It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
sya pernah buat satu happy end di kumpulan kisah kok. haha
@Pradipta24 ulala, saya dipeluk. *balashug
Jadian! Jadian! Jadian! #demo
Maaf jika ada typo.
---
Surprise
“Ini lagi sama teman-teman, setelah dari sini aku antar, oke?”
“Farid dan Lia?”
“Banyak, tapi mereka juga ada.”
“Oh.”
Diam sejenak, bahkan suara Abi tidak terdengar dari seberang telepon. Dan keadaan ini membuat Gio sedikit risih. “Kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?”
“Mengatakan apa?”
“Emm… menurutmu?”
“Aku tidak mengerti maksudmu, Gio.”
“Gio, cepetan sini. Gak usah kelamaan ngobrol. Yang lain udah gak sabar “ Suara seseorang terdengar.
“Tuh, dipanggil temanmu.”
Gio menghela. “Ya sudah kalau begitu. Kalau di sini sudah selesai, aku ke rumah.”
“Ya.” Dan sambungan diputus.
Sekali lagi ia menghela, dan menyisir rambutnya ke belakang dengan jemari, menatap layar ponselnya yang gelap. Ia berdiri disana cukup lama hingga temannya yang tidak sabaran memanggilnya. “Gio, ayolah. Yang lain sudah tidak sabar mencicipinya. Paling tidak potong kuenya secepatnya.”
Fine! geramnya dalam hati, dan memasukkan ponselnya ke dalam saku dengan kasar. Ia berbalik dan kembali masuk ke dalam café yang disambut dengan sorakan oleh teman-temannya.
Semenjak Abi mengiriminya pesan bahwa Gio tak perlu mengantarnya, Gio menjadi gusar. Duduk pun ia tak tenang. Ponselnya tetap bisu di atas meja, namun kakinya membuatnya mondar-mandir di depan TV. Ketika ponsel itu bergetar, ia segera menyambarnya. Namun sayang bukan dari orang yang diharapkannya. Ia berdecak dan kembali bermondar-mandir di sana.
“For God sake, Gio! Berhenti mondar-mandir kayak setrikaan!” Farid melemparinya dengan kulit kacang. “Kamu menghalangi pandanganku ke TV! Minggir!”
Gio menggeram, menatap sahabatnya itu dengan kesal. Tapi Farid tidak takut, dan membalas menatap sama kesalnya. Adu tatap berlangsung beberapa detik sebelum akhirnya Gio memalingkan pandang. Bukan kalah, ia hanya merasa sedikit pusing. Dengan kasar ia menghempaskan tubuhnya di single sofa, lalu menatap frustasi pada ponsel bisunya yang gelap.
“Dia hanya frustasi karena Abi belum mengucapkan selamat padanya.” Lia tertawa pelan.
Lalu Farid melirik jahil padanya. Pemuda itu tertawa pelan. “Ada yang kecewa karena gebetannya tidak tahu ulang tahunnya.” Lagi, Farid tertawa amat keras, bersama Lia yang cekikikan di sebelah.
Gio berang, ia menggeram dan melempari Farid dengan kulit kacang yang berhamburan di atas meja. Lalu ia menyambar ponsel dan dengan langkah lebar menuju kamarnya di lantai dua. Menulikan pendengarannya dari tawa Farid yang keras dan mengejek. Begitu ia sudah di kamar, Gio melempari ponselnya ke tempat tidur, mengusap rambutnya ke belakang akibat frustasi yang menyerang. Ia berkacak pinggang di sisi tempat tidur, menatap ponselnya berharap nama Abi muncul di sana.
Namun tidak, ponsel itu tetap gelap dan bisu.
Jujur saja, Gio bukan orang yang peduli dengan hari-hari seperti ini. Ia bahkan lupa hari ini ulang tahunnya, andai Farid dan Lia tidak mengajaknya ke café, dan teman-temannya muncul memberi kejutan seperti yang lalu-lalu. Ia tidak akan peduli pada ritual make a wish, tiup lilin atau potong kue yang orang lain sering lakukan. Ia akan membiarkan teman-temannya melahap habis kue yang seharusnya untuknya.
Ia tidak peduli.
Tapi ketika Abi menghubunginya siang itu, ada sedikit harap yang muncul. Ia berharap Abi akan mengucapkan selamat padanya dan mengucapkan doa-doa padanya seperti yang orang lain lakukan. Ia mungkin terdengar gila, tapi ia berharap saat itu Abi yang tengah menghubunginya, muncul di hadapannya dan memberi ucapan selamat padanya.
Tapi yang terjadi, tidak ada satupun ucapan selamat untuknya. Bahkan melalui pesan singkat pun tidak. Mungkinkah Abi lupa? Oh, ia bahkan sangsi Abi tahu hari ini ulang tahunnya. Lagipula apa yang harus di harapkannya? Mereka hanya teman, menurut Abi, sebatas itu. Oh, betapa bodohnya ia. Jadi Gio menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur dan menghela lelah.
Bahkan hingga malam tiba pun, ketika masih ada sedikit harap yang tersisa, Abi tetap tak menghubunginya.
Ponselnya tiba-tiba bergetar panjang di nakas. Ia meraihnya, melihat nama Abi berkedip di layar. Ia melirik ke jam weker yang menunjukkan angka sebelas. Ia masih mengantuk, tapi mungkin Abi sedang membutuhkannya. Meski enggan, ia menjawabnya. “Ya Bi?” suaranya serak karena ngantuk yang di ujung mata.
“Bisa bukain pagar rumahmu?”
“Hah, kenapa?” seketika kesadarannya utuh. Ia bangkit duduk di tempat tidur.
“Bukain pagar rumahmu. Cepetan! Di luar dingin.” Dan Abi memutuskan sambungan telepon.
Gio segera berlari ke bawah, membuka pintu dan menemukan Abi yang cengir di depan pagar. Buru-buru ia membuka lebar pagar, Abi mendorong motornya masuk. “Astaga Bi, kenapa kamu datang jam segini. Ini nyaris tengah malam.”
Tapi Abi hanya tertawa pelan sebagai jawaban. Gio menyentuhkan tangannya di punggung Abi yang terlapisi jaket abu-abu tebal dan menuntun pemuda itu masuk ke ruang keluarga. “Kenapa gak minta aku menjemputmu kalau ingin datang kemari?”
Lagi, Abi hanya tertawa pelan yang membuat Gio mendengus. Ia tidak mengerti apa yang pemuda itu pikirkan. Tadinya ia ingin kembali menasehati, tapi kemudian ia berdiri mematung di pinggir sofa begitu Abi mengeluarkan kotak kecil seukuran telapak tangan dari kantong yang dibawanya, yang Gio tidak sadari. Ketika ia menarik penutupnya, ada sebuah kue kecil berhiaskan ceri di atasnya. Abi menarik sebuah lilin dan pemantik api, menancapkan lilinya di puncak dan menyalakannya.
Gio tercengang dengan mata yang lebar. Abi meringis menatap kuenya “Maaf ya, kuenya kecil.” lalu menarik Gio untuk duduk bersamanya di sofa. “Hari ini belum berakhir kan?” Tapi pemuda itu masih bisu. Masih terkejut dengan apa yang terjadi. Lalu tawa pelan Abi terdengar dan berbisik pelan. “Happy Birthday, Giovanno Okta Anggara.”
“Damn you!” geramnya, namun ia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. “But thanks, really.” ucap Gio, menatap teduh pada Abi dengan mata sayunya.
“Apa ini mengejutkanmu?”
Gio mendengus geli. “Tentu saja.”
“Tadi siang aku ingin mengejutkanmu, tapi ternyata kamu sibuk.” Ucapan Abi mengingatkannya pada saat Abi menghubunginya siang itu. Oh, jadi untuk itu?
Abi melanjutkan “Tadinya aku malah berpikir untuk membuangnya. Tapi kue yang sudah kubeli bakal sia-sia dong. Lalu aku berpikir, bagus juga jika aku menjadi orang yang terakhir yang mengucapkannya.” Lalu Abi menatapnya tepat di mata, menunjukkan mata yang tengah melengkungkan senyum itu. Lalu ia berseru pelan “surprise”
Gio tidak bisa untuk tidak tersenyum. Ia menyadari, pantaslah ia menyukai pemuda ini. Ia mendekatkan diri, menyentuhkan kening mereka. “Kupikir kamu tidak tahu, aku nyaris menyerah untuk menunggu.”
Abi tertawa, dan malam ini terdengar lebih menggelitik di telinga Gio. Pemuda itu mengambil kue mungil di meja, api telah membakar hingga setengah lilin. “Tiup lilinnya –eh, make a wish dulu.”
Gio tertawa pelan “Kalau begitu nyanyikan lagu ulang tahun untukku.”
Abi berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Jangan menertawai suaraku ya.” Lalu ia berdeham dan dengan suaranya mengalun di ruangan, memecah malam.
Happy birthday, Gio
Happy Birthday, happy birthday to you
Sungguh dada Gio berdesir begitu mendengar suara Abi. Begitu lembut nan menenangkan. Ia menatap mata pemuda yang kembali tersenyum padanya sebelum menunduk meniup lilin. Abi membantunya, menyingkirkan helaian rambutnya yang terjatuh di depan wajah, nyaris mengenai api.
Abi meletakkan kue itu di meja dan kembali mengambil sesuatu dari kantung plastik yang ia bawa. Ia menyerahkannya di tangan Gio, sebuah benda hijau cerah seukuran telapak dengan logam perak yang terapit di tengah. Sebuah pisau buah.
Gio menatap Abi yang meringis. Pemuda di hadapannya itu berkata “Aku tidak tahu hadiah apa yang cocok untukmu. Tapi karena kamu bisa masak, aku membelikanmu pisau. Bukan pisau besar sih, cuma pisau lipat. Dan lihat, aku pilih warna yang cocok dengan apronmu.” Lalu terkekeh.
Sungguh ia tersentuh. Ia tidak berharap pemuda itu memberinya kejutan dan hadiah, mengucapkan selamat padanya itu sudah cukup bagi Gio. Tapi sungguh, Abi benar-benar membuatnya jatuh cinta. Gio tidak tahan untuk mengecup bibir pemuda itu, tapi tidak, ia tidak bisa melakukannya. Jadi Gio meraih kepala pemuda itu dan mengecup keningnya. Beruntung Abi tidak menolaknya.
“Thanks again, Bi. Aku sangat menyukainya, sungguh.”
Dan Abi tertawa, tawa yang membuat dada Gio berdesir hebat.
Pagi itu, Farid sudah berada di rumah Gio, mengetuk pintu rumah pemuda itu dengan tidak sabar. Bukankah ia sudah memberitahu pemuda itu sebelumnya bahwa ia akan datang pagi untuk mengajaknya jogging? Ini sabtu, dan seharusnya sudah siap sejak tadi, seperti biasa. Tapi pemuda itu bahkan tak menjawab telponnya.
“Gio! Jangan jadi kebo!” teriaknya.
Dan pintu terbuka. Gio masih tampak seperti orang baru bangun tidur. Matanya semakin sayu dan rambut sebahunya tampak berantakan. Ada bulir air yang jatuh di dagu, menunjukkan bahwa pemuda itu baru selesai membasuh muka.
“Kita sudah harus berlari sejak tiga puluh menit lalu!” sembur Farid, lalu melangkah masuk, tidak peduli meski sepatu olahraganya masih melekat di kaki. “Aku sudah menghubungimu beberapa kali, tapi kamu tidak menjawab. Apa sih yang kamu lakukan semalam sampai— Oh. My. God!”
Farid melotot. Ada Abi yang tengah tertidur di sofa membelakangi sandaran. Ada kue mungil di meja yang tinggal sepertiganya. Lagi ia melirik Abi, dan menyadari ada sisi yang lengang di depan pemuda itu. Oh, ia mengerti. Ia melirik Gio lalu menaik turunkan alisnya.
“Ada yang bersenang-senang semalam, rupanya.” Godanya.
@cute_inuyasha kebetulan banget sama. haha atau mungkin saya terinspirasi dari anda. hahaha
@Pradipta24 udah saya mention loh *hugagain
@Tsu_no_YanYan nanti saya sampein ke Gio pesanannya. hehe
jadian! jadian! *ikutan
@JimaeVian_Fujo semoga doa anda cepat terkabul. hahahaha
makasih nong atas mentionnya... *kecupkening* *peluklamaaa* .
@Pradipta24 duuuh... kudoain biar ketemu sosok yang bisa anda bahagiaan lahir dan batin deh.
sama-sama *balaskecup