataku yang rasanya sangat berat. Samar-samar kulihat wajahnya.
"Kak... Tiki...?"
"Iya... Ini gue..." sahutnya. Tangannya meletakkan sesuatu di keningku. Rasanya dingin. Hingga membuatku mendadak merasa kedinginan. Padahal selimut sudah menutup diriku sepenuhnya sampai bawah dagu.
"Rasanya deja vu ya?" ia bertanya. Kulihat ia tersenyum. "Sekitar setahun lalu, kayaknya gue yang dirawat begini sama elu... Sekarang gantian gue..."
Ah... Senyummu itu memang luar biasa Kak. Cukup dengan memberikanku sebuah senyuman, aku bisa merasakan sebuah kehangatan di dalam dadaku.
Perlahan, kuraih handuk kecil yang diletakkan Kak Tiki dikeningku. Kutarik dan kubekap kedua tanganku, hingga handuk basah yang dingin itu menutupi wajahku. Aku tak mau ia tau bahwa aku...
"Hid...? Elu kenapa? Ada yang sakit?"
Aku menggeleng pelan. Suaranya terdengar sangat cemas. Kudengar langkah kakinya yang menjauh. Tak lama aku mendengar langkah kaki mendekatiku. Ada lebih dari seorang.
"Hid... Wahid... Kenapa Nak?"
Suara Ibu terdengar cemas. Tangannya meremas kedua lenganku. Sementara aku tetap menutupi wajahku dengan handuk.
"Ndak papa kok Bu..." jawabku lemah. "Arep wahing. Tapi susah..." aku melanjutkan.
"Mau bersin katanya. Tapi susah" ucap Ibu sambil terkikik geli. Mungkin Ibu menterjemahkan kata-kataku pada Kak Tiki.
Ya. Lebih baik begitu. Dari pada Ibu harus mengkhawatirkanku.
"Minum obat dulu Hid..." Kak Tiki merampas handuk yang menutupi wajahku. Kali ini ia membantuku duduk bersandar dengan beberapa tumpukan bantal di punggungku.
"Ya makan buburnya dulu tho, Nak Tiki..." Ibu mengulurkan sebuah nampan yang diatasnya ada sebuah mangkuk.
"Oh iya ya... Makan buburnya dulu yuk..." Kak Tiki menerima nampan yang diberikan Ibu, kemudian mengambil mangkuknya dan meletakkan nampannya ke lantai. "Biar disini saja Bu. Nanti mangkuknya saya taruh disini" ia berujar pada Ibuku dengan santun. Kulihat Ibu tersenyum. Kemudian ia pamit keluar kamar. Sebelum keluar kamar, Ibu sempat berpesan agar aku menghabiskan bubur ayam yang ternyata buatan Kak Tiki.
Meskipun awalnya kutolak, tapi Kak Tiki tetap memaksaku untuk membiarkan dirinya menyuapiku. Karena bubur itu sudah dingin, ia tidak repot meniupnya terlebih dulu. Sangat sayang, lidahku mati rasa. Jadi aku tidak bisa merasakan kelezatan bubur ayam buatan Kak Tiki.
"Enak?" Tanyanya sambil tersenyum. Aku mengangguk pelan. Dan ikut tersenyum.
Aku hanya sanggup menghabiskan setengah mangkuk saja. Karena aku merasa pusing dan mual lagi. Sebelum kembali rebahan, Kak Tiki membantuku untuk minum obat.
"Hid... Elu itu kalo kecapean, bilang ke gue... Atau ke Suwek..." Kak Tiki berujar sambil membasuh keringat di wajahku. "Jangan maksain diri. Emangnya elu pikir, buat apa gue nerima empat karyawan baru? Kalau elu sampe sakit begini, gue jadi ngerasa bersalah. Ke elu. Terlebih, ke Ibu lu itu. Untung aja Ibu lu itu orangnya sabar. Gak kayak Nyokap gue"
"Memangnya... Ibunya Kak Tiki kenapa?"
"Nyokap kita mah kayak Mak Lampir" Kak Taka yang menjawab sambil melangkah masuk ke dalam kamarku.
Ini pertama kalinya Kak Taka berada di dalam kamarku. Sebelumnya dia memang pernah kemari. Satu kali. Saat membantu Bang Akbar pindahan.
"Oh ya? Galak karena sayang kan?" tanyaku lagi. Kali ini pada dua lelaki kembar yang tampan. Dan keduanya sedang berada di kamarku. Satu orang duduk di kursi menghadap kearahku. Satu lainnya duduk di tepi kasur dekat kakiku.
"Jadi tadi tuh gue lagi nelpon Nyokap"
"Momentumnya pas banget ye? Pas elu lagi video call pula" potong Kak Tiki.
"Nah terus kita dapet kabar kalo elu jatuh pingsan dari Ibu lu, Hid. Trus karena kita kemarinya pake mobil, Nyokap kita nyap-nyap marahin Tiki. Katanya dia gak becus jadi boss. Sampe bikin anak buahnya jatoh sakit begini... Elu keluar aja deh Hid! Kerja ama gue aja! Jauh lebih enak. Bisa keliling dunia!"
"Kenapa kagak elu ajak Suwek aja, pe'a?!" Kak Tiki menjitak jidat Kak Taka. "Wahid tuh punya gue!"
Degh!!
Jantungku berhenti berdetak mendengar kalimat terakhir Kak Tiki. Aku tau maksud kalimatnya bukan mengarah ke jalur romantisme. Tapi tetap saja, kalimat itu...
"Punya lo apanye?? Elu sia-siain terus. Tuh! Elu liat sendiri dia sampe tepar gini!"
"Eit! Berani jitak kepala gue, tau rasa lu!" Kak Tiki menangkis dan menepis tangan Kak Taka. Hingga membuatnya meringis kesakitan dan mengusap pergelangan tangannya.
"Gue bilangin ke Emak gue juga nih!" ancam Kak Taka. Hingga membuatku terkekeh geli.
"Bilang aja! Tar gue empanin ke Bokap gue!" Kak Tiki menyahut tak mau kalah.
"Eh Hid... Elu suka bule kan? Kalo kerja ama gue, entar elu gue cariin bule-bule kece Hid!" Kak Taka berseru dengan semangat padaku. Tangannya mengelus pahaku sambil mengedipkan mata kanannya.
Senyumku semakin lebar melihat tingkah dua kakak beradik kembar di hadapanku ini. Sekarang Kak Tiki sedang melingkarkan lengannya ke leher saudara kembarnya yang hobi melawak itu.
"Sekali lagi elu ngegombal, gue jadiin elu dadar gulung Ka!"
"Ampuunnn... Ampuunnn... Iye deh gue nyerah..." Kak Taka mengangkat kedua tangannya kemudian memindahkan kedua tangan Kak Tiki untuk memeluknya dari belakang. "Tapi Hid. Kalo elu bosen kerja ama Tiki, hubungi gue. Oke?"
"Ni orang bener-bener nantangin gue!!" Kak Tiki kemudian mengelitiki badan Kak Taka hingga membuat mereka jatuh bergulingan di lantai.
Suara ketukan di pintu menghentikan keduanya. Ada Bang Zaki di ambang pintu. Disusul Bang Akbar. Mbak Donna. Mbak Rina juga ikut. Bahkan Zain dan temannya, aku lupa namanya, juga ikut datang. Selang beberapa menit, ada Bli Syaka datang bersama dengan kekasihnya yang seorang dokter itu.
Semuanya memberi ruang pada dokter Julian, saat dia memeriksaku. Dia sempat mengambil sample darahku. Katanya mau dia periksa di laboratorium. Untuk memudahkan meneliti sakitku. Aku jadi merasa tak enak hati. Sekaligus cemas. Dan rupanya ia bisa membaca ekspresi wajahku.
"Tenang aja. Kamu cuma kena gejala typus kok. Kamu kecapean... Udah gitu, mungkin pola makanmu gak teratur?" ujarnya dengan ramah dan melirik kearah Kak Tiki. Membuatku jadi merasa tak enak hati dengannya. Padahal ini bukan salahnya.
"Ini bukan salah Kak Tiki... Tolong jangan salahin Kak Tiki..."
"Aw! So sweet..." Mbak Donna menghampiriku, kemudian membelai punggung tanganku. "Segitu sayangnya kamu, sampai gak mau kalo si Tiki disalahin?"
"Tapi bener... Ini bukan salah Kak Tiki..." aku menjawab dan berusaha meyakinkan Mbak Donna. Dan semua yang ada disini. Terlebih pada Bang Zaki. Aku tak mau dia salah paham.
"Cepat sembuh ya... Kami semua datang kemari karena sayang ke kamu..." Mbak Donna mendekatkan wajahnya ke telingaku. "Kalau kamu ada masalah, jangan ragu-ragu untuk hubungi Mbak ya. Tenang... Rahasia terjamin!" ujarnya berbisik.
Mendengar ucapannya, aku jadi berpikir. Apakah aku segitu transparannya? Sehingga Mbak Donna yang jarang bertemu denganku pun bisa melihat kalau aku sedang dirundung masalah.
Tapi sebagai jawaban, aku hanya mengangguk dan mengacungkan jempolku pada Mbak Donna.
"Udah minum obat?" Dokter Julian bertanya padaku, atau mungkin kearah Kak Tiki. Karena dia menoleh ke belakang.
"Udah. Sebelum kalian datang"
Benar saja dugaanku. Buktinya Kak Tiki yang menjawab pertanyaan dokter Julian.
"Kalau gitu, ayo kita keluar... Biar Wahid istirahat dulu" dokter Julian mengajak semuanya untuk keluar kamar. Dan hanya Kak Tiki yang tetap diam disini.
"Udah... Tidur aja. Gue jagain" ia berujar saat aku ingin bertanya.
"Kak... Makasih..." aku berujar lirih. Mataku mulai terasa berat. Saat kuletakan tanganku diatas paha Kak Tiki, aku pun segera terlelap.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Hari sudah malam saat aku terbangun. Sepertinya lama juga tidurku tadi. Kepalaku masih sakit. Dan badanku pun rasanya tak ubahnya seperti siang tadi.
Sepertinya Kak Tiki sudah pulang. Dan untuk sekali ini, setelah sekian lama. Aku merasa kehilangan dirinya lagi.
Bisa jadi siang tadi hanyalah mimpi belaka. Tidak mungkin Kak Tiki akan merawatku terus menerus seperti yang pernah kulakukan dulu. Dia sudah ada yang punya. Aku sudah tau diri, untuk tidak mengharapkannya membalas perasaanku.
Aku belum lelah mengejarnya. Aku cuma harus tau diri. Sudah waktunya aku mengerem perasaanku ini. Lalu akan kuberikan pada siapa hati ini? Pada Bli Akhza? Pembohong itu?
Bahkan seharian tadi pun dia tak menunjukkan batang hidungnya. Mungkin dia terlalu asik dengan wanitanya itu.
Aku tidak mencintainya. Tapi kenapa rasanya sesakit ini?
Aku nyaris berteriak saat melihat kain putih yang tersibak dari arah lantai. Dan dalam keremangan kamar, aku pastikan itu adalah Bli Akhza.
Aku lupa, kalau sejak dua bulan lalu, Ibu memintaku mengganti ranjang yang ada dikamar. Karena ukurannya menurut Ibu tidak sesuai untuk satu orang. Sedangkan kalau di ganti dengan ranjang size king, akan terlalu lebar dan membuat kamar menjadi sempit. Jadi, Ibu memutuskan untuk menggantinya dengan ranjang tumpuk. Yang bagian bawahnya adalah ranjang geser.
Meskipun sudah diganti, toh tetap saja kami tidur seranjang. Tapi mungkin karena aku sedang sakit, Bli Akhza menggunakan kasur gesernya.
"Apa yang sakit Hid?"
Digenggamnya erat tanganku. Sesekali jempolnya digesekan pada punggung tanganku.
"Ya Tuhan... Demamnya naik lagi?"
Bli Akhza baru saja akan bangkit, tapi tangannya yang menggenggam tanganku, ku genggam dengan erat. Aku memberi isyarat dengan menggelengkan kepalaku. Pelan. Tapi ia mengerti dan kembali duduk bersimpuh diatas kasurnya lagi. "Obat..." ucapku sambil menggigil.
"Tapi kamu harus makan dulu... Meskipun sedikit... Ini kompresnya diganti dulu ya..." Tangannya yang bebas meraih handuk kecil di keningku. Ia meraih sebuah kantung plastik yang ia letakkan tak jauh darinya.
Aku baru menyadari kalau Bli Akhza masih mengenakan celana jeans hitamnya. Mungkin dia baru pulang kerja? Bli Akhza memang selalu meletakkan seragamnya di locker tempat ia bekerja. Dan hanya membawa pulang saat akan dicuci saja. Biasanya ia hanya akan mengenakan kaos putih atau hitam dibalik jaketnya saat berangkat dan pulang kerja.
"Dingin..." aku mengerang terkejut saat Bli Akhza melekatkan sesuatu pada keningku.
"Biar cepet turun demamnya..." Bli Akhza menyahut. Kemudian ia membantuku untuk duduk.
Aku melepaskan genggaman tanganku, dan ia langsung bangkit untuk menyalakan lampu tidur yang biasa aku letakkan di meja baca milikku. Sinarnya lumayan redup dan tidak membuat mataku sakit. Tapi lumayan bisa membuat Bli Akhza melanjutkan sedikit aktifitasnya.
"Maem dulu ya Hid... Meskipun cuma dua sampai tiga suap. Nanti baru minum obat. Oke?"
Aku mengangguk pelan dan membalas senyumannya.
"Maaf Bli baru pulang. Jadi baru bisa gantikan bos kamu Hid"
"Bos...ku?" aku bertanya setelah susah payah menelan sesuap bubur yang Bli Akhza suapkan ke dalam mulutku.
"Iya... Dia jagain Wahid sampe ketiduran dilantai. Tapi sekarang sudah pindah ke kamar. Di rumah Ibu. Tadi Bli udah bilang sama Bos kamu, kalau besok Bli udah minta ijin gak kerja. Supaya bisa jagain kamu... Makanya tadi seharian Bli langsung ngelembur seharian..."
"Bli... Sayang ama Wahid?"
Bli Akhza tersenyum. "Iya... Bli sayaaaaang banget sama Wahid..." Ia berujar sambil memejamkan kedua matanya. Memberiku ekspresi gemas dan lucu. Lalu ia mendekatkan wajahnya kearahku, dan dikecupnya pipiku. "Ya ampun, pipinya sampai panas begini" ia berujar dan menghujani pipiku dengan kecupan. "Biar cepet sembuh!"
"Bli... Wahid juga sayang banget sama Bli..."
"Iya... Bli tau kok... Nih, mam lagi..." ia kembali menyuapiku dengan sesendok bubur.
Aku hanya sanggup menghabiskan empat sendok makan bubur ayam buatan Kak Tiki yang rupanya diletakkan di mangkuk besar diatas meja bacaku itu.
Setelah membantuku meminumkan obat, Bli Akhza melepaskan kaus yang kupakai. Juga melepas celanaku. Hingga aku bugil, dan Bli Akhza menaikan selimut hingga kebahuku. Ia mengambil sebuah kemeja dan celana pendek dari dalam lemari. Dengan sabar ia membantuku mengenakannya.
Bli Akhza lalu naik ke kasur setelah menggeser tubuhku mendekati tembok yang sudah ia beri guling. Ia duduk bersandar di sebelahku setelah menyuruhku kembali rebahan.
Kumiringkan badanku agar bisa memeluknya. Bli Akhza sudah mengganti celana panjangnya dengan celana pendek. Aku bisa merasakan bulu kakinya bergesekan dengan tanganku saat aku melingkarkan tanganku diatas pahanya.
"Bli bobok juga..." Pintaku. Dan ia langsung beringsut meluruskan badannya disebelahku. Kini aku memeluk dan menyandarkan kepalaku di lengannya.
Bli Akhza sudah memberi bantal pada lengannya. Sehingga aku bisa lebih nyaman saat meletakkan kepalaku.
"Bli..."
"Hmmm...?? Kenapa Wahid sayang?"
"Wahid pengen nenen..."
"Hus! Kamu lagi sakit!"
"Tapi pengen nenen, Bli..." aku mengusap-usap wajahku di dadanya.
"Nanti... Nunggu kamu sembuh dulu... Oke? Sekarang Wahid bobok lagi..."
"Megang aja gak boleh ya?" tanganku menyusup masuk ke dalam celana pendeknya tanpa meminta ijin terlebih dulu.
"Boleh... Tapi... Mmmhh... Jangan nakal gitu dong tangannya, hmm!!"
Aku tersenyum sambil terus memainkan kulupnya, dan meremas ringan kedua buah rambutan miliknya. Kalau aku tidak sedang sakit, pasti sudah kubabat habis segala ilalang miliknya yang sudah mulai melebat ini.
"Bli..."
"Ya, sayang...?"
Suaranya yang agak serak, akibat menahan gejolak dari pistol miliknya yang kumainkan, terdengar merdu di telingaku. Walaupun sebenarnya kepalaku saat ini teramat sangat pening. Badanku terasa dingin hingga menggigil. Tapi hanya mendengar suaranya saja, rasanya sudah cukup menghangatkan dan membuat hatiku tenang.
Segala kegundahan yang kualami sejak kemarin malam, rasanya sirna.
Kepalaku mendongak. Menatap ekspresi wajahnya. Kedua matanya terpejam. Ia menggigit bibir bawahnya. Sesekali ia berdesis lirih. Sementara pistol miliknya telah bermetamorfosa menjadi senapan laras panjang kesayanganku.
"Peluk Wahid, Bli..." bisikku lirih. Ia langsung melakukannya.
Ah... Biarlah ia bercinta dengan orang lain. Cukup sekali itu saja aku mengetahuinya. Lain kali, saat aku melihatnya seperti itu lagi, aku akan mengubur. Bahkan mungkin membuang semua rasa penasaranku.
Tidak akan lagi ku peduli ia akan tidur. Dan bercinta dengan orang selain aku. Selama ia tidak melakukannya di depan mataku. Selama aku tidak melihat dengan mata kepalaku sendiri.
Aku akan berusaha, untuk selalu mempercayainya. Meskipun mungkin ia menipuku. Selama ia masih, dan selalu di sisiku. Selama ia masih terlihat menikmati sentuhan yang kuberikan. Aku tidak akan melepaskannya. Lagi pula aku memang menyayanginya. Tapi tidak pernah mencintainya.
Aku akan terus berusaha, agar hatiku tak pernah jatuh mencintainya.
Aku akan selalu menikmati kebersamaan kami ini. Walaupun penuh dengan kepalsuan.
Lagi pula, kami adik dan kakak.
Anggap saja, sex adalah bonus kenikmatan yang kami lakukan berdua. Untuk mendekatkan hubungan kami yang selama ini selalu jauh.
Bli Akhza... Kalau kamu tega melakukannya padaku, lantas mengapa aku tak sanggup melakukan hal yang sama? Aku akan belajar banyak darimu. Aku akan mengikuti semua permainanmu.
Kulakukan ini karena aku tak sanggup lagi merasakan nyeri di dalam dadaku ini.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Deras hujan yang turun
Mengingatkan pada dirimu
Aku masih di sini untuk setia
Selang waktu berganti
Aku tak tahu engkau dimana ooh
Tapi aku mencoba untuk setia
Sesaat malam datang menjemput kesendirianku
Dan bila pagi datang ku tahu kau tak di sampingku
Aku masih di sini untuk setia
[ Setia - *Mike Mohede Version* ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Warung sedang sepi. Jadi kami bisa bersantai. Mungkin karena jalan sedang ditutup karena Banjar terdekat sedang melakukan Upacara Adat. Hanya ada beberapa pembeli yang datang kemari karena tidak bisa mengeluarkan kendaraannya.
Untuk sebagian orang, mungkin akan merasa kalau usaha mereka merugi. Tapi tidak bagi kami. Justru disaat seperti ini, kami akan sangat menikmati sepinya pengunjung. Kak Tiki tidak melarang kalau ada yang mau tidur.
Tentunya dengan posisi duduk menelungkup di meja, seperti yang Irvin lakukan. Sibuk berbicara di line telepon, seperti yang Mamat lakukan. Atau sibuk bermain game di ponsel pinjaman, seperti yang Subi lakukan. Dia sedang bermain game di ponsel milik Kak Zulfikar. Sementara Lingga? Dia sedang sibuk menghabiskan makanan yang di khusus dibuatkan Kak Tiki.
Apakah Lingga beruntung? Mungkin saja. Atau aku merasa iri? Hmmmm... Tidak juga. Aku bisa memahami maksud dari Kak Tiki berbuat seperti itu. Karena aku pun pernah mengalaminya.
Pertama-tama, Kak Tiki akan dengan sengaja membuatkan masakan-masakan sehat. Yang bisa membuat berat badan naik dan memiliki banyak kalori. Dan jangan heran kalau sebagai bayarannya, Kak Tiki akan menyuruh ini itu agar kalori yang masuk tidak akan menumpuk menjadi lemak. Justru sebaliknya. Malah akan membuat --tanpa aku sadari-- badan semakin berisi. Entahlah dia belajar dari mana tekhnik seperti itu. Tapi kalau kata Kak Zulfikar, hal itu lebih baik. Dari pada harus capek-capek menyuruh olah raga angkat beban di gym. Atau menyuruhnya diet sehat secara terang-terangan.
Sudah setahun lebih aku bekerja disini. Mengikuti. Juga menuruti semua permintaan dan perintah Kak Tiki. Tanpa mau membantah. Dan aku pun tak akan pernah sanggup untuk membuat bantahan-bantahan konyol.
Lagi pula tanpa sepengetahuan Lingga, Kak Tiki sudah memberi tahukan hal itu padaku. Juga pada Kak Zulfikar.
Selama sebulan lebih bekerja disini, Lingga yang dulunya sangat... sangaaatttt kurus kering itu, sudah terlihat lebih berisi. Pipinya yang dulu terlihat tirus pun sudah bisa dicubit. Biasanya Kak Tiki yang melakukan hal itu kalau melihat Lingga malas-malasan. Bukan memarahinya. Tapi Kak Tiki akan memotivasinya. Memberinya semangat.
Sungguh, Kak Tiki itu benar-benar sudah menjadi seorang pemimpin dambaan.
Ia hanya akan marah kalau kami semua melakukan kesalahan fatal. Tapi sejauh ini, yang kuamati, tidak ada karyawan yang melakukan hal tersebut. Kami selalu enjoy. Selalu menikmati pekerjaan kami. Walaupun harus kami akui, pekerjaan ini sangat melelahkan. Terutama padaku dan Kak Zulfikar yang sama-sama bekerja mulai dari jam buka sampai jam tutup.
Tapi buat apa juga aku mengeluh. Aku selalu tau, kalau Kak Tiki dan Kak Zulfikar juga mulai bekerja sejak sebelum jam buka. Belanja ke pasar. Mempersiapkan semua bumbu disaat kami --para karyawan-- sedang sibuk terbuai mimpi.
Aku sendiri, saat ini, sedang menikmati suara indah milik Kak Tiki. Ini pertama kalinya aku tau kalau Kak Tiki bisa menyanyi, sambil diiringi permainan gitar akustik yang dimainkan Kak Taka.
Mereka berdua tidak sedang melakukan live show. Justru keduanya sedang asik bernyanyi dan bermain gitar di dapur.
Meskipun aku pribadi tidak tau lagu siapa yang sedang dinyanyikan Kak Tiki itu, aku tetap saja menikmati suara indah miliknya. Aku tidak terlalu up to date dengan lagu-lagu barat. Koleksi lagu yang kumiliki di handphone milikku, rata-rata adalah lagu rohani Islami milik Opick.
Usai bernyanyi, kami semua bersorak memberi tepuk tangan. Hingga tanpa sengaja memancing rasa penasaran beberapa turis yang melewati Warung.
Mamat kebagian tugas menyambut mereka. Sementara Kak Tiki dan Kak Taka masih sambil bernyanyi menyiapkan welcome drink buatan mereka yang tidak ada di dalam daftar menu. Dan untuk itu, permainan gitar di ambil alih Kak Zulfikar.
Jujur saja, hingga detik ini, aku masih saja iri dengan kedekatan mereka bertiga.
Mereka kenal sejak jaman masih duduk di bangku sekolah. Bahkan Kak Tiki dan Kak Zulfikar sempat kuliah di tempat yang sama. Walaupun Kak Taka sempat tinggal dan meneruskan pendidikannya diluar negeri, hingga kini mereka tetap rukun saja.
Aku iri bukan berarti aku tidak suka. Melainkan aku ingin tau, apa rahasia mereka bisa seperti itu.
Sementara aku? Semua sahabat yang kukenal, tak tau kemana mereka semua tinggal saat ini. Apa saja yang sudah mereka lakukan. Karena aku benar-benar sudah putus komunikasi dengan mereka semua.
Aku memang menggunakan beberapa sosial media. Itu pun sudah sangat jarang update. Tidak seperti Mamat yang selalu absen di setiap waktu senggangnya. Meskipun hanya satu menit. Dia sanggup memposting foto selfienya. Bisa mengetik dengan kecepatan kilat tanpa melakukan typo sedikit pun.
Mungkin dia sudah memberikan chip khusus pada kedua jempolnya ketika mengetik (?)
Entahlah.
Aku sedang sibuk di bagian cuci mencuci semua perlengkapan makan yang kotor, ketika Subi datang membantu. Tidak ada yang menyuruhnya. Mungkin karena dia memang semakin tanggap melihat sesuatu. Atau dia tak mau di cap pemalas seperti Irvin.
"Mas... Nanti pulang cepat lagi?" tanya Subi. Ia tidak menatapku. Karena tangannya sibuk membantuku mengelap piring dan mangkuk yang baru saja aku keluarkan dari mesin pencuci.
Aku hanya menatapnya sejenak, setelah meletakkan garpu, sendok dan pisau ke dalam tray khusus sendok basah. Untuk kemudian akan aku keringkan dengan serbet kering yang masih bersih.
"Kenapa memangnya?" tanyaku. Kini kami berdiri berdampingan.
"Ya gak kenapa-napa Mas..." Subi menjawab.
"Kamu nanya gitu, kayak orang mau nganterin aku pulang aja" aku berujar sambil menyenggol lengannya dengan siku kiriku.
"Yah, masa mau langsung pulang Mas?"
"Emangnya mau kemana lagi?"
"Emangnya Mas Wahid enggak punya temen?" Subi malah balas bertanya.
Sejenak aku diam. Berlagak sedang berpikir serius. "Ada beberapa. Tapi mereka kerja semua" aku berujar sambil mengendikan daguku kearah depan. Dimana ada Kak Tiki, Kak Taka, dan Kak Zulfikar yang sedang sibuk menghibur beberapa pengunjung. Masih sambil bernyanyi dan membuatkan berbagai macam minuman gratis.
Sepintas aku mendengar Mamat berujar pada pengunjung kalau satu gelas yang diberikan adalah murni gratis. Tapi untuk request lagu, mereka harus memesan salah satu menu yang berada di dalam buku menu dihadapan mereka.
Itulah menariknya Mamat. Dia pandai sekali merayu pengunjung dengan cara halus. Disertai candaan ringan yang bisa diterima setiap orang. Meskipun orang-orang itu baru ia kenal. Kalau saja ini sebuah restoran besar, pasti Kak Tiki sudah memberikan jabatan PR padanya. Atau seorang Host, jika saja ini sebuah Club malam.
Mungkin karena itulah ia diterima disini. Kak Tiki melihat potensi yang Mamat sembunyikan dibalik wajah tampan dan sifat-sifatnya yang sering tak masuk di akal.
Bisa jadi karena ia saudara kembar Kak Taka.
Dari Kak Zulfikar, aku diberitahu kalau karakter Mamat sediki banyak memang seperti Kak Taka. Tampan. Mempunyai fisik sempurna. Terkadang terlihat koplak. Tapi selalu mampu membuat siapa pun akrab dan jatuh hati padanya saat awal berkenalan.
"Di depan rame ya Mas?" Subi bertanya lagi. Mata kami memang sesekali mengamati kearah depan. Tapi kedua tangan kami tetap melakukan aktifitas kerja.
"Iya. Bagus dong" aku menyahut sambil tersenyum kearahnya. "Oh iya. Gajian kemarin gimana? Jangan dihabisin buat beli jajan loh ya"
"Enggak dong Mas. Lagian Kak Tiki bukain rekening buatku Mas. Katanya gajiku cuma boleh diambil buat keperluan bensin, jajan di sekolah, dan ngasih sedikit ke ortu. Dalam bentuk hadiah juga boleh"
"Hmm? Kenapa gitu? Oh! Karena kamu mau beli hape baru itu kan?"
Subi mengangguk. "Betul. Kak Tiki bikin target. Katanya sebelum aku Ujian Nasional, aku sudah bisa beli hape baru"
"Trus nanti kalau sudah lulus, kamu mau lanjut kuliah atau kerja?" aku sekedar bertanya saja. Berbasa-basi. Karena buatku, Subi ini memang tipe orang yang enak diajak berbicara.
"Hmmmm... Maunya ya keduanya Mas" Subi menjawab dengan ekspresi wajah yang serius.
Kusentuh dahinya. Dan memisahkan alisnya yang bertautan itu. "Jangan sering-sering mikir serius. Nanti cepet keriput" candaku. Subi merespon dengan tawa renyahnya.
Tak lama, datang Lingga. Ia memberikan beberapa gelas kotor yang ia letakkan di wash basin. Kemudian menyumpal lubang pembuangannya. Dan menyalakan air. Tanpa harus kuberikan instruksi, Lingga melakukan pekerjaannya dengan baik dan benar.
Aku membuka pintu kulkas. Kemudian mengambil gelas plastik yang bagian atasnya sudah ku wrap dengan plastik. Kuberikan tiga buah sedotan setelah membuka dan membuang plastik penutupnya.
"Apa tuh Mas?" Subi penasaran. Sementara Lingga langsung mendekat.
"Vanilla Milkshake! Mau?" jawabku.
Tanpa perlu di komando untuk kedua kali, mulut kami bertiga stand by di sedotan yang sudah kusediakan. Bertiga kami berlomba menyedot milkshake di dalam gelas plastik yang sedari tadi kupegang. Bibir kami sedikit tersungging sambil terus berlomba-lomba menghabiskan isi gelas, hingga hanya menyisakan suara seruputan panjang dan bersahutan.
"Aaahhh!!! Segerrr!!!" Lingga memejamkan kedua matanya. Memberikan ekspresi lugu nan lucu. Seperti bocah kecil saja. "Makasih Masss...!!!" Lingga lantas memeluk dan menepuk punggungku tiga kali, lalu ia berjalan keluar. Kembali ke depan. Meninggalkan pekerjaan tambahan untukku dan Subi.
"Adekmu itu, Bi... Bener-bener deh!" kataku sambil geleng-geleng kepala. Kulempar gelas plastik di tanganku kearah tong sampah di sudut ruangan.
"Adek dari planet mana? Aku ora sudhi!" Subi menyahut. Menirukan logat dan gaya bicara Irvin yang medhok, ketika dia sedang kesal dengan sesuatu.
Aku tertawa mendengar Subi yang berlagak memedhokan suaranya itu. Terdengar kaku. Tapi lucu, ditelingaku. Lantas aku mencubit bagian depan celananya. Dan tanpa sengaja, tanganku malah mencubit bagian depan selangkangannya.
Subi melotot dan terkesiap. Begitupun aku.
Tapi Subi lalu gantian meraih pantatku. Dan meremasnya hingga membuatku terlonjak dalam posisi berjinjit.
"Semprul!" aku balas meremas bagian depan selangkangannya lagi. Kali ini meremas ya. Bukan mencubit seperti tadi.
"Eitz! Jangan di remes dong Mas! Nanti kalo bangun gimana?"
"Ya tinggal aku sedot. Mumpung ada banyak sedotan tuh" balasku menunjuk kearah plastik sedotan khusus karyawan.
"Waduh! Kekecilan Mas. Pake selang dong!"
"Enakan langsung" aku mengedipkan mata kananku dan menyikut rusuknya.
Subi kembali meremas pantatku. "Abis disedot, masukin sini ya Mas?!" bisiknya sambil balas mengedipkan matanya padaku, kemudian Subi melangkah pergi. Ia menyusul Lingga ke depan. Karena disana sudah mulai ramai pembeli. Mungkin Banjar yang tadi melakukan Upacara Adat sudah membuka jalan, pikirku.
Setelah membersihkan isi gelas kotor dengan cara merendamnya ke dalam air hangat di wash basin, aku menatanya di rak mesin pencuci. Setelah menutup dan memutar timernya, aku langsung tertegun mengingat kalimat Subi barusan.
Saat aku memutar kepalaku kearah depan, dan menatap Subi, rupanya ia sedang berdiri. Menyangga dagunya dengan satu tangan. Sambil menatap kearahku.
Dan ketika mata kami bertemu pandang, Subi mengedipkan mata kirinya. Membuatku melongo keheranan. Dasar Subi! Memang jahil sekali! Dilain pihak, aku merasakan desir aneh di dalam dadaku.
Tapi ahhh... tak kupedulikan!!! Aku pun kembali melakukan aktifitas kerjaku. Sambil melirik ke arah jam dinding.
Masih dua jam lagi aku akan pulang, batinku. Memang, sejak seminggu ini, setelah aku sembuh dari sakitku. Kak Tiki menyuruhku masuk shift middle sama seperti dirinya. Tetapi, sementara Kak Tiki pulang sampai Warung tutup, aku akan pulang lebih awal. Jam pulangku bersamaan dengan shift pagi.
Kak Tiki beralasan karena aku masih dalam masa penyembuhan. Dan jam kerjaku saat ini hanya akan berlaku selama dua minggu saja. Seperti permintaanku. Karena awalnya Kak Tiki memintaku melakukan itu sampai satu bulan lamanya. Tapi karena aku tetap kukuh pada pendirianku, aku akan melakukannya selama dua minggu saja. Terserah Kak Tiki mau bilang apa nantinya.
Aku tidak mau disebut tak tau diri. Karena kemarin aku sudah satu minggu ijin sakit. Belum lagi, Kak Tiki juga selalu menjaga dan merawatku dari siang hingga sore hari. Karena pagi harinya Ibu yang merawatku. Sedangkan Bli Akhza, selama seminggu itu, meminta kebijakan atasannya. Dan juga meminta pada teman-teman kerjanya untuk bertukar shift. Sebagai gantinya, Bli Akhza bilang, ia terpaksa tidak boleh mengambil libur selama dua minggu selanjutnya.
Yah... Mau bagaimana lagi? Setiap perusahaan selalu punya kebijakan masing-masing kan? Hal itu masih lebih baik, ketimbang Bli Akhza mendapat SP.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
"Mau langsung pulang Mas?" Subi bertanya padaku ketika kami berpapasan di tempat parkir motor. Lokasi parkir motor karyawan berada di belakang Warung. Dan hanya ada aku, Subi dan Lingga disini.
"Memangnya mau kemana lagi?" aku balas bertanya sambil memanaskan mesin motorku. Subi melakukan hal yang sama. Sementara Lingga, dia masih sibuk memakai jaket dan berdiri disebelahku.
"Main yuk Mas. Mumpung masih sore" ajak Lingga.
"Kemana?" tanyaku lagi. "Aku enggak pernah kemana-mana lho. Soalnya aku selalu keluar rumah kalau sedang ada keperluan aja"
"Memangnya biasanya di rumah aja Mas?" kali ini Subi yang bertanya. Aku hanya mengangguk setelah mengenakan helm.
Lingga lalu duduk di belakangku. "Main ke rumah Subi yuk Mas. Subi punya banyak koleksi film loh. Bokep juga banyak" Lingga berpromosi.
"Hus! Ketauan ya! Sering liat gituan"
"Yah Mas... Aku kan udah gede. Ya kan Bi?" Lingga meminta persetujuan Subi yang kini mengikuti motorku dari belakang. Kami sudah bersiap-siap meluncur ke jalan raya.
Menit selanjutnya, aku mengikuti ajakan mereka. Tak enak hati rasanya kalau menolak ajakan mereka. Lagi pula, kalau sudah sampai di rumah, paling-paling aku cuma tiduran di kasur sambil membaca novel atau buku-buku lama yang berada di rak meja bacaku itu. Sesekali aku juga ingin melihat film seperti yang Lingga promosikan padaku tadi.
Selama perjalanan, aku mengemudikan motorku mengikuti Subi. Kalau ia hilang dari pandanganku, ada Lingga yang membantuku menunjukkan arah. Misalnya saat di persimpangan lampu lalu lintas di jalan Nakula - Sunset Road - Dewi Sri. Aku kalah gesit, dan terpaksa menunggu lampu merah berubah menjadi hijau.
Kalau mengamati rute jalan menuju rumah Subi, aku jadi mengingat saat ia mengantarku pulang. Jaraknya sangat jauh. Sementara rumahku melewati jalur menuju kawasan Kerobokan sana, jalur ke rumah Subi melewati kawasan Gelogor Carik. Semoga saja malam itu Subi tidak kehabisan bensin di pertengahan jalan yang sepi di area Marlboro.
Sesampainya di rumah Subi, aku diminta memarkirkan motorku di dalam halaman rumahnya. Lingga lantas menutup pagar dan menguncinya. Ia juga mengingatkanku agar mengunci stang sepeda motorku.
"Orang tua kamu kemana Bi?" tanyaku saat mendapati tak ada siapapun di dalam rumah.
"Kerja Mas" Lingga yang menjawab. Sementara Subi tersenyum dan berjalan di depanku. Aku dan Lingga mengikutinya menaiki anak tangga. Menuju ke lantai atas.
Saat kukira kami akan memasuki kamar di lorong paling ujung, rupanya Lingga mengajakku ke arah tangga kecil di balik sebuah pintu yang ia buka. Sepertinya ia sering kemari. Sampai hapal pintu masuk rahasia yang ternyata menuju ke sebuah loteng.
Lingga menyilahkanku untuk duduk diatas permadani besar yang memiliki banyak bantal-bantal besar. Untung saja aku sudah melepas kaus kakiku di pintu masuk tadi. Dan untungnya juga, kakiku sedang tidak bau. Hahahaha! Karena ruangan loteng ini sangat bersih dan tertata rapi.
Dihadapanku ada sebuah televisi LED yang berukuran sekitar 21 inchi. Aku sempat berpikir bagaimana Subi meletakkannya kemari. Belum lagi, loteng rumahnya ini pun jauh dari kata pengap atau pun lembab. Kemungkinan karena adanya jendela besar dan AC. Tidak mewah. Tapi sangat nyaman. Aku jadi teringat beberapa cerita dari novel yang pernah kubaca, yang menggambarkan betapa menyeramkannya sebuah loteng rumah. Sementara loteng ini jauh dari kesan angker. Mungkin karena dinding dan langit-langitnya yang tak terlalu tinggi di cat dengan warna putih.
Sementara itu, Lingga stand by di pintu masuk loteng. Katanya ia menunggu Subi yang sepertinya sedang mengambil camilan dan air minum dari dapur. Karena lama, Lingga lantas menyalakan tv dan DVD player di seberangku. Sementara aku sudah duduk bersandar di bantal besar sambil meluruskan kedua kakiku.
Lingga nampak terburu-buru memasukan kepingan DVD karena mendengar panggilan Subi.
Aku berusaha bersikap sebiasa mungkin saat melihat tayangan di dalam tv. Lingga ternyata memainkan film bokep!! Dan kenapa harus film Manuel Ferrara yang sekarang sedang ditayangkan?
Dia memang bukan pemain bokep gay. Melainkan aktor untuk bokep normal. Tapi permainannya itu selalu membuatku panas dingin. Terlebih, style Bli Akhza setiap menggoyangku memang sejantan Manuel Ferrara.
Sudah pasti ukuran senapan keduanya berbeda jauh. Masih lebih tebal dan panjang milik Manuel, tapi ya begitulah. Bli Akhza selalu memperlakukanku seperti Manuel menggoyang aktris yang dikerjai senapan miliknya itu dengan liar dan jantan. Meskipun tak setebal dan sepanjang milik Manuel, Bli Akhza selalu berhasil membuatku megap-megap kehabisan nafas akibat gerakan pinggulnya yang cepat layaknya jarum mesin jahit.
"Diminum dulu Mas... Sampe segitunya..." Subi terkekeh sambil menggodaku. Ia mengulurkan gelas berisi es sirup. Saat ku seruput, ternyata es coco pandan.
"Suka Mas?" Lingga bertanya. Kini aku duduk diantara Subi dan Lingga. "Wow! Liat tuh Bi! Lobangnya sampe longgar gitu!"
"Gimana gak longgar, dimasukin kontol kuda gitu" Subi menyahut. Aku nyengir saja mendengar ucapan vulgar Subi. Tak kusangka dibalik wajah kalemnya, dia bisa berucap vulgar selancar itu.
Saat menoleh kearah Lingga, ternyata dia hanya mengenakan celana pendek sepak bola dan bertelanjang dada. Aku baru kali ini melihat bentuk tubuhnya yang ternyata tak sekurus perkiraanku. Buktinya meskipun tak gempal, tubuhnya ramping dan kencang.
Aku sempat melirik bulu halus yang tumbuh diarea pusarnya. Memanjang ke bawah. Dan membuatku jadi mengkhayalkan semak belukar di balik celananya itu. Ditambah lagi, bulu kakinya lumayan lebat. Bahkan bulu di pahanya pun juga lumayan lebat.
Ah! Aku terbawa suasana!
"Enggak panas Mas?" tanya Subi.
Aku menggeleng. "Kan ada AC" jawabku tersenyum simpul. "Jangan liat bokep dong. Ganti film lain aja"
"Maen PS aja Bi!" Lingga beranjak menuju ke depan TV dan menungging kearahku. "Mas Wahid bisa maen PS?" Lingga menoleh.
"Kalian main aja. Aku gak bisa. Cuma bisa liat aja" jawabku.
"Aku ajarin deh" Lingga kini merubah posisinya. Kali ini ia berjongkok.
"Minum Mas?" Subi menyodorkan gelas berisi es sirup.
Selang beberapa menit kemudian, aku hanya sibuk menyaksikan Subi dan Lingga yang asik bermain PS. Aku sama seperti Kak Tiki. Tidak terlalu suka bermain game. Ada kesamaan dalam hal hobi diantara kami. Yaitu, kami suka sekali membaca novel. Saat aku ulang tahun dan Bli Akhza memberiku hadiah arloji, Kak Tiki memberiku sebuah novel. Aku lupa siapa penulisnya, karena aku belum ada waktu untuk membacanya hingga kini. Kak Tiki cuma bilang kalau ceritanya bagus. Tapi aku agak ngeri, karena ia memberiku novel bergenre thriller.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE @prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars @Togomo
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset @Bun @sujofin @centraltio
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh @Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90
@ando_ibram @handikautama @babayz @seventama @Gaebara
×××°•••°°•••°×××
Saat kubuka mataku, aku tak mendengar segala kerusuhan yang disebabkan duo super ribut --Lingga dan Subi saat bermain game. Rupanya aku ketiduran. Aku bahkan tidak melihat adanya Lingga disini. Hanya ada aku dan Subi. Dia juga sedang tertidur di sampingku. Tangannya melingkar di atas perutku.
Kucoba menyingkirkan tangan milik Subi. Tapi dia malah memelukku semakin erat. Bahkan, aku bisa merasakan hangat nafasnya berhembus di salah satu area sensitif milikku, yaitu di bagian leher. Rasanya seluruh bulu halus di sekujur tubuhku meremang. Efek lain yang kurasakan adalah detak jantung di dalam dadaku semakin berdebar kencang.
Harus kuakui, Subi memang manis. Apalagi kalau dia tersenyum. Senyumnya itu sangat mahal. Makanya Kak Tiki selalu menempatkan Subi untuk menemaniku di bagian belakang. Lebih banyak bertugas mencuci piring kotor dan membersihkan meja yang berantakan. Dan ini pertama kalinya aku melihat wajahnya terlihat lebih manis, meskipun ia tidak sedang tersenyum.
"Mmhhhh...." Subi menggeliat pelan dan mempererat pelukannya saat aku kembali mencoba membebaskan diriku. Membuatku menjadi semakin salah tingkah. Dan membuat debaran jantungku semakin tak karuan iramanya.
Posisi kami saat ini seperti sedang sengaja tidur dalam posisi berpelukan. Terlebih karena wajah Subi yang terbenam di leherku. Meskipun ia tidak sedang mengecupku, bisa kurasakan bibirnya menyentuh permukaan kulitku.
Oh tidak! Kalau begini caranya...
Akh!! Terlambat! Aku bisa merasakan daging di selangkanganku mengeras!!
"Bi... Subi... Bangun Bi..." Aku memanggilnya lirih. Sambil mengguncangkan tubuhnya perlahan dengan tangan kiriku.
Perlahan kepala Subi menjauh. Matanya terbuka sedikit. Menatapku dengan pandangan sayu. Sayu karena ia bangun tidur. Tapi entah kenapa, ia terlihat....
Akh!! Enggak!! Jangan aneh-aneh Hid!, aku membatin.
"Mas... Kebangun?" Subi bertanya dengan suara agak parau. Aku hanya mengangguk cepat.
Ya ampun Subi, kenapa kamu kelihatan seksi sekali!?!
"Mas nginep aja ya... Soalnya aku sendirian..." Subi kembali memelukku. Dan membenamkan wajahnya di leherku lagi.
"Orang tuamu gak pulang?" tanyaku. Subi menggeleng pelan. Membuat rambut lebatnya itu bergesekan dengan permukaan kulit di leherku. "Lingga sudah pulang?" tanyaku lagi.
"He-eh... Tadi dia pulang pake ojek..." Subi menjawab.
"Oke deh... Aku nginep. Tapi... Aku boleh ganti baju dulu?" pintaku.
Subi melepaskan pelukannya. Ia lalu duduk di sampingku. Tangannya bergerak melepaskan kancing kemejaku. Ia menggantungnya di gantungan yang terletak di tembok diatas kepalaku. Ia bahkan juga melepaskan kaus yang dipakainya. Menyisakan celana pendeknya saja. Dan bodohnya, aku hanya terdiam ketika tangan Subi melepaskan ikat pinggang dan menarik turun celanaku.
Subi hanya tersenyum memandangi celana dalamku.
"Sexy... Mulusss..."
Aku yakin wajahku memanas mendengar ucapannya yang disertai belaian lembut di area pantatku yang terbuka.
Ah! Aku lupa! Aku sedang mengenakan celana dalam jock strap pemberian Bli Akhza!
Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, aku hanya terdiam ketika Subi ikut melepaskan celana pendeknya itu. Menyisakan celana dalam saja. Tangannya meraih selimut yang terlipat di dekat bantal yang kupakai. Ia menutup tubuhku dengan selimut itu. Tak lama ia ikut menyusup masuk.
"Deg-degan Mas?" tanya Subi lagi.
Tentu saja! Karena ia kembali memelukku. Dan kulitnya yang terasa halus itu bergesekan dengan permukaan kulit milikku. Apalagi saat kakinya yang berbulu lebat itu melingkar di kakiku. Pahanya bahkan diletakkan diatas selangkanganku.
"Hmmm... Ngaceng Mas?"
Belum juga aku memberikan respon, tangannya sudah mendarat di...
"Bii.... Sshhh..." Tanpa sadar mulutku berdesis.
Pada akhirnya aku tidak bisa tidur sampai pagi menjelang. Semalam aku tidak bisa tidur dengan penis tegak semalam suntuk. Plus!! Subi yang langsung pulas tertidur sambil memelukku dengan keadaan.... seperti itu!!
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Aku masih ngantuk. Gara-gara Subi! Untung saja sekarang hari Minggu. Jadi aku bisa minta ijin Kak Tiki untuk datang agak siang. Subi dapat shift pagi hari ini. Aku ada sedikit alasan untuk menghindar darinya. Karena aku tidak habis pikir dengan kelakuannya semalam. Terlebih, sikap Subi biasa-biasa saja pagi harinya. Komplit dengan tampang tak berdosanya itu.
Aku beruntung bisa sampai di rumah dengan selamat. Padahal rasa kantuk ini teramat menyiksa selama perjalanan menuju rumah.
Sampai di rumah, aku baru sempat melihat handphone-ku. Banyak sekali Miss Call dari Bli Akhza. Lengkap dengan puluhan SMS menanyakanku. Belum lagi sambutan Ibu yang... Duh! Ini pertama kalinya aku melihat Ibu marah padaku.
Tapi aku sudah tak kuat menahan rasa kantuk ini. Aku tertidur di karpet yang berada di ruang tv di rumah Ibu.
Saat terbangun, sekitar jam dua belas siang, aku langsung menuju kamarku. Mandi. Dan segera berangkat kerja. Aku sempat berpapasan dengan Ibu. Sekitar sepuluh menitan aku mendengar omelan Ibu tanpa aku berani membantah. Aku tau, aku yang salah.
Aku masih agak ngantuk. Tapi sudah lebih segar dari pada tadi pagi. Subi menyapaku sambil tersenyum. Tapi kami tak banyak bicara. Aku sedang tidak ingin. Dan hal ini membuat Subi terlihat cemas.
Subi menemaniku di sisa jam kerjanya. Tapi kami hanya terdiam. Saat dia pulang, Subi sempat pamitan padaku. Aku hanya terdiam, tapi berusaha memberikan senyum padanya.
"Subi bilang, elu nginep di rumah dia" kata Kak Zulfikar setelah melihat kepergian Subi dan Lingga. "Emak lu semalem sampe nelpon Bang Kiki tuh" ujarnya lagi. 'Bang Kiki' itu panggilan Kak Zulfikar pada Kak Tiki. Dia bilang, karena dia harus sopan pada 'Kakak Iparnya'.
"Waduh... Aku jadi gak enak sama Kak Tiki" aku menyahut.
"Belum lagi... Kakak lu. Siapa namanya? Sorry gue lupa"
"Bli Akhza" jawabku.
"Iye. Si Akhza. Dia semalem dateng ke rumah ama Emak lu. Kita sempet keliling nyariin elu. Untung aja Bang Kiki punya alamat Lingga. Dia yang ngasih tau kita semua, kalo elu katanya ketiduran di rumah Subi"
Penjelasan Kak Zulfikar sama persis dengan omelan Ibu tadi siang.
"Hid... Jangan bilang kalo elu... Lagi pedekate ama Subi" ujarnya lirih. Sepertinya dia sadar akan situasi dan kondisi kami sekarang. Karena ada Irvin dan Matthew di depan.
Ucapan Kak Zulfikar membuatku tergelak. "Ya ampun Kak... Enggak kok. Beneran!"
"Jangan bilang elu masih nyimpen perasaan lu ke..." Kak Zulfikar menunjuk Kak Tiki dengan isyarat kepala dan matanya. Kemudian ia merangkul pundakku. "Lebih baik nyerah aja. Jangan bikin capek hati lu sendiri. Sorry. Gue cuma kasih saran. Karena gue tau banget, bagaimana nyeseknya" tangannya menepuk dadaku.
"Oh ya? Kok bisa tau?" Tanyaku.
Kak Zulfikar menyeretku keluar dari dapur. Sekarang kami ada di belakang. Berdiri dekat parkiran motor di belakang Warung. "Gue juga pernah... Mungkin masih... Suka ama Bang Kiki. Tapi gue sadar. Sekeras apapun perjuangan gue, dia gak akan ngerasain hal yang sama"
Aku tak bisa menyembunyikan rasa terkejutku. Sumpah!! Ini pertama kalinya aku tau!
"Gue tau, elu pasti bakalan kaget" Kak Zulfikar menepuk-nepuk kepalaku, sambil manggut-manggut. "Sekarang gue udah nyerah. Lagian gue udah punya Taka. Dan gue yakin, bakalan ada seseorang yang jauh lebih baik. Jauh lebih peka. Jauuuuhhhh lebih sayang ke elu"
"Sebenarnya sudah ada Kak..."
"Siapa? Subi?"
Aku menggeleng keras. "Bukan! Sumpah bukan dia"
"Trus?"
"Tapi kakak janji ya... Jangan bilang siapa-siapa... Aku mohon dengan sangat" pintaku, sambil menoleh melihat situasi di sekitar kami. Aku tidak mau ada orang lain yang mengetahui hal ini. Paling tidak untuk saat ini.
"Oke. Gue janji" Kak Zulfikar mengacungkan dua jarinya berbentuk huruf V. Seolah paham, dia juga sempat melihat situasi di dapur. "Aman. Lanjut! Siapa orangnya?"
"Anu... Orang itu... Bli Akhza. Kakak tiriku itu. Kami sudah jalan, sekitar satu tahun"
Kak Zulfikar tidak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Dengan mulut ternganga lebar. Mata terbelalak. Dan kedua tangan memegangi kepalanya. Ia hanya terpaku seperti itu selama beberapa menit.
"Demi apapun itu... Gue... Gue... Kenapa terlalu banyak gay incest di sekeliling gue?!"
Kak Zulfikar menjambak rambutnya sendiri. Ia terlihat sangat gemas. Gemas seolah ingin membenturkan kepalanya di tembok. Itu sempat ia lakukan. Tapi aku langsung menjauhkan Kak Zulfikar dari tembok atau apapun. Pada akhirnya Kak Zulfikar menggosok-gosok wajah tampannya itu dengan kedua telapak tangannya.
"Apa maksud Kak Zulfikar, dengan terlalu banyak gay incest?" Tanyaku heran.
Kak Zulfikar lalu menjelaskan, kalau Kak Tiki itu sebenarnya masih bersaudara dengan Bang Zaki. Meskipun tidak ada ikatan darah.
Secara singkat, ia membuat rincian tentang hubungan kedua orang itu. Tentang Bang Zaki yang menjalin hubungan dengan mendiang Kakak tiri Kak Tiki. Namanya Toya. Aku seperti pernah mendengar nama itu entah dari siapa.
Dan Kak Zulfikar menjelaskan kalau Toya itu adalah yang membuat Warung ini pertama kali dibuat bersama dengan Bli Syaka.
Ah iya! Aku pernah mendengar nama Toya dari Bli Syaka! Dia dulu pernah cerita, kalau dia punya Kakak angkat yang sangat ia sayangi. Mereka membuka usaha bersama, yaitu Warung makan ini. Tapi Toya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.
Kemudian aku kembali fokus pada Kak Zulfikar. Ia membiarkanku diam untuk berpikir sejenak.
Jadi, Kak Tiki adalah saudara satu Ibu dengan almarhum Kak Toya. Sedangkan Bang Zaki, adalah saudara satu Ayah dengan almarhum Kak Toya.
Kak Zulfikar sampai membuat kesimpulan, kalau kepergian almarhum Kak Toya, menjadi awal mula. Dan menjembatani hubungan Kak Tiki dengan Bang Zaki yang sekarang mereka jalin.
"Tapi mereka tetap enggak ada ikatan darah sedikit pun dong, Kak" kataku akhirnya. "Sedangkan aku, dengan Bli Akhza. Kami saudara satu Ibu" aku melanjutkan sambil mengacungkan jari telunjukku. "Sebenarnya..."
Aku menjelaskan awal mula hubunganku dengan Bli Akhza pada Kak Zulfikar. Aku sempat menyinggung hubungan buruk mendiang Bapakku dengan Ayah Bli Akhza, yang berakhir dengan lumayan tragis. Yaitu aku lahir, tanpa sempat mengetahui seperti apa Bapakku.
Yang terjadi kemudian, sangat diluar dugaanku. Kak Zulfikar meneteskan air matanya. Kemudian memelukku erat.
"Itu sedikit mirip dengan situasi di keluarga gue. Tapi elu masih lebih beruntung Hid" ujarnya sambil terisak pelan.
Aku sempat membalas pelukannya. Meskipun aku tidak paham dengan maksud ucapannya, aku jadi sedikit menduga. Kalau Kak Zulfikar juga mempunyai jalan cerita yang sama sepertiku di hidupnya. Tapi aku tidak berani bertanya.
Setelah memelukku, Kak Zulfikar masuk ke dalam. Aku mengikutinya. Dan melihatnya mencuci mukanya di wash basin. Tentunya dengan air yang mengucur dari keran. Bukan air yang dipakai untuk merendam peralatan makan yang kotor.
"Ya udah. Sekarang kita kerja dulu. Kalo elu ada masalah, jangan sungkan bilang ke gue. Rahasia lu aman. Kalo elu pengen hal tadi jadi rahasia diantara kita aja" Kak Zulfikar berujar setelah mengeringkan wajahnya menggunakan tissue yang ku ambilkan dari rak di dekat meja kasir.
Sebenarnya memang masih ada hal lain yang ingin kuceritakan. Yaitu mengenai Bli Akhza, yang aku curigai membohongiku. Dan menanggapi ucapan Kak Zulfikar tadi, aku merasa mendapat lampu hijau. Akhirnya, ada juga yang peduli padaku. Mungkin karena baru kali ini aku mengetahui, kalau kami sama-sama pernah memiliki rasa yang sama pada Kak Tiki. Dan sama-sama mengalami nasib yang sama. Yaitu ditolak!
"Hid... Awakmu nanti njemput Mas-mu gak?" Irvin mendadak bertanya padaku saat aku ikutan nimbrung duduk di sampingnya. Ada Matthew juga yang sedang duduk bersamanya.
"Hmmmm... Kayaknya enggak Vin. Opo'o?"
"Nanti aku gak bisa nebeng Mamat. Soale de'e onok janji karo wedhok'ane" jawab Irvin yang di sahuti dengan ekspresi Matthew yang memainkan kedua alisnya naik turun.
"Oh. Kamu udah punya cewek tho Mat?" tanyaku pada Matthew.
"Ya gitu deh..." Matthew menyahut.
"Tenang ae. Kosanku saiki wes gak nang Denpasar maneh kok Hid" Irvin menjelaskan. "Tapi yo pancet waduoohh nek mlaku"
"Emange kosanmu seng saiki onok nang ndi?" tanyaku penasaran.
"Aku kos nang mburine Sky Garden. Palingan sasi ngarep aku nggolek seng cedhak kene" Irvin menjawab.
"Sorry ya Vin. Tau gini tadi aku enggak ngajak berangkat bareng" Matthew berujar pada Irvin.
"Yoi. Ora popo, Bro!" Irvin menyahut. "Lagian kalo gak dijemput, tadi aku pasti telat" Irvin lalu menoleh kearahku. "Ban sepedaku bocor Hid. Onok tonggo kosanku seng mbokneancuk'i. Mosok ban sepedaku di suwek! Mbokneancuk'i kok ancene asu sithok kuwi!" ujarnya geram.
"Trus wes mbok gowo nang bengkel, a?" tanyaku.
"Durung lah. Duwekku sek cekak" bisiknya.
"Tak silihi sek tha?" Aku menawarkan diri untuk memijamkan uang padanya. Tapi Irvin menolaknya halus. "Kasbon sek kono. Ndang ngomongo karo Kak Tiki"
"Gak wes Hid. Sungkan aku. Lagian nek kalian gak iso, palingan sesuk aku budhal luwih awal lah. Mesisan olah raga"
"Nggedekno kentol?" candaku sambil menepuk kakinya. Kami berdua lalu tertawa. Sementara Matthew menatap kami dengan pandangan tak paham.
"Kentol itu artinya betis!" Irvin menjelaskan pada Matthew.
"Ooohhh... Aku kira..."
"Kalo yang itu bisa di gedein dengan jalan kaki, pasti semua orang punya barang segede drum!" Celetuk Irvin yang disambut tawaku dan Matthew berbarengan.
Kasihan juga kalau mendengar penjelasan Irvin tadi. Kok bisa ada orang sejahil dan sejahat itu pada Irvin? Padahal cuma dengan sepedanya itu saja Irvin bisa berangkat pulang pergi kerja. Tapi memang sejak beberapa hari ini, aku melihatnya berangkat di antar jemput Matthew.
Aku memang sedikit tau, kalau Irvin itu tipe orang yang mudah meledak emosinya. Mudah meledak, tapi juga mudah lupa juga kenapa dia bisa marah. Hal ini sering membuatku garuk-garuk kepala saat awal-awal menyadarinya.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
"Masuk Hid... Sepurone yo. Gak akeh perabotane..." Irvin menyilahkanku masuk ke dalam kamar kosannya. Dia tadi sedikit memaksaku saat aku mengantarnya ke kosannya.
"Astaghfirullah... Perabotan gak akeh, tapi iso berantakan koyok ngene ki Vin?"
"Cuk! Jenenge ae kamar wong lanang"
"Aku yo lanang Vin. Tapi kamarku gak koyok kapal pecah ngene! Awakmu korban Bu Susi tha?!"
"Koplak kon Hid! Hahahaha!"
Mungkin karena aku terbiasa bersih-bersih dan kamarku pun biasa rapi, aku tak tahan melihat pakaian Irvin yang berantakan di kasur dan lantai. Kamarnya tidak begitu besar. Jadi kalau ada barang yang tidak pada tempatnya seperti ini, memang terlihat sangat acak-acakan.
Aku langsung meraih sapu yang tergeletak di depan kamar kos Irvin. Lalu melempar Irvin keluar kamar. Kubuka tirai dan jendela kamarnya agar ada pergantian udara.
"Menengo nang kono! Ojo protes!" Aku menghardik dan menyuruhnya berdiri di depan kamar. Sementara aku menyibukkan diriku meraih semua pakaian yang berserakan di lantai dan di kasurnya yang tanpa dipan itu. Kemudian saat melihat pakaian yang tergantung di belakang pintu kamarnya, aku bertanya pada Irvin, mana saja yang sudah ia pakai lebih dari sehari.
Kuambil dompet di dalam jaketku. Ku keluarkan selembar uang lima puluh ribuan. Lalu ku ulurkan pada Irvin. "Tukuo es! Minggato dhisek!" Aku berseru pada Irvin. Kuminta ia pergi untuk membelikanku es. Paling tidak, ia tidak akan menggangguku selama aku membereskan kamarnya.
Selang lima belas menit kemudian, saat Irvin sudah kembali membelikanku es, ia sempat celingukan di depan pintu kamarnya.
"Opo'o Vin?" tanyaku heran. Kuraih es teh yang ada di bungkus plastik dari tangan Irvin.
"Masyaallah! Aku gak salah kamar tha iki?"
"Opo'o? Kandang wedhusmu wes tak sulap jadi kamar layak pakai, ngono?"
"Hahahaha... Iyo... Matur thengkyu lho Hid. Sering-sering ae dholan mrene yo!" ia berujar sambil cengengesan, dan kutanggapi dengan cubitan di pinggangnya.
"Awakmu ngelaundri opo ngumbah dhewe, ndeng?"
"Ndeng?"
"Gendeng! Lha wong klambi kok iso morat marit macam TPA ngono!! Pisan kas aku dholan mrene sek awut-awutan, tak bhuwak kabeh klambimu ndeng!"
"Cuk! Jahate cacak Wahid iki rek!" ia berseru, masih sambil cengengesan.
Aku memalingkan wajah saat melihatnya melepas kemeja seragam dan celana jeans-nya di hadapanku tanpa sungkan. Aku bisa maklum. Karena kami sama-sama lelaki. Tapi beda perkara untukku yang pecinta sesama jenis ini. Walaupun Irvin tidak cakep-cakep amat, ternyata di balik bajunya itu, ia memiliki lekuk tubuh yang waow! Bahkan menyamai ke seksian Kak Tiki dan Kak Zulfikar yang aduhai kekarnya itu.
Yah... Harusnya aku memang bisa menyadari dari besar lengannya itu. Lelaki gay manapun pasti ingin sekali bergelayutan di lengannya yang sama besarnya seperti pahaku. Aku masih terlalu ramping. Tapi sudah tidak sekurus dulu.
"Hid Hid..."
Aku menoleh kearah Irvin. Dia hanya bertelanjang dada memakai celana kolor diatas lutut. Membuat kerongkonganku serasa tercekat mendapati pemandangan indah ini.
Mendadak Irvin menempelkan telunjuknya di depan bibirnya, kemudian mematikan lampu kamarnya. Ia lalu mengajakku menaiki meja kayu jati yang dia geser ke pojokan kamar. Ia bahkan meletakkan kursi plastik diatas meja itu. Dalam keremangan, aku mengikuti ajakannya.
Sayup-sayup, aku bisa mendengar suara rintihan. Dibarengi dengan suara erangan lelaki.
"Mau ngintip?!" Aku bertanya tak percaya pada Irvin. Aku melirihkan suaraku. Aku takut orang dari kamar sebelah mendengar kalau aku berseru dengan nada tinggi.
"Sssttt... Kapan lagi ngeliat siaran langsung tanpa siaran ulang? Hihihi...!!"
Dengan hati-hati, aku ikut naik ke kursi yang diletakkan di atas meja oleh si Irvin Gendeng. Sudah gendeng, tukang ngintip orang pula! Aku hanya bisa menghela nafas.
Rupanya ada sedikit celah dari langit-langit di dinding kamar Irvin. Memang, jarak langit-langitnya tidak tinggi. Bahkan bisa dibilang lumayan rendah. Sehingga kami bisa sama-sama mengintip kegiatan orang di kamar sebelah yang sedang asyik masyuk berdoggy style.
Aku bahkan bisa melihat dengan jelas kedua pantat yang menungging membelakangi kami. Permainan pasangan di kamar sebelah itu bisa dibilang sangat hot. Si lelaki menghentakan pinggulnya dengan keras dan cepat. Tak heran, si perempuan sampai tak kuat menahan rintihannya.
Tapi aku langsung turun dari kursi dan meja yang kupijak bersama Irvin, saat pasangan itu membalikkan badannya. Tanpa mencabut penisnya yang tertancap di lubang si perempuan, ia merebahkan badannya di kasur. Sementara si perempuan berada di atasnya dengan mengangkang dan memunggungi si lelaki. Aku bisa melihat dengan jelas wajah keduanya.
Sesaat aku kembali naik dan mengeluarkan handphone-ku. Aku merekam adegan persetubuhan dua orang itu tak sampai satu menit. Lalu kembali turun.
"Lah? Arep nang ndi Hid? Lagi seru nih!"
"Muleh Vin..." Jawabku sambil meraih dan mengenakan jaketku yang tergantung di belakang pintu kamar.
"Nek kowe gelem, kocok nang kene ae!" Irvin menyahut sambil cengengesan. Dia menggodaku. Tapi aku benar-benar sedang tidak bisa diajak bercanda saat ini.
"Gendeng kok ancene awakmu Vin!" Kujitak kepalanya ketika ia ikut turun dari kursi diatas meja itu.
"Opo'o kok awakmu kesusu Hid?" Irvin bertanya di belakangku.
Ia mengantarku sampai di depan Kos-nya. Sementara mataku sibuk memperhatikan ke arah parkiran motor. Aku menghela nafas panjang saat mataku melihat motor yang terparkir tak jauh dari aku berdiri.
"Aku arep ngumbah kelambiku Vin. Kumbahanku onok akeh" jawabku.
"Wah. Nitip po'o Hid"
"Yowes. Bawa sini semua baju kotormu. Tapi kamu ikut juga"
"Eehh... Guyon Hid! Aku bercanda aja kok. Suwer!"
"Kalo nolak, nanti nyesel lho..." kataku lagi. "Lumayan hemat tenaga. Kan ada mesin cuci di rumahku. Mesisan nggowo klambi resik yo. Gae salin sesuk"
"Aku nginep?" Irvin menghentikan langkahnya dan menoleh kearahku. Aku mengangguk. Lalu kupanaskan mesin motorku, sementara menunggu Irvin yang keluar dari kamar menghampiriku membawa tas ransel besar yang biasa dipakai para pendaki gunung.
"Kamar wes di kunci?" tanyaku.
"Uweslah Hid. Aku gendeng tapi gak stupid!" jawabnya.
"O-oh. Jadi awakmu ngakoni nek gendeng, ngono? Mending gendeng, timbange goblok yo Vin?"
"Cuukkk!! Jancuk!! Ancene pertanyaanmu menjebak kabeh, Hid!"
"Hahahaha!!" Aku tertawa sambil tancap gas. Membuat Irvin langsung mencengkram pinggangku dan berseru kaget. Katanya ia nyaris terpelanting. Tapi dia tidak marah. Malahan kami sama-sama tertawa sekarang ini.
Lebih baik tertawa seperti ini. Dari pada harus menangis melihat kenyataan menyakitkan seperti tadi.
Menyakitkan? Iya!
Pasangan yang sedang asik bersenggama di kamar sebelah tadi adalah Bli Akhza!! Aku tidak kenal dengan perempuan itu.
Jangankan perempuan itu, aku bahkan tidak mengenal satu pun teman Bli Akhza!!
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Ibu terkejut saat melihatku memindahkan barang-barang di kamarku satu persatu ke kamar di belakang rumah Ibu. Kamar yang sempat ku pakai untuk bersembunyi dulu itu.
"Malem-malem kok boyongan tho Le?"
"Mumpung sempet Bu. Lagian mumpung Wahid bawa prewangan"
"Prewangan?" Irvin menyahut sambil memasukkan pakaian kotornya ke dalam mesin cuci, setelah kemudian Ibu memberi tahukan cara memakai mesin cuci miliknya.
Mereka langsung akrab. Seolah mereka adalah teman lama yang baru berjumpa lagi setelah sekian tahun terpisah.
"Yo awakmu ndeng! Sopo maneh?" aku menimpali.
"Ancene gak onok seng gratis yo Hid?" Irvin berujar seraya membuntutiku.
"Nguyuh ae mbayar ndeng" aku menjawab.
Yang pertama kali kuangkut, tentu saja tumpukan pakaian milikku dari dalam lemari. Karena aku melakukannya secara mendadak, aku meletakkan semuanya di teras belakang rumah Ibu yang sudah dialasi dengan tikar oleh Ibu. Kemudian koleksi buku milikku. Tak lupa cermin besar pemberian Kak Tiki. Untuk koleksi sepatu, aku letakkan saja di rak sepatu yang menganggur dan kuletakan di teras kamar baruku.
Setelah itu aku membersihkan kamar. Usai menyapu, Irvin menawarkan diri untuk mengepel lantai kamar. Meskipun awalnya ragu, ternyata kalau dia memang serius, Irvin bisa juga melakukan tugas bersih-bersih dengan hasil yang bagus.
Kalau mengingat kamarnya yang berantakan tadi, aku menyimpulkan kalau dia sudah terlalu lelah untuk bersih-bersih. Karena sering kali dia memutuskan untuk ngelembur. Padahal Kak Tiki hanya memberikan maksimal 12 jam kerja saja pada mereka berempat setiap harinya. Kalau tidak masuk sehari, Kak Tiki tidak memotong gaji. Tapi tentunya mereka tidak akan mendapat uang. Karena mereka hanya di bayar per-jam. Bukan harian.
Tadi kami pulang kerja sekitar jam sembilan malam. Kemudian aku mampir di kosan Irvin tidak sampai satu jam. Setelah itu aku memindahkan barang-barang milikku. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua dini hari. Bahkan semua pakaian milik Irvin dan milikku pun sudah kering. Karena mesin cuci milik Ibu memang sudah ada pengeringnya. Tanpa aku harus repot menjemur.
Ibu punya banyak mesin cuci. Bukan karena ingin mengoleksi seri terbaru. Bukan pula karena Ibu punya usaha laundry. Mesin cuci ini rata-rata milik bekas penghuni lama di kosan Ibu. Dari cerita yang kudengar dari Ibu, kadang kala penghuni kosan yang dulu hanya akan pindah-pindah tugas. Kalau mereka kembali tinggal di Bali, Ibu akan memberikannya pada pemiliknya. Ibu sengaja memakai semua mesin cuci ini bergantian. Karena kata Ibu, kalau di biarkan menganggur malah akan rusak. Dan terus terang saja, ini ketiga kalinya aku memakai mesin cuci otomatis yang ada pengering supernya itu. Seingatku, itu dulu milik Bang Akbar. Dia memberikan pada Ibu jauh sebelum aku tinggal bersama Ibu lagi. Saat itu sepertinya waktu Bang Akbar memutuskan untuk pindah ke Australia.
"Wahid... Hapemu nyanyi terus itu lho"
Aku segera menghampiri Ibu yang berteriak dari rumah. "Kok Ibu belum bobok tho?" tanyaku heran.
"Ibu kebangun" jawab Ibu sambil melangkah menuju kamarnya.
"Gara-gara hape Wahid?" tanyaku. Tapi Ibu menggeleng. Lalu Ibu mengangkat botol berisi air dari tangannya.
Oh. Ibu pasti haus. Karena Ibu memang punya kebiasaan meletakkan sebotol air di kamarnya. Katanya kalau haus, Ibu tidak repot berjalan ke dapur.
"Ndang mandi Le. Ajak temenmu maem. Angetin aja makanan di meja makan di microwave"
Aku mengangguk dan mengacungkan kedua jempolku. Kemudian mengalihkan perhatianku ke handphone. Ada banyak panggilan tak terjawab dari Kak Tiki dan Kak Zulfikar.
Saat akan menelepon balik, ada SMS masuk dari Kak Tiki. Isinya memberi tahukan padaku kalau besok warung tutup. Karena besok Kak Tiki harus ke Jakarta bersama dengan Kak Zulfikar. Ada keperluan mendesak katanya. Aku hanya membalas dengan pertanyaan mengenai pemberi tahuan pada karyawan lainnya, dan ternyata untuk itulah dia menghubungiku. Aku di tugaskan untuk memberi info pada teman-teman yang lain.
"Capek Vin?" tanyaku saat memasuki kamar. Irvin langsung duduk karena dia sedang rebahan di kasur. "Makan yuk" ajakku.
Tanpa harus kutanya, aku bisa melihat lelah di raut wajah dan bahasa tubuh Irvin. Kemungkinan dia juga lapar. Tapi dia pasti sungkan untuk meminta.
"Awakmu gak papa nih malem-malem makan rendang?" tanyaku saat melihat isi panci. Kulihat wajahnya langsung sumringah. "Sek, tak nget dhisek yo... Dilut ae kok. Nek awakmu ngelak, jupuk ae ngombe nang njero kulkas" aku memberikan ijin padanya untuk mengambil minum sendiri dari dalam kulkas. "Ealah... Segone enthek. Tak masak dhisek yo Vin"
"Yoi... Santai ae Hid..." Irvin menyahut sambil menyeruput sirup yang dia buat sendiri.
Setelah selesai mencuci beras dan memasukkannya ke dalam Magicom dan selesai memanaskan sepanci rendang. Dan membuatkan dua porsi telur dadar sebagai lauk tambahan, aku berbicara sambil menunggu nasi matang. Tak lupa, aku memberitahu Irvin kalau besok Warung tutup.
Aku mengajaknya untuk ikut menunggu di Warung. Sekedar memberi tahukan Matthew yang akan datang di shift pagi, karena aku belum menyimpan nomer hapenya. Irvin juga sudah tidak punya handphone. Sebelum dia bekerja di Warung, dia terpaksa menjualnya untuk membayar kosan lamanya.
Setelah itu, aku memintanya menemaniku datang ke sekolah Lingga dan Subi. Tadi Kak Tiki sudah mengirim foto dari copy-an Kartu Pelajar keduanya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 2.30 dini hari. Aku menyilahkan Irvin untuk mengambil nasi dan lauk. Dan saat kami sedang asik makan, aku mendengar suara pagar yang di buka.
Saat melangkah ke jendela dan melirik keluar, ternyata dugaanku benar. Itu Bli Akhza yang baru pulang. Pulang dari kencan panasnya.
"Vin... Mari mangan, awakmu enteni aku nang njero kamar ae yo. Nek ngantuk, turuo dhisek rapopo kok" kataku. Irvin mengacungkan jempol kirinya. Karena mulutnya sedang sibuk mengunyah.
Setelah meletakkan piring yang baru kumakan beberapa suap nasi dan lauknya, aku berjalan cepat keluar rumah. Aku berpapasan dengan Bli Akhza di lorong samping yang menuju arah halaman belakang.
"Kenapa barang-barangmu enggak ada di kamar?" Bli Akhza langsung bertanya dan berjalan mengikutiku. Aku hanya terdiam dan terus melangkah menuju kamar di rumah kos yang beberapa waktu lalu sudah kutinggalkan.
Sesampainya di dalam kamar, Bli Akhza menutup dan mengunci pintu.
"Mulai sekarang, Bli Akhza menempati kamar ini aja. Sendiri. Wahid mulai sekarang pindah ke rumah Ibu di sebrang" kataku. Aku duduk di kursi sambil menggenggam handphone-ku.
"Alasannya??"
"Alasannya, karena mulai detik ini, hubungan di antara kita hanya sebatas adik dan kakak. Enggak lebih" jawabku.
"Apa maksudnya Hid? Kok mendadak bilang begitu? Bli ada salah ke Wahid?"
Aku tersenyum simpul. Kemudian kumainkan video rekaman di handphone-ku, dan kuarahkan padanya.
Bli Akhza hanya berdiri mematung melihat video di layar handphone-ku. Dan tanpa banyak bicara, aku berjalan melewatinya. Kubuka pintu yang terkunci perlahan. Saat aku berdiri di ambang pintu, aku tidak menoleh kebelakang. Tapi aku berhenti sejenak. Kuatur nafasku.
"Wahid dan Ibu... sejak awal akan selalu nerima kedatangan Bli Akhza di hidup kami lagi. Tapi cara Bli salah! Terima kasih Bli untuk kebersamaan kita selama setahun ini. Meskipun ternyata semuanya palsu"
Kutinggalkan Bli Akhza yang sepertinya masih berdiri mematung di dalam kamar. Dan saat kembali ke dapur, Irvin sudah tidak ada. Mungkin dia sudah masuk ke kamarku.
Aku duduk, dan kembali melanjutkan makan yang tertunda.
Seingatku rendang buatan Ibu rasanya nikmat. Bahkan tadi pun aku sempat merasakannya walaupun hanya beberapa suap. Tapi kenapa sekarang rasanya berubah pahit?
Oh. Mungkin karena tercampur dengan air mataku!
Meskipun pahit, aku tetap melanjutkan makanku. Biar kunikmati rasa pahit ini seorang diri. Biar hanya aku dan Tuhan yang tau, betapa nyeri dan sesaknya dadaku ini. Aku tak ingin berbagi. Cukup aku saja yang merasakannya sendiri.
Lebih baik begini.
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
Baiknya engkau mengerti
Kesungguhan hati ini
Yang mungkin telah engkau ingkari
Sejak pertama kali cinta
Hadir hanya untuk dirimu
Tak ada yang lain
Namun lihat yang kau lakukan
Aku bukan diriku lagi
Demi cinta ku relakan dirimu bersamanya
Walau hati kecilku yang terluka
Ku relakan dirimu bahagia
Jika nanti dirimu telah pahami arti cinta
Ingatlah diriku selalu ada
Menanti di ujung waktu
Baiknya engkau resapi
Apa yang telah terjadi
Ooh jangan sampai kau ulang kembali
Jangan kau sakiti dia oooh
Biar hanya diriku yang rasakan
Biar hatiku yang hancur
Sebab suatu saat nanti
Pasti kau sadari semua ini
Demi cinta ku relakan dirimu bersamanya
Walau seluruh jiwaku telah terluka, ku relakan dirimu bahagia oooh
Dan bila nanti dirimu telah pahami arti cinta
Ingatlah diriku selalu ada, menanti di ujung waktu
Oooh ku relakan dirimu bahagia
Dan bila nanti dirimu telah pahami arti cinta
Ingatlah diriku selalu ada, menanti di ujung waktu, menanti di ujung waktu
Baiknya engkau mengerti
[ Demi Cinta - Mike Mohede ]
•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•°•
iya tadi kepotong.
tapi udah aku ralat kok.
jadilah... update 2 chapter sekaligus
bisa jadi. bisa juga bukan. lihat aja nanti deh
enakan bisek atau biskota? *eehhh*
begitukah?
mungkin nanti selingkuh ama kamu aja kali ya? hohohohoho
pengennya tadi ngasih translate bahasa Indonesia nya gitu sih. tapi jadi males gara-gara insiden kepotong dikit tadi. jadi agak ribet ngedit selama beberapa menit deh.