It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Oh My God, Aku hampir saja lupa betapa gantengnya kamu waktu makai setelan jas!!”
Olive duduk di lantai kamarku, membolak balikkan foto foto yang ada di buku tempel barunya. Dia belum pernah menjauhkan benda itu darinya sejak pertama kali aku memberikan itu.
Aku kemudian tertawa. “Yeah, waktu itu pestanya asik banget... Setelanku juga keren banget.”
Dia tetap membolak-balikkan halaman demi halaman sambil tersenyum.
“Hey, mungkin kalau kau gagal dalam ujian-ujianmu, kau harus berpikir untuk menjadi model nanti”
Aku mengerang. “Kupikir itu bakalan jadi pilihan yang berbeda. Sekarang saja aku susah berkonsentrasi dengan tugas-tugasku karena semua yang ini...”
“Kau akan baik-baik saja,” balas Olive. “Kau bahkan bisa menjawab essay dengan mata tertutup”
Aku nggak terlalu yakin. Mungkin selama ini bagiku tugas-tugas sekolah itu gampang, tapi sekarang aku sudah mencapai batasku. Salah satunya karena trauma emosional yang sedang kualami saat ini. Kuletakkan tanganku di kepala.
“Oh God Olive, aku sudah mengacaukan semuanya.... Aku nggak tahu apa Vincent akan memaafkanku atau tidak....”
Olive menggeser duduknya di lantai mendekatiku yang sedang duduk sambil menyandarkan punggung ke kasur. Aku sangat senang kami bisa kembali berteman. Tadi waktu perjalanan pulang kurumah, kuhabiskan waktu itu untuk menceritakan semua hal yang terjadi selama beberapa hari kebelakangan padanya. Semuanya, dari pembicaraanku dengan Vincent sampai curahan hati Taylor. Pada akhirnya aku merasa lega karena sudah bisa melepaskan semua rahasia yang membebaniku selama ini.
“Aku yakin Vincent akan memaafkanmu,” katanya sambil mengusap-usap lututku. “Kalian berdua itu lebih kuat dari ini. Kupikir dia mungkin punya semacam masalah kepercayaan pada orang lain, itulah kenapa dia bersikap seperti sekarang”
“Entahlah,” gumamku. “Yang sudah kulakukan benar benar kejam. Mungkin aku nggak pantas punya pacar...”
Olive kemudian menyikut rusukku dengan sikunya. “Hey, diam! Jangan katakan hal konyol seperti itu.”
Kuletakkan tanganku di dagu sambil menghela nafas. “Well, itulah kenyataannya. Aku sudah berbohong pada semua orang yang kusayangi.... dan aku bahkan nggak tahu lagi apa kita masih bisa menjadi teman setelah semua ini...”
“Well, kita memang berteman kok” Kata Olive tegas. “Dan Vincent juga akan memaafkanmu. Selain itu, aku bodoh sekali jadi sangat mellow seperti itu... maksudku, aku mengerti kenapa kau nggak ingin orang lain tahu tentang kau dan Taylor. Kita berdua tahu apa saja yang bisa dia lakukan...”
Hatiku terasa sedikit sakit saat mendengar nama Taylor disebut sebut. Hidupku sudah naik turun karena cowok itu dan susah rasanya menjelaskannya kepada orang orang seperti apa yang sebenarnya terjadi.
“Apa kau yakin kau bisa memaafkannya?” Lanjut Olive. “Bahkan setelah semua yang telah dia perbuat? Aku nggak percaya caranya memperlakukanmu waktu kalian pacaran. Kuharap aku bisa melakukan sesuatu waktu itu... Mungkin bisa melakukan sesuatu untukmu...”
“Kau selalu ada untukku, Ol” Balasku. “Meskipun kau nggak tahu apa yang sedang terjadi, aku nggak akan pernah bisa melewati semuanya tanpamu.”
Dia tersenyum kecil. “Aku senang kau merasa seperti itu. Aku Cuma nggak tahu kenapa Taylor bisa jadi sekejam itu padamu. Dan kenapa dia bisa bisanya menempelkan semua foto-foto itu seperti itu, apa dia gila?!!”
Aku terdiam, kejadian waktu itu kembali menghantuiku waktu aku melihat foto-foto itu di dinding.
“Kau tahu, kupikir dia MEMANG sedikit gila. Rasanya kayak foto itu adalah satu satunya cara untuk menyelesaikan masalahnya... dia sudah terjebak didalam masalahnya sendiri dan takut menghancurkan reputasinya sendiri selama ini. Ayahnya yang membuatnya merasa seperti itu, dia yang selama ini mengatur hidup Taylor. Sejujurnya, aku merasa kalau Mr. Raven Senior pasti yang sudah bersikeras anaknya untuk bersikap seperti itu selama ini...”
Dalam benakku, aku masih bisa melihat semua memar yang berbaris di pergelangan tangan Taylor. Memikirkannya saja membuatku bergidik ngeri.
Olive kembali membelai kakiku. “Kau orang yang baik, Scotty. Kebanyakan orang nggak akan mempedulikan seseorang yang sudah memperlakukan mereka dengan buruk.”
“Yeah well....,” gumamku. “Aku turut merasa kasihan padanya... dalam hati aku nggak pernah menganggapnya sebagai orang yang buruk, dia Cuma membuat beberapa kesalahan bodoh. Dan aku tahu pasti apa kebohongan bodoh itu”
Kubiarkan kalimatku terdengar di seisi ruangan. Tiba tiba aku jadi teringat dengan Vincent. Segala sesuatu tentangnya bertebaran di kamarku, dari CD yang berserakan di atas mejaku sampai kemeja di lemariku yang masih bernoda saus tomat yang masih belum bisa ku hilangkan. Bukannya aku suka dengan noda itu, tapi itulah yang mengingatkanku dengan momen dimana Vincent untuk pertama kalinya mengatakan kalau dia mencintaiku.
Apa yang terjadi dengan cinta itu sekarang? Apa aku bisa mendapatkannya kembali?
“Ayo,” kata Olive tiba-tiba, memecah keheningan. “Ceritakan padaku lagi semua yang sudah Vincent katakan padamu semenjak saat dia mengetahui semuanya. Aku ingn SEMUA percakapan, KATA DEMI KATA. Aku sangat pandai menganalisa psikis orang lain, jadi aku yakin aku bisa mencari tahu apa yang sedang dia rasakan sekarang.”
“Olive.... hanya karena kau sudah sering mengurusi masalah cewek, bukan berarti kau tahu bagaimana caranya menganalisis psikis orang lain.”
Dia kemudian berkacak pinggang merasa tersinggung. “Oh, jadi kau nggak mau mendengar saranku? Karena kalau dilihat dari kalimatnya, kupikir Vincent sangat ingin untuk bisa mendapatkanmu lagi...”
Aku menoleh padanya, bersiap untuk mendengarkan sarannya.
“OK, lanjutkan...”
--
Saat aku di sekolah keesokan paginya, aku melihatnya.
Dia duduk bersandar pada pohon di lapangan ditemani oleh Alexis disampingnya. Mereka berdua sedang bermain gitar dan menuliskan ide ide mereka di dalam music-notebooks-nya.
Merasa berani mengingat pembicaraanku dengan Olive malam sebelumnya, aku nggak berfikir dua kali untuk menghampiri mereka. Aku kemudian melangkah lurus menuju pohon dan berdiri tepat didalam area penglihatan Vincent.
“Hi Vincent... bagaimana kabarmu?”
Dia tampak sedikit terkejut saat melihatku menghampirinya dengan percaya diri. Aku juga melambaikan tangan pada Olive dan dia dengan cepat membalasnya.
“Err, kau sendiri bagaimana?” kata Alexis, menoleh dengan canggungnya padaku dan Vincent.
“Yeah, aku baik baik saja. Makasih” balasku, seolah olah semuanya baik baik saja diantara kami bertiga. “Bagaimana latihan kalian?”
Vincent langsung memasang ekspresi kesal saat dia meraih gitarnya dengan malas.
“Scotty, kau nggak dengar kataku kemarin? Kubilang kalau aku mau sendiri dulu... bisakah kau melakukan itu?”
Dia menunduk pada gitarnya, mungkin berharap aku mengerti dan pergi. Tapi, aku malah melipat tanganku.
“Sebenarnya aku sudah cukup memberimu waktu... sekarang sudah saatnya kau mulai bicara padaku”
Alexis tampak ketakutan. Kemudian dia langsung melihat notebooknya, berpura pura dia tak ada disana. Vincent meletakkan gitarnya ke bawah dengan kesal dan berdiri menatapku. Dia menarikku ke pinggir pohon, dengan suaranya yang setengah berbisik.
“Ini bukan waktu dan tempat yang tepat Scotty...”
“Well, lalu kapan dan dimana?” pekikku, menggerak-gerakkan tanganku dengan putus asanya. “Berapa lama lagi aku harus menunggumu agar bisa bicara padaku?”
Vincent mencengkram tanganku dengan kuat, menarikku mendekat padanya. Wajahnya hanya beberapa inchi dari wajahku, membuat jantungku mulai berdebar debar dengan gila.
“Aku nggak bisa bicara... nggak sekarang... pertunjukannya minggu depan dan itu adalah malam yang sangat penting untuk hidupku... aku nggak bisa membiarkan fokusku terpecah...”
Aku sangat ingin untuk meraih wajahnya dan menariknya kedalam pelukanku.
“Aku ingin datang,” bisikku balik. “Aku ingin mendukungmu...”
Vincent tampak terluka, tapi dia tetap mencenhgkram lenganku.
“Demi Tuhan, Scotty... aku nggak bisa menghadapi ini sekarang...”
“Apa yang nggak bisa kau hadapi?” tanyaku,tiba tiba merasa kesal. “Aku mencintaimu. Dan kau juga mencintaiku. Lalu masalahnya apa?”
Dia akhirnya melepaskan tanganku.
“Kau tahu masalahnya apa... aku mungkin masih mencintaimu... tapi apa aku bisa mempercayaimu sekarang?”
“Entahlah Vincent,” balasku tajam. “Kalau itu yang kau rasakan, terus kenapa kau nggak memutuskanku saja daripada terus membiarkan nasibku terkatung-katung seperti ini?”
Vincent menghela nafas berat seolah olah aku baru saja memukulnya secara fisik. Kurasakan tanganku bergetar karena kalimat yang baru saja kulontarkan dari mulutku sendiri. Aku nggak bisa membayangkan putus dengan Vincent, tapi aku juga nggak bisa hidup didalam ketidak pastian seperti ini. Itu membunuhku.
Kulihat mata Vincent yang sekarang berkaca-kaca. “Aku nggak mau putus denganmu...”
Aku menghela nafas pasrah. “Kau nggak mau putus denganku, tapi kau nggak mau berada didekatku. Kalau begini terus, akan jadi seperti apa hubungan kita nanti?”
“entahlah,” Balas Vincent tenang.
Kami saling berpandang-pandangan, saling sibuk dengan diri masing masing. Kulihat keseluruh penjuru lapangan apa ada orang lain yang sedang menguping pembicaraan kami, tapi untung saja sekarang tempat ini sedang sangat kosong. Alexislah satu satunya yang bisa mendengar, tapi dia dengan sopannya malah berpura-pura sibuk menulis ide ide lirik di notebooknya.
“Scotty please, bisakah kau menunggu sampai acara ini berakhir? Aku sangat tertekan sekarang... masa depanku setelah sekolah hanya bergantung dengan pertunjukan ini saja... aku nggak bisa menghancurkannya sekarang...”
Aku benci caranya bicara padaku. Aku benci cara dia bicara tentang masa depannya seolah olah ada kemungkinan aku nggak ada didalamnya. Aku benci fakta kalau kini dia nggak memanggilku Specs lagi. Aku benci seluruh percakapan ini.
Vincent menjatuhkan tangannya dan aku menatap matanya.
“Pernahkah kau berpikir kalau sebenarnya aku yang hancur disini?” bisikku.
Dan detik itu, saat mata kami saling menatap satu sama lain dan mulut kami bergetar oleh kata-kata yang tak tersampaikan, kami mendengar kericuhan yang datang dari tempat parkiran mobil siswa.
Teriakan. Bentakan.
Kutolehkan padaku ke arah kehebohan.
“Ada apa itu?”
Vincent juga menengok ke arah yang sama. Kemudian Alexis berdiri dari bawah pohon dan menghampiri kami. Susah untuk mendengarkan apa yang teman teman sekolah kami katakan dari kejauhan tapi aku bisa mendengar beberapa bagian percakapan yang melayang diatas kami.
“Kenapa dia?? Dia gila!”
“Mungkin dia mabuk... lihat saja matanya yang merah itu!”
“Seseorang panggil guru!”
“Kenapa dia merusak properti sekolah seperti ini?”
Kupicingkan mata dari balik kacamata, mencoba untuk melihat dengan jelas apa yang sedang terjadi. Aku bisa melihat samar samar ada seseorang yang sedang berlari ke arah kami.
Saat dia semakin dekat, aku kemudian tahu kalau itu adalah Taylor.
“Apa yang kau lakukan disini?” bentak Vincent saat melihatnya. “Apa kau belum cukup puas mengganggu kami?”
Taylor sedikit berlutut, mencoba untuk mengatur nafasnya. Dia jelas sekali baru saja berlari seperti orang gila yang ingin menghampiri kami dengan cepat.
“Kau nggak... mengerti....” Lirihnya terbata bata dengan nafas yang ngap-ngapan. “Scotty, kau... kau harus segera pergi dari sini...”
“Apa yang kau bicarakan?” Kataku bingung. “Apa yang sedang terjadi di parkiran? Dan kupikir kau sedang di skors, kenapa kau bisa ada disini?”
Sebelum Taylor bisa menjawab, dia dihentikan oleh sebuah suara bentakan yang terdengar sangat agresif.
“DIMANA DIA?? DIMANA BOCAH SIALAN ITU?”
Seseorang sedang berlari menuju kami. Bukan kenalan kami lainnya, tapi seorang pria. Matanya membelalak dan dia berbau alkohol. Baunya terasa semakin kuat saat dia semakin dekat pada kami.
Karena beberapa alasan, aku kemudian mengenal orang itu. Aku tahu kalau kami pernah bertemu sebelumnya, tapi aku nggak ingat dimana.
Dia menatapku dengan garang dan berlari ke arahku dengan amarah yang meluap luap.
Kemudian semuanya langsung terjadi begitu saja dan aku lalu ingat siapa dia.
Itu ayah Taylor, Alan Raven.
Dan tangannya tiba tiba mencekik tenggorokanku.
@4ndh0 @rone @Gabriel_Valiant @Greent @ananda1 @adamy @Risqi @Bib_Ung @NanNan @harya_kei @Kirangan @ffirly69 @freeefujoushi @lulu_75 @Alvin21 @Rikadza @Rezadrians @JengDianFebrian @putrafebri25 @lucifer5245 @ardavaa @centraltio @new92 @raw_stone @balaka @akina_kenji @Andyanz @AlmeraVan @Zhar12 @fery_aditya @phanthek @Toraa @arya_07 @Seiranu @mmdd90 @cute_inuyasha @ardi_cukup @elgo_vevo @ZaenalArdana @abong @3ll0 @rama_andikaa @lucifer5245 @Valle_Nia @ularuskasurius @Rika1006
@ularuskasurius kok bisa uda?
@4ndh0 @rone @Gabriel_Valiant @Greent @ananda1 @adamy @Risqi @Bib_Ung @NanNan @harya_kei @Kirangan @ffirly69 @freeefujoushi @lulu_75 @Alvin21 @Rikadza @Rezadrians @JengDianFebrian @putrafebri25 @lucifer5245 @ardavaa @centraltio @new92 @raw_stone @balaka @akina_kenji @Andyanz @AlmeraVan @Zhar12 @fery_aditya @phanthek @Toraa @arya_07 @Seiranu @mmdd90 @cute_inuyasha @ardi_cukup @elgo_vevo @ZaenalArdana @abong @3ll0 @rama_andikaa @lucifer5245 @Valle_Nia @ularuskasurius @Rika1006
Chapter 47 : Mr. Raven’s Rage
“KAU SADAR APA YANG SUDAH KAU PERBUAT?? KAU SUDAH MENGHANCURKAN MASA DEPAN ANAKKU!!”
Alan Raven meneriakiku sekuat tenaga sementara tangannya mencekikku. Semua udara dari tubuhku perlahan menghilang saat seluruh dunia disekitarku mulai terlihat kabur.
“KUBILANG PADANYA UNTUK MENJAUHIMU! TAPI KAU NGGAK MENJAUHINYA KAN?? DAN KINI KAU SUDAH MEMBUATNYA SEPERTI PECUNDANG BESAR, TEPAT SEPERTIMU!!”
Nafasnya berkumpul didepan wajahku seperti racun yang mematikan. Aku mencoba untuk melepaskan diriku dari cekikannya, tapi dia jauh lebih kuat dariku.
Dari belakangnya, aku bisa mendengar seseorang meneriakinya.
“HENTIKAN Ayah!!” Teriak Taylor. “Lepaskan dia!!”
Alexis juga berteriak. “Kenapa dia?? Seseorang, tolong!!”
Semuanya terjadi sangat cepat sampai aku sendiri sulit untuk memahaminya. Pertama aku disini mengobrol dengan Vincent yang menyakiti hatiku.... kemudian aku diserang dengan kasarnya oleh orang dewasa. Aku nggak mengerti apa yang sedang terjadi dan aku kemudian mulai merasa kesadaranku diujung batas saat cekikan Mr. Raven terasa semakin kuat, dan kuat.
Tepat saat aku akan pingsan, seseorang mendorong Alan Raven yang membuat cekikannya padaku terlepas.
“TINGGALKAN DIA SENDIRI!!!”
Meskipun aku merasa lemah dan kesulitan bernafas, aku masih bisa melihat sosok Vincent yang mendorong Alan dengan kasar menjauh dariku hingga terjatuh ke tanah berumput.
Alan mengaduh saat menghantam tanah, dan dia kesulitan untuk berdiri. Vincent lalu berlutut disampingnya, menekan punggung tangannya ke dada Ayah taylor untuk menahannya tetap terbaring di atas tanah.
“Kau memalukan,” desis Vincent di telinganya. “Kalau kau berani menyentuh sehelai rambut saja di kepala Scotty lagi... Aku bersumpah, kau akan menyesalinya”
Aku nggak pernah melihat Vincent tampak sangat marah sebelumnya, dia bergetar karena amarahnya.
Melihat pemandangan yang sedang terjadi di depan mataku, Alexis menghampiriku dan meletakkan tangannya di punggungku. “Scotty, kau baik baik saja?”
Aku mengangguk, merasakan darah yang kembali menjalar ke wajahku. Semuanya terasa semakin jelas sekarang. Aku bisa melihat Vincent yang sedang menjatuhkan Alan saat Taylor hanya bisa melihat ngeri dari sampingnya.
Alan kemudian menangkap mata anaknya dan mulai melenguh padanya.
“Jadi kau cuma berdiri disana dan melihat ayahmu diserang??”
Taylor nggak menjawab. Dia tampak sangat takut untuk bergerak seinchi saja. Alan kemudian kembali meneriakinya.
“Kau menyedihkan, kau tahu itu? Kau nggak pernah punya nyali untuk mendapatkan apa yang kau mau. Selama ini aku melatihmu dan membangun dirimu, untuk apa semua itu?? Kau nggak pernah mempunyai insting pembunuh dalam olahraga, tidak seperti yang kupunya. Kau lemah.”
Kata kata Alan semakin bertele tele dan tak terkendali, tapi niatnya sudah jelas. Dia ingin menyakiti anaknya. Dan melihat air mata di mata Taylor, sepertinya itu berhasil.
“Diam!! Vincent benar... kau MEMANG memalukan!!! Mungkin aku nggak pernah mau menjadi keajaiban dalam permainan tennis bodohmu itu. Itu bahkan juga nggak mengurangi pandanganmu dalam melihatku seperti laki-laki yang seperti apa...”
“Oh terserah!” cerca Alan. “Kau cuma orang yang bodoh yang berguna. Kau bukan anakku!”
Dengan itu, dia pingsan dalam keadaan mabuk.
Vincent menggeleng-gelengkan kepalanya jijik dan melepaskan tangannya dari dada Alan. Kemudian bangkit dan menghampiriku yang sedang berdiri bersama Alexis. Dia meletakkan tangannya di wajahku dan leherku dengan sentuhan yang lembut.
“Scotty, kau baik baik saja?”
“Y..yeah, aku baik baik saja,” aku tergagap, benar benar tersentak oleh kehangatan tangan Vincent di kulitku. Dalam sekejap, aku langsung melupakan rasa sakit yang menghinggapi paru-paruku dan juga memar di leherku. Ada cinta disetiap sentuhan Vincent yang lebih dari sekedar cukup untuk mengobatiku.
Dia kemudian melingkarkan lengannya padaku, mendorongku lebih dekat padanya.
“God Specs... aku menakutiku...”
Aku menggigil dalam kenikmatan mendengar nama kecilku meluncur dari bibir Vincent. Pelukannya sangat erat di badanku dan terasa seperti dia tak akan membiarkanku lepas lagi. Kupeluk dia balik dengan sekuat tenagaku.
Setelah terasa bagai seabad, dia melepaskan pelukan kami. Tapi, Vincent masih menggenggam tanganku, membelainya protektif. Dia menoleh kebelakangnya melihat Alan yang masih pingsan di atas tanah.
“Apa apaan yang tadi itu?”
Taylor melenggang ke arah kami dengan tangannya didalam saku. Dia menatap ayahnya yang tak sadarkan diri dan kemudian aku dan Vincent yang sedang berpelukan. Dari kedua pemandangan yang dia lihat itu, dia kelihatannya sama sekali nggak senang.
“Dia minum sepanjang malam saat tahu kalau aku dikeluarkan dari kejuaraan National... dan pagi ini dia mendengar rumor tentangku dan Scotty dan mentalnya langsung kena... dia pergi kesana kemari dengan mobilnya dan aku mengikutinya. Aku nggak tahu kenapa dia nggak berakhir dengan membunuh seseorang...”
“Aku sedang menelfon polisi!” teriak Alexis dari belakangku dan Vincent. “Ini gila!”
Kemudian semua orang mulai mengerubuni kami saat menyadari drama yang terjadi dari pagi pindah ke lapangan. Taylor menoleh ke arah kerumunan orang seperti rusa yang tertangkap sorot lampu. Kemudian dia menunduk melihat Alan yang sekarang mulai bergerak saat dia masih terbaring di tanah seperti paus yang terdampar.
“Ayolah, apa kita perlu memanggil polisi? Biar kuantar dia pulang... aku akan bicara padanya... menyelesaikan ini..”
Aku kaget saat Vincent menghampiri Taylor dan meletakkan tangannya di pundak Taylor.
“Dude, biarkan saja... Ayahku juga bajingan. Ini bukan salahmu. Biarkan saja polisi yang menangani ini. Ini semua terlalu berat untuk kau hadapi sendiri....”
Taylor melirik tangan Vincent curiga tapi nggak menyingkirkannya.
“Aku merasa seperti pengkhianat... dia masih Ayahku...”
Aku tahu seperti apa perasaan Taylor sekarang, hanya saja sudah terlambat baginya untuk melakukan apapun. Alexis sudah mengeluarkan ponselnya dan melaporkan aksi Alan.
Mungkin karena mendengar Alexis sedang bicara pada polisi, Alan tiba tiba sadar. Dia mengangkat kepalanya dan mengerang, kemudian melihat semua orang yang sedang mengerubuninya.
Kemudian matanya berhenti pada Vincent.
“Oi... KAU... Kau sudah menyerangku!! Kemari kau brengsek!!”
Dia bangkit dari tanah, dan bergerak dengan cepat. Meski dia masih mabuk, dia tetap masih seorang atlit olahraga yang punya banyak kekuatan. Sebelum semua orang punya waktu untuk bereaksi, dia langsung menghantam Vincent dan mencengkram kepalanya.
Kerumunan para siswa di lapangan terkejut dan mulai berteriak meminta tolong. Alexislah yang teriakannya paling keras daripada yang lain.
“APA YANG KAU LAKUKAN?? LEPASKAN DIA!!! SESEORANG HENTIKAN DIA!!”
Vincent mencoba sekuat tenaga untuk mengalahkan Alan dan cengkramannya yang kuat, tapi pria itu jauh lebih kuat darinya. Aku hanya bisa berdiri membeku ditempat, merasa benar benar nggak berguna.
Taylor menarik tangan ayahnya, mencoba untuk menghentikan penyerangan itu.
“Ayah, apa yang kau lakukan?! Lepaskan dia!”
Alan melerai tangannya dari Taylor. Dia kemudian melayangkan cekikannya pada Vincent tepat seperti yang dia lakukan padaku tadi. Vincent berteriak dan kehilangan nafas, mencoba untuk melepaskan tangan Alan tapi semuanya sia sia.
Yang terjadi selanjutnya sangat mengejutkanku dan juga orang lain. Momen saat Alan tangan Alan mencengkram Vincent, sesuatu dalam diriku memberontak. Tanpa berpikir dua kali, aku langsung berlari menuju mereka dan dengan sekuat tenaga kutinju Alan tepat diwajahnya.
Semua orang disekeliling langsung shock melihat Alan yang terjerambab kebelakang, dan otomatis langsung melepaskan cengkramannya dari Vincent. Dia langsung memegangi hidungnya yang berdarah karena pukulanku.
“KEPARAT!! Kau pikir siapa kau?!”
Suaranya sangat lantang, tapi aku nggak takut. Aku akan tetap melawannya, bicara tepat didepan wajahnya.
“Akan kukatakan padamu siapa aku Mr. Raven.... Aku adalah orang yang sudah muak dengan pembully besar sepertimu yang selalu menuruti egomu sepanjang waktu. Aku dulunya takut dengan orang rang sepertimu dan sekarang aku berhenti!”
Untuk sementara waktu, Alan nggak merespon. Dia berdiri membelalakkan matanya padaku sementara darah jatuh mentes dari hidungnya. Dia tampak seperti banteng besar yang marah, bersiap untuk menyerang. Aku berdiri dengan tegasnya, menatapnya tepat dimata. Menantangnya untuk mengambil langkah selanjutnya.
Kemudian aku menyesali aksiku saat dia kembali menyerang. Dia mencoba untuk melayangkan pukulan padaku, tapi dalam keadaan seperti itu pukulannya malah terlihat seperti dorongan. Meski begitu, aku akhirnya terjatuh di atas tanah. Kakiku terkilir dan kemudian rasa sakit menjalar padaku. Aku kemudian langsung berteriak kesakitan.
“SCOTTY,” Pekik Vincent, terdengar sangat panik. Dia dengan kasar mendorong Alan dan menghampiriku. “Kenapa?? Apa yang sakit?”
“Pergelangan kakiku,” balasku sambil sambil menggigit bibir. Aku mencoba untuk berdiri, tapi aku nggak sanggup. Aku langsung meringis kesakitan, membuat Vincent meletakkan tangannya di wajahku.
“Sssh.... jangan berdiri... tunggu disini...”
Dia mencoba untuk menenangkanku, tapi dia sendiri panik. Aku bisa merasakan tangannya yang menyentuh pipiku gemetaran.
Alan menghampiri kami, wajahnya terlihat mencemooh.
“Oh, jangan bilang kalau yang satu ini juga homo... Apa yang salah dengan kalian??”
Dia bergerak berputar putar dari sisi ke sisi, membuat darahnya menetes jatuh membasahi kemeja putihnya.
“Apa yang salah DENGANMU?” Bentakku lantang. “Lihat dirimu!! Kami nggak punya apapun yang harus dimalukan, tapi kau... LIHAT DIRIMU SENDIRI!!!”
Aku bertekad untuk tak menjadi korban dari Alan. Meski aku nggak bisa berdiri, setidaknya aku bisa melindungi diriku dengan kata-kata. Dia tampak marah, tapi dia nggak memukulku lagi.
“Kau seharusnya bangga dengan anakmu sendiri, bukannya malah menyiksanya!” lanjutku. “Nggak peduli seberapa banyak kau mencaci orang lain, kau selalu nggak bisa mendapatkan apa yang mau... jadi berhenti bertingkah kekanak-kanakan!! Kau itu sudah dewasa!!”
Alan terpana. Malah, semua orang yang terperanjat, dari kerumunan orang orang sampai Taylor dan Alexis yang kini berdiri di belakangku dan Vincent, melindungiku dengan kehadirannya.
Dan saat itu juga Mrs. Patricks datang dari dalam kerumunan, menghampiri kami dengan ekspresi berang.
“SEMUANYA MUNDUR!!! Aku sudah mendengar apa yang sedang terjadi,.. polisi sedang menuju kemari!!”
Dibelakangnyanya ada sekelompok guru laki-laki yang melingkari Alan, menghentikannya menyakiti orang lain. Alan mulai berteriak dan terus berteriak.
“BERANINYA KAU MEMPERLAKUKANKU SEPERTI ITU!! AKU PENYANDANG DANA UTAMA SEKOLAH INI... SEKOLAH INI NGGAK AKAN PERNAH ADA KALAU BUKAN KARENA AKU!!!”
“Kami punya banyak cara lainnya unduk mendapatkan dana,” bentak seorang guru olahraga yang berbadan kekar sambil mencengkram lengan Alan di punggungnya. “Kami nggak butuh uang kotormu”
Konfontrasi antara guru dan Alan terus berlanjut dan semakin memanas. Mrs. Patricks mencoba untuk mengatur kerumunan, dan juga menunggu polisi yang sedang dalam perjalanan. Disekitar hanyalah keributan dan juga kekacauan, dan kini aku hanya ingin pingsan.
Tapi Vincent ada disini. Seperti oasis yang menenangkan dan mendinginkan di padang pasir yang panas dan tandus.
Dia mempertemukan dahinya dengan dahiku dan tiba-tiba seisi dunia menghilang. Keributan, kesakitan, dan kegilaaan.
Semuanya menghilang sampai yang bisa kurasakan hanya satu. Cinta.
kereeeen buuub.