It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima
@Andre_patiatama @hendra_bastian
@akina_kenji @harya_kei @NanNan
@boy @BangBeki @arieat @Asu123456
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04
@dimasalf9 @freeefujoushi @4ndho
@jacksmile @kristal_air @Pradipta24
@abong @cute_inuyasha @Aurora_69
@JimaeVian_Fujo @panji @Hiruma
@ArDewa @wita @Rifal_RMR
@zakrie @happyday @aasiam @Adra_84
seringkali aku mrasakan bosan atau malas buat lnjutin ceritaku tapi mlihat antusias kalian dlm mmbca critaku ini .. mmbuat smangatku kmbali tersulut dan ku harap kaliañ ttep jdi pnyemangatku.. jngan kbnyakan pun klamaan jdi SR oke?
sayang kaliannnn
“Kenapa di sini?” Ucapku melihat Ben masih dengan setelan jas kerjanya, dia terlihat sedikit murung tapi senyum itu masih tertempel di wajah tirusnya. Perasaanku tidak enak.
“Om Andrew di kantor.” Dia berucap membukakan aku pintu mobilnya.
“Aku ada kuliah.” Aku tak ingin bertemu dengannya, aku belu siap. bahkan aku tak pernah tahu kapan aku siap.
“Kamu bisa kuliah lain kali.” Nada tegas terdengar santer di suaranya.
“Tapi Bang?”
“Ku mohon, kali ini saja.” Aku bingung tapi Ben menarik bajuku membuat aku masuk mobilnya masih dengan keadaan bingung.
Kami sampai sekitar 20 menitan seharusnya lebih lama dari biasanya tapi melihat cara mengemudi Ben tak heran jika kami tiba lebih awal.
DIa di sana, pria bangsat itu ada di depan kantor. Menatap kami yang baru saja keluar dari mobil. Aku mengikuti Ben yang berjalan ke arah pria itu.
“Pergilah temui tante.” Ben berucap mendorongku supaya lebih maju ke mobil hitam tersebut. Aku cukup terkejut dengan tingkah laku Ben sekarang. tak biasanya ia seperti ini.
“Tapi,”
“kumohon turuti aku sekali ini saja.” Aku menatap Pria itu sebentar dan mengangguk ke arah Ben.
“Terimkasih Beny.”
“Sama-sama om.”
Aku masuk ke mobil hitam tersebut yang langsung di kendarai oleh Pria tersebut. Aneh melihat dia tak memakai supirnya. Di dalam mobil kami sama-sama diam. Aku juga tak ingin bicara dengannya jadi biarlah kebisuan merajai kami.
Melihatnya terbaring seperti sekarang entah kenaoa membuat aku juga ikut merasakan sakitnya. Sakit saat seseorang yang berusaha aku benci dengan sepenuh hati malah terbaring lemah di atas ranjang dengan selang infuse.
Aku menghampirinya dan duduk di kursi yang ada di samping ranjangnya.
“ma!” Aku memanggilnya berusaha mengabaikan ego yang aku miliki. Dia membuka matanya dan seolah tak percaya anak lelakinya ada di dekatnya. Setelah setahun lamanya tak bertemu, sekarang aku bisa melihat kerutan samar di wajahnya. Dia tersenyum dengan lelehan airmata.
Apa bahagia dan sedih sedang mengiringinya?
“Kamu datang.” Ucapannya lirih, terhalang oleh sesuatu yang ada di hidungnya.
“Ya, aku datang. Mama merindukanku?” Aku bertanya dengan antusias yang di paksakan. Dia mengangguk dan mencoba menyunggingkan senyum di wajah tuanya.
“Panggilkan adikmu kemari, bisakah?” Aku mengerutkan kening, ingin saja ku tolak itu semua tapi bagaimana bisa aku melawab perintah mamaku yang mungkin saja sekarang sedang sekarat.
Aku mengangguk dan berjalan keluar. Ku dapati semua orang sedang berdiri di sana seolah menunggu sang malaikat menjemput mamaku. Aku benci keadaan ini.
“Dia mencarimu.” Aku berucap pada Lucy, yang sedari tadi sudah mengarahkan pandangannya ke padaku. Lucy mengangguk dan ikut masuk bersamaku.
Lucy berdiri di samping kiri mamaku dan aku duduk di kanannya. Sempat ku lirik tatapan Lucy yang sendu ke arah mama dan itu cukup membuat aku tak mengerti dengan diriku.
“mama sayang kalian berdua, kalian tahu itu.” Lucy mengangguk sedangkan aku hanya bisa menatap mama dengan diam.
“Mama sayang kita dan kita akan selalu ingat itu ma. Lucy minta maaf ma.” Lucy sudah berurai airmata dan memeluk tubuh mamaku dengan tangisan yang semakin menjadi. Mama hanya mengelus pelan rambutnya. Mata mama beralih padaku.
“Bisa janji satu hal sama mama?” Aku menatap mama, tidak mengangguk dan menggeleng.
“Jaga adikmu baik-baik. Hanya kamu yang bisa mama andalkan. Dia akan kehilangan mamanya untuk kedua kalinya dan pastinya tak akan mudah buatnya.”
“Mama tidak boleh pergi, mama tidak boleh ninggalin aku. Jangan Ma!” Lucy berucap dengan histeris, itu cukup menyayat untuk di dengar.
“Apa maksud mama mengatakan kalau dia akan kehilangan mamanya untuk kedua kalinya?” Aku merasa janggal dengan kata-kata yang di lontarkan mama barusan. Setahuku gadis yang ada di hadapanku saat ini adalah anak dari hasil perselingkuhan mama dengan bangsat tua itu.
“Dia anak papamu, papa kandungmu. Andrew.” Untuk sebuah kejutan tidakkah ini kejutan yang cukup tak sepadan. Aku merasa mungkin memang aku yang salah dengar. bagaimana bisa orang yang membunuh papaku adalah papa kandungku. Sulit ku percaya ini.
“Ma, Mama! Mama Bangun!” Teriakan Lucy yang histeris mampu menyadarkan aku kembali dari lamunanku. Aku melihat wajah mamaku pucat dan tak ada nafas lagi di sana walau lucy sudah menggoyangkan cukup keras tubuh mama. aku berdiri terpaku di tempatku, seolah organku mati rasa.
Semua orang sudah masuk ruangan dan dari raut mereka semua aku tahu kalau mama telah pergi, meninggalkan aku dengan tanda tanya besar di kepalaku. Aku menatap pria yang tengah menenangkan putrinya tersebut, atas dasar apa aku tak menyadari kalau kami memang meiliki kemiripan yang tak sedikit.
***
Aku meninju tiang yang ada di pinggir jalan itu, seolah tiang itu adalah takdir yang telah begitu kejamnya mempermainkan aku seperti ini. Aku membenci seseorang yang memang seharusnya aku benci, tapi kenyataan bahwa di dalam darahku mengalir darahnya membuat aku tak bisa terima itu semua.
Aku meninggalkan rumah mamaku tanpa sepengetahuan siapapun, aku lebih suka seorang diri di saat kacau menghampiriku dan aku mulai benci karena sepiku sendiri seolah mendekapku dengan erat hingga aku tak bisa menghembuskan nafas dengan lega.
Aku melihat tiang itu sudah berwarna kemerahan.
“Berhenti!” Aku merasakan tanganku di genggam seseorang membuat aku menengok ke sumber suara. dan di sanalah dia dengan setelan jaz hitamnya. Aku melihatnya selalu tenang dan aku suka dia yang menemukanku tapi aku benci di temukan dalam keadaan seperti sekarang.
Aku menepis tangannya dan berjalan meninggalkannya. Tapi dengan cepat dia mengejarku dan kembali menggenggam tanganku yang tak terluka. Aku kembali menatapnya dengan tatapan tak sukaku.
“Jangan sok peduli, pergilah!” Aku berucap dingin ke arahnya tapi dia bergeming di tempatnya. Dia menatap dengan tatapan sayunya, matanya berbicara lebih banyak dari bibirnya dan aku merasakan ketenangan yang entah bagaimana caranya menguasaiku.
Dia menarik tanganku dengan pelan, aku yang linglung hanya mengikuti dalam diamku dan entah mengapa mataku tak lepas dari menatapnya walau aku hanya bisa menatap punggungnya.
Aku duduk di bibir ranjang setelah melakukan perjalanan yang lumayan singkat. Aku menatap seluruh sudut kamar dan tak menemukan sesuatu yang menarik kecuali gambar aneh yang ada di dinding. Aku seperti pernah melihat gambar itu tapi dimana ya?
Itu seperti gambar pemandangan biasa yang akan di gambar oleh anak-anak kecil tapi aku seperti tak asing dengan gambar itu. Sesuatu menarikku untuk lebih dekat dengan gambar itu dan aku sudah berdiri di dekat gambar tersebut.
Sedikit tersentak aku melihat nama pembuat gambar `Arlan`. Nama yang tak asing buatku. Tapi otakku sedang lelah sekarang hingga aku tak terlalu ingin memikirnya. Akhirnya ku putuskan untuk kembali ke tempat dudukku.
Aku mendengar suara pintu di buka dan kulihat Rion sudah datang dengan kotak obat. Aku menatapnya seolah memastikan kalau aku memang tak pernah mengenalnya di masa lalu.
“Kemarikan tanganmu!” Dia mengambil tanganku yang ku taruh di pangkuanku dan dengan hati-hati ia menyiram lukaku entah dengan apa. Aku meringis merasakan sakit pada tanganku. Dia meniup tanganku membuat rasa dingin menyelubunginya.
“Kamu tinggal sendiri?” Aku mulai bertanya melihat dia masih sibuk dengan lukaku. Dia menatapku sebentar dan kembali mengoles lukaku.
“Aku tidak suka keramaian, tinggal sendiri lebih nyaman buatku.”
Aku hanya mengangguk tak tahu harus berbicara apa padanya.
“Mamamu meninggal, kamu tidak ingin kesana?” Dia tahu mamaku dan aku cukup heran untuk hal itu. Dia menyadari tatapan aneh yang ku berikan padanya.
“Apa Andrew adalah rekan kerjamu?”
“Bukan.”
“bagaimana kamu tahu mamaku?”
“Kita dulu dekat.”
“Maksudmu?” Kebingungan semakin merajaiku.
“Kamu tidak ingat rupanya.” Dia menatapku dengan tatapan seolah kecewa. Apa aku membuatnya kecewa karena tak mengingatnya? Memangnya siapa dia?
“Gambar itu, kamu yang menggambarnya?” Aku menatap gambar yang ada di dinding dan dia juga melakukan hal yang sama.
“Kamu dan aku.” Aku melongo.
“Jelaskan padaku, siapa kamu?” Aku mulai bertanya secara langsung, Tidak suka dengan hal yang akan membuatku pusing jadi aku ingin dia memberitahuku.
“Aku berharap kamu akan ingat aku tanpa perlu aku mengingatkanmu. Itu terlalu menyakitkan dulu.” Dia menggeleng dan tersenyum, tapi senyum itu terlihat begitu menampakan kepahitan dalam dirinya.
“Jika memang kamu tak ingin membahasnya, sebaiknya jangan.” Aku mencegah, dan dia hanya menatapku dengan tatapan tak ku mengerti.
“Kamu benar-benar tak mengingatnya?”
“Maaf, aku sungguh tak ingat.”
***
“Alaaaaaannnn!” Aku berteriak berusaha lebih keras lagi untuk mendobrak pintu itu tapi tak bisa tenaga ku kurang.
Aku berlari ke arah jendela, menemukan dia di sana sudah tak mengenakan pakaian. Aku berusaha mendobrak pintu itu lebih keras agar aku bisa menyelamatkannya seperti yang telah ia lakukan padaku.
“Alan! Alan! Buka pintu. Jangan melakukan itu.” Tak ada. dia hanya menatapku dengan airmata yang mulai membasahi pipinya.
“Paaaaa! Jangannnn!” Aku kembali berteriak.
Aku benci kerutan kesakitan di wajahnya saat sesuatu memasuki tubuhnya. Aku ingin menangis tapi sebisa mungkin aku menahannya. Mama bilang anak cowok tidak boleh menangis. Aku kembali mengetuk kaca jendela.
Seharusnya aku yang ada di dalam, bukan dia.
Seharusnya aku yang merasakan sakit itu, bukan dia. Dia datang di saat yang tidak tepat. Aku berusaha sekuat tenaga tapi aku tak bisa. Aku hanyalah anak kecil yang tak tahu apa-apa. Aku berharap aku bisa melaporkan perbuatan bejat ayahku.
Aku mendengar pintu terbuka saat aku masih meringkuk di bawah pintu. Ku lihat ayahku tersenyum dan memeperbaiki zippernya. Aku menatapnya dengan penuh kebencian. Aku benci saat dia mengelus rambutku.
Aku masuk ke kamar saat ayahku sudah pergi entah kemana. Kudapati dia masih meringkuk di ranjangku. Aku melihat dia menangis dan aku juga ikut menangis. Aku menangis sejadi-jadinya, Lebih baik aku yang tersakiti dari pada dia.
“Alaannnnn!” Aku terbangun dari tidurku, mendapati kegelapan di sekelilingku. Aku mengedarkan pandanganku dan dengan cepat menyalakan lampu di nakas. Ternyata aku seorang diri di kamar. Dimana Rion?
Aku bangun dan membuka pintu kamar, dia di sana sedang tidur di sofanya. Aku menghampirinya dan berlutut di dekatnya, melihat wajah tenangnya saat tidur. aku menyingkirkan rambutnya yang terlihat menganggu.
Bagaimana bisa aku melupakan cinta pertamaku, orang yang rela menanggung deritaku. Aku sangat yakin kalau aku mengingat semua masalaluku tapi kenapa aku tak mengingatnya. Hanya sepotong mimpi itu yang ku ingat. Kalau ayahku dengan tega ingin melakukan perbuatan bejat padaku tapi Rion datang menawarkan dirinya asal ayahku tak pernah menyentuhku.
Aku menangis, untuk pertama kalinya aku menangis menatapnya yang sedang tidur. Aku menangis karena membenci orang yang salah. Papaku bukanlah penjahatnya tapi penjahatnya adalah orang yang tega melakukan perbuatan asusila pada orang yang kucintai. Cinta pertamaku yang tak pernah ku sadari ternyata aku memilikinya.
***
S
Lanjut
@yeniarian
@yeniarian