It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
#Alan-Ethan
Tiki dimata Alan a.k.a Ethan waktu masih ngajarin dia caranya masak. Mungkin jiwa hemeh dia bangkit disini. #LoL
Hahaha ea om @tamagokill..
I do understand with that,dont need to explain it
I just miss the story
terima kasih banyak dan maaf banget sudah lama menunggu *hug&kiss*
Btw, kapan Syaka-nya dimunculin lagi?
lemon? lupa!
asli lupa! so sorry.
bisa bantu mengingatkan saya lebih rinci?
via PM aja
Nyanng ini tam,
tapi kan POV nya Tiki udah move on dari Zaki.
hmm... tapi bisa aku atur pake POV nya Zaki sih.
liat nanti ya. gw puter otak dulu
°•¤ Happy Reading Guys ¤•°
@Antistante @yuzz
@meong_meong @anohito
@jeanOo @privatebuset
@Gaebarajeunk @autoredoks
@adinu @4ndh0
@hakenunbradah @masdabudd
@zhedix @d_cetya
@DafiAditya @Dhivars
@kikyo @Tsu_no_YanYan
@Different @rudi_cutejeunk
@Beepe @dheeotherside
@faisalrayhan @yubdi
@ularuskasurius @Gabriel_Valiant
@Dio_Phoenix @rone
@adamy @babayz
@tialawliet @angelofgay
@nand4s1m4 @chandischbradah
@Ozy_Permana @Sicnus
@Dhivarsom @seno
@Adam08 @FendyAdjie_
@rezadrians @_newbie
@arieat @el_crush
@jerukbali @AhmadJegeg
@jony94 @iansunda
@AdhetPitt @gege_panda17
@raharja @yubdi
@Bintang96 @MikeAurellio
@the_rainbow @aicasukakonde
@Klanting801 @Venussalacca
@greenbubles @Sefares
@andre_patiatama @sky_borriello
@lian25 @hwankyung69om
@tjokro @exxe87bro
@egosantoso @agungrahmat
@mahardhyka @moemodd
@ethandio @zeamays
@tjokro @mamomento
@obay @Sefares
@Fad31 @the_angel_of_hell
@Dreamweaver @blackorchid
@callme_DIAZ @akina_kenji
@SATELIT @Ariel_Akilina
@Dhika_smg @TristanSantoso
@farizpratama7 @Ren_S1211
@arixanggara @Irfandi_rahman
@Yongjin1106 @Byun_Bhyun
@r2846 @brownice
@mikaelkananta_cakep @Just_PJ
@faradika @GeryYaoibot95
@eldurion @balaka
@amira_fujoshi @kimsyhenjuren @ardi_cukup @Dimz @jeanOo @mikaelkananta_cakep
@LittlePigeon @yubdi
@YongJin1106 @Chachan
@diditwahyudicom1 @steve_hendra
@Ndraa @blackshappire
@doel7 @TigerGirlz
@angelsndemons @3ll0
@tarry @OlliE @prince17cm @balaka
@bladex @dafaZartin
@Arjuna_Lubis @Duna
@mikaelkananta_cakep
@kurokuro @d_cetya
@Wita @arifinselalusial
@bumbellbee @abyh
@idiottediott @JulianWisnu2
@rancak248 @abiDoANk
@Tristandust @raharja
@marul @add_it
@rone @eldurion
@SteveAnggara @PeterWilll
@Purnama_79 @lulu_75
@arGos @alvin21
@hendra_bastian @Bun
@jeanOo @gege_panda17
@joenior68 @centraltio
@adilar_yasha @new92
@CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan
@eka_januartan @tianswift26
@guilty_h @Dhivars @Togomo
@adilar_yasha @GeryYaoibot95 @CL34R_M3NTHOL @Lovelyozan @eka_januartan @tianswift26 @abyyriza @privatebuset @Bun @sujofin @centraltio @sar_el
@TedjoPamungkas @cute_inuyasha @hehe_adadeh @Vio1306 @gemameeen
@febyrere @Prince_harry90
@ando_ibram @handikautama @babayz @seventama @Gaebara
×××°•••°°•••°×××
Aku langsung berjalan menghampiri Ethan. Dan kupeluk dia.
"Taka pengen tau tanggal ulang tahun lo" ucapku mencoba membuat alasan. Aku mencoba terus tersenyum. Meskipun terasa canggung.
"Bukannya elo punya salinan foto copy KTP gue?"
"Oh iya. Gue lupa. Lagian Taka yang nyimpen" jawabku, masih canggung.
"Dan ada satu lagi yang mau gue konfirmasi ke elo" ujar Taka dengan tampang serius. Aku sampai melotot kearah Taka. Berharap dia tidak keceplosan. Aku tau sekali, kalau Taka itu agak susah menjaga rahasia. Mudah-mudahan dia tidak...
"Seinget gue, elo cowok straight Than... Eh! Lan!" Taka berujar dengan tampang serius. "Terus... Kenapa sekarang mau jadian ama Abang gue?"
Kedua mataku terbelalak. Kedua alisku terangkat tinggi. Mataku memandang gantian kearah Taka dan Ethan bergantian. Dengan jantung berdegup kencang. Aku takut, pertanyaan Taka menyinggung perasaan Ethan.
Tapi kemudian, aku melihat Ethan menjadi salah tingkah. Pipinya merona. Ethan terdiam dengan kepala tertunduk. Untuk menolongnya, kudekap erat Ethan. Karena tinggi badannya hanya sebatas dadaku, aku jadi lebih mudah untuk menyembunyikan wajahnya di dalam dekapanku.
"Gak usah di jawab Than. Sampai sekitar dua tahun lalu, gue juga ngerasa kalo gue straight. Dan... As you can see now, dumbass..." Aku berujar kearah Taka, "Gue pernah jadian ama laki. Dan sekarang gue punya bini baru, yang juga batangan. Jangan pernah bahas hal seperti ini lagi, Ka. Paham?!" Aku berujar tegas pada Taka, yang malah nyengir lebar.
"Deuuhhh... Iya deh iya deh... Gue paham..." Taka berlalu pergi, lalu mulutnya berucap Thank You tanpa suara kearahku.
Sepeninggal Taka, aku baru menyadari kalau Ethan cukup lama terdiam. Dan ia masih membenamkan wajahnya di dadaku. Sementara tangan kirinya melingkar dan mencengkram erat kemeja di bagian punggungku, tangan kanannya juga mencengkram erat kemeja di bagian dadaku.
"Than...? Elo kenapa? Sorry kalo pertanyaan Taka udah nyinggung perasaan lu" aku mulai panik saat melihat ada air mata tergenang disudut matanya.
"Ta-tadi... Gue denger semuanya Bang..." Ethan mendongakan kepalanya. Membalas tatapan mataku. "S-soal tante dan... A-adek gue..."
Saat Taka datang berbondong-bondong bersama Wahid, Subi, Irvin dan juga Suwek, mereka hanya bisa terdiam dengan tatapan penuh tanda tanya kearahku, dimana Ethan sedang menangis histeris dalam dekapanku.
×××°•••°°•••°×××
Aku masih memeluk Ethan. Tapi kini kami sudah kembali ke kamarku di lantai dua. Meskipun sudah tidak sehisteris tadi, tapi Ethan masih sesenggukkan dalam dekapanku. Semua orang sedang menunggu dibawah, sementara aku masih berusaha menenangkan Ethan.
Kukatakan padanya kalau cerita dari temanku dulu itu belum tentu adalah Tante dan Adiknya. Tapi Ethan terus berujar padaku, seolah membenarkan, kalau Tantenya memang tipikal yang materialistic.
Suwek datang membawakan segelas air dan mengulurkannya padaku, untuk kemudian kuberikan pada Ethan.
"Sekarang gue gak punya siapa-siapa lagi..." ujarnya lirih. Tapi aku dan Suwek bisa mendengar ucapan Ethan itu.
Suwek mengusap kepala Ethan dengan lembut. "Elu masih punya Bang Ki. Elo punya gue. Elo punya Taka. Elo punya kita semua. Kita disini keluarga besar lu. Dan lagi..." Suwek beralih memandangku, dan aku mengangguk, memberikan ijin padanya untuk melanjutkan kalimatnya. "Taka udah cerita ke gue, dan ke yang lain tentang situasi lo sekarang. Ngomong-ngomong, tadi Taka udah menghubungi Bang Bayu"
Lagi? Sampai kapan kita semua bisa tidak ketergantungan dengan Bang Bayu. Tapi memang, kalau sudah seperti ini keadaannya, satu-satunya yang bisa dimintai tolong, cuma Bang Bayu.
"Sekarang Bang Bayu pengen ketemu dan ngomong langsung ke elo" ucap Suwek. Tangannya terulur kearah Ethan.
"Ada Bang Bayu?" tanyaku heran. Dan tentu saja sangat terkejut.
Saat akhirnya kami bertiga turun, ternyata Taka sedang melakukan video call. Aku lupa kalau TV yang dipasang di sebelah mini library-ku adalah smart-tv. Karena sudah terkoneksi dengan jaringan WiFi, kadang aku hanya memakainya untuk melihat YouTube atau sedang mencari sesuatu yang terhubung langsung dengan jaringan internet. Selebihnya aku pakai untuk melihat film dari DVD. Terus terang saja, aku masih belum terbiasa dengan segala fasilitas disini. Meskipun ini adalah rumahku sendiri.
Taka sudah menceritakan semuanya yang ia tau, dan memberikan informasi pada Bang Bayu. Kini, Bang Bayu ingin menanyakan beberapa hal pada Ethan. Aku mengangguk dan memberi isyarat pada Ethan untuk menceritakan semuanya pada Bang Bayu. Misalnya alamat Tantenya. Nama Adiknya. Dan foto Adiknya, kalau ia punya.
Sambil terus melakukan video call, kini aku membantu Ethan untuk mengirimkan foto Adiknya ke Line milikku. Ethan mengambil banyak foto dari akun Facebook milik adiknya. Ia simpan karena dia sangat mencintai adiknya itu.
Tadi, saat masih di bedroom dilantai atas, Ethan mengatakan padaku, kalau ia ingin mengajak adiknya kemari. Hidup bersama di Bali.
Dan sementara aku, Taka, dan Ethan sedang melakukan perbincangan serius melalui video call. Wahid, Subi dan Irvin sedang duduk dan memperhatikan kami dari luar di halaman belakang. Sepertinya mereka tidak bisa mendengar percakapan kami. Karena pintu kaca yang menjadi pembatas antara halaman belakang dengan ruang santaiku ini sangat kedap suara.
Setelah mencatat semua informasi yang Ethan berikan. Dan juga, Bang Bayu sudah menerima semua foto yang aku kirim melalui private message di Line, sekarang gantian Bang Bayu yang seolah ingin menginterograsi diriku.
Misalnya saja, siapa Ethan sampai kami semua sangat peduli padanya. Aku hanya menyahut "Stupid question Bang. Ethan tuh udah jadi bagian dari keluarga rumah kosan ini" padanya.
Dan tiba-tiba saja Taka nyeletuk, "And you know what? Baby Tatan ini adalah Tiki's new boyfriend. Yaayy!!" Taka berujar dengan gembira sambil mengangkat kedua tangannya.
"APA?!"
Seorang wanita berteriak di kantor Bang Bayu. Dan sekejap kemudian, wajah Bang Bayu berubah menjadi Mamah. Aku yang terperangah, masih sempat memukul keras kepala Taka, hingga membuatnya terjerembab ke karpet dengan wajah jatuh terlebih dulu.
"Bayu! Hari ini juga cariin tiket ke Bali buat Tante!" Mamah mengakhiri pembicaraan. Dan meninggalkan suasana horor yang membuatku bergidik.
"Bang..." Ethan meremas bagian bawah kemejaku sambil memandangku cemas.
"Don't worry..." Aku mengelus kepala Ethan. Kemudian aku sedikit menunduk dan mendaratkan kecupan di keningnya. Lalu kupeluk erat Ethan.
Taka masih mengaduh dan beralih duduk di sofa yang ada di belakang kami. Posisi sofa memang kuletakkan lumayan jauh dari TV, mengingat ukuran TV yang besar.
Dan Suwek menyikut tulang rusukku. Memberi isyarat untuk melihat kearah halaman belakang. Dimana Subi dan Irvin nampak terkejut menatapku. Terlebih lagi Wahid. Tapi saat pandangan mata kami bertemu, Wahid lalu tersenyum dan meraih lengan Subi.
Aku membalas senyuman Wahid. Saat ini kami seolah sedang berbicara dengan mata kami.
'It's okay, I already have him' ujar mata Wahid.
'Yes, I know' mataku pun menyahut penuh pengertian.
×××°•••°°•••°×××
Mamah datang sore hari. Tentunya diantar langsung oleh Bang Bayu. Taka saat ini sedang menjemput mereka di Airport. Dan sebelum Mamah sampai, aku sudah meminta tolong pada Matthew untuk menyiapkan kamar yang letaknya kebetulan ada di sebelah kamarnya. Irvin dan Ethan ikut membantu untuk sekalian mengajarkan Irvin yang mulai bekerja hari ini.
Tadi Taka sudah memberitahukan, kalau besok Irvin bisa mulai pindah kemari. Menempati kamar mes bersama dengan Matthew. Dan saat Irvin pindah kemari nanti, aku mau Ethan untuk tinggal bersama denganku.
Sementara menunggu kedatangan Ibu Suri, sebutan yang diceletukkan oleh Taka sebelum ia berangkat diantar Bli Asta. Dia salah satu driver rental mobil yang ada di sebelah kiri kosan kami. Kebetulan kami punya ikatan kerja sama dengan mereka. Itu pun karena rata-rata penghuni kos kami adalah turis asing dan lokal. Jadi mereka tidak perlu bingung dengan masalah transportasi selama menginap disini.
Wahid dan Subi membantuku memasak sambil menunggu kedatangan Mamah dan Bang Bayu. Suwek juga sedang sibuk melayani pesanan tiga orang penghuni kos -semuanya cowok dan mereka berstatus Mahasiswa dari perguruan tinggi di Jakarta- yang datang berlibur selama dua minggu. Mereka berasal dari Bandung. Aku lupa siapa saja nama mereka, walaupun mereka mengetahui namaku. Salah satu diantaranya, aku duga adalah gay. Karena setiap kali ada kesempatan, dia selalu menatapku. Dan setiap kali pandangan mata kami bertemu, ia selalu senyum dan salah tingkah.
Usai memberikan pesanan ketiga Mahasiswa itu, Suwek datang menghampiriku. Meminta ijin untuk menghubungi suplier sayuran.
"Elo atur aja Wek. Lagian kalo cuma kayak gitu doang, elo gak udah ijin ke gue" kataku. "Yang penting laporannya jelas. Jadi gue gampang ngurusnya kalo Taka minta setoran mingguan"
Saat Mamah akhirnya datang, kami semua berkumpul di mini resto. Kukenalkan satu persatu teman-temanku disini. Termasuk mengenalkan Ethan secara khusus pada beliau.
"Sebenarnya Mamah ingin datang memberi kejutan ke kalian" ujar Mamah.
"Tapi jeritan 'APA?!' tadi, udah cukup bikin jantung kita disini lompat sampai Nusa Penida, Mah" Taka nyeletuk sambil menirukan jeritan Mamah saat video call tadi.
"Ngomong-ngomong, Tika gak ikut, Mah?" tanyaku.
"Ikut. Tapi dia masih jet lag. Waktu Mamah ajak kemari, dia muntah-muntah sampai hampir pingsan" jawab Mamah.
Mataku berbinar saat mengetahui adik perempuan yang juga adalah saudari kembarku itu, akhirnya datang juga ke Indonesia.
"Mungkin dia kemari seminggu lagi. Karena dua hari lagi dia mau menghadiri reunian teman sekelasnya sewaktu SMU dulu" Mamah menambahkan.
"Bodo amat" Taka nyeletuk. "Pokoknya jangan nyuruh Taka buat jemput Tika, ya Mah"
"Songong!" Mamah balas nyeletuk sambil tak lupa menarik ujung jambul rambut pirang Taka.
Taka memang sudah tidak lagi mewarnai rambutnya dengan warna hitam. Kepalanya sudah seperti lampu neon. Tiap bulan selalu gonta-ganti warna rambut. Tidak sepertiku yang tetap rutin menghitamkan rambutku. Selain karena faktor kebiasaan, warna rambutku terlihat aneh kalau sudah tumbuh rambut baru, dimana rambutku dan Taka sama-sama berwarna light blond. Terlihat aneh kan, kalau rambut dekat kulit berwarna blond, sementara ujungnya malah hitam?
Lagi pula kalau rambut kami berbeda warna seperti ini, tidak akan ada yang salah memanggil dan menyebut nama kami lagi.
Usai makan, aku dan Ethan mengajak Mamah berbicara enam mata di kamarku. Kali ini sikap Mamah tidak seperti saat pertama kali mengetahui hubunganku dengan Bang Zaki.
"Jujur saja. Mamah masih shock. Masih belum terima kalo kamu" jari Mamah menunjuk kearah wajahku, "ternyata juga gay. Sama seperti Toya. Sama seperti Taka" Mamah berbicara sambil menatap lekat mataku. Aku tersenyum rikuh mendengar kalimat beliau.
"Mamah gak tau punya salah apa saat mengasuh kalian dulu. Tapi tidak bisa men-judge kalau kamu ikut tertular 'trend' menyukai sesama jenis, Tiki. Waktu Mamah curhat ke Tika, dia malah sewot dan balik menggurui Mamah. Bilang ini itu. Dan... jujur Mamah benar-benar belum bisa menerima kenyataan ini" mata Mamah menyipit sambil memandang tajam kearahku, "Tapi Mamah berusaha untuk tetap menghadapi dan menerimanya. Biar bagaimana pun juga, kamu tetap anak Mamah. Tetap anak Daddy. And you know what? Daddy-mu itu bersikap biasa saja sewaktu Mamah curhat tentangmu. Ternyata Daddy-mu itu lebih 'open minded' di bandingkan Mamah kalian yang kolot ini"
Rasanya aku ingin tersenyum saat mendengar kalau Daddy menerima ke-Gay-an ku. Tapi sebisa mungkin kutahan.
"Kalo mau senyum, ya senyum aja. Gak usah ditahan!" Mamah menarik kedua pipiku berlawanan arah. Hingga membuatku mengaduh sambil tertawa.
Setelah puas tertawa dan Mamah membiarkanku tertawa sampai puas, kini perhatian Mamah beralih pada Ethan.
Sekali lagi aku memperkenalkan Ethan dengan Mamah. Begitupun sebaliknya. Ethan hanya tersenyum kikuk saat ia berkenalan dengan Mamah.
Sampai kemudian, bukan hanya aku yang terkejut, saat Mamah yang sedari tadi duduk di sofa, menghampiri kami yang sedang duduk bersila di hadapannya. Kemudian, Mamah duduk dengan bersimpuh pada lututnya diatas karpet. Tempat kami yang sedari tadi duduk bersila.
Mamah memeluk erat Ethan. Kemudian mencium kedua pipinya.
"Selama perjalanan kemari tadi. Di pesawat maksudnya Tante. Bayu sedikit bercerita, tentang almarhum Toya, kakak tertua dari Tiki dan Taka. Maaf Tante tidak bisa bercerita, karena itu sangat panjang, dan pribadi" ucap Mamah sambil masih memeluk Ethan. "Tapi sedari tadi, dan sekarang pun, Tante seperti melihat Toya hidup di diri kamu, Ethan"
Aku sempat bersyukur dalam hati, karena Mamah mengingat dan bisa menyebut nama Ethan secara lisan, dengan baik dan benar. Ah. Mungkin karena sudah beberapa tahun terakhir, Mamah tidak tinggal di Indonesia, pikirku.
"Bayu sedikit menceritakan tentang kamu yang sempat bekerja di dunia malam. Sama seperti almarhum Toya dulu saat dia hidup sendirian di Bali" suara Mamah kini terdengar bergetar saat berujar tentang hal yang baru pertama kalinya aku dengar. "Tante bersyukur, kamu mau mengikuti Tiki dan hidup bersama dengan kedua anak laki-laki Tante. Meskipun Tante belum sepenuhnya merestui hubungan kalian, Tante berharap, kalian bisa selalu dekat. Saling menyayangi. Kalau ada masalah, apa pun itu, jangan sungkan cerita ke Tante. Ya, Ethan?" Mamah menatap Ethan dengan mata berkaca-kaca. Kemudian mengecup dahi Ethan selama beberapa detik.
"Makasih banyak Tante. Ethan gak tau harus bilang apa ke Tante. Ethan sangat berterima kasih... Tapi, Ethan benar-benar sayang ke Bang Tiki. Kalau bukan karena Bang Tiki, Ethan mungkin gak akan bisa hidup seperti sekarang ini, Tante..." Ethan berucap dengan kedua mata terpejam, dan sedikit menundukan kepalanya. Seolah ia ingin menutupi air matanya yang mengalir deras.
Aku merangkul Mamah. Kukecup pipinya dengan lembut. Dan kubisikan terima kasih sepenuh hatiku. Juga tak lupa, kalimat wajib yang sudah lama tak ku ucapkan sejak insiden dengan Bang Zaki dulu. Yaitu, 'I love you so much, Mah!' ditelinga beliau.
×××°•••°°•••°×××
Aku baru saja selesai membantu Ethan memindahkan dan menata semua pakaian Ethan ke lemari pakaianku. Mulai malam ini, ia akan tidur bersamaku tanpa perlu membuat seribu macam alasan.
Ethan sedang duduk selonjoran dilantai dan bersandar di kasur. Pakaiannya memang tidak banyak. Tapi seharian ini, ia dengan penuh semangat, memberikan training kepada Irvin. Walaupun Ethan sudah bisa memasak, bukan berarti pekerjaan utamanya dibagian dapur. Ethan lebih sering menjadi waiter, house keeping, bellboy. Atau kalau dia bisa bangun pagi, dia akan membersihkan semua halaman di area kosan. Dia juga kadang membantuku membersihkan kolam renang di beberapa kamar VIP.
Yah, ini memang kosan. Tapi Taka membuatnya menjadi area kosan elit. Seperti area villa kecil kata salah satu orang Banjar yang pernah masuk kemari. Padahal kalau mau benar menyebutnya, kami seolah membangun sebuah rumah besar, dengan banyak paviliun di halaman belakangnya. Karena bangunan utama di depan setelah lobby adalah bangunan yang memiliki tiga lantai. Kesemuanya dibangun banyak kamar, seperti losmen, tapi memiliki interior seperti apartemen kecil. Makanya, rata-rata penghuni kos disini, cukup membawa pakaian saja. Tanpa harus membeli perabotan.
Aku juga tidak mau memperkerjakan banyak karyawan disini. Alasan pertama, kami baru buka. Dan belum percaya diri untuk memiliki banyak karyawan. Lagi pula, penghuni kos disini rata-rata adalah staff hotel ataupun pasangan bulan madu yang ingin berlibur, tapi dengan dana terbatas. Paling tidak, tarif permalam disini tidak semahal di hotel.
Alasan kedua. Aku, Taka, Suwek, Matthew dan Ethan, bisa menangani segala hal. Seperti bersih-bersih. Memasak. Dan hal serabutan lainnya.
Alasan ketiga. Aku dan Taka bekerja sama dengan rental mobil dan motor yang terletak di samping bangunan kos. Dan dari pada kami membayar orang untuk bekerja sebagai satpam, atas usul Bli Syaka, kami meminta bantuan dan kerja sama dengan para Pecalang setempat. Rasanya akan lebih bagus kalau warga sekitar ikut membantu menjaga keamanan usaha kami demi kenyamanan bersama. Iya kan?
Ethan mudah sekali akrab dengan para Pecalang. Bahkan dia hapal semua nama mereka. Kadang, Ethan ikut minum bersama mereka di mini resto. Aku memberi ijin, dengan syarat jangan sampai mengganggu penghuni kos.
Makanya, tak heran kalau Ethan sekarang sudah tepar. Padahal aku berniat mengajaknya mandi. Tapi ternyata dia sudah tidur pulas dengan posisi selonjoran seperti itu.
Dengan hati-hati, aku mengangkat Ethan dan memindahkannya ke kasur. Ia menggeliat pelan, dan tanpa sadar melingkarkan tangannya di lenganku yang berada di sisi dadanya.
Meskipun lelah, raut mukanya terlihat bahagia. Dan dengan segala kesibukannya selama seharian, akhirnya ia bisa sejenak melupakan kejadian tentang Tante dan Adiknya.
×××°•••°°•••°×××
Aku terbangun karena merasakan sesuatu di area uhum-ku. Saat kubuka mata, dan menyaksikan situasi di hadapanku, aku langsung mengulurkan tangan. Meraih pipi Ethan. Kubelai lembut pipinya. Ia nampak tak peduli dan terus menaik turunkan kepalanya. Uhum-ku keluar masuk dimulutnya yang terlihat penuh karena ia berusaha mati-matian menelan batang uhum-ku yang terlampau panjang.
Melihat ekspresinya, malah membuatku terkekeh. Dan dengan uhum-ku yang masih berada di dalam mulutnya, Ethan menatapku dengan wajah kesal.
"Anjrit! Gue diketawain!" Ethan melepas uhum-ku, dan mencubit pinggangku. Bukannya merasa sakit, aku malah tersentak akibat geli.
Kedua tanganku terulur cepat, dan meraih bagian ketiak Ethan. Lalu menariknya hingga ia jatuh menindihku.
"Bini gue nakal banget!" Ujarku gemas sambil menciumi kedua pipinya.
"Biasanya gue juga gitu setiap kali tidur bareng ama lu Bang" Ethan mengaku jujur. Dalam keremangan, aku bisa melihat pipinya yang bersemu. "Apesnya gue aja barusan, ketahuan!"
"Untungnya aja udah jadi bini gue. Coba kalo kagak?"
"Iye. Nasib gue bisa kayak Wahid"
Aku terdiam sesaat. Mataku lekat menatap wajahnya. Kemudian aku tertawa. "Hahaha... Ya enggaklah. Waktu ama Wahid dulu, gue kan lagi naksir orang. Tapi belum yakin. Dan gue marah ama Wahid itu, sebenarnya karena kesel, kenapa bukan orang yang gue suka, yang pertama kali ngelakuin hal itu ke gue? Kalo elu yang ngelakuin, mungkin gue malah happy banget. Kayak sekarang" kukecup lagi pipinya dan kueratkan pelukanku.
Aku berguling dan merubah posisi kami. Kini aku berada diatas tubuh Ethan. Tapi Ethan protes, katanya badanku berat.
Jadilah.
Kami berguling lagi, tapi saking semangatnya, aku terlalu banyak mengeluarkan tenaga. Akhirnya kami malah jatuh kelantai.
Beruntung aku yang jatuh ke lantai terlebih dahulu. Dan sepersekian detik kemudian, Ethan jatuh menimpaku.
"Elu gak papa?" Tanyaku cemas sambil menatap wajah Ethan.
"Kebalik, Abang! Harusnya gue yang nanya!"
Aku tertawa setelah menyadari kalau lengan kiriku agak sakit. Dan pantatku juga rasanya agak gimana gitu. Untung saja lantai kamarku terbuat dari beton. Coba kalau terbuat dari kayu, mungkin kami sudah jatuh menimpa lemari di mini library-ku yang ada di lantai bawah.
Ethan juga tertawa. Tapi ia tetap memandang cemas kearahku. Sesekali ia bertanya, ada yang sakit? Mana yang sakit? Tapi aku hanya menggeleng dan memeluknya erat. Sampai...
Aku mendengar suara perut Ethan yang seperti auman singa. Membuatku semakin ngakak.
"Iya iya... Maaf..." kataku pada Ethan yang mencubit pipiku, dengan wajahnya yang merah padam.
Setelah membetulkan posisi celanaku, dan mengaitkan kembali kancing kemeja, kami berjalan menuruni anak tangga sambil bergandengan tangan. Ethan yang menarikku tak sabar.
Aku nyaris menabrak Ethan saat ia berhenti berjalan mendadak saat ia akan membuka pintu.
Ethan membalikkan badan dan menatapku. Tangannya lalu meraih kancing kemejaku. Membuka dua... Ah... tiga, kancing teratas.
"Sexy!" serunya sambil mengerlingkan mata kanan.
"Pfft... Apa-apaan, bocah?" kuacak-acak rambutnya, tapi ia hanya terkekeh.
Sesampainya di dapur, aku menanyakan pada Ethan, mau kumasakan apa. Tapi dia cuma bilang apa saja. Yang penting tidak membuatku terlalu repot. Yang penting simple.
"Yang simple itu masak aer!" Aku berseru saat melihat isi refrigerator. Ethan hanya cekikikan sendiri, bersahutan dengan suara 'growl' dari perutnya.
Aku mengambil red pepper berukuran sedang, dan meletakkannya di meja dimana bagian ujung meja adalah tempat cuci piring. Lalu kuambil empat butir telur, kuletakkan ke dalam mangkuk.
"Telurnya diapain bang?" tanya Ethan.
"Kocokin aja dong, tolong" aku menyahut tanpa menoleh. Aku masih sibuk mencari bahan lain di refrigerator.
Kalau mau flashback beberapa bulan yang lalu, saat pertama kalinya mengajarkan Ethan memasak. Bahkan ia pun sama sekali tidak bisa memecahkan telur dengan benar, tanpa harus mengikut sertakan cangkangnya. Kalau sekarang, bahkan memecahkan dua telur sekaligus dengan kedua tangannya adalah hal sepele.
Ethan menawarkan diri untuk mencuci red pepper yang seolah aku lupakan. Lalu aku memintanya untuk memotong dadu berukuran kecil. Saat Ethan sudah selesai melakukan itu, aku kini beralih memberikan sedikit garam dan merica bubuk ke mangkuk berisi telur tadi. Kemudian aku mengambil cetakan muffin dan meletakkan kulit tortilla ke dalam cetakan muffin. Setelah mengatur sedemikian rupa dan membentuknya seperti pot kec, kini aku beralih memotong bawang bombay. Bisa dibilang, mencincang kasar.
"Tolong panasin ovennya dong Than" aku berujar pada Ethan yang langsung tanggap. "Set ke 160 derajat celcius" aku melanjutkan sebelum Ethan bertanya.
Sementara itu aku melanjutkan mengiris tipis-tipis beef salamy yang sedari tadi kubiarkan pada suhu ruangan setelah aku keluarkan dari lemari pendingin. Kemudian mencincang kasar. Begitupun dengan cherry tomatoes yang tadi sempat kucuci usai mencincang bawang bombay. Aku hanya memotongnya menjadi dua disetiap buahnya.
Kumasukan bawang bombay, red pepper dan salami yang sudah kucincang kasar ke kulit tortilla yang tadi kubentuk seperti pot kecil di dalam cetakan muffin. Tak lupa kuletakkan cherry tomatoes, dan berlanjut mengisi pot kecil dari kulit tortilla itu dengan telur yang sudah dikocok oleh Ethan.
Lalu kumasukan ke dalam oven yang sudah dipanaskan. Dan mengatur timernya lima belas menit.
Sambil menunggu matang, aku mengambil beberapa batang tusuk sate. Kemudian kuambil beberapa butir anggur merah dan anggur hijau segar. Satu buah pear. Dan satu buah apel merah. Kucuci dan kutiriskan disebuah mangkuk berdiameter satu jengkal tanganku.
"Menu baru Bang?" tanya Ethan saat melihatku sibuk memotong dadu apel dan pear. Juga memisahkan anggur dari batangnya.
Aku tidak menjawab. Hanya melemparkan senyum dan kerlingan mata kiriku pada Ethan. Aku beralih mengambil dan memotong keju cheddar sepanjang tiga inchi, dan memotongnya menjadi bentuk dadu.
Kutusukan secara acak disetiap batang tusuk sate setiap potongan buah dan keju cheddar tadi. Lalu kuletakkan diatas piring berbentuk oval.
Tepat lima belas menit usai aku membuat sate buah tadi, aku keluarkan tortilla di dalam cetakan muffin yang sudah matang. Kutata diatas piring bulat, dan membiarkannya terkena angin malam.
Sekedar informasi, dapur mini resto ini memang setengahnya adalah suasana outdoor. Jadi tidak perlu menyalakan kipas angin, maka hembusan angin subuh pun sudah cukup untuk mempercepat proses pendinginan kulit tortilla berbentuk pot mini tersebut.
"Namanya apa nih Bang?" Ethan bertanya takjub saat melihat masakan simpleku itu.
"Mini Pizza Quiches" jawabku tersenyum.
Saat aku meletakkan Mini Pizza dan sate buah diatas meja makan, aku melihat kedatangan Mamah. Ia menatap heran kearah kami.
"Kalian ngapain?" Mamahku bertanya.
"Makan Mah"
"Makan Tante"
Aku dan Ethan menjawab kompak. Sementara Ethan menyilahkan Mamahku untuk duduk, aku beranjak mengambil tiga buah gelas dan mengisinya dengan orange juice yang kuambil dari dalam refrigerator. Kuletakkan diatas meja, beserta tiga buah piring bundar berukuran kecil, yang masing-masing kuberikan sebuah garpu.
"Siapa yang bikin?" tanya Mamahku sesaat sebelum beliau menggigit dan mengunyah mini pizza yang kuletakkan dipiringnya. Ethan menjawab dengan mengarahkan telunjuknya kearah wajahku. "Mmm... Enak..."
"Kalo mau lebih enak, pake ini dong Mah" aku berujar sambil menunjuk ke arah saus tomat dan saus sambal yang tadi tertutup gelas milikku. "Dicocol" aku nyeletuk.
Aku tersenyum melihat keakraban Mamah dengan Ethan. Saat mini pizza habis, aku menyodorkan sate buah sebagai hidangan pencuci mulut.
"Kamu sudah Subuhan, Ki?" tanya Mamahku. Aku segera memalingkan wajahku kearah jam dinding. Setelah menenggak setengah gelas orange juice, aku segera berlari menuju kamarku.
Usai berwudhu dan bersiap-siap shalat, aku teringat dengan ucapan Ethan kemarin sore. Dia minta tolong diantarkan ke Gereja. Katanya ia ingin beribadah disana. Itu karena aku mengingatkannya untuk kembali berdoa dan meminta bantuan dari Sang Maha Pencipta.
Kalau boleh jujur, sebenarnya Ethan sempat merasa malu saat aku menyuruhnya rutin beribadah ke Gereja di hari Minggu. Ia merasa dirinya kotor dan tak pantas untuk menghadap-Nya. Tapi setelah ceramah panjang lebar dan terus meyakinkannya, ia pun rutin ke Gereja. Seringkali ia berangkat sendiri menggunakan sepeda motor. Atau kalau aku sempat, aku akan senang hati mengantar dan menunggunya hingga selesai.
Kadang, ia pun selalu berdoa sendirian di beranda kamarku sambil memegang Rosario yang kuhadiahkan padanya sekitar empat bulan yang lalu. Ia selalu membawanya di dalam saku celananya. Atau kalau ia memakai kemeja, Ethan akan meletakkannya di saku kemejanya.
Ah. Sudahlah. Kini aku yang harus menunaikan ibadah shalat Subuh terlebih dulu sebelum waktunya berakhir.
×××°•••°°•••°×××
Aku terbangun gara-gara Ethan dengan usilnya menjepit hidungku dengan jarinya, hingga membuatku terkejut, gelagapan, dan nyaris meninju wajah imutnya.
Aku ketiduran di dalam mobil dengan kaca terbuka saat menunggu Ethan beribadah. Aku sengaja memarkirkan mobil di seberang jalan pintu masuk area Gereja. Karena merasa sedikit bosan, dan terbuai oleh semilir angin pagi, aku pun ketiduran.
Saat kesadaranku sudah utuh, aku dikenalkan dengan dua orang yang sedang berbicara dengan Ethan di depan mobil. Seorang gadis cantik berwajah oriental, namun memiliki kulit tanned, namanya adalah Erine. Dan seorang lagi adalah pemuda berkulit kuning langsat bernama Joshua yang ia sarankan untuk memanggilnya Jojo saja.
Rupanya Ethan menawarkan untuk pulang bersama, karena motor mereka katanya mendadak mogok. Kebetulan kami satu arah. Mereka menitipkan motor pada pihak pengurus Gereja, dan aku pun tidak punya alasan untuk menolak. Jarang sekali melihat Ethan mempunyai teman yang bisa dibilang taat beribadah. Rata-rata teman Ethan ya seperti gerombolannya dulu saat masih kos di Denpasar.
Aku tidak banyak berbicara selama mengemudikan mobil. Selain aku ingin berkonsentrasi, aku juga tidak menyimak perbincangan mereka.
Rumah Erine hanya berjarak sekitar lima ratus meter dari Gereja. Dan ia turun terlebih dahulu. Setelah mengucapkan terima kasih, ia terus melambaikan tangannya hingga kami hilang dari pandangannya.
"Bang..." Panggil Ethan sambil tersenyum jahil.
"Nape Than?" aku menyahut. Ethan yang ikut duduk di kursi belakang sejak Erine turun, kini kembali menyandarkan punggungnya disandaran kursi.
"Jojo bilang, kayaknya si Erine terpesona ama elu tuh" ucap Ethan sambil terkikik sendiri.
"Yah Ethan. Kok bilang-bilang? Kasian Erine tau. Dia pasti malu kalo denger"
"Elah. Orangnya juga gak ada disini Jo"
Aku melirik keduanya dari kaca spion. Dan hanya tersenyum melihat tingkah mereka berdua.
"Ngomong-ngomong, elu kuliah atau kerja Jo?" tanyaku saat kami berhenti disebuah perempatan. Uh, arus lalu lintas disini tak biasanya padat. Kenapa sekarang mendadak macet?, batinku.
"Saya kuliah Bang. Tapi juga ada kerja sambilan" jawab Jojo.
"Wah, hebat" aku menyahut sambil memujinya.
"Elo masa gak sadar Bang? Jojo kan kerja sambilan di minimarket seberang rumah kita!" Ethan berseru dengan tampang serius.
"Ooo... Eh?! Serius?!" aku sampai memutar kepalaku melihat Jojo dan Ethan bergantian. Mobil yang kukendarai belum bisa maju seinchi pun.
Karena rupanya ada rombongan Ngaben yang sedang lewat di perempatan. Yang aku tau, arak-arakan Ngaben akan melakukan beberapa kali putaran setiap melewati perempatan seperti ini. Makanya aku sudah tidak terkejut dengan hal itu. Tapi malah terkejut karena Jojo.
"Jojo kan ngekos di deket rumah juga Bang. Masa elu gak pernah ketemu ama Jojo kalo lagi beli sesuatu gitu di mini market seberang?"
Sejenak aku menatap Jojo. Mengetahui sedang kuperhatikan secara terang-terangan, Jojo melepas kacamatanya dan menurunkan jambulnya menjadi poni.
"Ooohhh... Iya. Sekarang gue inget! Pantesan aja muka lo kok keliatan familiar. Ternyata elu kerja didepan?" aku berujar jujur.
"Saya juga baru tau, kalau Bang Tiki ternyata saudara kembarnya Bang Taka yang rambutnya sering gonta-ganti warna itu. Tadi saya kira Bang Taka menghitamkan rambutnya, trus pakai kacamata minus" Jojo menyahut dengan penjelasan yang cukup panjang.
"Masa elu gak tau mereka kembar, Jo?" Ethan bertanya dengan nada heran. "Tapi emang sih, Bang Taka itu rambutnya udah kayak lampu hias di pohon natal. Gonta-ganti mulu" lanjutnya yang disambut gelak tawa olehku dan Jojo.
"Mungkin karena saya tidak sering bertemu dengan Bang Tiki ya? Karena Bang Taka itu kan selalu memakai kaus gym dan celana pendek kalau sempat ke mini market" Jojo menjelaskan secara rinci. "Tapi memang pernah satu hari saya sempat kaget waktu dia pulang dari jogging, lalu sekitar satu atau dua jam berikutnya, Bang Tiki membeli sesuatu. Lalu besoknya, penampilannya beda lagi"
Ah iya, aku baru ingat sekarang. Aku pernah bertemu Jojo yang menatapku keheranan. Tapi dia seolah sungkan untuk bertanya. Sepertinya itulah jawaban dari tanda tanya yang dulu sempat muncul saat melihatnya kebingungan sambil menatapku terus menerus. Yah, walaupun sebenarnya aku sendiri pun, tidak pernah mempermasalahkannya. Kalau aku ingat-ingat lagi, waktu itu aku baru bangun tidur. Ketiduran, dan sempat kaget sebenarnya. Lalu aku putuskan untuk pergi mandi. Tapi sabun dikamar mandiku habis, dan aku pergi ke mini market seberang dengan berpakaian apa adanya saja.
Aku kira, waktu itu, si kasir yang ternyata adalah Jojo, memandangku seperti itu karena penampilanku terlihat aneh. Ternyata alasannya karena ia melihat Taka, dan beberapa jam kemudian melihatku, lalu entah berapa jam kemudian melihat Taka lagi.
Tidak salah memang kalau Jojo sempat kebingungan. Terlebih, aku sendiri tidak begitu akrab dengan orang-orang di sekitarku. Bukan karena sombong atau malas. Tapi aku lebih suka menyibukan diri di dapur. Atau berolah raga di halaman belakang kamarku. Terlebih, cuaca di Bali akhir-akhir ini selalu cerah dengan suhu terbilang panas menyengat. Makanya, aku sendiri pun sering kali menceburkan diri di kolam renang pribadiku. Kalau sedang tidak sibuk tentunya.
Sambil sibuk dengan pikiranku sendiri, aku berusaha tetap berkonsentrasi mengemudikan mobil. Jojo dan Ethan masih sibuk mengobrol di kursi belakang.
Inikah rasanya jadi driver? Barang kali, aku perlu mendaftarkan diri menjadi driver taxi online.
Yah, aku akui, ada sedikit rasa cemburu mendapati Ethan yang cuek dan asik dengan temannya itu. Tapi, Ethan tetaplah Ethan. Dia itu memang supel dengan wajah imut yang kadang terlihat angkuh dan sombong. Kalau belum mengenalnya, jangankan ngobrol, melirikpun dia tak akan sudi. Tapi kalau sudah kenal dan akrab, ya seperti inilah jadinya. Serasa aku ini adalah supir pribadinya. Uh!
×××°•••°°•••°×××
"Kalau lagi santai, maen aja kemari. Gak usah sungkan" kataku pada Jojo saat ia turun dari mobil dan bersiap-siap menyeberang. Jojo hanya tersenyum kikuk sambil mengacungkan kedua jempolnya kearah kami, aku dan Ethan.
Setelah memarkirkan mobil di garasi yang lokasinya berada disamping gerbang kos, aku pun menutup dan mengunci pagar garasi. Aku dan Taka punya kendaraan sendiri, sebenarnya. Tapi kalau sedang malas, Taka selalu memakai jasa driver dari rental sebelah. Tapi tetap saja memakai mobil miliknya.
Saking seringnya Taka memakai jasa driver, kadang para driver dari rental sebelah lebih hapal dengan mobil milik Taka.
Salah satu contoh, kejadian ini terjadi sekitar sebulan yang lalu, Taka lupa menyimpan kacamata kesayangannya, yang adalah hadiah dari salah satu teman modelnya. Kalau sudah mengobrak abrik kamarnya disertai ribut-ribut antara dia dan Suwek, baru deh driver dari rental sebelah yang datang untuk ngopi, nyeletuk untuk cek isi dashboard di mobil miliknya. Setelah itu, Taka akan nyengir kuda, dan akan memelas meminta maaf pada Suwek yang sudah terlanjur kesal padanya.
Dan kali ini. Terjadi lagi. Aku bertanya pada Irvin yang sedang mengelap meja di mini resto, ada apa lagi dengan Taka dan Suwek. Ternyata Taka sedang mencari sepatu kesayangannya. Taka bilang malam ini mau mengajak Mamah dinner di restoran langganannya. Dan ia mau memakai sepatu tersebut.
Setelah mendesah panjang diiringi erangan kesal, aku pun mendatangi kamar Taka.
"Wek, elu keluar deh. Biarin aja orang bego ini sibuk sendiri" kataku pada Suwek, lalu merangkul dan membawanya keluar dari ruang TV yang acak-acakan.
"Yah Ki... Yayank gue kan lagi bantuin gue" Taka protes.
Sementara aku memberi isyarat dengan gerakan kepalaku pada Suwek untuk pergi, aku pun berdiri di hadapan Taka yang berjongkok di lantai dengan kedua tangan terlipat didepan dadaku. Aku sudah menutup rapat pintu kamar. Supaya suara kami nantinya tidak terdengar keluar dan mengganggu ketenangan penghuni kos.
"Kalo nyari barang itu pake mata! Bukan pake mulut!" Aku membentak Taka, yang langsung terjengkang dengan mata terbelalak. "Cek sono di dalem mobil lu! Udah tua masih aja kayak anak TK! Kalo abis make sesuatu, balikin lagi ketempatnya! Jangan maen taro trus seenaknya aja elu lupa! Disini gak ada babu! Dan Suwek bukan babu lu! Ngerti?!"
Taka terdiam dan seperti memikirkan sesuatu.
"Sebenernya itu mobil atau gudang kedua lu, hah?!" tanyaku dengan nada galak. Aku tidak serius marah. Hanya sedikit kesal dengan tingkah laku saudara kembarku ini.
"O-oh... Iya... K-kayaknya gue taro disono, Ki" Taka berucap dengan kagok. Pandangan matanya seperti ingin menghindari tatapanku, tapi ia tidak berani memalingkan wajahnya.
"Rapihin dulu semua ini! Kalo gak, gue buang semuanya!" Ujarku dengan nada memerintah. "Cuma nyari sepatu aja, sampe ngacak-ngacakin seisi ruangan!"
Salah satu hal yang membuatku pusing adalah saat melihat kamar, atau sebuah ruangan yang berantakan. Maka dari itu, aku hanya berdiri mengawasi Taka sambil bersandar di pintu. Sementara Taka sudah mondar mandir dan naik turun membenahi segala kekacauan di kamarnya ini.
Sekitar setengah jam kemudian, dengan badan bersimbah keringat, Taka duduk selonjoran di sofa. Sementara aku mengambil handuk di rak khusus handuk yang berada di dalam kamar mandinya.
"Lepas kaos lu" aku berujar pada Taka yang nampak letih. "Capek?" Taka mengangguk pelan, sementara aku mengelap keringat di wajah, dada dan punggungnya. "Bisa ngerasain kan, betapa capeknya Suwek ngadepin elu? Lama-lama gue embat juga si Suwek dari lu! Gue..."
"Iya Ki... Gue salah. Please.... maafin gue" Taka memelukku dan membuatku tak meneruskan kalimatku. "Please... Jangan bikin gue ngerasa lebih bersalah lagi ke Fikar..."
"Makanya... Jangan kayak bocah! Kalo dia capek hati trus kepincut orang lain, gimana?"
Taka terdiam. Dan menatapku dengan wajah memelas. "Jangan dong Ki... Gue cinta mati ama Fikar..."
"Iya. Gue tau"
Aku dan Taka berpaling kearah pintu. Dimana Suwek datang membawa sebotol air mineral. Kemudian ia mengulurkan sepasang sepatu yang menjadi sumber masalah barusan.
"Gue juga cinta mati ke elo. Dan gue gak akan pernah capek ngadepin elo Ka..." Suwek duduk di sebelah Taka. Ia mengulurkan botol air mineral pada Taka. Tapi Taka kini beralih memeluk Suwek.
"Maafin gue yank... Gue emang egois dan kekanakan..."
"Iya iya... Udah gue maafin. Lagian gue gak marah ke elu. Gue cuma kesel elu berantakin barang-barang. Kan kasian Irvin yang udah beresin tadi pagi..."
"Mendingan elu ama Irvin aja deh, Wek. Dari pada ama sontoloyo satu ini"
Suwek tertawa mendengar ucapanku. "Iya ya. Lagian Irvin lumayan juga kalo gue amati lebih dekat"
"Ayank! Kok ngomong gitu?!" Taka mencubit pipi Suwek dengan wajah memelas. Tapi Suwek hanya terkekeh. Lalu mengecup kening Taka sebentar.
"Makasih Bang Ki... Gak salah emang kalo gue pernah jatuh hati ke elu... Hehehehe... Iya iya... Hahahaha... Ampun Yank! Hahaha..."
Kutinggalkan dua orang idiot itu dan melangkah menuju mini resto. Ada Mamah dan Bang Bayu yang sedang asik ngobrol sambil minum kopi. Dan bertingkah tak peduli dengan keributan kecil tadi.
"Good job, Ki" Bang Bayu mengacungkan jempolnya padaku.
"Seperti biasa. Kamu memang pawangnya bocah liar satu itu" ucapan Mamah membuatku ngakak seketika. "Bahkan dirumah, cuma Daddy-mu itu saja yang sanggup menghadapi kepikunan Taka" Mamah melanjutkan setelah menyesap kopi dan meminumnya penuh kenikmatan. "Si Fikar itu pinter banget bikin kopi. Nanti Mamah mau dibikinin lagi ama dia"
"Mantu idaman ya Te?" mulai deh, Bang Bayu menggoda Mamah. Hingga membuat Mamahku tersedak saking kagetnya.
Disaat yang bersamaan, Ethan memanggilku, karena ada penyewa kos mingguan yang mau check out.
"Bang! Tanggung jawab! Gue mau kerja dulu nih" aku berseru pada Bang Bayu yang sedang menertawai Mamah, tak mempedulikan tabokan maut Mamah di pundaknya.
×××°•••°°•••°×××
Semua orang sudah pergi. Kemana lagi kalau bukan Taka yang mengajak Mamah dinner. Bukan cuma mereka berdua yang pergi tentunya. Suwek ikut. Bang Bayu ikut. Matthew dipaksa ikut. Irvin di ajak pula untuk menemani Matthew yang terlihat canggung.
Kenapa aku tidak ikut? Jawabannya karena aku malas. Aku malas kemana-mana. Dan beralasan sedang menunggu seorang teman.
Lalu apa yang aku lakukan sekarang? Ya masih menunggu orang yang kubilang teman.
Toshio? Sayangnya bukan.
So... Who?
"Bang, ada yang nyariin tuh" Ethan berseru dari arah pagar. Dia sedang asik ngobrol dengan Jojo.
Sepulang dari gereja tadi pagi, dia memang langsung kerja. Dan karena dia sedang tidak ada acara, Jojo iseng mampir kemari. Ini pertama kalinya dia kemari. Dan Ethan bilang, Jojo sungkan untuk masuk. Jadilah, mereka duduk di depan pagar seperti security ATM dengan badan cungkring.
Eh, tapi Ethan tidak sekurus saat kami kenal dulu. Sekarang ia sudah lebih berisi. Karena aku memaksanya untuk berolah raga bersamaku.
Yang aku tunggu sejak tadi adalah Steven. Dia memarkirkan motornya di depan pagar. Kemudian masuk menghampiriku.
"Pa kabar bro?" Steven menyapaku kemudian balas menjabat tanganku.
"Baik. Mari masuk. Duduk dulu sini" aku menyilahkannya untuk duduk di kursi seberangku.
"Ini pesanannya. Wah lama banget gak ketemu. Makin cakep aja kamu" Steven memuji, dan aku hanya tertawa mendengarnya. "Kukira kamu sudah lupa ama aku"
"Terus terang iya" aku menyahut, lalu kami tertawa bersama. Mataku melirik sekilas kearah Ethan yang sedang berbicara dengan Jojo, tapi matanya melirik tajam kemari.
Sekarang aku tau arti dari pandangan matanya itu. Ethan penasaran, sekaligus cemburu (?). Dia selalu seperti itu sejak kami dekat, dari sebelum sampai akhirnya jadian.
"Oh iya. Ini pesanannya" Steven meletakkan sebuah paper bag dimeja dan mendorongnya agar mendekat kearahku.
"Wah. Makasih banyak. Ini sesuai pesanan, kan?"
"Yoilah..." Steven mengedipkan matanya.
"By the way, gue gak ada duit cash nih. Kalo gue transfer ke rekening lu, bisa kan? Pake M-Banking aja nih"
"Oh. Oke. Sebentar. Di kirim ke WhatsApp aja ya. Biar tinggal di copas" Steven merogoh ponsel yang berada di dalam tas selempangnya.
Sementara aku melakukan proses transaksi, Steven mengalihkan pandangannya ke segala arah.
"Ini kosan atau penginapan, bro?" Steven bertanya padaku, karena tadi aku mengatakan padanya untuk mencari kosan yang berada di seberang mini market.
"Dua-duanya Steve. Kenapa? Mau kos disini?" Aku menjawab sekaligus melempar pertanyaan juga padanya. "Tenang aja, bisa dikorting kok. Kan elu juga sering ngasih harga khusus buat gue" kataku sambil memainkan alisku naik turun.
Steven tertawa. "Maunya sih begitu, Bro. Tapi jauh dari tempat kerja aku dong"
"Ini ya. Udah sukses terkirim" aku menunjukan layar ponselku padanya. Steven menanggapi dengan anggukan kecil beberapa kali. "Oh iya. Mau minum apa?"
"Ah, gak usah repot Bro. Lagian aku mau nganterin pesanan orang lagi nih"
"Emangnya abis ini mau kemana lagi?"
Steven tidak langsung menjawab. Ia menatapku sambil mengerutkan dahinya. Membuat alisnya saling bertautan. Ia menatapku selama beberapa detik sampai akhirnya tersenyum sambil manggut-manggut. Sedangkan jari telunjuknya yang menunjuk kearahku seperti pistol itu, ia mainkan naik turun berbarengan dengan manggut-manggutnya itu. Ia juga sedikit terkekeh.
"Kenapa lo Steve? Keabisan obat?" tanyaku heran.
Steven tertawa sambil menepuk tepi meja. "Ini kamu ama Bang Zaki kenapa bisa pesan yang sama ya? Tapi kalian enggak saling memberi tahu sama lain? Ups sorry. Apa kalian ingin saling memberi kejutan satu sama lain?"
Mendengar pertanyaan Steven, kedua mata terbelalak dan aku sampai berdiri dan membuat kursi yang tadi kupakai terdorong mundur dan menabrak pot besar yang berasa di belakangku.
"Apa dia sering pesen ke elu, Steve?"
Steven tercengang mendapati reaksiku barusan. "E-eh... Sorry... Jangan-jangan ucapanku tadi bener ya?"
"E-enggak juga... Tapi Bang Zaki sering pesen apa aja ke elu?"
"Banyak. Sampai beberapa mainan juga ada"
"Kapan terakhir kali dia pesen ke elu?"
Steven tak langsung menjawab. Ia menyuruhku untuk duduk, dan aku sendiri cukup kaget sendiri mendapati reaksiku barusan.
"S-sorry... Gak usah dijawab juga gak apa-apa, Steve..." aku berujar setelah menyadari reaksiku, yang sangat berlebihan.
Well, yeah, Steven memang mengetahui kalau aku dan Bang Zaki menjalin hubungan asmara. Bahkan ia yang mengatakan kalau kami pasangan yang serasi. Pasangan idaman seperti film-film drama gay Thailand. Dan aku bisa menebak, kalau sepertinya Steven belum menyadari tentang hubungan kami yang sudah lama berakhir.
×××°•••°°•••°×××
Setelah Steven pulang sambil senyum-senyum sendiri. Dan aku pun tetap diam tak memberitahukan pada Steven tentang berakhirnya hubunganku dengan Bang Zaki. Tak lain karena meskipun aku tau Steven bukan orang yang jahat, tapi dia itu pernah terang-terangan nembak aku.
Ya... Dia juga bilang tidak harus gayung bersambut juga. Karena ia cuma bilang ia suka padaku, tanpa mengharapkan balasan. Dan lagi waktu itu ia mengutarakan perasaannya di hadapan Bang Zaki.
Aku masih duduk termenung di sofa ruang TV sejak Steven pamit. Paper bag yang berisi barang pesananku, kuletakkan diatas rak sebelah TV.
Aku bangkit berdiri, dan berjalan mondar mandir di depan TV. Lalu aku berjalan cepat menaiki anak tangga. Kubuka lemari pakaianku, mengambil sebuah jaket yang tergantung di salah satu deretan koleksiku. Tanpa pikir panjang aku meraih kunci mobil di tempat biasa aku menggantungnya disebelah lampu di meja di sisi kasur.
Aku melangkah cepat menuju garasi. Setelah terburu-terburu menyalakan mobil, memanaskannya sebentar sambil berujar pada Ethan dan Jojo yang masih ngobrol di depan pagar, untuk menjaga kosan.
Kemudian aku terburu-terburu mengeluarkan mobilku dan melajukannya dengan cukup ugal-ugalan.
Dan sekitar tiga puluh atau empat puluh menit kemudian, aku sudah memarkirkan mobilku di seberang rumah Bang Zaki. Kalau aku menyetir dalam keadaan normal, dimana aku selalu santai dan tidak terburu-terburu, mungkin aku sampai disini sekitar satu setengah atau dua jam kemudian.
Aku tidak langsung keluar dari mobil. Aku masih menyalakan mesinnya, dan hanya mematikan semua lampunya. Karena saat aku masuk di pintu gerbang perumahan, aku sempat melihat Steven melaju keluar dengan sepeda motornya. Yang artinya dia baru saja selesai mengantarkan pesanan Bang Zaki.
Tadi, Steven bilang kalau Bang Zaki rutin memesan barang seperti yang kupesan setiap dua atau tiga minggu sekali sejak delapan bulan yang lalu. Itu artinya sekitar setelah beberapa bulan kemudian setelah kami berpisah, Bang Zaki menjadi langganan tetap Steven.
Aku mematikan mesin mobilku dan terburu-terburu melangkah menuju gerbang rumah Bang Zaki saat melihat sosok remaja yang kukenal. Zain. Dia sedang menutup gerbang rumah Taka disebelah yang dijadikan kosan, lalu melangkah menuju gerbang rumah Bang Zaki.
"Zain..." Panggilku lirih sambil setengah berlari menghampirinya. Wajah Zain langsung sumringah saat ia melihat kedatanganku.
"Bang Tiki?" Serunya gembira. Ia langsung memelukku erat. Aku pun balas memeluknya.
Astaga! Belum juga tiga tahun aku pergi dari rumah ini, tapi Zain sudah tumbuh sangat cepat. Bahkan, Zain yang selalu aku cap versi mini dari Bang Zaki pun semakin terlihat mirip. Wajah dan perawakannya persis seperti versi dua puluh tahun lebih mudanya Bang Zaki. Saat aku balas memeluknya pun, aku baru menyadari kalau Zain bahkan jauh lebih tinggi dan lebih berisi dibandingkan Ethan!
"Bang Zaki ada, In?" tanyaku, dan Zain langsung melepaskan pelukannya. Ia menatapku dengan ekspresi sedih. "Kenapa In? Kalo Bang Zaki gak ada, kita kan bisa jalan-jalan berdua. Di dalem rumah tentunya" aku menunjuk rumah milik Taka yang bersebelahan dengan rumah Bang Zaki.
Rumah itu pada akhirnya tetap dibiarkan begitu saja oleh Taka sejak kosan kami sudah rampung dibangun. Taka bilang, ia berpesan pada Zain untuk menjaga rumah itu. Ia diperbolehkan membawa temannya main dan menginap disana. Taka bilang, Zain menempati kamar miliknya sejak ia pindahan ke kosan kami. Dan selama itu pula, aku tidak pernah menginjakkan kakiku kemari.
Zain memaksaku masuk ke dalam melalui rumah Bang Zaki. "Mamang belum pulang kerja. Tadi ada orang datang yang nyariin Mamang. Dia bawain bungkusan buat Mamang. Katanya itu barang pesanan Mamang"
"Oya? Kamu liat isinya?" Tanyaku.
Zain menggeleng. "Mamang bisa marahin Zain kalau berani ngeliat bungkusan itu. Lagian orang itu sering kemari bawain tas kertas. Cuma kali ini tas itu agak berat"
"Oh..." Aku menyahut seadanya sambil melangkah masuk. "Kamu sendirian, In?" tanyaku saat melangkah masuk ke dalam.
"Iya. Kan Tora udah enggak tinggal disini" jawab Zain dengan raut wajah yang terlihat murung.
"Oya? Dia sudah balik ke rumah ortunya?" Tanyaku yang disahuti gelengan kepala.
"Zain sempet berantem ama Tora. Tapi kami udah baikan kok. Dan lagi..." Zain membuka pintu kulkas dan meraih sebotol sirup dan es batu. "Tora udah dua bulan ini menjalani pertukaran pelajar selama enam bulan di Aussie, Bang"
Aku mendengarkan cerita singkat Zain sambil duduk di teras belakang berdua dengannya. Rupanya Tora sempat marah ke Zain gara-gara ia menolak melakukan pertukaran pelajar yang harusnya ia dapat dan 'mengopernya' pada Tora. Mengetahui hal itu, Tora marah pada Zain. Mereka memang sahabat sekaligus rival dalam hal prestasi di sekolah, ujar Zain menjelaskan.
Saat Zain menyiapkan es sirup yang ia sajikan padaku, tadi aku sempat melihat isi paper bag yang berisi pesanan Bang Zaki. Aku melotot melihat isinya dan berusaha bersikap biasa saja saat Zain mengajakku ke teras dengan membawa dua gelas berisi es sirup di kedua tangannya.
"In... Abang boleh nanya sesuatu?" tanyaku hati-hati. Zain mengangguk setelah menyeruput es sirupnya. "Kamu kan tau tentang hubungan Abang dengan Mamang Zaki-mu kan?" Zain nyengir dan manggut-manggut. "Setelah kami pisahan, apa dia terlihat dekat dengan orang lain?"
Zain tercenung sebentar. Tangannya meraih sebuah asbak besar disisi pilar teras. Aku sempat menduga Zain merokok, sampai akhirnya aku tercengang saat mendengar Zain bilang kalau Bang Zaki sekarang menjadi perokok aktif.
Bang Zaki? Menjadi smoker? Itu benar-benar mencengangkan! Dan lebih tercengang saat melihat jumlah banyaknya puntung rokok di asbak itu.
"Assalamualaikum...! Zain...! Kamu dimana?"
Mataku terbuka lebar mendengar suara panggilan yang berasal dari dalam rumah. Dan tepat saat aku terburu-terburu berdiri, kakiku terpeleset dan jatuh terjengkang, tapi...
"Tiki?!"
Bang Zaki meraihku tepat sebelum aku terjatuh. Lebih cocok kalau dibilang aku menabrak Bang Zaki sebenarnya.
Dan kami sama-sama tercengang saat kami berdiri berhadapan. Aku sampai mundur dua langkah untuk menatap Bang Zaki dari ujung kepala sampai ujung kaki. Sementara Bang Zaki sendiri cuma bisa berdiri mematung menatapku dengan mata terbuka lebar dan mulut menganga.
••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••
For the record
You oughta know
You wasn't thinking
When you let me go
But whatever
That's how it goes
Win some you lose some
And others you hold in your heart
Why it gets so hard
Tears you all apart
Even though you try to let go
No, no, no
Suddenly you're here
And it's so surreal
And I don't know
What the deal
Cause when I'm looking in your eyes
Feels like the first time
Give me one good reason why
We can't just press rewind
I don't wanna spend my life
Thinking what it could've been like
If we had another try (one time)
Like back in the day
That look on your face
Feels like, the first time
[ For The Record - Mariah Carey ]
••• ~~ ••• ~~ ••• ~~ •••