It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
aku gereget ama keromantisan mereka berdua...
“Bagaimana kamu bisa berteman dengan dia?”
Abi sering mendengar mereka mengucapkannya dengan nada yang meremehkan setiap kali sosok Gio muncul di kampusnya. Sosok urakannya yang dipandang sebelah mata. Terkadang ia pun memikirkannya. Pemuda dengan surai sebahu itu selalu cuek dengan penampilannya sehingga sering membuat orang lain memandangnnya… takut. Jadi bagaimana ia bisa berteman dengannya? Ia pun bertanya.
Namun ketika ia melihat Gio, ketika pemuda itu tersenyum padanya, ia tahu tidak ada alasan khusus untuk berteman dengan pemuda itu.
“Sudah menunggu lama?”
Gio mengangkat wajah, mengalihkan pandang dari gerombolan mahasiswa yang melewatinya dengan gusar. Pemuda itu tersenyum lalu berdiri. “Tidak, baru saja.” Lalu merangkul bahu Abi. “Ayo.” dan mendorongnya pergi.
Setiap kali Gio sudah merangkulnya seperti itu, teman-teman yang dikenalnya menjauh darinya. Was-was dengan pemuda yang kini tengah merangkulnya. Karena setiap kali Gio ke kampusnya ia akan selalu dengan tampilan urakan yang membuat orang lain menilai negatif padanya. Meski sebenarnya ia terkadang risih dengan omongan sekitar, namun Abi tak pernah mengungkapkannya. Ia hanya sadar bahwa penampilan Gio adalah urusan pemuda itu sendiri. Ia tidak berhak mengaturnya.
Abi meneliti wajah Gio dari samping. Rambut sebahu pemuda itu terjatuh di bahu dan sebagian di sisi wajah. Ia bisa melihat rambut halus di garis rahang hingga dagu Gio. Terkadang pemuda itu tak mencukurnya hingga terlihat lebih tebal, namun kali ini sepertinya pemuda itu telah mencukurnya. Jujur saja, Gio bisa masuk ke dalam list pemuda menawan yang mampu meluluhkan dalam sekali pandang andai pemuda itu mau mempedulikan penampilannya.
“Ada apa?” Gio yang tengah menyetir meliriknya sejenak.
“Kemarikan wajahmu.”
“Hah?”
Abi menarik keluar gelang karet dari kantung celananya. Ah, entah sejak kapan karet gelang itu tak pernah absen dari sakunya. Ia mendekat, mencondongkan tubuhnya pada Gio dan mengikat rambut pemuda itu, menguncirnya ke belakang.
“Thanks.” Satu tangan Gio sudah mengelus pipinya lalu mengacak surai gelapnya, dan dibalas Abi dengan senyum tipis.
Sore itu ia di rumah Gio, seperti biasa. Kembali menikmati film yang mereka sewa. Ia duduk di sofa, sementara Gio melantai dengan menyandarkan punggung di dudukan sofa, tepat di hadapannya. Sementara Gio asik menikmati film, Abi terkadang meliriknya. Kedua tangannya kini menelusup ke sela rambut panjang Gio, dan pemuda itu tak mempermasalahkannya.
“Gio.”
“Ya, Bi?”
Gio orang yang baik, amat baik malah. Pemuda itu rela menuruti permintaan ibu Abi untuk membawa Abi keluar dari rumah, padahal hubungan mereka saat itu tidak begitu dekat. Abi juga tahu bahwa Gio sering berbohong, menunggunya hingga sejam di kampus. Gio bahkan rela mengantarnya kemanapun. Hubungan pemuda itu dengan sahabatnya pun sangat baik, meski keseringan bertengkat. Ia tahu Gio tipe yang lebih menaruh perhatian pada orang terdekatnya ketimbang diri sendiri. Sayangnya teman-temannya tak pernah melihat Gio seperti ia melihatnya.
“Kamu lagi ada masalah?” Gio menoleh padanya karena Abi tak kunjung bersuara, membuat Abi sedikit tersentak. Gio sudah berlutut di hadapannya, memandangnya khawatir.
Abi mendegus geli lalu tersenyum. “Tidak, tidak apa.”
Gio memeluk pinggangnya dan menarik tubuhnya semakin dekat. “Kamu bisa cerita padaku, kau tahu?”
Ah, seperti inilah Gio. Pemuda itu amat mudah khawatir. Dan kepeduliannya yang besar membuat Abi benar-benar tersentuh. Ia ingat pernah menangis semalaman ketika bayangan Erga menghantui perasaannya dan Gio menyadarinya. Dan di tengah malam, mengabaikan rasa kantuk, Gio meluncur ke rumahnya. Gio selalu mendengar keluh kesahnya, menemaninya dan tak pernah mengabaikannya.
Abi menatap mata coklat Gio. Ia seharusnya mengingat Erga ketika melihat mata dengan warna yang sama itu. Namun dengan pijar nakal yang terpancar di sana, Gio menjadi sosok tersendiri baginya. “Sungguh, aku baik-baik saja.”
“Kamu yakin?”
Pemuda mungil itu meletakkan kedua tangan di bahu Gio dan mendekatkan wajah dengan sedikit menunduk hingga kening mereka bertemu. “Seratus persen.” Bisiknya.
Apakah ada alasan lain yang ia butuhkan untuk berteman dengan Gio? Jawabannya tidak ada. Tidak peduli penampilan pemuda itu seurakan apapun, tidak butuh alasan untuk berteman dengannya. Dengan menjadi Gio, itu sudah cukup bagi Abi.
Kedua tangan Gio yang memeluk pinggang Abi menariknya lebih dekat. “Mau kubuatkan kentang goreng? Masih ada kentang beku di kulkas.”
“Boleh saja. “
“Oke.” Ia mengecup bibir Abi, membuat pemuda mungil itu tertawa pelan. Lalu Gio melepaskan pelukan dan berdiri. Sejak malam dimana Gio menciumnya, pemuda itu menjadi lebih sering menciumnya saat mereka tengah berdua. Sungguh lucu. “Tunggu di sini.”
Abi tertawa. “Aku selalu di sini, Gio. Tidak kemanapun.”
@3ll0 @Tsu_no_YanYan @balaka @JimaeVian_Fujo @lulu_75 @harya_kei @Cute_inuyasha @pyromaniac_pcy @Bun @meandmyself @Toraa @Zeva_21 @Pradipta24 @Asu123456 @akina_kenji @littlemark04
Maaf jika ada typo
@3ll0