It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Pagi dini hari aku tak menyangka seminar membosankan berujung pada pacuan adrenalin yang luar biasa. Aku mengemudikan mobilku seperti biasa sepertihalnya tiap kali aku selesai memberikan seminar di luar kota. Aku berjalan lambat. Biasalah yang penting selamat. Di usiaku yang lebih dari paruh baya ini rabun menjadi musuhku.
Semua tampak seperti biasa ketika kemudian kulihat pendar cahaya merah diantara kegelapan lebat yang memenuhi jalanan malam hari. Awalnya remang namun makin aku mendekatinya makin terang. Saat itulah aku melihatnya samar. Segera aku menghentikan mobilku. Hampir saja selip masuk jurang.
Dia terbaring di tepi jalan. Di ujung curam jalanan yang menurun. Tepat beberapa sentimeter lagi aku yakin dia akan ditemukan membusuk beberapa hari lagi. Mujur dia tersangkut akar pohon....pohon apa yah..aku tidak begitu paham jenis-jenis tanaman, tapi yang jelas akar pohon itu menahannya tidak jatuh lebih dalam lagi.
Aku turun dari mobilku. Hujan yang tadinya rintik terasa makin lebat. Aku tidak membawa payung. Hanya jaket tebal itu jadi modalku meninggalkan mobil tua kesayanganku. Nekat di antara petir angin dan sambaran air hujan aku meraih bocah malang itu. Pendar merah di tangannya makin kuat. Kudengar bunyi bip kencang berulang kali. Aku meraih ujung pakaian anak itu. Beruntung aku dapat meraih bagian yang kuat sambil tetap berpegangan pada dahan pohon di dekatnya. Sepatuku licin....oh yah aku tak pernah suka pakai pantofel. Hari ini menjadi justifikasi ketidaksukaanku pada jenis sepatu itu.
Sekuat tenaga kutarik badan itu. Masih hidup kah? Dia terasa lemas. Namun naluriku begitu kuat mengatakan dia masih hidup. Entah mengapa aku merasa pendar cahaya yang terus berkedip dan bunyi bip tak beraturan itu bagai sensor pertanda. Dia masih hidup.
Setengah menyesal aku terpaksa menyeretnya menuju jalanan. Membawanya ke tempat yang lebih aman. Kudekatkan telingaku ke dadanya. Masih....masih ada. Nafasnya juga masih ada walau nyaris tak terasa. Tanpa membuang waktu kuangkat dia ke dalam mobilku. Sesaat ketika aku siap menutup pintu mobil, kulihat tas mirip ransel yang tergeletak tak jauh dari sana. Aku turun lagi dari mobilku. Kuambil tas itu sekenanya dan kumasukkan ke dalam mobil. Kali ini tanpa buang waktu kuinjak gas dalam-dalam. Pertama kali sepanjang hidupku mobil ini tembus 90 kilometer perjam.
Dokter berlarian. Aku menunggu di luar. Semula hanya panik yang menyelimutiku. Kini perasaan aneh yang jauh lebih mendominasi. Tas! Aku tiba-tiba teringat. Sambil menunggu kabar bocah yang entahlah mungkin masih berjuang antara eksistensi dan kemusnahan di dalam ruang gawat darurat, aku melangkah menuju mobilku. Hujan sudah mulai reda. Tak susah bagi orang tua ini mondar mandir ke mobil.
Tas itu berbentuk unik. Entah anak ini punya selera fashion kelewat expert atau aku yang memang terlalu purba bagi zaman sekarang. Tapi aku tak pernah melihat desain dan material semacam ini sebelumnya. Warnanya abu-abu....tidak...biru...tidak...tas ini memiliki kemampuan menyesuaikan warna menjadi kontras dengan keadaan sekitar. Jantungku berdebar kencang. Aku tidak lupa minum obat jantungku, tapi kali ini berbeda.
Materialnya terbuat dari semacam karbon.....lebih tepatnya terbuat seperti karbon. Tapi lentur dan terasa lembut. Dan luar biasa ringan!
Kubuka tas itu. Kuraih beberapa benda yang ada di dalamnya. Sebuah kotak kaca yang aneh, dan terasa ada beberapa remah roti tercecer.....terasa seperti roti. Kudekatkan remah itu ke hidungku. Tercium seperti makanan. Berbagai peralatan...setidaknya terlihat seperti peralatan yang sama sekali tak kukenal. Beberapa tabung kecil berbentuk lonjong transparan. Kuamati dengan seksama. Kosong. Kudekatkan lagi tabung itu ke hidungku. Ada sedikit aroma segar yang tercium. Seketika kepalaku terasa ringan. Pernapasan tuaku ini terasa begitu lancar. Aku terbatuk. Kerongkongan dan tenggorokanku terasa penuh. Tak sadar kubuka pintu mobil dan tak kuasa aku memuntahkan sesuatu dari dalam mulutku. Cairan lendir kecoklatan yang begitu pekat. Dadaku menjadi sangat ringan. Aku takjub dengan kekuatan...entah benda apapun itu yang mengisi tabung lonjong itu. Kuduga mungkin semacam cairan untuk pernapasan. Semacam inhaler namun dengan khasiat yang luar biasa.
Aku kembali pada tas ransel itu. Makin penasaran aku dibuatnya. Sebuah buku catatan. Aku menduga demikian karena memang bentuknya seperti buku. Ada sebuah lambang aneh tarcetak di sampulnya dan beberapa tulisan dalam bentuk dan bahasa yang asing bagiku. Terlihat seperti semacam campuran antara tulisan sansekerta dan hieroghlyp. Tunggu.....memang tulisan ini asing tapi tidak terlalu asing. Aku membuka dasbor mobil. Kuambil buku catatan pribadiku di dalamnya. Kubuka halaman nyaris di tengah buku catatanku itu. Di sana terselip beberapa foto.
Aku tersentak. Beberapa tulisan dalam buku catatan bocah asing ini sama persis dengan tulisan pada lempeng yang sempat kuambil gambarnya puluhan tahun yang lalu. Reflek kulemparkan kembali buku catatan milik bocah malang itu ke dalam tasnya. Aku termenung. Otakku merangkai sebuah logika yang terdengar bagai kisah imajinasi. Perutku terasa mual.
Kesunyian malam nyaris menyeret imajinasiku menembus alam logika. Membuaiku dalam lamunan layaknya khayalan bocah taman kanak-kanak. Ketika kemudian sorot lampu dari ruangan UGD menyelamatkanku dari ketersesatan pikiran. Dokter keluar dari ruangan itu. Membuatku kembali berlari menemuinya. Meninggalkan sebuah rahasia yang kusimpan erat dalam tas mungil di dalam mobilku. Masih.....perutku masih mulas.
“Profesor Johan?” sapa dokter muda itu sambil membuka maskernya.
“Panggil saja Johan. Tanpa profesor.” Kusambut jabat tangannya.
“Baik Pak Johan.....ehmm....kami perlu membicarakan beberapa hal mengenai....hmm...anu......anak yang Bapak bawa kemari.” Dokter muda itu tampak agak syok.
Aku sudah menduganya!
***