It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Maaf jika ada typo.
---
When The Night Comes
Malam itu, Abi mengirim pesan pada Gio. Hanya pesan sederhana.
Tapi ketika melihat nama Erga di kotak masuk, Abi tenggelam dalam rindu yang dalam. Derry pernah mengatainya orang yang bodoh, dan Abi tidak peduli. Abi akan memeluk guling, dan menghadap pada sisi tempat tidur yang sengaja ia kosongkan. Mengingat ketika pemuda yang mengisi hatinya itu berbaring di sana, menghadap padanya, menatapnya penuh cinta. Menyentuh tangannya dan memberikan sentuhan-sentuhan bagai candu untuknya. Ia rindu, dan masih membayangkan pemuda itu berbaring di hadapannya.
Ketika rindu itu semakin menggebu, Ia akan menatap layar ponselnya, membaca pesan dari Erga yang tak satupun ia hapus. Ia akan tersenyum, tertawa, bahkan bersedih setiap kali ia membacanya. Dan membuat dirinya terjebak dalam malam sendu yang panjang.
Mungkin rindu yang hebat telah menenggelamkan kesadarannya, Karena jemarinya telah menyentuh nama Erga dan menekan tombol panggil di sana. Ia hanya menatap nama dan foto Erga yang muncul di layar ponselnya, tidak menyadarinya. Hingga ketika suara berat dari seberang terdengar, Abi tersentak, baru menyadari kesalahan fatal yang ia buat.
“Halo?”
Abi merasa debar yang sudah lama ia tidak rasakan. Perutnya melilit hebat.
“Abi.”
Dan Abi tidak bisa menahan diri untuk menangis ketika mendengar pemuda itu menyebut namanya. Erga menyebut namanya sama seperti saat mereka bersama dulu. Ada kasih di dalamnya. Ia menggigit bibir, menahan isakan yang akan segera meluncur.
Tak ada lagi suara dari Erga, tapi panggilan belum terputus. Apakah pemuda itu menunggu dirinya untuk menjawab? Apakah pemuda itu juga menunggu namanya meluncur dari mulutnya, menyebutnya penuh kasih seperti yang biasa mereka lakukan dulu?
Tapi tidak. Abi bertahan untuk diam meski nama Erga telah berada di ujung lidahnya. Ia berkuat menahannya di sana. Ia tidak ingin pemuda itu merindukannya lagi, ia tidak ingin pemuda itu merasa tersiksa seperti dirinya.
Jadi segera ia memutuskan sambungan, lalu melepas isakannya, menyebut nama Erga di selanya.
Nama Gio muncul di layar. Pemuda itu menghubunginya. Abi segera menyeka air matanya meski mustahil. Ia berdeham pelan lalu mengangkat telepon. “Halo?” suaranya terdengar serak.
“Halo.”
“Kenapa, Gio?”
“Aku tadi mencoba menghubungi, tapi nomormu sibuk.”
“Oh, maaf. Tadi aku sedang menelepon.” Dan sialnya, isakan itu mengalir dari mulutnya.
“Kamu menangis?”
“Tidak.”
“Bi…”
“I’m fine, Gio.” dan Abi memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
Abi tengah berbaring memeluk guling, menghadap sisi yang selalu sengaja ia kosongkan. Hingga ponselnya bergetar, nama Gio muncul di sana. Ia menjawabnya. “Halo?”
“Aku di depan rumahmu. Cepat turun.”
“Apa?” Abi bangkit, tergesa ia menghampiri jendela kamar yang menghadap ke jalan. Dan benar, Gio berada di sana, di berdiri di samping mobilnya dengan ponsel di telinga, tengah melambaikan tangan ke arahnya. Sambungan terputus.
Abi segera menyeka air matanya, berhati-hati turun ke bawah agar tidak membangunkan ibu dan ayahnya yang sudah terlelap. Ia segera membuka pintu dan pagar rumah. Gio dengan kaos oblong puth dan celana pendek tengah tersenyum miring padanya. Sepertinya pemuda itu hendak tidur tadinya.
“Ngapain kamu di sini jam segini?” sembur Abi.
“Aku hanya datang membantumu.”
“Astaga, demi Tuhan aku baik-baik saja.”
Tapi Gio menggeleng dan berdecak. “Kamu berdosa bersumpah demi Tuhan, karena faktanya kamu berbohong.” Ia menyentuh mata Abi. “kamu menangis.”
Abi mendesah, ia tahu percuma untuk melawan. “Oke, oke, terserah padamu.”
“Nah, kalau begitu…” Gio merangkul bahu Abi dan melangkah masuk melewati gerbang. “… malam ini aku menginap.”
“Hah? Kenapa?”
“Untuk mencegahmu melakukan hal yang tidak-tidak. Bunuh diri misalnya.” Lalu ia tertawa pelan, mengabaikan pelototan Abi padanya.
“Aku tidak setolol itu.”
“Oh ayolah, Bi.” Gio melepas rangkulan, berkacak pinggang menghadap Abi. “Kamu tidak kasihan padaku? Aku sudah jauh-jauh datang kemari. Bagaimana kalau aku ngantuk di jalan dan kecelakaan? Namamu bisa terseret ke pengadilan.”
“Kamu mengancamku?”
“Aku hanya bercanda.”
Abi mendengus sebal. Tadinya ia tergoda untuk sekali lagi mengusir. Tapi melihat raut Gio ia tahu ia tidak bisa setega itu. “Oke, baiklah.”
Malam itu, Gio berbaring di sebelahnya, mengisi sisi yang kosong, menghadap padanya dan tersenyum. Tadinya Abi ingin menyuruh pemuda itu untuk tidur di bawah, karena sisi itu milik Erga. Tapi ia tahu ia tidak bisa setega itu pada Gio.
“Tidurlah.” Gio menyapu rambut di kening Abi. “Atau kamu mau aku menyandungkan lullaby untukmu?”
“Tidak perlu.”
Dan Gio tertawa pelan. “Kalau begitu, bernyanyi untukku.”
“Aku…” ada jeda yang panjang. “…suaraku tidak bagus.” Lalu Abi berbalik, memunggungi Gio.
Gio tahu ia telah menarik satu masalah keluar. Ia menghela, menyadari kesalahan yang telah dilakukannya. Jadi ia mengelus rambut pemuda itu sebelum meletakkan tangannya di pinggang Abi dan menariknya mendekat, memeluknya dari belakang.
“Aku mengerti. Tidurlah.” Bisiknya
Dan sejak malam itu, setiap kali malam beranjak membawa kantuk, Gio akan menghubunginya via pesan singkat, telepon atau mengirimkan puluhan emoticon di aplikasi sosialnya. Mereka akan menghabiskan waktu untuk melempar olokan, atau membahas hal-hal yang tidak masuk akal.
Their Relationship
Apakah Derry melewatkan sesuatu? Ya, pemuda itu yakin ia melewatkannya. Tiba-tiba saja di kampus ia melihat Gio, duduk di bangku panjang koridor. Abi disebelahnya menyapa pemuda bersurai sebahu itu dengan sumringah. Dari cara Gio tersenyum dan dari cara pemuda itu menatap mata Abi, Derry yakin ia telah melewatkan sesuatu yang penting.
Derry pernah bertanya, seperti apa hubungan mereka, dan Abi menjawab. “Dia hanya membantuku menyelesaikan masalah.” Oh ya? Padahal ia yakin, Abi bukanlah tipe orang yang mau mengumbar masalahnya ke orang yang belum cukup lama ia kenal.
Farid dan Lia merasa bahwa hubungan Gio dan Abi jadi lebih dekat. Sahabatnya itu sering membawa Abi ke rumah. Mereka pernah bertanya pada Gio apa status hubungan mereka, dan pemuda itu menjawab “Hanya teman.” Oh, hanya teman kah? Mereka yakin bahkan lebih dari itu. Gio bukanlah tipe orang yang membawa ‘hanya’ teman ke rumah. Gio bukanlah tipe orang yang mau repot memasak makan siang untuk ‘hanya’ teman. Dan Gio bukanlah tipe orang yang mau merepotkan diri menjadi supir untuk seorang ‘hanya’ teman.
Sama halnya dengan Derry, Farid dan Lia pernah bertanya seperti apa hubungan mereka, dan Gio menjawab “Aku hanya membantunya lepas dari masalah.” Oh ya? Padahal mereka tahu Gio bukan tipe orang yang mau repot-repot membantu orang lain.
Lalu seperti apa sebenarnya hubungan mereka?
@lulu_75 yap, masih.
@Bun haha TTMan ya. mungkin seperti itu.
Abi tahu Gio sedang risau dengan masalah yang berputar di kepalanya. Gio tidak bercerita padanya, tapi Abi bisa melihatnya dengan jelas. Gio tak berbicara apapun padanya sejak pemuda itu menjemputnya. Abi hanya bertanya sekali “Kamu baik-baik saja?” yang dijawab dengan gumaman oleh Gio.
Tidak, Gio tidak baik-baik saja, pikirnya.
Seperti hal yang biasa mereka lakukan, kebanyakan waktu siang mereka habiskan di rumah Gio. Rumah mewah minimalis itu sepi, ayahnya jarang di rumah, dan ibunya tidak tinggal di rumah itu. Itu yang Abi tahu. Biasanya mereka akan duduk di sofa, menikmati cemilan yang dibeli di minimarket sambil menonton film yang mereka sewa.
Tapi kali ini tidak. Gio duduk di ujung sofa, menghela pelan dan menengadah menyandarkan kepalanya. Abi berdiri di depannya, menatap risau pada pemuda itu. “Ada yang membuatmu risau?”
Gio diam. Ia meluruskan kepala, menatap Abi sejenak. Lalu mencondongkan badan, memeluk pinggang Abi dan membenamkan wajah di perut pemuda itu. Abi terdiam untuk beberapa detik, sebelum kedua lengannya berada di kedua bahu Gio, memeluk renggang kepala pemuda itu.
Tidak ada satupun dari mereka yang berbicara. Abi membiarkan Gio memeluknya, membenakan wajah di perutnya. Ia bisa merasakan sedikit napas hangat yang menggelitik perutnya. Satu tangan Abi di bahu Gio, satu tangan lainnya di rambut pemuda itu, mengelus pelan dan menyelipkan jemarinya di antara rambut Gio. Ia menyisirnya rambut panjang itu ke belakang.
Dan pasangan kekasih sinting sahabat Gio muncul. Lia terkesiap. “Oh my…” bisiknya antusias. Satu tangannya menutupi mulutnya yang terbuka karena kaget.
“Astaga, kami tidak bermaksud mengganggu.” Farid yang berbicara. Ada nada geli di sana.
Gio tidak menanggapi, mungkin berpura-pura tuli. Sementara Abi hanya tersenyum canggung pada keduanya. Ia tidak mendorong Gio menjauh darinya, jemarinya bahkan masih menyisir rambut Gio. Ia sudah mulai terbiasa dengan keberadaan dan tingkah absurd Farid dan Lia.
Farid menyeret kekasihnya segera setelah berkata “Ayo beib kita ke dapur cari makan, tidak baik mengganggu kemesraan mereka.” Tapi nyatanya, sepasang kekasih itu tidak melakukannya. Mereka memang ke dapur, tapi selanjutnya mengintip apa yang terjadi di ruang keluarga. Sungguh mereka gemas pada pasangan tanpa hubungan jelas itu.
Abi menunduk menatap Gio yang masih menyembunyikan wajah. Ia masih menyisir rambut pemuda itu. “Kamu baik-baik saja, kan?”
Gio hanya menjawabnya dengan gumaman “Hmm…” membuat perut Abi terasa geli, berusaha menahan tawa. Gio tampak berbeda, sangat berbeda ketika memikirkan masalah. Sepertinya masalah itu terlalu berat untuknya. “Apa yang bisa kulakukan?” tawar Abi.
Gio mengangkat wajah, menatap pada mata Abi. “Maksudmu?”
“Kamu sudah sering membantuku. Kini aku yang membantu.”
Gio mendengus dan tersenyum tipis, lalu kembali membenamkan wajah. “Kalau begitu biarkan seperti ini untuk sementara.” Dan Gio memeluknya lebih erat, menarik tubuh Abi mendekat di antara celah kakinya.
Abi tertawa pelan. “Oke.” Lalu memeluk kepala Gio dan kembali menyisir rambut sebahu pemuda itu.
@lulu_75 that's it! Tepat! Hahaha Tapi Abi nya aja yang masih belum move on.