It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Beberapa orang bersikap kreatif dan sebagiannya lagi bersikap logis. Mungkin Olive bisa dijadikan salah satu contohnya, dia sangat suka menulis dan pintar dalam debat antar siswa. Itulah mengapa dia memilih jurusan English Language dan Critical Thinking. Well, dia memang benar benar cocok di jurusan itu. Aku juga menyukai jurusan itu. Maksudku, aku tipe orang yang berpikir kreatif dan logis diwaktu yang bersamaan. Tapi kesukaanku pada English Language tak sebesar kesukaanku pada matematika. Aku merasa matematika itu menyenangkan. Nomor, pola, tanda, rumus dan penyelesaian masalah selalu membuat nyaman dalam pelajaran itu. Itulah alasanku tak pernah melewatkan pelajaran Matematika.
Setidaknya, aku selalu menyukai pelajaran ini. Tapi aku mulai berpikir kalau pelajaran ini adalah kutukan untukku. Terakhir kali aku mengikuti jam itu, aku harus berhadapan dengan Taylor Raven dan disaat berikutnya pun juga sama. Mungkin itu hanyalah kejadian berpola statistik yang secara kebetulan terjadi tepat pada jam pelajaran matematika.
Saat ini, aku sudah menyelesaikan semua pelajaran disekolah dan akan berkumpul ke markas Dungeon Adventure Club yang akan dimulai sekitar satu jam lagi. Jadi untuk membunuh waktu, aku berjalan menuju cafetaria dengan GameBoy ditanganku. Tapi, ternyata keputusanku untuk ke Cafetaria adalah kesalahan fatal.
Aku melewati lapangan tennis dan menemukan Taylor Raven muncul dari sudut lapangan tersebut. Kuasumsikan dia tak ada latihan hari ini karena dia tak membawa raketnya. Malah dia menggunakan jins ketat dan baju kaus putih yang memamerkan tonjolan dada bidangnya. Taylor begitu menyayangi badannya dan dia suka memamerkan tubuhnya tersebut. Dia meluncur ke arahku dengan tampang arogannya.
"Well, halo Scotty. Senang bertemu denganmu. Aku tak tahu kau menyukai olahraga?"
Aku berhenti berjalan dan bingung harus memberikan respon seperti apa padanya. Apa dia tau aku akan melewati tempat ini dan dia menungguku? Saat ini dia sendirian tanpa antek anteknya, tapi itu malah membuat dia semakin mengintimidasi.
Dia mendekat kepadaku. "Ada apa? Lidahmu kelu? Kau ingin mengatakan sesuatu?"
Aku ketakutan. Aku mundur beberapa langkah dan mencoba menutupi ketakutanku dengan berpura pura sedikit berani. "Apa maumu, Taylor?" Kataku sedikit menantangnya. Aku menantang matanya mencoba untuk tak menunjukkan ketakutan, tapi sepertinya aku gagal.
"Kau tahu apa yang kuinginkan" desisnya. "Aku ingin kau tetap tutup mulut"
Aku menggelengkan kepala menjauh darinya. "Aku tak pernah mengatakan apapun kepada siapapun!"
Kami berdiri berhadap hadapan. Taylor menyorotku dengan tajam sedang aku menyorotnya entah dalam ketakutan atau keberanian. Aku sudah merasa cukup muak dengan perlakuan kejam yang telah dia lakukan padaku. Dan kupikir ini saatnya untuk melawan balik.
"Tujuanmu sudah tercapai, OK? Kau dan teman temanmu bisa melabrakku kapanpun! Aku mengerti!" Tanganku mengepal sangat kuat, semua kemarahan yang kusimpan setelah berbagai perlakuan buruk darinya tiba tkba muncul begitu saja. "Aku hanya tak mengerti. Kita dulu berteman dan kenapa tiba tiba sekarang kau memperlakukanku dan merendahkanku seperti ini? Aku tak pernah mengatakan apapun kepada orang lain dan sedikitpun tak berniat! Jadi tinggalkan aku sendiri!"
Taylor entah kenapa mengacak acak rambutnya sendiri. Dia seperti putus asa. "Maafkan aku Scotty. Aku tak bisa melewatkan kesempatan itu! Kita di Sixth Form! Dan inilah waktunya bagiku untuk menunjukkan kemampuanku dilapangan" dia terdengar semakin putus asa di setiap kalimat. "Ada scouts yang akan mengawasiku bermain secepatnya,.. dan aku tak bisa membiarkan orang lain mengacaukannya begitu saja!"
"Taylor! Aku tak peduli!" Aku membentaknya yang membuat Taylor dan aku sendiri terkejut. "Tennismu atau apapun itu tak ada hubungannya denganku! Aku tak akan membuatmu mendapatkan masalah! Berhenti menyalahkan apapun itu masalahmu padaku!"
Taylor mencengkram wajahku, membingkainya erat dengan satu telapak tangannya. "Kau pasti belum melupakan itu dan aku tak mau kau membocorkannya pada semua orang. Sedikit saja kau memberikan petunjuk tentang itu pada orang lain maka karirku hancur. Terutama teman bodohmu yang berambut pirang yang tak bisa menutup mulutnya sedikitpun!"
Aku mencoba untuk melepaskan cengkraman Taylor di wajahku, tapi dia malah makin menguatkan cengkramannya. Aku tak pernah sedikitpun mengatakan apapun kepada Olive meski aku ingin sekali saat ini. Tapi wajahku berada dalam cengkramannya dan airmata sudah membanjiri pelupuk mataku.
"Ini adalah tahun yang penting bagiku" Ucapnya. "Dan aku tak akan membiarkan pecundang sepertimu menghancurkan karirku. Never!"
Dia akhirnya melepaskan cengkramannya. Spontan tanganku menyusuri bekas cengkramannya tadi yang masih terasa sakit di kulit pucatku, aku melihat sekeliling mencoba mencari seseorang yang mungkin lewat. Tapi tak ada seorangpun. Mungkin mereka sudah pulang atau sedang dalam kelas lain. Pantas saja Taylor begitu berani melancarkan aksinya saat ini. Aku merasa ingin lari, tapi aku memaksa diriku untuk melawan balik Taylor.
"Kau tahu Taylor? Aku tak pernah mengatakan apapun dan aku bersumpah. Terkutuk aku jika melakukan itu, dan terkutuklah aku karena tak pernah melakukan itu! Oh, tunggu. Bagaimana jika kuberitahu saja semua teman temanmu tentang rahasia ini? Huh?"
Wajah Taylor menegang. Dia kehabisan kata kata. Melihat dia bereaksi seperti itu, aku memutuskan untuk melanjutkan perlawananku.
"Kau mungkin bukan nerd sepertiku, tapi setidaknya aku jujur dengan diriku sendiri. Aku akan dengan sangat sukarela menceritakan semuanya kepada Billy dan Bobby tentang rahasiamu. Oh, bagaimana kalau pacarmu duluan, Patricia yang kuberitahu? Oh jangan jangan... aku penasara bagaimana ekspresimu jika tahu yang sesungguhnya"
Dengan itu, tangan Taylor dengan cepat mencekikku.
"DIAM KAU!!!"
Aku mencoba untuk melepaskan cekikannya. Aku bersuara meski sangat susah, tapi tetap terdengar bisa dimengerti. "Taylor lepaskan aku atau aku akan berteriak tentang rahasiamu disini!"
Taylor semakin kesal dan kemudian melepaskan cekikannya. Dia menjambak rambutku dan saat aku belum benar benar tersadar dari cekikannya tadi, dia menyeretku mengitari lapangan tennis ke gudang olahraga dimana alat alat PE dan peralatan olahraga lainnya disimpan. Kepalaku terasa benar benar perih dan aku tak dapat berteriak lagi. Rambutku rasanya seperti dicabuti semuanya sekaligus.
"Percayalah, Williams. Jika kau pikir hidupmu takkan bisa jadi lebih parah. Maka kau salah besar. Selama ini aku cuma main main denganmu" dia melemparku kedalam gudang dan mengeluarkan kunci dari sakunya. Tentu saja menjadi atlit sekolah memilikinya akses untuk keluar masuk gudang. "Look, sedikit saja kau membocorkan sesuatu tentang itu. Maka kau akan menyesal. Aku akan menghancurkanmu dan membuat hidupmu seperti di neraka. Kau tak tahu kan apa yang bisa kulakukan pada orang orang yang kau sayang? Ibumu. Olive"
Dia kembali mendorongku hingga terjerembab kedalam sebuah lemari. Kepalaku menghantum stick Hockey. Dia menyusulku lalu menendang perutku. Aku mengaduh dan merintih kesakitan diatas lantai.
Saat aku masih menangis sendirian di lantai menahan rasa sakit dan tak bisa berdiri, Taylor beranjak pergi.
"Untuk catatan, kau adalah KESALAHAN TERBESAR dalam hidupku!" Dan kemudian dia membanting pintu gudang lalu mengurungku yang sedang kesakitan didalam kegelapan.
Ini seperti sebuah skenario, Taylor dan aku berada didalam gudang olahraga.
Hanya saja dulu, kami bercinta disini.
Aku tak pernah benar benar come out kepada siapapun saat masih beranjak remaja. Maksudku, aku tak pernah punya boyfriend atau apapun, dan aku merasa aku tak perlu untuk tiba tiba berdiri dan mengumumkan kepada dunia tentang orientasi seksualku. Mungkin pertama kali aku secara tak sengaja mengumumkan orientasiku itu adalah pada saat Year 8. Aku benar benar naksir sama teman sekelasku, namanya Stewie Lindon. Kami dulu duduk berseberangan. Dia mempunyai rambut blonde yang keren dan selera humor yang bagus. Itulah yang membuatku semakin menyukainya setiap hari. Kami saling melempar kertas saat pelajaran Bahasa Perancis. Dan diakhir tahun, aku mengajaknya untuk pergi bersamaku dan Olive ke acara perpisahan tahunan. Stewie menolak dengan alasan akan aneh jika pergi bertiga ke acara itu. Dan dia lalu mengajak cewek yang dia sukai dari kelas lain. Aku langsung patah hati saat itu juga.
Hari itu saat aku pulang kerumah, aku menangis sejadi jadinya. Ibu menghiburku dengan cara membawakan secangkir coklat panas sedangkan ayah dengan hati hati menasehatiku tentang bagaimana kau bertemu orang yang tepat dalam hidup. Mereka berdua secara blak blakan tau tentang kehidupan percintaanku (mungkin karena aku terlalu sering bercerita tentang Stewie yang membuat mereka menyadari orientasi seksualku), dan mereka dua tak pernah menjudge ku ataupun memarahiku. Mereka berdua mencoba untuk tetap mensupportku apapun yang terjadi, dan membuatku berhasil move on dari cinta monyetku waktu itu. Dan setelahnya aku benar benar menikmati waktuku dalam pesta perpisahan bersama Olive.
Mungkin karena orang tuaku baik baik saja dengan kondisiku yang seperti ini, aku tak pernah lagi menutup nutupi apapun tentang hidupku kepada siapapun. Apakah itu aku menyukai matematika, ataupun menyukai seorang cowok. Tak ada yang harus dimalukan dari diriku. Hampir tak pernah ada masalah dalam hidupku waktu itu, kecuali saat aku melupakan bahwa ada pula orang diluar sana yang menyimpan jati dirinya diam diam karena takut akan reaksi semua orang tentang dirinya. Apakah itu Stewie Lindon ataupun bintang tennis Havensdale of Sixth Form, aku selalu menyukai cowok yang memiliki masalah dalam hidupnya.
Taylor Raven dulu bukanlah orang yang sama seperti saat ini. Dulu pernah ada cahaya padanya. Olive mungkin tak akan pernah mengakui ini bahkan sampai berjuta juta tahun kemudian, tapi kami berdua dulu selalu menikmati lunch bersama di pinggir lapangan tennis hanya untuk melihat Taylor berlatih. Bahkan saat masih muda pun dia tampak begitu tampan dan bertalenta, dulu tennis adalah hobbinya. Bukan tujuan hidup. Dia memang sombong dalam kepandaiannya bermain tennis. Dia mencintai dunia tennis.
Aku tak pernah melakukan apapun dengannya. Maksudku, aku duduk dan mengaguminya dari jauh kadang kadang. Hanya itu. Kemudian suatu hari, aku tak sengaja melihatnya telanjang saat berada di gudang olahraga. Waktu itu aku tak sengaja meninggalkan buku-bukuku di sana dan tepat saat itu juga kulihat dia baru saja keluar dari kamar mandi tanpa busana. Dia berdiri didepan pintu kamar mandi tanpa malunya, menelisik mataku dengan tatapan bosan yang langsung membuatku salah tingkah. Dia sengaja berdiri disana dan menggodaku dengan tubuh atletisnya, membuatku tak bisa sedikitpun menyingkirkan mataku dari badannya.
Tahun selanjutnya adalah saat kematian ayahku. Aku terlalu banyak libur karena masih dalam suasana berkabung, tapi aku tetap harus sekolah. Yang mengejutkan, Taylor adalah orang yang pertama kali mengucapkan belasungkawanya padaku saat aku sedang berjalan di hallway. Dia meraih tanganku lalu mengenggamnya lembut.
"Hey Scotty.. aku turut berduka cita tentang ayahmu. Aku tahu aku tak mengenalmu dengan begitu baik, tapi aku selalu melihatmu di lapangan saat aku latihan. Jadi.. kalau kau mau bicara atau ingin jalan jalan... katakan saja padaku"
Aku ingat bahwa saat itu aku tersipu oleh sikap Taylor yang memberikanku support. Seperti secercah harapan yang dia berikan padaku saat masa masa terkelamku didalam hidup. Aku tak mengatakan kepada siapapun tentang itu, bahkan pada Olive. Aku hanya ingin menyimpan dan mengingat moment itu sendirian.
Beberapa bulan berikutnya, Taylor menjadi semakin bersahabat denganku. Dia akan menyemangatiku dengan senyumannya di koridor, atau melambaikan tangannya didalam lapangan saat aku menontonnya latihan. Bahkan matanya selalu fokus padaku dan membuatku selalu berhasil melalui hari hariku dengan baik.
Saat itu di akhir semester, Taylor mendatangiku lagi. Saat itu aku terlambat mengikuti Detentionku (aku pernah bilang kan saat itu aku harus mengikuti banyak Detention?). Dia baru saja selesai dari latihannya di lapangan dan dengan barang barangnya di loker dia menghampiriku. Saat itu tak ada seorangpun di sekitar kami. Hanya aku dan Taylor.
"Hey Scotty.. apa.. kau ada acara saat liburan?"
Aku ingat saat itu aku sedikit tak bisa berkata kata. Aku hanya tak percaya seorang pria yang kukagumi akan menanyakan hal itu.
"Hmm.. nggak juga sih. Hanya bermain bersama Olive, menolong ibuku.. ya begitulah.." ucapku kemudian tersenyum padanya.
"Ok" katanya. "Hmm.. aku ingin tahu.. apa kau ingin melakukan sesuatu?"
"Bersamamu?" Sambungku
"Ya.. begitulah" balasnya sambil tertawa. "Mungkin berjalan jalan keliling kota,.. atau nonton di bioskop.., atau yang lainnya.. kau tahu? Hang out.. ya begitulah"
Kata katanya membuat arwahku melayang seketika. Apa dia sedang mengajakku berkencan? Apakah dia tau aku memuja dan mengaguminya setengah mati?
"Oke! Pasti akan menyenangkan"
Taylor kemudian meraih ponselnya dari saku belakang. "Kalau begitu, berapa nomor telfon mu?"
Aku lalu menyebutkan nomorku sedang Taylor dengan cepat mengetikkan digit per digir. Setelah itu dia memberikanku senyuman terbaiknya. "Sempurna! Kalau begitu aku akan menghubungimu lagi nanti"
Dia berbalik lalu pergi, dan kemudian berbalik lagi. "Oh iya, bisakah kita melakukan sesuatu yang sedikit.... privasi? Maksudku, aku seharusnya berlatih setiap hari. Ayahku selalu memantauku dan dia akan marah jika tau kalau aku membolos dari jadwal latihanku"
Mungkin sebaiknya aku harus tau bahwa itu adalah awal dari semua bencana ini. Tapi aku lambat laun mengerti kok. Aku masih 14 tahun waktu itu, ayahku meninggal dan cowok yang kutaksir mengajakku berkencan. Waktu itu aku terbawa suasana.
"Oh, sure. Aku tak akan mengatakan pada siapapun. Aku tak ingin membuatmu berada dalam masalah"
Taylor menepuk bahuku seraya mengucapkan terimakasih sebelum meninggalkanku di arah yang berlawanan. Aku mendadak pusing dan way too excited dengan apa yang baru saja dan akan terjadi. Aku bahkan tak mempedulikan bel yang berbunyi.
Saat liburan musim panas dimulai, hubungan rahasiaku dengan seseorang yang suatu hari akan menjadi musuhku juga dimulai. Meski aku tentu saja waktu itu tak tahu dia akan jadi musuhku. Yang kutahu adalah, seseorang yang tampan, atlit sekolah, bertalenta dan dikagumi banyak orang ingin menghabiskan liburan musim panasnya bersamaku. Saat itu hidupku terasa seperti mimpi. Aku bahkan tak peduli kalau aku harus menyembunyikannya.
Kencan kami dimulai dengan menonton film di bioskop. Malam itu, kukatakan pada Ibu kalau aku akan pergi kerumah Olive untuk belajar. Hanya untuk jaga jaga jika dia bertanya kemana aku pergi dan menelfonku jika aku pulang terlalu malam. Dia tak akan khawatir jika aku bersama Olive. Lagian, waktu itu ibu terlalu down. Jadi aku tak begitu mencemaskan persepsi ibu tentang kemana aku.
Aku bertemu dengan Taylor diluar bioskop dan selanjutnya dia menuntunku menuju sebuah ruangan gelap dengan layar super besar didalamnya. Awalnya aku tak mengerti apa maksud Taylor malam itu mengajakku, kupikir dia hanya mencemaskan keadaanku sejak kepergian Ayah dan ingin berteman denganku saat itu. Kemudian saat kami duduk bersebelahan, lengannya jatuh di atas jeansku. Tangannya berat dan berisi. Aku tak mengerti apa maksudnya, dia seperti sengaja melakukan itu. Aku bahkan hampir tak bisa berkonsentrasi pada film.
Selanjutnya, Taylor bersikap seolah olah tak ada hal aneh yang baru saja terjadi. Dia mengajakku mengunjungi gamezone terdekat lalu kami bermain videogame sepuasnya. Kemudian kami pulang dan menunggu bus untuk kembali.
"Aku akan naik bus berikutnya,kau pulang saja duluan. Hanya untuk berjaga jaga seandainya ada yang melihat kita..."
Aku berusaha untuk bersikap santai. "Sure, aku tak ingin kau berada dalam masalah"
"Aku sangat menikmati malam ini!" Lanjut Taylor. "Kapan kapan, ayo kita ulangi lagi"
"Sure" balasku sambil tersenyum.
Malam malam selanjutnya kami habiskan dengan ber-sms-ria. Awalnya hanya candaan-candaan saja, tapi perlahan lahan mulai berubah menjadi sedikit lebih.. kau tau. Mendalam. Dari situlah aku tau Taylor Raven yang sesungguhnya. Bagaimana dia mencemaskan masadepannya, bagaimana Ayahnya selalu memaksanya untuk latihan, betapa dia ingin menjadi lebih terbuka dalam pertemanan kami. Taylor tak pernah ingin menyakitiku.
Aku tak membantah semua alasan apapun. Aku tak peduli. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamanya. Kalau dia ingin ini menjadi rahasia kecilnya, yasudah biarkan. Lagian aku juga senang bisa memiliki Taylor sebagai rahasiaku. Rahasia yang hanya kumiliki untuk diriku sendiri. Tuhan tahu betapa aku berusaha untuk menyembunyikan semua ini dari Olive. Dia begitu peduli padaku lalu memberikanku waktu untuk sendiri setelah tahun terberat yang telah kulalui. Jika dia adalah Olive dalam mode yang biasa, maka tak ada satupun yang bisa kusembunyikan darinya. Tapi waktu itu kukatakan padanya bahwa aku butuh waktu untuk sendiri dan lalu dia membiarkanku sendirian. Aku merasa jahat karena telah membohonginya. Waktu itu aku tak berpikir jernih.
Tentu saja aku tak menghabiskan waktu sendirian. Aku menghabiskan semakin banyak waktu bersama Taylor. Kami pergi ketempat tempat dimana tak akan ada orang yang mengenali kami, atau terkadang di rumah Taylor saat orangtuanya tak ada. Biasanya kami hanya bercanda dan bermain komputer. Taylor bilang aku lebih lucu dari apa yang dia bayangkan. Dan kupikir dia lucu. Jika mengingat masa masa itu, aku masih tak percaya dia berubah menjadi sosok seperti sekarang.
Beberapa minggu kemudian disuatu pagi, dia tiba tiba menciumku. Sebuah ciuman yang masih malu malu untuk dilakukan. Dan ciuman spontan. Setelah itu Taylor mengajakku bermain XBox dan bersikap seolah olah tak ada hal yang aneh terjadi diantara kami. Aku juga bersikap sama. Padahal didalam hati, aku sudah jungkir balik saking senangnya. Itu adalah ciuman pertamaku. Dan aku tak pernah menduga bahwa ciuman pertamaku akan direbut oleh seseorang seperti Taylor.
Hari hari selanjutnya, kami semakin sering berciuman. Ciuman kami semakin dalam dan semakin intim. Lalu kami kemudian berisikap seolah olah tak pernah terjadi apapun. Itu adalah ciuman ter-rahasia dan ter-aman didalam dunia dimana hanya kami berdua bisa hidup bebas.
Lalu.. hari itu datang. Tepat diakhir musim panas. Hari yang mengubah semuanya dan memperlihatkan benih benih kebencian yang tumbuh didalam diri seorang Taylor Raven.
Rumah Taylor bukan lagi seperti sebuah rumah, tapi lebih seperti sebuah mansion yang terletak diluar Havensdale dengan halaman yang dipenuhi oleh rumpu rumput hijau dan juga bangunan yang besar besar. Karena karir ayahnya lah, keluarga Raven bergelimpangan banyak harta. Bahkan mereka mempunyai sebuah lapangan tennis sendiri dirumanya. Lalu rumahnya dikelilingi oleh pagar pagar yang menjulang tinggi dan terbuat dari besi yang menjaga penguntit dan juga pencuri untuk masuk kedalam rumah. Aku tak pernah merasa bahwa aku tumbuh tanpa uang, tapi melihat gaya hidup Taylor membuatku yakin bahwa aku pastilah hanyalah pengemis di matanya.Mrs. Raven tidak bekerja, tapi dia menghabiskan waktunya bersama teman temannya berjalan jalan. Terkadang dia pergi shopping atau pergi untuk mendapatkan perawatan kecantikan untuk tubuhnya. Sedangkan Mr. Raven adalah pelatih tennis professional bagi anak anak kecil, jadi jika dia sedang tidak melatih Taylor, maka kemungkinan besar dia sedang mengajar di tempat lain. Karena itulah, kami sering menghabiskan waktu berdua dirumah Taylor. Tapi disitulah masalahnya dimulai. Ayah Taylor memergoki kami berdua.Suatu sore pada di hari hari weekend di minggu terakhir liburan, aku dan Taylor menghabiskan waktu berdua didalam kamarnya. Kami bercanda, bermain game, menonton acara musik sambil memakan pizza. Aku ingat, waktu itu saus pizza berserakan di wajahnya dan membuatku terbahak bahak."Apa yang kau tertawakan Scottyboy??""Wajahmu! Kau seperti baru saja mencium sebuah pizza!"Taylor menyapu wajahnya dengan punggung tangan, tapi malah membuatnya makin parah dan mengotori seluruh wajah Taylor. Aku semakin puas terbahak bahak."Seriously, Taylor! Pernahkah kau berpikir untuk menggunakan make-up dari saus Pizza di pertandingan selanjutnya?"Dia tersenyum kecil padaku. "Pernahkah kau berpikir untuk menutup mulutmu?"Dengan itu, Taylor lalu mendorongku dan kami kemudian berguling guling di lantai. Kami tertawa sangat keras hingga tak sadar bahwa Alan Raven datang. Dia membuka pintu kamar dan seisi ruangan mendadak menjadi dingin. Taylor melepaskanku lalu dengan canggung berdiri."Oh,... hey Dad.. aku tak tahu kau pulang minggu ini"Alan Raven adalah sosok dengan tubuh yang sangat tinggi. Bahunya berimbang dan dia adalah tipe orang yang kau akan sangat tak sudi ingin bermasalah dengannya. Dia mencoba mencerna apa yang terjadi sebelum kemudian berbicara. "Taylor, bisa kita bicara sebentar diluar?" Dengan itu, kemudian Taylor mengikutinya keluar kamar meninggalkanku sendirian dengan TV yang masih hidup, merasa sangat sangat tidak nyaman.Dari dalam, aku bisa mendengar dengan jelas percakapan mereka. Secara tak langsun, Alan ingin aku mendengarkan percakapan antara ayah-dan-anak nya."Apa apaan yang tadi itu?""Tak ada! Aku hanya bermain main dengan temanku""Well, yeah.. aku tau tentang anak itu, kenapa kau bergaul dengan seseorang seperti itu?""Dia temanku!""Masih banyak orang lain yang pantas untuk kau jadikan teman""Kau tak bisa melarangku berteman dengan siapapun"Kemudian aku mendengar suara perkelahian. Aku tak tahu apa Alan memukul anaknya atau mencekiknya dileher.Tapi suaranya terdengar seperti desisan setan."Kita sudah bekerja keras untuk bisa memasukkan kedalam tim nasional, Taylor. Kalau kau masih bergaul dengan orang seperti dia, maka berpamitanlah pada semua yang telah kau dapatkan. Pilihanmu""Tapi aku bersumpah tak ada yang aneh diantara kami, Dad!""Kau benar tak ada hal aneh yang terjadi. Masa masa saat sekarang adalah masa masa dimana kau harus membangn imagemu, Taylor. Bergaul dcengan orang orang yang benar akan membuat imagemu juga menjadi benar dimata semua orang. Bergaul dengan pecundang sepertinya hanya akan memuat image mu hancur. Aku tak tahu apa yang terjadi padamu, tapi selesaikan ini semua. SEKARANG"Aku tak percaya dengan apa yag baru saja kudengarkan. Semua kata yang diucapkan oleh Alan Raven terasa bagai menusuk nusuk hatiku. Aku tak pernah menyangka bahwa bergaul dengan seseorang sepertiku saja bisa membuat Taylor terjebak dalam begitu banyak masalah. Pasti akan lebih mengejutkan jika ayahnya tau kalau anaknya menyukai pria. Kini aku tau orang seperti apa Alan Raven. Saat langkah berat darinya beranjak pergi, Taylor kemudian masuk dan berdiri didepan pintu."Uhmm.... Scotty.. sebaiknya kau pulang sekarang.."Ingin rasanya aku bangkit dan membela diriku. Aku ingin mengatakan banyak hal. Aku ingin menyemangati Taylor dan menasehatinya karena menjadi seseorang yang begitu lemah karena harus dikekang dengan keinginan ayahnya. Aku ingin mengatakan padanya bahwa matahari selalu bersinar cerah. Tapi kemudian, aku malah mengangguk pasrah dan berpamitan pada Taylor. Dan juga pada rumahnya---Disisa hari di liburan musim panas, aku tak mendapatkan kabar apapun lagi dari Taylor. Tak ada lagi telfon, ataupun SMS. Aku terlalu takut untuk memulai duluan, kupikir waktu itu aku terlanjur mencintai Taylor dan semua harapanku hancur berkeping keping begitu saja.Aku tidak enak badan saat hari pertama sekolah, itu adala diawal Year 10. Aku tau aku ingin rasanya menemui Taylor dan meminta penjelasan untuk apa yang terjadi. Tapi aku tak tahu harus melakukan apa. Aku juga ingin rasanya menceritakan kepada Olive, tapi aku takut dia akan marah padaku dan mengatakan kalau aku terlalu bodoh. Aku seharusnya lebih percaya pada pertemanan antara aku dan Olive lalu menceritakan semuanya, tapi aku benar benar bodoh.Aku masih ingat dengan jelas saat pertama kali aku melihat Taylor setelah liburan musim panas. Saat itu di pertengahan pagi di hallway sekolah saat aku dan Olive sedang menuju kelas kami. Taylor bersandar pada sebuah pintu loker dan wajahnya benar benar sangat dekat dengan Patricia. Dia tertawa saat Taylor mengobrol dengannya. Tentu saja Patricia juga mempunyai sebuah rumah di luar Havensdale dan itu adalah kriteria yang cocok bagi Alan Raven untuk menjadi teman bagi anaknya. Aku tak akan terkejut jika suatu hari mendengar kabar bahwa mereka berkencan karena aku sudah dibuang dari kehidupan Taylor.Kulihat Taylor menoleh padaku sebentar, dan aku langsung menundukkan kepala dan bersikap seolah olah aku sama sekali tidak peduli. Padahal didalam hati aku benar benar kecewa dan sedih dan rasanya akan mati. Tapi aku hanya tak memperlihatkannya. Olive menyadari rayuan Taylor pada Patricia dan lalu berpaling padaku dengan ekspresi tidak percaya."Oh my god! Taylor Raven dan Patricia? Kapan? Kupikir Taylor adalah pria baik baik dan jalang sepertinya benar benar tidak cocok untuk pria baik seperti Taylor!"Aku memaksakan diriku untuk tertawa. Olive kemudian juga tertawa tanpa dia sadari bahwa aku telah sakit hati melihat mereka berdua.---Sepanjang Year 10, perubahan Taylor semakin jelas. Dia dan Patricia menjadi pasangan paling populer di sekolah. Dan The Braindead Baker Boys mulai berkeliaran di sekitarnya menjadi penjaga Taylor sepanjang hari. Aku tak tahu apakah itu karena pengaruh buruk ketiga orang itu atau memang Taylor ingin benar benar berubah dan menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya. Tapi itula saat semua siksaan padaku dimulai. Awalnya hanya sebuah gurauan kecil, lalu diikuti oleh permainan mereka lainnya yang benar benar membuatku tersiksa. Sosok manis dengan saus pizza yang berserakan dimulutnya perlahan namun pasti menghilang begitu saja digantikan oleh sosok Taylor baru yang muncul dari dalam kegelapan.Aku tak pernah mempersalahkan sikap barunya, aku bahkan tak pernah membalas semua perlakuan teman temannya yang dengan sengaja menyenggolku, memukulku, mendorongku atau melontarkan kritikan pedas tentangku. Aku menolak untuk memberi perhatian kepada sikap mereka karena aku tahu ini semua terjadi hanya karena ayah Taylor. Rasanya menyakitkan disiksa dan diperlakukan buruk oleh seseorang yang kau sangat peduli padanya. Rasanya benar benar menyakitkan. Aku harus mencoba dan melupakan semua sikap kurang ajarnya padaku. Aku tak pernah membicarakan ini pada Olive, karena Taylor selalu melakukan penyerangannya padaku saat aku sendirian. Aku tak pernah mengatakan apapun pada siapapun. Tak pernah.Beberapa bulan berlalu setelah kemunculan Taylor Raven yang baru. Kami berpapasan di luar lapangan tenis. Kali ini tak ada Braindead Baker dan juga pacar yang mengikutinya. Dia sendirian saat ini. Dia kemudian berjalan menghampiriku dan saat itu juga perutku terasa mual. Aku dengan cepat berbalik untuk menjauhinya, tapi Taylor dengan cepat menahanku dan menarik bahuku."Scotty, tungu!"Aku dengan kasar menangkis sentuhannya. "Tinggalkan aku sendiri, Taylor!"Aku mencoba untuk menolak keberadaan dan melepaskan tangannya dari bahuku. Kepalaku menunduk kebawah dan kembali berjalan menjauh. Tapi Taylor lagi lagi menghentikan langkahku lalu memelukku. "Scotty, ayolah.. bicara padaku"Untuk pertama kalinya setelah beberapa minggu terakhir, tatapan jahat dimatanya hilang. Kini tak ada siapapun lagi disana kecuali aku dan Taylor. Pertahanan Taylor Raven roboh dan dia terlihat benar benar rapuh. Kini aku kembali melihat sosoknya yang penuh kehangatan yang sangat kucintai, kemudian merasa jijik dengan diriku sendiri. Kemudian aku mendorong tubuhnya menjauh."Look, apa lagi yang kau inginkan dariku?! Kau sudah berubah menjadi orang jahat sejak hari itu dan setelah liburan selesai!" Suaraku meninggi. "Aku mengerti. Aku sudah berhenti menelfonmu, dan aku sudah berhenti mengirimkanmu pesan, dan aku tak pernah membicarakan apapun tentang kita pada siapapun. So, tinggalkan aku sendirian dan berhenti membuat semuanya terlihat sangat rumit!"Aku bisa merasakan air mataku jatuh dari balik kacamata dan kemudian kembali mengambil langkah untuk pergi. Tapi lagi lagi Taylor menghentikanku dan kedua lengannya yang kuat kemudian membungkusku, memelukku dengan erat. Dia meletakkan tangannya diatas rambut ikalku dengan lembut dan saat itulah airmataku kembali menetes. Aku bisa mendengar getaran dalam suaranya karena dia juga menangis."Maafkan aku, Scotty. Maafkan aku. Aku bodoh. Aku bahkan tak tahu apa yang sedang ku lakukan"Aku tau apa yang Taylor katakan benar benar sulit untuk dicerna, tapi karena beberapa alasan aku tak bisa melepaskan diriku dari pelukannya. Malahan, aku mulai terisak dibahunya. Otakku menyuruh untuk pergi menjauh darinya tapi aku tampak seperti kehilangan akal sehatku."Apa kau pernah peduli padaku?" Aku kembali menangis. Semua ketegangan yang telah kutahan selama ini meledak begitu saja bagai ombak lautan yang memecah menghantam batu karang. "Karena sekarang kau... kau.. kau membenciku" Aku tersedak dalam tangisan saat berbicara. Aku benar benar pecundang saat itu."Aku tidak membencimu!" Balasnya dengan ganas dan semakin mengeratkan pelukannya padaku. "Aku demi Tuhan tidak membencimu!""Lalu KENAPA? Kenapa kau melakukan ini semua?""Rumit Scotty, kau tahu itu" Dia menghela nafas panjang. "Kau tahu seperti apa ayahku dan tekanan seperti apa yang sedang kuhadapi. Aku harus memainkan peran ini.."Tiba tiba saja kekuatanku untuk melepaskan diri dari pelukan itu muncul. "Peran apa? Peran untuk menjadi bajingan?!"Taylor kemudian mengacack acak rambutnya sendiri dengan kedua tangan. "Kau harus mengerti Scotty, aku harus bersikap seperti aku membencimu! Jika tidak, aku akan tersingkir. Dan karirku akan hancur, keluarga, seriously, seluruh hidupku akan hancur!""Bagaimana dengan hidupku?""Kau tak membutuhkanku!" Katanya dengan senyumnya yang sarat akan keputusasaan. "Kau adalah murid terpintar di sekolah. Kau ditakdirkan untuk masa depan! Saat kau berhasil mendapatkan Universitas nanti, maka akan mudah bagimu untuk meniti karir lalu kemudian akan berjuang bersama pria pria seksi lainnya. Sementara aku? Aku tak punya apapun yang bisa diandalkan! Satu satu hal yang bisa kuperjuangkan adalah Tennis!Ada jeda panjang setelah kalimat panjang Taylor barusan. Aku bingung. Hatiku merasa dijungkir balikkan seperti Yoyo dan Taylor, adalah orang yang memainkan Yoyo nya.Dia kembali mendekat padaku, tangannya kembali meraih punggungku. Kepalaku sudah memperingatkanku untuk segera menjauh darinya, tapi mendadak yang kuinginkan adalah kehangatannya. Aku ingin menyingkarkan semua hal yang telahh dia perbuat padaku dan memberikan kata kata manisnya kesempatan. Bibirnya berjarak beberapa inchi saja dariku.Dengan kebodohan yang ada dalam diriku, aku mencium bibir Taylor. Dia juga tenggelam dalam diriku dan semakin merapatkan badannya ke badanku. Dia membalas ciumanku dan membuatku sedikit mendesah karena sensasi aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Ciuman kami semakin dalam, dalam dan dalam. Taylor mulai mendorongku ke arah gudang olahraga yang kosong dan berjarak hanya beberapa meter dari sini. Dia kemudian mengeluarkan kunci dari saku celananya dan membuka pintu lalu menutupnya dengan kaki. Kami berdua berada dalam kegelapan. Taylor kembali menciumku dengan hangat dan semakin liar. Lidah kami bertaut satu sama lain. Aku tak tahu apa yang kupikirkan, tapi yang ku inginkan hanyalah dirinya seorang saat ini.Tangannya menyusup kedalam bajuku dan melepaskannya begitu saja. Membalikkan badanku hingga bagian depan tubuhku menempel pada pintu.Awalnya ku pikir orangorang sepertiku tetap akan menjadi orang yang pemalu dan menjadi incaran empuk untuk dibully orang orang. Kupikir aku akan terlambat kehilangan keperawananku. Tapi ternyata ada hal yang terjadi diluar dari yang diharapkan.---Sekitar 20 menit kemudian, kami tidur terlentang dalam kondisi tanpa busana di lantai. Nafas kami masih terengah engah. Pakaian kami beterbangan masuk kedalam keranjang bola basket, debu mengelilingi kami.Aku sedikit merasa terkejut dengan pengalaman bersetubuh pertama yang kurasakan dan sekarang, kenyataan kembali menakutiku. Aku kembali memasang kacamataku dan menoleh kesamping melihat Taylor. Kedua matanya tampak begitu tenang meski ditutup oleh kelopaknya. Kemudian dia membuka terbuka dan melihatku dengan kelembutan yang tak pernah kulihat terpancardari matanya sebelumnya.Kuraih tangannya, jari kami bertaut. Saat itu , aku benar benar sudah jatuh cinta padanya . Dadaku berdegup dengan cepat dan mulutku mulai bergerak mengucapkan katakata itu."Aku mencint...""TAYLOR!!!!!" Pengakuanku terpotong oleh sebuah suara sombong yang melengking dari balik pintu gudang olahraga. "Sayang? Apa kau disana?"Secepat kilat Taylor langsung berdiri, melepaskan tautan kami dan meninggalkan sengatan listrik disana.Suara langkah kaki Patricia semakin jelas terdengar dan dia kembali memanggil namanya. "Taylor! Baby, dimana kau? Aku bilang pada ayahku bahwa kita akan kerumahku untuk makan malam. Kita sudah hampir terlambat! Dimana kau!?" Pintu mulai berderak seraya suaranya semakin meninggi."Pattypie!" Pekiknya. Dia dengan cepat membekap mulutku dengan tangannya takut bahwa aku akan menghancurkan penyamarannya. Bukan karena aku ingin, tapi coba saja aku melakukannya waktu itu. Pasti saat ini kondisinya akan berbeda. "Sayang, aku berada di gudang olahraga! Aku harus merapikan letak stick-stick hockey ini! Phew! Disini benar benar kacau! Tunggu aku didepan lapangan, aku akan menyusulmu!"Patricia menghela nafas. "Kenapa harus kau? Aku sudah mencarimu kemana mana dan menunggumu selama satu setengah jam! Katamu kau akan segera kembali!"Aku mencoba untuk melepaskan bekapan tangan Taylor, tapi dia malah dengan kasarnya mencekik leherku. "Errr... aku kalah dalam pertandingan tadi, jadi Mr. Benson memberikanku pekerjaan ini sebagai hukuman!""Baiklah kalau begitu, aku tunggu di mobil. Love you""Love you too"Kata kata itu menohok tepat di ulu hatiku. Kenyataan telah menghancurkan hubungan yang telah terjadi antara kami berdua di gudang olahraga dan perlahan lahan menelan kami kembali masuk kedalamnya.Taylor tetap membekap mulutku sembari mendengar dengan hati hati langkah kaki Patricia semakin menjauh dan akhirnya menghilang hingga tak terdengar lagi. Kemudian dia melepaskan bekapannya dan berdiri memakai pakaiannya. Aku terduduk dalam kondisi telanjang dan begitu rapuh melihat ini semua terjadi. Dia meraih pakaianku lalu melemparkannya padaku."Tunggu disini selama satu setengah jam. Lalu pergilah" Katanya tanpa ekspresi dan suaranya terdengar sangar datar.Dia kemudian keluar dan membanting pintu gudang olahraga.Aku masih terduduk sendirian, memperhatikan langit langit gudang ini yang begitu kelam. Berharap aku akan ditelan oleh kegelapan itu sendiri.
Gue juga capek scrolling keatas buat nulis mention, jadi sekalian aja gue pake daftar mention gue di cerita lain.
@adamy @NanNan @Rika1006 @balaka @cute_inuyasha @3ll0 @Aurora69 @operamini @JengDianFerdian @lulu_75 @yeniariani @Asu123456 @Otho_WNata92 @SteveAnggara @earthymooned @harya_kei @NanNan
Dan disinilah aku, lagi lagi terjebak dalam kegelapan sendirian dan sejarah dimasa lalu terulang kembali. Bedanya, waktu itu Taylor tak mengunci pintu gudang ini dan dia juga tidak menghajarku seperti tadi.
Saat rasa sakit yang menjalar di perutku sedikit berkurang, aku berdiri dan merogoh rogoh isi tasku mencari ponsel. Mungkin sebaiknya saat ini aku meminta seseorang meminta pertolongan. Tapi apa yang harus kukatakan? Terjebak tanpa alasan yang jelas digudang olahraga? Atau mungkin aku harus berpura pura menjadi tidak waras dengan mengatakan bahwa aku butuh waktu untuk sendiri dan menyuruh seseorang mengunci ku dari luar agar aku bisa sendirian?
Itu tak penting lagi karena ponselku sama sekali tidak memiliki sinyal. Aku berani bersumpah tak sedikitpun dalam benakku sudi untuk bermalam di tempat berdebu ini. Oh, mungkin aku bisa meringkuk didalam keranjang bola basket? Atau... saat Dungeon Adventure Club dimulai nanti Olive akan sadar bahwa aku tak hadir dan lalu mencariku? Aku benar benar berharap bisa memberitahunya semua yang telah terjadi padaku. Tapi aku tak bisa membiarkannya mengatakan apapun pada orang lain. Aku takut dia disakiti oleh Taylor. Aku tahu ancaman Taylor bukan hanya sekedar ancaman kosong belaka. Dia bisa melakukan apapun kepadaku. Dan saat dia membawa bawa ibuku, resikonya benar benar tidak sebanding. Mungkin sebaiknya aku tetap merahasiakannya hingga kami lulus nanti dan itu hanya satu setengah tahun lagi. Ya.. aku harus tetap menyimpan rahasia ini seperti ini.
Pada awalnya, terjebak dalam situasi gelap gelapan seperti ini terasa mudah bagiku. Tapi setelah 40 menit, aku mulai merasa takut. Perutku masih terasa sakit, aku lapar dan aku ingin pulang. Saat ini Taylor pasti sudah pulang ke mansion mewahnya.
Saat aku bersiap untuk menangis, aku mendengar sebuah pergerakan dari depan pintu. Dengan cepat aku berteriak dan kemudian segera menghentikan teriakanku tersebut. Bagaimana jika itu adalah antek anteknya Taylor? Mereka pasti akan mengerjaiku lagi jika tahu aku terkurung disini. Aku lalu berdiri dan mencoba untuk mengintip dari celah kecil dipintu gudang. Aku bisa melihat secercah cahaya dan beberapa pohon di luar. Hanya itu, aku tak bisa melihat yang lain dengan jelas. Tapi beberapa saat kemudian, aku mendengar suara gitar dan lazy melody yang terdengar sangat familiar bagiku.
Aku menggeser kepalaku sedikit kekanan dan dari aku bisa melihatnya dari sudut mataku. Vincent Hunter. Dia sedang bersandar didepan dinding gudang olahraga sambil memainkan gitarnya. Aku merasa ngeri sendiri dan juga terkejut. Kenapa orang sepertinya di jam jam sekarang masih berada di sekolah?
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan, ini adalah kesempatan bagiku untuk meminta pertolongan. Tapi aku tak ingin diselamatkan oleh Vincent Hunter. Aku pasti akan dianggap sebagai korbannya dan kemudian berita itu akan tersebar ke seluruh sekolah. Aku tak ingin namanya berada dalam puncak paling atas dari semua permasalahanku.
Mungkin dia tidak seburuk itu, waktu itu saja dia melambaikan tangannya padaku. Plus, aku tak mau terjebak di tempat ini sepanjang malam. Tapi lihat saja apa yang terjadi pada Rich, masih terbayang dengan jelas di benakku bagaimana darahnya mengalir keluar dari mulut dan hidungnya.
Saat aku masih berkelebat dengan pikiran, apa yang sebaiknya harus kulakukan, takdir kemudian memutuskan apa yang terbaik untuknya. Saat aku berbalik dari pintu, aku merasakan perutku kembali terasa sakit dan kemudian tanpa kusadari, aku melolong kesakitan. Suara musik yang bermain diluar terhenti.
"Halo?" Suara Vincent terdengar mendekati pintu. "Apa ada orang didalam?"
Dia mengetuk pintu beberapa kali dan aku kemudian mengaduh kesakitan. Aku tak tahu apa yang terjadi pada diriku, perutku benar benar terasa sakit dan aku rasanya ingin sekali pingsan.
"Hey! Apa kau baik baik saja didalam sana? Bicaralah padaku!"
Itu bukan sebuah pertanyaan. Itu sebuah perintah. Aku ingin sekali mengatakan sesuatu tapi aku tak dapat menemukan kata yang cocok dan pas melainkan rengekan kesakitan lainnya. Aku bisa mendengar Vincent mencoba untuk membuka pintu tapi gagal. Tentu saja, pintu itu kan dikunci.
Kemudian hening.
Aku menghela nafas panjang.Satu satunya penyelamatku untuk bisa pergi dari sini sudah pergi karena aku benar benar pengecut. Aku menutup mataku, mencoba untuk bersiap siap menghabiskan malam ini sendirian di tempat sekelam ini. Tapi kemudian,.. "Crack!!" terdengar suara retakan dari pintu! Aku melompat kaget dan otomatis membuatku semakin mengaduh kesakitan. Sekujur tubuhku terasa sakit. Saat aku kembali melolong, pintu itu kemudian hancur dan membuat banyak cahaya menyelinap masuk kedalam. Mataku mendadak menjadi silau dau aku beberapa kali berkedip karena cahaya yang membakar mataku. Tapi sesaat kemudian, aku melihat seseorang bagaikan malaikat muncul dengan perlahan. Vincent Hunter. Tatapannya masih sama gelapnya dan ekspresinya masih seperti batu dan susah dibaca seperti biasanya.
"Specs, apa itu kau?" Katanya lalu menggeser pintu yang telah rusak itu menjauh.
"Oh, hi Vincent" balasku. "Senang bertemu denganmu disini" Aku mendadak jadi orang yang lucu. Padahal aku tau tak ada lucu lucunya saat seperti ini. Mentertawakan keadaanku saat ini adalah opsi terbaik. Mungkin.
Aku benar benar terkejut saat Vincent datang lalu membantuku berdiri dari lantai. Lengannya yang kuat dan besar meliliti punggungku, dan membantuku mengangkat tubuh dari lantai meski harus ada perjuangan yang sangat besar karena perutku benar benar terasa sakit karenanya. Dia membopohku berjalan keluar dari gudang ini dan baru saja beberapa meter kami berjalan, rasanya sudah seperti maraton. Untung saja taman sekolah sepi saat ini, jadi hanya ada kami berdua yang mengetahui kejadian tragis ini.
"Apa kau ingin duduk dulu sebentar?" Tawar Vincent. Aku mengangguk dan kemudian dia membantuku untuk duduk dengan gentlenya. Saat bokongku sudah mendarat diatas rumput, dia kemudian duduk diseberangku. Kami terdiam cukup lama.
"Terimakasih" kataku kemudian. Aku terdiam, ingin melanjutkan kata kataku tapi tak tahu apa lagi yang harus ku katakan.
"Tak apa" Katanya. Lalu menengok langit langit dan kemudian meletakkan kedua tangannya di belakangkepala. "Apa kau baik baik saja?"
Itu adalah sebuah pertanyaan. "Untuk saat ini aku baik baik saja, tapi aku tak yakin aku akan baik baik saja minggu depan. Aku juga tak tahu apa ada sesuatu yang lebih tak baik baik saja dariku...." aku mengangguk lemah sembari menunjuk pintu gudang olahraga yang sudah koyak. Aku bahkan masih bisa melihat dengan jelas bekas dobrakan Vincent yang membuat pintu itu sudah tak berbentuk lagi. "Kupikir pintu itu lebih parah daripadaku..."
Aku melihat sebuah senyum yang agak sedikit menakutkan di ujung bibir Vincent. Senyuman jenis 'berkedip-dan-kau-akan-menyesal'. Aku hampir saja tertawa karena merasa konyol duduk disini berdua saja dengannya, seperti.. kita sudah terbiasa menghabiskan waktu bersama.
"Yeah.. well, aku memang selalu ingin memiliki alasan untuk menghancurkan sesuatu di sekolah ini"
Sesuatu selain hidung siswa lain? Batinku sendiri.
"Aku kenal dengan Head Girl di sekolah ini" Kataku. "Akan kupastikan kau tak akan terlibat masalah apapun, dan mengatakan padanya bahwa itu adalah ulah anak anak nakal. Dan dia akan menyalahkan orang lain"
Vincent kemudian hampir tertawa dalam kediamannya, menggeleng-gelengkan kepalanya sambil masih tetap melihat langit. Orang orang sepertinya benar benar tidak akan peduli jika terlibat suatu masalah. Setelah beberapa jeda yang memalukan, Vincent lalu menoleh padaku. "Maaf, tapi baru kali ini aku bertemu dengan seseorang sepertimu sebelumnya. Kau lucu dan menyenangkan"
"Terimakasih..?"
Dia tersenyum lagi lalu meraih gitarnya dan memainkan melodi melodi indah dengan jarinya. "Setiap sore aku selalu berlatih disini. Satu satunya tempat dimana aku bisa mendapatkan ketenangan". Aku mendengarkan permainannya. Anenya, nada nada yang dihasilkan olehnya membuatku merasa tenang. Aku seharusnya sudah pergi dan menghadiri acara Dungeon Adventure Club ku, tapi aku merasa sedikit betah duduk disampingnya dan ingin melupakan dunia barang sebentar saja.
"Apa kau ingin mengatakan padaku siapa yang melakukan ini padamu?"
Pertanyaan yang begitu to-the-point itu membuatku sedikit terkejut. "Tidak juga.."
Vincent tidak menjawab dan kupikir aku seharusnya meneruskan kalimatku. "Yang melakukan ini adalah orang yang sama yang selalu mengerjaiku setiap harinya. Mengatakan siapa dia sebenarnya hanya akan membuat keadaan semakin parah jadi.. yang harus kulakukan hanya tetap bersikap tak peduli dan melewati sisa tahun ini. Dan setelah itu aku akan menjadi mahasiswa lalu , 'Bye Havensdale'"
Ini pertama kalinya aku mengutarakan perasaanku yang sebenarnya pada orang lain selain Olive. Ingatlah, akan selalu ada cahaya di ujung lorong. Pada awalnya, Vincent tidak merespon. Tapi kemudian, dia menghentikan permainannya dan menoleh padaku. "Aku tak mengerti,kenapa orang ini membuat hidupmu seolah olah berada di neraka? Apa alasannya sampai melakukan ini semua padamu?"
Aku menertawakan pertanyaannya. "Alasan apa katamu? Apa harus kukatakan apa alasannya? Hmm.. ada banyak sih sebenarnya. Aku mulai darimana dulu ya.. aku pendek, aku tak populer, aku gay, aku menyukai hal hal yang semua orang benci, aku payah, aku jelek.."
"Kau tidak jelek" potong Vincent. "Geez, kau pasti terlalu keras pada dirimu sendiri"
"Aku hanya mencoba berdamai dengan diriku sendiri" keluhku. "Lagian tak ada gunanya untuk berpura pura menjadi orang lain. Aku menyukai diriku sendiri bahkan saat semua orang tak menyukaiku"
Sebelum Vincent kembali bersuara, ponselku berdering karena ratusan pesan tertunda masuk kedalam kotak masukku saat berada didalam gudang tadi. Semuanya dari Olive. Dan isinya rata rata menanyakan dimana aku. Olive mencemaskanku.
"Sial" gerutuku agak keras. "Dari sahabatku. Aku tak tahu apa yang harus kukatakan padanya, dia akan marah jika tau aku masih berada disini. Seharusnya aku saat ini berada di Dungeon Adventure Club"
"Dungeon Adventure Club?" Ulang Vincent. "Apa-apaan itu?"
"Oh.. ehmm" Aku tersendat. "Semacam sebuah game.. ya.. begitulah"
Vincent kemudian terkekeh. "Ya ampun.. kau selalu merepotkan dirimu sendiri yah?"
Dan aku membalasnya dengan sebuah senyuman. "Kau harus datang dan ikut bermain, it's fun!"
"Mungkin jika aku punya death wish, mungkin aku akan mempertimbangkannya"
Aku tau bercanda dan tertawa bersama Vincent tentang game RPG membuat perutku sedikit terasa sakit. Aku mencoba berdiri perlahan meski agak sulit.
"Perlu bantuan?" Vincent berdiri dan kemudian menghampiriku. "Ayo kubantu"
"Sebenarnya aku baik baik saja kok" Balasku. "Masih agak sakit sih, tapi semuanya akan baik baik saja"
Aku kemudian memeriksa lenganku apa ada memar atau tidak. Sejujurnya memar memar itu terdapat di bagian perutku. Didalam kemejaku. Selama disanalah satu satunya tempat dimana memar itu terdapat, maka aku akan baik baik saja dan bisa menyembunyikan itu dari siapapun.
Melihatku masih agak meringis kesakitan membuat Vincent kembali menawari bantuan padaku. "Ayo kutolong"
"No.No. No. Aku baik baik saja kok. Percayalah. Mungkin sebaiknya aku pulang saja kali yah..."
Keanehan akan situasi ini tampak semakin jelas. Seorang Vincent Hunter si psikopat bersikap baik padaku dan dia juga mengingatku? Apa aku sedang bermimpi saat ini? Matanya menatapku dengan intens, membuatku merasa tidak nyaman di tempat.
"Apa rumahmu jauh?" Tanyanya. "Biar kuantar kau"
Pipiku memanas begitu saja. Aku dan Vincent menghabiskan waktu berdua lagi dalam jarak yang sangat dekat dalam waktu 10 menit lagi? Aku tak akan bisa menahan diriku kalau begitu.
"Tidaak. tidak apa apa kok. rumahku tak begitu jauh. aku sebaiknya pulang sendiri saja"
Aku kemudian berdiri dan memeriksa barang barangku yang ternyata sama sekali tidak ada yang hilang (thank god). Aku meraih tas ku dan kemudian berbalik menuju gerbang sekolah. Tapi Vincent dengan cepat meraih perpgelangan tanganku membuatku terpaksa harus berbalik lagi menghadapnya.
"Specs, kau yakin kau baik baik saja? Katakan yang sebenarnya"
Itu sbuah perintah. Bukan sebuah permintaan. Aku mengangguk dan merasakan bahwa pipiku mungkin sudah sama merahnya dengan memar yang tercetak dikulitku.
"Really, aku akan baik baik saja"
Vincent tampak puas dengan jawabanku lalu melepaskan genganggmannya di pergelangan tanganku. Tapi tatapannya masih mengunci tatapanku.
"Look, jika kau diganggu lagi. Maka temui aku"
Aku benar benar tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Tapi aku kemudian malah mengangguk lemah.
"Aku serius" Tambah Vincent lagi. "Kau tak harus berurusan dengan bajingan ini sendirian lagi"
"O.. OK" aku tergugup. "Aku akan mengingatnya. Thanks"
Lalu pria yanglebih tinggi dariku itu tersenyum. "Bagus. Hati hati, Scotty. Sampai bertemu lagi"
"Bye Vincent"
Saat aku berjalan ke arah gerbang, kata kata Taylor masih terngiang ngiang di benakku dan kata kata itu hampir membuatku menangis ketakutan. Tapi semuanya pudar saat faktanya, Vincent tahu nama asliku.
Dari belakang, aku bisa mendengar melodi akustik mengalun dengan indah. Aku menoleh ke belakang dan melihat Vincent tersenyum padaku lalu melambaikan tangannya dari balik gitar.
Kali ini, aku juga melambaikan tanganku padanya.