It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@nakashima hahahahahahahaha kan aku anggota persatuan kemeruh indonesia
Ayah jarang sekali marah. Dia sangat sabar. Dia tidak marah waktu kupecahkan bingkai foto ibu. Ayah hanya mengusap kepalaku sambil membereskan pecahan kaca dari bingkai yang kujatuhkan. Padahal foto itu adalah barang kesayangan ayah. Kenangan terakhir ibu untuk ayah. Sebelum meninggal karena penyakit langka yang lama dideritanya.
Ayah juga tidak marah waktu aku secara tak sengaja meledakkan separuh sisi rumah. Aku suka bereksperimen di laboratorium ayahku. Mencoba mencampur berbagai macam cairan. Membongkar pasang segala macam peralatan. Sesekali aku berhasil membuat benda yang keren. Namun saat itu ketika aku melihat cairan yang kucampurkan tiba-tiba berasap, aku seera lari keluar rumah. Beberapa saat kemudian aku sudah terbangun di rumah sakit dan ayahku dengan muka panik menemaniku sambil terus mengusap kepalaku. Hari hari berikutnya aku sibuk membantu ayah membangun kembali sisi rumah yang hancur.
Begitu juga ketika sekelompok polisi mengepung rumah kami. Ayah yang sudah saking paniknya keluar dari rumah sambil mengangkat tangannya. Keringat dinginnya bercucuran. Bercampur antara bingung, takut, dan panik karena tidak tahu mengapa kami dikepung puluhan polisi dan pasukan militer negara. Sampai sampai taman di belakang rumah hancur kena medan elektrik pesawat militer yang terbang rendah mengintai kami. Hershire sampai harus datang sendiri untuk menenangkan keadaan. Tak disangka semua karena keisenganku bermain-main dengan jaringan komputer. Aku berhasil masuk ke sistem pertahanan federal dan mengunci akses semua nuklir yang dimiliki oleh negara. Empat ribu lima ratus hulu ledak dan titik nuklir berada dalam kendali jaringan komputer ayahku. Pantas saja ada Vorkriyan (mesin tempur terbesar yang dimiliki oleh Aemestry) terparkir tepat di depan rumahku. Tapi saat berikutnya ayah tertawa sekencang-kencangnya setelah tahu semua ini karena ulahku. Keadaan pun kembali terkendali. Tentunya dengan beberapa milyar Korsc (mata uang resmi Aemestry) sebagai denda dan jaminan pribadi Hershire yang turun tangan membebaskan kami. Tapi yang jelas ayah tidak marah. Yah....hanya tiga hari perawatan rumah sakit karena syok. Tapi tidak lebih dari itu.
Kali ini situasinya berbeda. Aku mengintip dari celah pintu ruangan yang biasa digunakan ayah untuk rapat dengan para petinggi Aemestry, termasuk Hershire, dan untuk pertama kalinya aku melihat muka ayah merah padam.
Saking takutnya aku melihat ayah semarah itu, secara tak sengaja aku menjatuhkan ensiklopedia yang biasa dibacakan ayahku menjelang tidur. Malam itu seharusnya ayah berada di kamarku sambil membacakan buku itu untukku. Namun buku itu malah terjatuh dan membentur pintu ruangan, menimbulkan suara yang cukup keras.
Aku terkejut. Setengah syok aku melihat dari celah sempit itu ayah menurunkan tangannya. Ia berbalik dan melihat ke arah pintu tempatku mengintip. Perlahan wajahnya kembali memutih, tidak lagi merah padam seperti sebelumnya. Ayah berjalan menuju pintu. Aku masih terpaku di sana. Tak tahu harus bagaimana.
Ayah menatapku lembut. Sedikit mimik syok dan menyesal tertinggal di muka ayah. Ia tersenyum dan menurunkan tubuhnya sejajar dengan tinggi badanku. Ayah melihat buku ensiklopedia besar yang tak sengaja kujatuhkan. Dalam diam ayah memungut buku itu.
“Kamu menunggu ayah?” tanyanya pelan. Telapak tangannya yang besar berada di atas kepalaku. Memberikan sentuhan lembut hangatnya kepadaku.
Aku mengangguk lemah. Masih takut. Tak berani berkata apa-apa.
“Uh....ayah...hmm..masih ada pekerjaan yang belum selesai. Uhh...hmm.....” kata ayahku sedikit bingung.
“Tidak apa-apa kalau aku yang menemani tidur untuk malam ini kan?” aku mendengar suara yang memecah kebingungan ayah. Aku menoleh ke belakang dan melihat Berrj’ berdiri di sana. Reflek aku mengambil buku ensiklopedia dari tangan ayahku dan berjalan mendekati Berrj’. Berrj’ meraih tangan kecilku dan menuntunku menuju kamar. Ayah hanya memandangi kami dari belakang. Orang-orang berbaju hitam masih menatap ayah dengan pandangan tajam. Tanpa bersuara. Kulihat Hershire mengedipkan mata padaku. Terdengar kembali perdebatan kencang setelah ayah menutup pintu.
Mataku yang semula terpejam perlahan terbuka. Samar kulihat sorot cahaya remang berada di atasku. Aku terbaring. Selimut hangat menutupi tubuhku, menjauhkanku dari dinginnya ruangan.
Mimpi? Aku bangkit dan duduk di tempat tidur. Masih dibungkus selimut. Aku menggosok-gosok mataku yang terasa berat. Barusan itu hanya mimpi. Bayangan peristiwa yang terjadi saat aku masih kecil.
Penuh rasa bingung aku memandang sekeliling. Dimana aku? Aku melihat dinding cokelat yang terlihat bersih. Jendela besar setengah terbuka dengan tirai putih yang menutupinya. Kurasakan sepoi angin dingin masuk dari jendela itu menerpa wajahku.
Aku melihat pakaian yang kukenakan. Bajuku? Dimana bajuku. Aku masih ingat ini bukan pakaianku. Kini aku mengenakan pakaian yang terasa aneh. Ringan...lembut...tapi aneh. Aku bangkit dari tempat tidurku dengan penuh kewaspadaan. Masih bingung.
Aku berjalan menuju sebuah meja di dekat jendela. Meja itu dipenuhi buku-buku yang terbuat dari bahan yang sedikit berbeda dengan yang biasa kugunakan di Aemestry. Tampak pernak-pernik tertata rapi di sana. Terlihat seperti sebuah mainan.
Aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi sebelumnya. Aku kedinginan. Makananku habis. Saat itu aku masih berada di tengah hutan. Aku kelelahan karena sudah beberapa hari aku berjalan di dalam hutan itu. Sudah dua harian sejak inhaler terakhir kupakai habis. Napasku sesak. Ditengah rasa lelah, lapar dan sesak napas, aku terjatuh. Kemudian semua menjadi gelap. Hal terkahir yang kurasakan adalah jam tanganku bergetar hebat. Suara Ai kencang beradu dengan suara bip yang terus berbunyi tak beraturan.
Oh iya.....Ai!
Aku meraba pergelangan tanan kiriku. Kosong. Dimana jam tanganku. Dimana Ai? Seketika aku dilanda rasa panik.
Dalam perasaan yang tak karuan, aku kembali melihat sekitar. Berharap menemukan sesuatu. Kemudian kulihat sebuah pintu di ujung ruangan. Perlahan penuh kehati-hatian aku berjalan mengendap mendekati pintu.
“Luar biasa Ai. Kalian benar-benar telah mencapai peradaban yang sangat tinggi. Ceritakan tentang Iloo dan Olii...apakah..apakah di sana panas..karena kalian punya dua matahari...maksudku..bintang....!”
Samar aku mendengar suara seseorang berbicara. Aku belum begitu menguasai bahasa planet ini. Tapi ada beberapa kata yang sudah dapat kupahami.
Kemudian aku mendengar suara yang cukup kukenal itu. Ai berbicara kepada orang itu. Melawan segala keraguan aku membuka pintu. Mekanisme peralatan di planet ini mudah dipahami jadi aku tahu bagaimana cara membuka pintu yang seperti ini.
Pintu terbuka. Aku melihat holografis Ai telah aktif. Ai muncul dalam bentuk hologram terproyeksi dari jam tanganku. Seseorang dengan rambut yang didominasi warna putih dan kulit penuh keriput duduk di depan Ai. Mereka – Ai dan orang itu- terdiam saat melihatku membuka pintu.
“Selamat pagi Mika. Kamu merasa sudah lebih sehat?” Ai tersenyum menyapaku. Aku mengangguk pelan. Pandanganku beralih kepada orang asing itu.
“Hai....sudah kuduga ukuran baju itu cocok denanmu. Tak banyak yang tersisa..tapi setidaknya masih ada.” Aku mendengar orang asing itu mengatakan sesuatu. Sebagian kata-katanya bisa kucerna, tapi sebagaian lagi terdengar seperti orang berkumur. Tapi aku merasa dia bukan orang jahat. Orang asing itu tersenyum kepadaku.
Aku masih diam di tempatku berdiri.
Orang asing itu menggerakkan tangannya. Menajakku untuk mendekat. Aku masih ragu. Kupandang Ai dan orang itu secara bergantian.
Orang asing itu berdiri dan terlihat seakan ingin berjalan mendekatiku. Reflek aku mundur selangkah ke belakang. Dia berhenti. Mengetahui keraguan dan ketakutanku.
“Kamu tidak perlu takut.” Katanya singkat. Tapi tidak dapat mencerna kata-katanya. Aku menampakkan wajah kebingungan.
“Ka-mu...ti-dak...per-lu.....ta-kut...pa-da-ku.” Orang tua itu mengulang kembali kata-katanya secara perlahan ditambah dengan isyarat pelaan dari gerak tubuhnya.
Aku paham apa maksudnya. Dia ingin aku tidak takut padanya. Perlahan aku bergerak maju....mendekatinya. ai hanya diam sambil memandangiku.
Aku melihat orang tua itu mengulurkan tangannya. Aku pernah melihat ini sebelumnya. Uluran tangan menjadi tanda perkenalan di planet ini. Aku menyambut tangannya perlahan. Hangat. Kurasakan tangannya sedikit kasar....penuh dengan guratan usia. Tapi tetap terasa hangat.
“Namaku Johan.” Kata orang itu singkat. Senyumnya masih terurai ramah. Mendominasi keseluruhan mimik wajah yang terbalut kacamata tebal itu.
“Mika.” Aku bergumam pelan.
***