It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@3ll0 jika dia nyata tntu km ikut dlm daftar terpesona...
cetartttt
arya harus ma erwin harussss ya
@yeniariani
klo update dimention ya
tnks
Aku menggenggam tanganku dengan gelisah, mataku terus melirik ke arah pria yang kini pokus menyetir atau dia berpura-pura pokus hanya untuk menghindari percakapan denganku. Aku sendiri tak mampu untuk bersuara lebih dulu, entahlah aku serasa salah, salah atas sesuatu yang tak ku ketahui itu apa.
Aku mengambil ponsel di saku celanaku hanya untuk sekedar membunuh waktu yang serasa menghimpitku.
Banyak pesan dan itu dari Arya. Pesan yang tak penting menurutku.
Aku bisa gila kalau lama-lama dia hanya diam seperti sekarang, sial juga kenapa harus terjebak di antara mereka semua. Aku memberanikan diri berdehem tapi dia tak meresponku bahkan menatapku saja tidak.
“Masih betah bisu?” Aku bertanya mencoba membuat candaan garing dan sangat jelas ke garingannya melihat dari responya yang tak merespon dan itu membuatku membenci keadaan ini.
Tiba-tiba mobil berhenti dan aku cukup terkejut karena melihat kosanku di depan sana, semudah itukah kami sampai dan bahkan dia belum menjawab pertanyaanku barusan. Sial, semuanya makin memusingkan saja.
Dia diam dan terus menatap ke depan, menunggu aku turun dari mobilnya. Mungkin dia tak tega untuk mengusirku dan memilih menunggu aku merasa tak tahu diri untuk segera keluar dari mobilnya.
“Kamu yang memaksaku untuk datang ke pesta itu dan kamu juga yang memaksa untuk tinggal lebih lama dari yang seharusnya.” Aku mulai berucap dengan nada geram
“Tapi bukan aku yang meminta untuk mengiyakan pertanyaannya, kamu ingat?” Dia menatapku dengan tatapan yang baru pertama kali kulihat. Bahkan saat dia menyeretku dari meja itu dia tak memberikan tatapan itu padaku.
“Itu hanya permainan oke?”
“Dia bukan orang yang suka main-main dan aku tahu dia akan selalu serius dengan ucapannya.”
“Itu dia bukan aku!”
“Kamu hanya tak tahu dia, kamu akan mengerti jika sudah mengenal dia.” Ben kembali mengarahkan pandangannya ke depan dan mencengkram stir mobinya dengan kuat terlihat dari urat tangannya yang menonjol.
“hanya malam ini saja kami bertemu dan tak akan ada yang namanya mengenal dia.” Ben tersengih dengan seringaiannya seolah mengejekku atas kata-kata yang ku ucapkan barusan. Dengan kesal aku keluar dari mobilnya dan menutup pintu mobil dengan sekeras mungkin. Bahkan aku ingin pintu itu rusak sekalian.
Dia memelukku dengan erat seolah tak ingin melepaskan aku. Aku hanya mampu memegang tangannya yang ada di pinggangku. Aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang tak teratur. Dadanya terus menekan punggungku semakin mempererat pelukannya.
Aku mendesah menatap depan kosanku yang memang selalu sepi dan cahaya temaramnya. Aku masih merasakan nafas Ben yang tak teratur di belakangku. Ku balik tubuhku dan melihat dia yang sedang menatapku dengan tatapan yang sungguh membuat aku tak ingin menyakitinya.
“Maaf.” Aku berucap memegang tangan kirinya dan menggeseknya di wajahku. Entah untuk kesalahan apapun yang telah aku perbuat untuknya, aku hanya ingin meminta maaf dan membuat dia melupakan semua yang terjadi hari ini.
“Aku sudah tak bisa menahan semuanya, aku benci kamu bersama orang lain. Aku benci kamu berhubungan dengan orang selain aku. Aku mencintaimu dan kamu sangat tahu saat aku mengatakan itu dulu aku sangat serius walau nyatanya kamu hanya menanggapi itu dengan senyuman tapi aku selalu mencintaimu. Bahkan sekarang rasanya sakit sekali mengetahui kamu malah mengiyakan pertanyaan dia dengan mudahnya sementara aku,”
“Hei, aku hanya sekedar bermain dengannya. Aku janji tak akan ada yang namanya serius.” Aku memotong ucapannya dan memeluknya berharap itu sedikit membantu rasa sakitnya yang di sebabkan olehku.
“Aku mencintaimu.” Dia kembali berucap dalam pelukanku.
“Sepupuku tersayang.”
***
Aku memakai ranselku dan sepatu putih yang baru ku beli dua hari yang lalu. Ku langkahkan kaki keluar dari kosan dan bersiap untuk menuntut ilmu yang dinamakan dengan kuliah.
Sedikit terkejut kudapati sebuah mobil sport putih terparkir dengan anggunnya di depan gerbang kosanku. Siapakah pemilik mobil indah itu?
Aku mengunci pintuku dan berjalan keluar gerbang. Seseorang keluar dari mobil itu dan cukup membuat aku olahraga jantung karena mendapati Rionlah yang keluar dengan setelan yang berbeda dari yang tadi malam. Dia semakin tampan dengan setelan santainya dan aku mulai tak suka dengan diriku karena begitu mudah terpesona dengan pria bermata elang ini.
Dia tersenyum membuat aku ingin membalasnya tapi urung kulakukan mengingat ucapanku dengan Ben tadi malam, tentu saja aku tak ingin menjilat ucapanku sendiri jadi aku harus bisa menghilangkan pesona seorang Rion dari diriku.
“Ternyata lama juga menunggumu.” Dia berucap saat sudah cukup dengan denganku dan kata-katanya sukses membuat alisku bertaut dengan bingung. Lama menunggu? Aku kurang ngeh dengan ucapannya yang itu.
“Menungguku?” Aku menunjuk diriku dan dia mengangguk dengan antusiasnya dan senyum itu terus terpampang lebar.
“Kenapa menungguku?” Tanyaku lagi mencoba mengalihkan tatapanku dari mata sayunya.
“Kamu ingat kita jadian tadi malam dan sekarang sudah sepantasnya aku menjemputmu karena kamu adalah pacarku.” Suaranya tanpa keraguan. Aku melongo cukup terkejut dengannya, sungguh dia manusia tak terduga.
“Tadi malam hanya sebuah permainan, tidak mungkin kamu melupakan hal itu.”
“Pertanyaanku bukanlah sebuah permainan.” Balasnya dengan memajukan wajahnya lebih dekat denganku membuat aku memundurkan tubuhku.
“Tapi aku tak memiliki rasa apapun padamu.” Benarkah aku tak memilikinya?
“Belum dan itu tak akan lama.” Dia menarik tanganku dan memaksaku masuk mobilnya. Aku sempat berontak tapi dia dengan sungguh memaksa hingga aku sudah duduk manis di mobilnya. Dengan cepat ia memakaikan aku sabuk pengaman kembali membuat aku melongo dengan wajahnya sedekat itu padaku.
Tanpa ku sadari dia sudah duduk manis di sampingku dan memakai sabuk pengamannya lalu melajukan mobilnya dengan mulus menuju tempat kuliahku.
“Aku tidak tahu apa yang kamu inginkan dariku, hanya saja apapun itu katakan sekarang agar aku lebih mudah memberikannya padamu tanpa perlu mendekatiku terlalu lama karena aku tak terlalu suka dengan hal itu.” Aku membuka percakapan dengannya, menyuruh ia to the point.
“Aku menginginkanmu, bisakah kamu memberikannya sekarang dengan setulus mungkin.” Dia menjawab tanpa menatapku dan itu cukup membuatku ragu akan kebenaran dari mulutnya. Aku hanya mampu diam.
“Pasti tak akan mudah kan? Jadi aku akan berjuang dengan keras dan kuharap perjuanganku tak sia-sia.”
“Rion!” Aku mendesiskan namanya.
“Hmm.” Dia menjawab dengan gumaman dan gumamannya cukup tenang.
“Aku tidak suka sesuatu yang tak ku tahu kejujurannya.” Aku menatap dengan tajam tapi hal yang tak ku duga terjadi, dia memberikan aku senyuman dan membelai lembut rambutku membuat aku tak bisa berkata apa-apa lagi.
***
Dengan kesal aku keluar dari mobilnya, aku benci keadaan ini. Aku benci dengan hatiku yang berdebar tak tenang seperti ini. Aku melangkahkan kakiku dengan kesal. Aku harus mencari pelampiasanku agar aku bisa melupakan degupan sialan ini.
Aku melangkah dengan cepat, dan aku sampai tangga di dekat tangga kantin. Aku melihatnya sedang berdiri dengan Bara dan selalu dengan pose yang sama yaitu menempel di lengan Bara.
Aku berjalan mendekati mereka berdua membuat kebingungan terlihat di antara mereka dan dengan cepat pula aku menyambar bibir yang di baluti dengan lipglos tipis itu dengan bibirku. Aku melumat bibirnya seolah menumpahkan semua yang kurasakan sekarang. Aku ingin semuanya menghilang, aku ingin bebas dari rasa aneh itu.
Pukulan telak mengenai wajahku dan sukses membuat aku tersungkur hingga mencium lantai. Dengan terhuyung aku bangkit dan menatap marah pemukulku itu. Bara berdiri di sana dengan dada naik turun, amarah terlihat menguasainya tapi aku hanya menyeringai.
“Erwin, kamu sudah kelewatan.” Aku mangarahkan pandanganku ke atas dan kulihat Zion ada di sana dengan Haikal. Zion menuruni tangga dan menatapku dengan tatapan kecewanya tapi aku sudah tak peduli dengan semuanya.
Lagi-lagi Bara mengincar wajahku tapi Seina menghalanginya dan berdiri di depanku. Cukup terhibur juga aku dengan pembelaan cewek ini.
“Berhenti memukul pria yang ku cintai.” Seina berteriak membuat semua orang melongo, termasuk anak-anak yang berlalu lalang. Ada juga yang sampai berhenti karena melihat perdebatan yang cukup seru.
“Apa kamu gila? Aku pacarmu!?” Bara terlihat geram dan wajahnya sudah sangat merah padam. Aku hanya mampu tersenyum di balik punggung Seina.
“Kamu tidak sadar kalau selama ini, aku tidak pernah memiliki perasaan apapun padamu karena aku hanya mencintai Erwin. Hanya Erwin yang ada di hatiku dan aku cukup senang dia menciumku sekarang. Ngerti!” Seina menunjuk dada Bara yang berdiri cukup dekat dengannya.
“Hah, jadi kalian selingkuh?” Bara tertawa dengan tawa yang kentara akan kesakitannya. Haruskah aku merasa bersalah sekarang? Sepertinya belum saatnya.
“Mulai sekarang berhenti memukul pria yang ku cintai.” Seina tak menanggapi tanya yang di lontarkan Bara.
“Kamu tidak ingat kalau orang tua kita sudah menjodohkan kita. Jadi kamu tidak mungkin bisa bersatu dengan bangsat seperti dia.” Bara menunjuk ke arahku yang kubalas hanya dengan bibir tertekuk, mengejek lebih tepatnya.
“Aku tidak peduli dengan pertunangan itu dan aku yakin papaku akan ngerti kalau aku mengatakan yang sebenarnya sama dia.”
“Kamu terlalu berharap.”
Zion mengambil tanganku dan menarikku pergi dari sana, Seina tak dapat mengejarku karena masih terlalu sibuk beradu argument dengan kekasih tercintanya. Aku hanya mengikuti langkah Zion dan baru ku sadari kalau Haikal juga mengekor di belakang kami.
Ternyata Zion membawaku ke taman kecil yang ada di kampus kami, dia mendudukkan aku di bangku di bawah pohon rindang.
“Jadi kalian pacaran?” Tanya Zion mulai menginterogasiku, Aku mendongak menatapnya yang sedang berdiri bersama Haikal dengan tangan yang ia silangkan di dadanya.
“Mungkin iya.” Jawabku santai dengan menyandarkan tubuhku di bangku.
“Kok mungkin sih Win?” Tanya Zion lagi.
“Sudahlah berhenti membahasnya.” Jawabku malas.
“Kamu tadi menciumnya dengan sangat bersemangat pasti kamu begitu lama memendam perasaan kesal melihat dia terus bersama Bara?” Haikal menebak dengan senyum lucu, Zion menatap Haikal dan aku bergiliran mencoba mencari kebenaran di antara mata kami berdua.
Aku bangun dan menutup mata Haikal dengan tangan kananku dan tangan kiriku memegang kepala belakangnya. “Anak kecil di larang menonton hal seperti itu.”
“Apaan sih, aku udah dewasa tahu.” Haikal melepas tanganku membuat aku tertawa terpingkal.
“Win, kita sedang bicara di sini.” Zion kembali menatapku dan mendorong tubuhku hingga terjatuh ke bangku yang langsung membuat bokongku sakit. Aku mengaduh kesakitan.
“Sakit Zi,” Aku meringis.
“Jawab makanya!” Zion menatap tajam membuat aku hanya mampu tertunduk. Suara horn berbunyi cukup keras karena kami yang berada di dekat parkiran.
Kami bertiga menatap ke arah horn itu berbunyi dan kulihat di sana Ben sedang melambai ke arah kami. Aku tersenyum dewa penyelamat datang.
“Bang Ben tuh, aku pergi ya Zi.” Aku memegang bahu Zion dan pergi meninggalkannya.
***