It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Aku menatap sahabatku yang sedang bercerita mengebu-gebu soal keluarganya, kadang aku ingin seperti dia karena selalu bisa mengapresiasikan dirinya. Terkadang ada sesuatu yang tak pernah ku tahu tentang hidupnya.
“Gue seneng deh Cal, pas bokap gue mindahin gue sekolah disini jadi gue bisa ketemu sama elu dan Riki.” Nadanya terdengar berat, aku hanya menatapnya untuk menanggapi kalau aku mendengarkannya.
“Gue juga seneng bisa jadi temen elu, walau terkadang elu suka ngeselin tapi tetap aja lu temen gue jadi gue harus terima resiko apapun diri elu.” Sandi meninju lenganku membuat aku meringis. “Sakit somplak.” semburku.
“Elu ngomong kagak pakai perasaan,” Gue tahu dia tak serius menanggapi ucapan ngawurku. Aku melihat dia tersenyum.
“Lu inget gak pas pertama kita ketemu?”
“ingetlah, lu jahilin gue dan itu buat gue murka hingga kita harus lari keliling lapangan karena hukuman guru. Sumpah gue kesel banget sama lu waktu itu.”
“Tapi gak lama kan?” Aku mengerling padanya dan tersenyum mengejek.
“Iyalah, ada Riki yang jadi temen lu makanya gue juga mau jadi temen lu.”
“Jadi semua karena Riki ya?” Sandi mengangguk mantap. Aku hanya manggut-manggut.
Tiba-tiba Riki datang dengan wajah memerah dan langsung tanpa basa-basi meninju rahang Sandi yang membuat pemuda pelontos itu tersungkur kearah meja. Aku keget mendapati Sandi jatuh mengenaskan. Tapi tak sampai disitu murka Riki, dia kembali meraih kerah baju Sandi dan membawanya pergi. Aku mengejar.
“Riki lepasin dia, lu apa-apaan?” Aku berhasil meraih lengan Riki tapi secepat itu pula ia menepisnya. Aku tidak habis pikir juga karena Sandi hanya diam saja diperlakukan begitu.
Ternyata Riki membawa Sandi keatap sekolah dan menghempaskan tubuh Sandi ke tembok pembatas. Aku melihat Sandi hanya meringis menahan sakit. Aku berdiri didepan Riki untuk melindungi Sandi.
“Minggir lu Cal, gue mau buat peritungan sama ni cunguk satu. Gue gak da urusan sama lu.” Nada amarah santer terdengar di suara Riki.
“Lu gak inget dia temen lu? Jangan gila lu!” Aku membentaknya berharab ia sadar dengan kelakuannya. Tapi entah setan apa yang mempengaruhinya.
Riki mendorong tubuhku hingga terjatuh kesamping dan dengan beringasnya ia meninju wajah dan perut Sandi. Aku bangun dan mendorong tubuh Riki hingga terpental. Kulihat Sandi sudah tak berdaya. Bodoh kenapa dia tak melawan. Riki kembali bangun dan menuju kearah sandi dan aku, dengan sigap kulayangkan tinjuku kearah wajah Riki tapi dengan cepat Riki membalas membuat rasa anyir terasa disudut bibirku.
“Kalau elu emang mau kita saling bunuh di sini, oke gue terima!” Teriakku.
“Dia udah buat Yesa menangis, gue gak bisa diem aja. Dia udah nyakitin perasaan cewek yang gue cinta. Bilang sama sahabat elu itu, sekali lagi gue lihat airmata jatuh dari mata gadis itu karena dia, gue gak akan tinggal diam.” Nada mengancamnya membuat aku hanya bisa terdiam, jadi semua Cuma gara-gara cewek.
“Songong lu, Cuma gara-gara cewek lu buat persahabatan kita hancur. Tai banget lu, nyadar gak sich elu. Dasar berengsek anjing!” Gue membentaknya membuat tatapannya berubah lembut. Aku meludah dan melihat memang darah di sudut bibirku.
“Lu makan tuh cewek, lu nyadar gak sich, jika pun Sandi nerima cintanya, elu sendiri yang bakal sakit. Gue yakin Sandi gak mau sama dia hanya agar bisa menjaga hati elu. Dia gak mau elu tersakiti jika nanti dia menjalin hubungan dengan cewek itu jadi lu mikir-mikir dulu kalau mau nyalahin dia atas air mata gadis yang elu cintai.” Aku marah didepan Riki yang membuat pemuda itu hanya tertunduk, mungkin dia sadar cara dia salah.
Ku hampiri Sandi yang sedang memegang perutnya yang kena tonjokkan Riki. Kulihat kemeja putihnya terkena darah. Kuangkat tubuhnya dan mengalungkan lengannya di pundakku, memapah dia buat berjalan meninggalkan tempat itu. Riki masih mematung di tempatnya tapi aku sudah tak peduli dengannya.
Kami sampai di parkiran dengan tatapan heran dari banyak anak tapi aku cuek saja membawa Sandi yang masih meringis.
“Kalian tidak apa-apa?” Aku melihat Yesa menghampiri dengan perasaan khawatirnya. Kulihat Sandi tak mengubris gadis itu.
“Gak apa-apa kan, hanya luka lecet. Besok juga baikkan.” Jawabku karena kulihat Sandi tak ada niat buat menjawab pertanyaan yang lebih ditunjukkan untuk dirinya itu.
Yesa memegang tangan Sandi yang bebas tapi dengan kasar Sandi menepisnya. Aku juga agak heran karena cara Sandi terlalu kasar pada gadis itu. Walau dia tak mencintain ya tapi dia juga tak boleh menyakitinya seperti itu. Yesa hanya menunduk mendapatkan perlakuan seperti itu.
“Aku minta maaf, Wenda memberitahu Riki semuanya sampai membuat Riki semarah itu. Aku tidak bermaksud membuat semua berantakan seperti ini.”
“Tapi elu sudah buat ini berantakan dari awal, Njing.” Sandi melepaskan lengannya dariku dan melangkah kearah mobilnya. Aku mengikutinya.
Tangisan gadis itu bahkan tak membuat Sandi luluh, Kulihat Yesa sudah berlari meninggalkan kami. Aku juga tak tahu harus berbuat apa.
“ Kenapa harus sekasar itu sih San?” Tanyaku pada Sandi yang masih mematung didekat pintu mobilnya.
“Gue gak mau dia terlalu berharab pada gue, karena itu akan lebih menyakitinya. Lebih baik dia membenci gue dari pada harus mempunyai perasaan sialan itu. Riki tidak boleh sakit hati, aku lebih memilih menanggung sakitnya.” Aku terhenyak mendengar penuturan Sandi, Sehebat itukah ia menyayanginya.
“Gue salut sama lu, segiitu sayangnya elu sama sahabat kita yang satu itu.”
“Elu salah.”
“Maksudnya?”
“Gue gak sayang sama dia tapi gue mencintainya dan itu melebihi dari batas seorang sahabat. Gue mencintainya saat pertama melihatnya. Dan gue bahagia dengan cinta diam gue.” Aku menganga entah pendengaran ku yang salah atau apa.
***
“Berantem lagi?” Tanya Nathan yang sudah duduk di kursi dekat ku. Aku hanya mengangguk menanggapinya. Pikiran ku saat ini sedang melayang entah kemana. Kulihat Nathan sedang memperhatikanku membuatku tak bisa mendiamkannya.
“Temen yang berantem, aku cuma menengahi tapi malah ikut kena.” Jawabku karena Nathan membutuhkan jawaban.
Nathan berjalan kedalam rumahku, entahlah mau ngapain dia tapi tak lama ia keluar dengan kotak obat ditangannya. Aku hanya menatap ia yang sedang sibuk mengoles obat merah kearah sudut bibirku. Aku hanya bisa menatap kepalanya dengan poni itu. Aku bisa mencium bau tubuhnya yang begitu menenangkan pikiranku yang kacau.
“Jangan jadi tengah kalau ada orang yang berantem karena itu akan lebih melukaimu daripada yang berantem itu sendiri. Jangan membuat dirimu terluka lagi.” Perhatian itu memang sering kudapatkan tapi kenapa akhir-akhir ini semua selalu terasa berbeda, ucapan Sandi kembali terngiang di telingaku.
Aku memegang tangan Nathan membuat ia menghentikan aktifitasnya. Aku menatapnya yang juga sedang menatapku. Aku melihat mata hazel itu syarat dengan tanda tanya.
“Jika ku katakan cinta,"
@nakashima
@DM_0607
@Adi_Suseno10 @abong @lulu_75
@4ndh0 @hendra_bastian @littlemark04
@arieat @bumbellbee @Adamx @Akhira @3ll0
@Asu12345 @Roynu
@chioazura @harya_kei @Bun @balaka
Jeeeh kayak Mas @4ndh0 berani aja klo ada diposisi Ical :P