It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
seneng deh akhirnya mereka jadian juga.
hmm alexis jd pemicu kah stas keterpurukan scooty nanti? apa nanti vincent berpihak sama alexis? duuh penasaran nih.
oiya udah selesai bub ujiannya? brarti bisa doong lbh banyak upnya dan ceritamu yg lainnya. hehehe
Aku meringis saat Vincent mengoleskan krim antiseptik ke bahuku.
"Oh, For fuck sake Scotty, dia benar benar menyakitimu..."
"It's fine.." gumamku. "Rasanya tak seburuk yang kau lihat"
Faktanya, luka ini benar benar buruk, buruk dalam apapun bentuknya. Aku tak tahu harus mengatakan apa. Vincent dan Alexis adalah dua sahabat karib, dan yang lebih penting lagi mereka itu satu band. Mereka punya showcase penting yang harus mereka urus bersama. Kami harus mencari solusi bagaimana mengatasi masalah ini sekarang. Aku memaki dan mendorongnya tadi tentu saja takkan memperbaiki apapun.
But god!! Tadi itu aku sangat marah! Bisa bisanya si gadis tengik itu datang begitu saja dan mengacaukan pagi setelah malam sempurna yang sudah kualami bersama Vincent! Mungkin dia agak sedikit pangling saja, but hey, dia juga nggak seharusnya bersikap seperti tadi. Dia benar benar seorang psikopat. Aku tak tahu apa yang dia lakukan setelah keluar dan menghantam pintu seperti tadi. Kubayangkan, mungkin diluar sana disedang memaki maki sendiri dan mengucapkan semua sumpah serapah yang mengarah kepadaku.
Setelah Vincent selesai mengobati lukaku, dia mengerang dan lalu menendang meja kecil yang ada di tengah tengah ruangan. Aksinya itu mengagetkanku dan membuatku sedikit terperanjat.
"Sorry Scotty.... aku cuma.. sangat kesal..."
Sepertinya bukan cuma aku yang sedang marah disini. Vincent juga. Dia lalu kembali duduk ke sofa.
"It's just.... apa yang seharusnya kulakukan sekarang? Kau pacarku dan dia menyerangmu. Itu ngga OK" Dia lalu menghela nafas berat. "Mungkin sebaiknya aku membatalkan showcase nya saja. Aku tak bisa bermusik bersamanya seperti ini"
Aku lalu pindah ke sofa yang sama dengannya, meraih tangannya dan lalu mengenggamnya. "Kau tak bisa melakukan itu, Vincent.... Dia cuma kaget karena dia sangat sangat mencintaimu... jika aku jadi dia, mungkin aku akan melakukan hal yang sama"
Dia mengangkat sebelah alisnya padaku.
"OK. Kau benar. Aku takkan mencakari orang lain" aku lalu berhenti sebentar. "Soalnya aku tak punya kuku untuk melakukan itu" aku mengangkat jari jariku dan lalu menggoyang goyangkannya sambil tertawa kecil.
"Specs... berhenti bersikap baik.. kau seharusnya kesal sekarang"
"Memang" balasku. "Tapi apa yang sebaiknya harus kita lakukan? Kita harus menyelesaikannya... kupikir mungkin sebaiknya kau biarkan saja seperti ini dulu... lalu besok... kau bicaralah padanya.."
"Aku setuju..." gumamnya. Dia lalu menggeser duduknya semakin dekat padaku, suaranya terdengar sangat pelan seperti sebuah bisikan. "Aku cuma tak bisa melihat orang lain menyakitimu. Apa kau tau seberapa peduli aku padamu?"
Aku lalu menutup mata sambil mengingat malam tadi. Sentuhan lembut Vincent, dan juga kedekatan yang memabukkan kami berdua.
"Aku tau..." balasku.
Dia lalu meletakkan tangannya di wajahku, dan kemudian menciumku seolah olah akulah satu satunya orang yang terasa paling manis di bibirnya.
----
Keesokan harinya di sekolah, semuanya terkuak dan banyak rumor yang bertebaran, DIMANA MANA. Aku tau akan jadi seperti ini, dan aku sudah mempersiapkan diri untuk yang terburuk nantinya. Aku hanya tak tahu seberapa skandalnya dimata mereka saat mendengar seorang Vincent Hunter menciumku di tempat umum. Dan sekarang, tak ada lagi hal menarik yang terjadi di Havensdale, karena kami, menjadi topik pembicaraan terhangat dan terpanas disetiap ruangan, disetiap kelas, dan diseluruh koridor.
"Aku tak tahu kalau Vincent Hunter itu gay,... dia bahkan nggak kelihatan seperti gay! Padahal aku ingin mengajaknya pergi kencan, benar benar tidak adil!"
"Oh yuck, MENJIJIKKAN! Aku bahkan tak sudi membayangkan mereka berdua berpacaran, membuatku mual saja! Scotty sih emang aslinya seperti itu, tapi masa sih Vincent doyan cowok!!"
"Bukannya itu cowok yang kemana mana selalu bersama cewek bertampang kusut itu? Kupikir mereka pacaran. Menurutmu dia bi?"
"Oh My God!!! Vincent dan Scotty??! Ini berita PANAS!! Menurutmu siapa yang jadi uke nya?!"
"Scotty Williams?!! Beneran? Kenapa dia bisa bisanya pacaran sama seseorang seperti itu?! Dia itu CUPU. Kupikir Vincent itu benar benar keren! Apa sih yang sedang terjadi?!"
"TIDAK MUNGKIN dia gay,.. aku tak percaya. Scotty pasti yang menyebarkan gosip ini karena dia menyukai Vincent, dasar pecundang"
Rasanya sangat awkward saat mendengar semua orang membicarakan dirimu, tapi disaat yang bersamaan, aku tak peduli. Aku sudah terbiasa mengalami hal yang seperti ini. Aku yakin sekali sebentar lagi gosip ini akan mereda dan akan digantikan gosip lain yang tak kalah hebohnya.
Aku cuma berharap kalau Vincent baik baik saja. Semua orang sudah tahu kalau aku adalah gay, tapi benar benar mengejutkan saat tahu seorang rockstar-nya Havensdale ternyata menyukai cowok, apalagi cowok dalam konteks itu adalah aku.
----
Saat makan siang, aku berusaha sebisa mungkin untuk menangkis setiap penggosip dan duduk di kafetaria sendirian. Sebelum kemudian Olive datang, dengan cepat dan terburu buru entah datang dari mana lalu duduk di mejaku.
"Scotty, aku tak tahu kenapa semua orang tahu tentangmu dan Vincent... tapi aku bersumpah, aku tak pernah menceritakan pada siapapun! Kau harus percaya padaku!"
Dia terlihar sangat tertekan dengan situasi ini. Aku lalu mendekat dan menggapai tangannya. "Aku tahu... jangan khawatir.. aku tau pasti siapa yang melakukannya"
Kemudian aku menceritakan tentang aku bertemu dengan Taylor dan Patricia di Bello. Olive mendengarkan dengan teliti dan kemudian matanya membesar.
"BRENGSEK!!! Apa menyiksamu masih belum cukup?! Kenapa dia malah mengatakannya pada orang lain!?"
Aku menghela nafas. "Aku tak tahu, mungkin karena ini adalah skandal yang akan amat sangat memberatkanku. Kupikir mungkin soal menyebarkan ke orang lain, Patricia lebih punya peran yang besar untuk itu semua..."
Olive mengepalkan tangannya diatas meja. "Aku BENCI cewek itu! Aku benci mereka berdua! Benar benar kurang ajar!"
Aku memaksakan tersenyum. "It's fine. Aku sudah menyiapkan diri untuk ini semua. Lagian, mereka juga sudah membantu kami! Lihat, sekarang kami bahkan tak perlu lagi menyembunyikan hubungan kami. Tinggal menunggu waktu saja bagi orang orang untuk tahu betapa kami saling mencintai[Love] satu sama lain"
Olive mengangkat kedua alisnya terkejut. "Love? Hey, tunggu.. apa.. kalian sudah memakai kata LOVE sekarang?!" Mulutnya terbuka. Sekarang dia jadi kelihatan konyol.
Aku lalu memalingkan mataku malu malu ke meja. "Uhmm... mungkin.."
"Oh My God!!" Pekiknya. "Sialan Scotty, aku benar benar ingin sekali tinggal dan mendengar setiap detailnya. Tapi aku ada kelas sekarang.... bisakan nanti malam aku kerumahmu agar kau bisa menceritakan semuanya?"
Aku mengangguk. "Tentu. Ada banyak yang ingin kuceritakan padamu"
Kurasa dia pasti melihat perubahan ekspresi yang cukup signifikan di wajahku, mendengar kata kataku saja sampai membuat keringatnya menetes.
"Wait... BANYAK? Kau nggak... apa kau dan Vincent... BENERAN?"
Matanya tampak seperti mau keluar dari kelopaknya karena terlalu kaget, dan aku langsung memalingkan wajah merasa tidak nyaman. "Uhmmm.... mungkiiiiiiiiin?"
Olive berteriak cukup keras sampai menggema ke seluruh kafetaria dab membuat semua orang menengok pada kami.
"ASTAGAA!!!! Scotty Johnatan Williams!!!"
Aku tetap memalingkan wajahku dan bersuara pelan. "Hey.. jangan terlalu tinggi suaranya... itu kan bukan sesuatu yang kami.. kau tau.. tergesa gesa.. kami tak terlalu mementingkan itu dan rasanya benar benar.. menyenangkan"
Dia tampak terkejut, tapi setelah beberapa lama dia tersenyum hangat padaku. Olive adalah sosok yang egois, tapi dia juga sosok yang romantis disaat yang bersamaan.
"Well,.. kuharap kau akan menceritakan semuanya.. tidak SEMUAnya saat kau melakukan itu.. aku ingin mendengar versi kau sendiri"
Aku tertawa. "Tentu. Bagaimana kalau setelah pulang sekolah?"
"Sempurna" jawabnya dengan sebuah kedipan.
----
Setelah Olive pergi ke kelasnya, aku langsung mengeluarkan ponsel untuk mengabari Vincent. Dia punya beberapa kelas di setiap hari senin, dan aku berharap semoga dia tidak terlalu tidak nyaman dengan semua rumor ini. Aku lalu menulis sebuah pesan dan menekan tombol send.
"Sepertinya sekarang kita adalah skandal paling menarik yang pernah terjadi disekolah. Kau baik baik saja kan? X"
Tak butuh waktu lama bagiku untuk mendapatkan balasannya.
"Ha. Itu merubah reputasiku dari seorang pria dengan ayah psikopat. Aku menyukai yang sekarang. Xx"
Aku tersenyum membaca kata katanga. Tak ada yang menganggu Vincent. Apapun. Belum sempat aku membuat balasan yang lain, ponselku kembari bergetar.
"PS. Apa kau baik baik saja? Jika ada orang yang menyakitimu maka akan kuhajar mereka. Xxx"
Aku tertawa keras saat membaca pesannya. Lalu aku mengirimkan sebuah balasan berupa pertanyaan yang dari pagi ini selalu menghantuiku.
"Aku baik baik saja. Kau tak perlu menghajar siapapun. Apa kau sudah bicara dengan Alexis? X"
Sudah 24 jam setelah penyerangannya padaku pagi itu. Bagaimanapun juga,Vincent janji akan berbicara pada Alexis setelah pulang sekolah. Lima menit kemudian, ponselku berdering.
"Kupikir dia sekolah, tapi dia absen di Music Tech. Mungkin dia takut untuk melihatku. Aku sudah mengatakannya untuk bertemu denganku di bawah pohon saat semua kelas berakhir, aku akan mencoba untuk menyesaikan masalah ini"
Jantung mencelos saat membaca pesan itu. Aku tak tahu apa yang direncanakan Vincent pada Alexis, tapi dia terdengar sangat bertekad. Kuharap dia tau bagaimana caranya untuk mengakhiri sikap kurang ajar Alexis.
Aku lalu mengemasi barang barang ku di meja. Dan kemudian ponselku kembali bergetar.
"Ngomong ngomong... I love you.. Xxx"
Sebuah desiran membuat semua bulu yang terdapat disekujur tubuhku berdiri. Aku lalu dengan cepat mengirimkan balasan.
"Tidak sebanyak aku mencintaimu... xxx"
Waktupun berlalu, dan teman teman sekelasku selalu berbisik bisik dibelakang menggosipkanku saat aku berjalan di tempat ramai, aku sudah cukup kenyang dengan semua rumor ini jadi aku mengacuhkannya. Aku yakin sekali aksi mereka ini akan cepat sekali berakhir daripada aku harus mengurusinya. Dan aku sangat yakin di akhir minggu ini, aku dan Vincent akan jadi berita lama dan kami akan kembali bersama dan semuanya akan menjadi sempurna.
Saat hari ini hampir berakhir, aku berjalan menuruni tangga menuju receptionist area. Aku tak sabar ingin bertemu dengan Olive dan menceritakan semuanya yang telah terjadi selama weekend yang telah lewat.
Saat aku baru saja melewati sudut ruangan menuju pintu keluar, aku melihat seseorang yang tampak familiar berjalan menuju dari arah yang berlawanan di hallway. Meski dari jauh, aku masih bisa mengenali rambut spike pirangnya dan juga gelagat sombongnya. Mata kami saling terkunci, dan kemudian Taylor mengenggam pergelangan tanganku erat dan lalu menyeretku di sepanjang hallway. Aku berteriak berang.
"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!"
Dia sendirian, dengan buku buku pelajaran dan juga raket yang masih ia sandang dengan tasnya di punggung. Dia melemparku dengan kasar ke Changing Room terdekat yang (untung saja) sedang kosong. Dia mendorongku ke dinding, matanya tampak berair dan suaranya terdengar sangat putus asa.
"Sudah berapa lama kau berpacaran dengannya?!"
Aku mendorongnya balik.
"Bukan urusanmu!"
Dia tak membalas. Dia tampak tertegun seperti seorang murid yang baru saja dimarahi oleh gurunya.
"Thanks karena sudah membiarkan Patricia menyebarkan semuanya ke sekolah" tambahku, sarkas. "Setidaknya sekarang kami tak perlu lagi menyembunyikan apapun"
Taylor tampak terluka. Dia mengenggam tas racketnya, punggung tangannya bahkan sampai jadi pucat.
"Kau sengaja kan berpacaran dengannga untuk menyakitiku? Karena aku menyakitimu...."
Aku mengerang kesal. "Demi Tuhan, Taylor!! Tidak semua ada hubungannya dengan mu! Aku berpacaran dengan Vincent karena aku mencintainya!"
Taylor mendelik. "Jangan katakan itu!"
"Well, itulah faktanya!" Pekikku. "Aku mencintainya! Kau paham? So please, tinggalkan aku sendirian dan biarkan aku mengurus hidupku sendiri!"
Aku tak punya hak untuk membenarkan diriku sendiri karena seseorang yang bahkan tak pantas bersamaku untuk satu detikpun. Aku keluar dari Changing Room, menabrak Taylor yang sekarang tampak menyembunyikan air matanya. Sebagian diriku merasa iba padanya. Bagaimanapun juga dia adalah cinta pertamaku dan seperti apapun dia bertingkah didepan gang nya, aslinya dia selalu tersakiti. Tapi jika aku mengingat semua hal yang telah dilakukannya selama ini padaku, semua rasa empati itu menjadi lenyap begitu saja.
Aku bisa mendengar bunyi pintu yang dipukul saat aku menutup pintu Changing Room. Tapi aku memilih tak peduli dan bersikap seolah olah tak ada hal aneh yang baru saja terjadi.
haihhh..
klo lo emang cinta seharusnya gak ngerjain dia spt itu.
sekarang jd kasian tp yaa mau gimana lg. elo siih.
jd penasaran sama alexis nih. kayaknya dia yg jd penghalang
Apakah taylor akan terus mengejar scotty ??
#nextepisode