It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Pintu kamarku diketuk pelan dari luar.
“Scotty, kau ingin makan siang? Ada roti kerak nh..”
Kubalik badanku dan menengok pintu kamar.
“Aku nggak lapar Bu... Makasih”
Kemudian ada bunyi klik saat pintu terbuka dan Ibu memasuki kamar.
“Apa semuanya baik baik saja, nak? Sepanjang weekend ini kau disini terus, aku mengkhawatirkanmu... Kenapa kau nggak menelfon Olive? Pergilah keluar barang sebentar..”
Suaraku agak sedikit sayu saat kupukulkan bantal ke wajahku. “Olive nggak mau bicara denganku.”
“Nggak mau bicara denganmu?!” Ulang Ibu kaget. “Apa maksudmu?”
“Maksudku dia nggak mau bicara denganku,” balasku dengan suara datar.
Ibu kemudian mendekatiku dan kemudian duduk di atas kasur. Dia lalu membelai rambutku seperti yang sering dia lakukan dulu sewaktu aku masih kecil.
“Well, aku enggak tahu apa yang terjadi diantara kalian berdua, tapi aku yakin nggak ada yang nggak bisa kalian berdua selesaikan. Kalian itu sahabat sejati selamanya!”
Aku kemudian duduk. “Entahlah Bu,... aku sudah melakukan sesuatu yang sangat bodoh dan kini semua orang membenciku... aku nggak tahu lagi harus bagaimana...”
Bisa kubilang Ibu kebingungan apa mau memaksaku untuk menceritakan semuanya atau menghargai privasiku. Aku ingin bercerita padanya tapi sekarang, aku nggak sanggup untuk menceritakannya seluruh cerita tentang kekacauan tersebut. Aku nggak mau Ibuku sendiri juga membenciku.
Dia terus membelai rambutku, mencoba untuk membuatku nyaman. “Well, semua orang membuat kesalahan, Scotty. Yang bisa kau lakukan adalah memperbaikinya. Dan jika orang-orang dalam hidupmu benar benar peduli peduli padamu, mereka pasti akan memaafkanmu. Dan jika mereka nggak memaafkanmu... mungkin mereka bukan orang yang tepat bagimu”
Bukan ini saran yang mau kudengar. Bayangan Vincent yang nggak memaafkanku dan memutuskan untuk meninggalkan hidupku benar benar terlalu banyak untuk ku tanggung sendiri.
“Aku sangat bangga padamu, Scotty” lanjut Ibu. “Kau itu anakku yang baik dan kau sudah melakukan banyak hal dengan benar saat semuanya sedang sulit bagi kita. Kau sudah melalui banyak hal, dan kau selalu bisa tersenyum. Kita sudah menderita untuk banyak hal.... dan jika teman temanmu kini kembali membuatmu menderita.... well hajar mereka sayang”
Aku langsung kaget. “IBU!!!!”
“Aku bersungguh sungguh, Scotty! Hajar mereka!!!”
“BERHENTI MENGATAKAN ITU!!! IBU!!!”
Dia kemudian tersenyum jahil.
“Well, sepertinya aku berhasil menarik perhatianmu. Nah, sekarang bangun dan berhenti menggalau lalu segera keluar dari kamarmu....”
“.....Ya Bu.”
--
Sebisa mungkin aku mencoba untuk mencerna saran ibu, aku tahu dia benar. Menyerah dan duduk sendirian di kamarku nggak akan menyelesaikan masalah apapun. Aku memutuskan untuk pergi keluar rumah selama satu jam dan menaiki bus ke salah satu pusat perbelanjaan. Nggak ada yang kubutuhkan sih,tapi mungkin mengganti pemandangan dan mencari angin segar bisa meringankan pikiranku.
Aku mencoba untuk tidak memeriksa ponselku setiap lima menit. Nggak peduli berapa kali aku melihatnya, kotak masukku masih kosong. Aku belum menerima kabar apapun dari Vincent sejak perbincangan kami waktu malam Sabtu. Katanya dia butuh waktu jadi aku nggak akan memulai. Aku berharap setelah beberapa lama dia mulai merindukanku...
...Atau mungkin dia sadar kalau dia ternyata bisa hidup baik baik saja tanpaku.
Aku mencoba untuk mengusirnya jauh jauh dari pikiranku. Aku nggak bisa terus menerus membiarkan diriku dikendalikan oleh situasi ini, ini semua membuatku gila. Kucoba untuk mencoba mencari sesuatu yang lain untuk bisa memfokuskan pikiranku.
Olive. Aku harus melakukan sesuatu untuk Olive. Mungkin nggak ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan Vincent menjauhiku, tapi aku pastinya harus bisa menyelesaikan masalah dengan sahabatku sendiri. Dia juga masih mengacuhkanku. Jujur, inilah waktu terlama kami nggak bicara satu sama lain.... tapi pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan untuk memperbaiki pertemanan kami. Aku tau sesuatu itu pasti lebih kuat dari satu argumen bodoh.
Aku berputar-putar di beberapa toko mencari sesuatu seperti sebuah kado permintaan maaf. Bunga kedengaran terlalu klise dan perhiasan nggak cukup untuk mengekspresikan bagaimana perasaanku padanya. Butuh sesuatu yang lebih personal yang bisa mewakilkan persahabatan kami selama bertahun tahun.
Tepat saat aku kehilangan harapan mencari hadiah yang tepat, kakiku berhenti disebeerang sebuah rak buku kosong di toko alat tulis. Merasa terinspirasi, aku lalu membeli sebuah buku tempel dan beberapa lem.
Nggak ada yang lebih personal selain hadiah buatan sendiri. Plus, mengerjakan sebuah proyek besar juga bisa menjadi pengalihan yang baik.
--
Tiga jam kemudian, aku berbaring di lantai kamarku dikelilingi oleh foto fotoku dan juga Olive. Aku nggak cuman mencari foto foto tersebut di Internet, aku juga menemukan beberapa tumpuk foto fisik dari tahun ke tahun di laci meja belajarku. Butuh waktu beberapa lama bagiku untuk me-scan semuanya kedalam komputer dan mencetaknya, dan sekarang aku hanya harus menempelnya di buku.
Aku jadi nostalgia sendiri saat melihat semua foto foto itu.Ada beberapa foto kami saat masih di SMP waktu rambut Olive masih tebal dan ikal dari sekarang. Dia tampak sangat lucu di setiap foto dan aku tampak persis sama seperti sekarang, hanya saja sedikit lebih kecil. Kami juga punya beberapa foto waktu pentas drama sekolah dimana waktu itu kami jadi pohon sebagai latar belakang, tapi kami memainkan peran kami dengan baik. Ada juga foto kami yang sedang duduk bersisian saat hari Sports Day di sekolah, tertawa terbahak bahak saat anak yang lain sedang lomba lari.
Aku juga punya banyak foto beberapa tahun selanjutnya. Ada satu fotoku yang sangat lucu, waktu itu pakaianku kacau dan duduk diatas paha Olive waktu ulang tahunnya yang ke-16. Aku bahkan juga punya beberapa foto terbarunya waktu dia jadi pemandu acara The Battle Of The Bands, bicara dengan mikrofon dan memandu stage.
Saat aku melihat kebanyak kenangan bertahun tahun yang lalu, aku merasa tercekat sendiri di kerongkonganku. Tega sekali aku menyimpan rahasia besar darinya selama bertahun tahun? Dia selalu ada disana untukku... dan sekarang aku membutuhkannya lebih dari apapun tapi aku m alah menghancurkan semuanya diantara kami.
Aku kemudian menempel sebuah foto kami berdua yang palign keren, berpose dengan normalnya didepan kamera dengan lengan kami yang saling melingkar satu sama lain. Kemudian kutulis sebuah pesan didepan bukunya, kukatakan disana betapa menyesalnya aku dan betapa aku mencintainya. Aku ingin tau kalau foto foto ini bukanlah foto foto terakhir kita. Kita punya banyak lagi buku yang harus diisi dengan kenangan.
Saat aku sedang ditengah-tengah menulis pesanku, ponselku berdering. Sebuah email masuk. Segera kuambil ponselku, berharap semoga saja itu adalah pesan dari Vincent, ataupun Olive.
Ternyata itu bukan dari mereka berdua. Dari Alexis.
‘Hey Scotty,
Kutebak urusanmu dengan Vincent pasti nggak berjalan dengan baik?
Kalau begitu ceritanya, dia juga nggak bicara denganku
Al’
Aku kaget kalau Alexis menghubungiku. Ironis rasanya kalau baru disaat saat seperti ini aku akhirnya bisa berhubungan dengannya. Vincent hanya ingin kami berbaikan, dan kini saat kami akhirnya sudah berbaikan dia nggak bicara pada kami berdua. Kupencet lagi tombol ‘reply’ di ponselku.
‘Hi Alexis,
Maaf karena dia juga mendiamkanmu. Kami belum bicara sejak Jum’at kemarin.
Aku nggak tahu harus gimana.
Scotty x’
Aku kemudian melanjutkan pekerjaanku dengan buku tempel dan saat aku menyelesaikan halaman selanjutnya, email kedua datang.
‘Well, kurang dari dua minggu lagi acara showcase dihelat, jadi aku harus mencarinya untuk minggu depan untuk latihan. Terserah dia suka atau tidak.
Aku akan mencoba dan bicara dengannya. Kubilang padamu, dia sering seperti ini kadang kadang.... Tapi aku yakin dia akan kembali lagi.
Al x’
Aku benar benar lupa dengan acaranya Vincent. Minggu depan adalah minggu akhir semester dan minggu depannya lagi showcase, selama liburan paskah. Dulu aku sangat bersemangat untuk pergi ke venue dan mendukungnya, tapi sekarang mungkin aku nggak diinginkan lagi disana.
Diriku kemudian mulai nggak tahan untuk menghubungi Vincent, tapi aku melawannya dan melanjutkan pekerjaanku memotong dan menempel foto.
--
Senin pagi, aku langsung pergi menuju kantor Mrs. Patrick, melewati beberapa penggosip di jalan. Kelihatannya menghilang sepanjang akhir pekan dari sekolah nggak menghentikan semangat orang orang untuk menggosipkan foto skandal Scotty/Taylor. Gosip itu masih jadi berita hangat dan sepertinya nggak akan cepat menghilang.
Mrs. Patricks sudah mengatakanku minggu sebelumnya untuk bertemu dengannya pertama kali di hari senin untuk membicarakan langkah apa selanjutnya untuk mengurus penyabotasean foto itu. Dia jelas sekali berharap untuk menemukan siapa yang bertanggung jawab dan langsung menghukum orang itu. Kini aku tahu kalau Taylorlah dalangnya, tapi aku nggak tau harus berbuat apa. Kami sudah menyelesaikan masalah dengan cara kami sendiri dan aku nggak mau menyalahkannya. Aku nggak yakin apa aku bisa melindunginya, tapi saat aku sampai dikantor Mrs. Patricks, aku tahu kalau aku nggak harus mengatakan apapun. Taylor sudah duduk didalam dan mengakui perbuatannya.
Aku masuk dengan malu malu, melihat Taylor dan Mrs. Patricks bergantian. Mereka berdua tampak sangat serius. Aku juga melihat beberapa bekas memar di tangan Taylor. Aku bisa tebak siapa yang memberikan memar memar itu dan itu membuatku bergidik sendiri saat melihatnya.
Mrs. Patricks mendongak dan memanggilku. “Scotty. Silahkan duduk. Kupikir kita sudah mendapatkan siapa pelaku dari peristiwa ini. Mr. Raven lah yang sudah menempel foto-foto itu”
Taylor menduduk dengan lemah kebawah. Bisa dibilang dia sangat putus asa sekarang.
“Aku tahu,” Kataku tenang. “Aku sudah tahu Jum’at sore...”
“Seperti yang sudah kukatakan Taylor,” lanjut Mrs. Patricks,”perilakunya ini benar benar nggak bisa diterima dan kami nggak punya pilihan lain selain memberikannya skorsing, dan juga kami akan mendiskusikan apa dia harus dikeluarkan dari sekolah atau tidak.”
Aku terperanjat. Selama ini Havensdale selalu memanjakan Taylor, tapi sekarang mereka sedang menimbang nimbang untuk mengeluarkannya?
“Mrs. Patricks, aku nggak mau dia dikeluarkan.” Kataku tegas. “Aku sudah bicara dengannya hari Jum’at dan kami sudah berdamai. Dia sudah cukup dihukum oleh semua orang karena ini, dan aku nggak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya.”
“Scotty, nggak apa-apa” gumam Taylor. “Aku pantas mendapatkannya. Jangan menganggu”
Aku nggak tahan lagi untuk meletakkan tanganku diatas lengannya yang penuh dengan memar. Aku kemudian berbisik padanya agar Mrs. Patricks nggak mendengarnya. “Apa? Kau pantas mendapatkan ini? Apa ini dari ayahmu?”
Dia langsung menarik tangannya. “Diam, Scotty!”
Mrs. Patricks berdehem menghentikan kami. Untung saja dia nggak mendengar komentarku tentang ayah Taylor.
“Boys, cukup... sekarang karena aku senang mendengar kalian sudah menyelesaikan masalah kalian, itu bukan berarti aku memaafkan fakta kalau Taylor sudah menyakiti siswa yang lainnya dan juga menganggu seisi sekolah dengan aksinya. Dia sudah benar benar nggak menghargai properti sekolah.”
Taylor dan aku duduk dalam keheningan. Nggak ada yang bisa kulakukan untuk membalas klaim-klaim tersebut.
Mrs. Patricks melipat tangannya diatas meja. “Mungkin kita bisa bisa membatalkan keputusan untuk mengeluarkanmu dari sekoalh jika Scotty memutuskan begitu. Tapi kau tetap harus di skors selama satu minggu.
Taylor mengangguk patuh, masih menunduk.
“Bagaimana dengan pertandingan tennismu?” Pekikku. “Bukannya ini akan mempengaruhinya?”
“Aku takut kalau Taylor harus istirahat dari pertandingan selanjutnya,” Jawab Mrs. Patricks untuknya. “Skorsing membuat siswa tidak diizinkan untuk mewakili sekolahnya dalam event olahraga apapun di sekitar Havensdale”
“Tapi bukannya itu pertandingan besar?” Tanyaku khawatir. “Bukannya itu akan mempengaruhimu untuk masuk ke National Finals?”
Mrs. Patricks langsung melirik Taylor dengan tatapan dingin. “Mungkin Mr. Raven haris berpikir dulu sebelumnya sebelum bertindak seperti itu”
Taylor nggak menjawab. Dia tetap menunduk dan menerima takdirnya dengan pasrah.
--
Aku berdiri di luar kantor Mrs. Patricks dengan Taylor disampingku. Kami akhirnya diizinkan keluar, tapi sementara aku disuruh untuk kembali ke kelas, Taylor disuruh untuk langsung pulang kerumah.
“Maafkan aku Taylor,” Kataku lemah.
“Apa yang harus kau minta maafkan?” gumamnya. “Ini kesalahanku sendiri”
“Well, makasih” kataku. “Tapi kau sangat berani bisa datang dan membereskan semuanya.
Dia kemudian mengangkat bahunya malu malu. “Aku hanya ingin mulai untuk melanjutkan hidupku... dan ngomong ngomong, kukatakan padmau, aku sudah muak dengan tennis. Mungkin, aku lega bisa keluar dari perlombaan itu”
Aku masih nggak tahan untuk melihat memar di tangannya saat dia bicara. Dia pasti sadar karena dia kemudian melihat tangannya. Aku ingat betapa kerasnya Ayahnya padanya saat dia berpacaran denganku. Dia pasti dimarahi habis habisan karena kini Taylor nggak diizinkan untuk mengikuti pertandingan seanjutnya. Lupakan dulu fakta lain kalau dia sebenarnya menyukai cowok.
Kusentuh lengannya lembut. “Ayo kita pergi. Aku akan menemanimu.”
Taylor nggak merespond, tapi dia tetap disampingku saat kami berjalan menyusuri koridor.
Kami sudah berada di kantor Mrs. Patricks selama beberapa saat dan ada sedikit gosip lagi tentang kami saat diantara murid murid saat pergantian jam. Aku bisa mendengar orang orang kaget dan tertawa saat melihat kami berdua berjalan bersama. Semua orang sangat terkejut kalau Taylor ternyata adalah gay dan lebih terkejut lagi kalau dia ternyata pernah berpacaran dengan seseorang sepertiku. Khususnya saat yang mereka pikirkan Patricia adalah cinta sejatinya. Aku nggak berani bertanya bagaimana reaksinya tentang ini semua. Kutebak, dia pasti nggak meresponnya dengan baik.
Taylor tampak takut saat kami melewati kerumunan orang orang yang mencemooh.
“Jangan dengarkan orang orang bodoh itu,” Kataku di telinganya. “Mereka nggak pantas untuk kau tangisi”
“Mungkin,” jawabnya pelan. Dia menunduk, mencoba untuk menghindari kontak mata dengan orang orang yang berada didekatnya.
Kami memutari sudut bagian resepsi sekolah. Kerumunan orang orang sudah menghilang dan sekarang nggak ada orang lain disekitar kami. Meskipun receptionist sekarang berada jauh dari mejanya.
“Well, sebaiknya sekarang aku kembali ke kelas,” kataku. “Hati hati dijalan, Taylor”
Kuraih tangannya dan lalu kubelai dengan gaya yang bersahabat.
Dan saat itulah Vincent muncul melewati pintu putar dan melihat kami berdua.
@Tsu_no_YanYan @muffle
@4ndh0 @rone @Gabriel_Valiant @Greent @ananda1 @adamy @Risqi @Bib_Ung @NanNan @harya_kei @Kirangan @ffirly69 @freeefujoushi @lulu_75 @Alvin21 @Rikadza @Rezadrians @JengDianFebrian @putrafebri25 @lucifer5245 @ardavaa @centraltio @new92 @raw_stone @balaka @akina_kenji @Andyanz @AlmeraVan @Zhar12 @fery_aditya @phanthek @Toraa @arya_07 @Seiranu @mmdd90 @cute_inuyasha @ardi_cukup @elgo_vevo @ZaenalArdana @abong @3ll0 @rama_andikaa @lucifer5245 @Valle_Nia @ularuskasurius @Rika1006
@4ndh0 @rone @Gabriel_Valiant @Greent @ananda1 @adamy @Risqi @Bib_Ung @NanNan @harya_kei @Kirangan @ffirly69 @freeefujoushi @lulu_75 @Alvin21 @Rikadza @Rezadrians @JengDianFebrian @putrafebri25 @lucifer5245 @ardavaa @centraltio @new92 @raw_stone @balaka @akina_kenji @Andyanz @AlmeraVan @Zhar12 @fery_aditya @phanthek @Toraa @arya_07 @Seiranu @mmdd90 @cute_inuyasha @ardi_cukup @elgo_vevo @ZaenalArdana @abong @3ll0 @rama_andikaa @lucifer5245 @Valle_Nia @ularuskasurius @Rika1006
Chapter 45 : Friends Forever
Saat Vincent melihat Taylor, wajahnya langsung berubah.
“Dasar bajingan!!”
Dan dengan kemarahan itu, dia langsung berlari ke arah Taylor dan mendorongnya menuju dinding terdekat.
“Apa kau sadar sudah berapa banyak kekacauan yang kau perbuat?? Hah? Berani sekali kau?!”
Tangan Vincent mencengkram kerah kemeja Taylor dengan sangat kuat.
“Maafkan aku,” Kata Taylor lemah, wajahnya tampak sedikit sedih.
Aku kemudian menghampiri mereka, mencoba untuk melerai pertikaian yang sedang terjadi saat ini.
“Vincent, hentikan!!”
Kupegang bahunya dan mencoba untuk menjauhkannya. Tapi dia menolak sentuhanku, dan tetap mendorong tubuh Taylor di dinding seperti badannya hanya terbuat dari sehelai kertas.
“Vincent!!” Pekikku lagi.
Dengan kesalnya dia lalu berpaling padaku, memperlihatkan Taylor yang sekarang sedang menderita dan kehabisan nafas.
“Jadi sekarang kau tiba tiba membelanya??”
“Dia sudah mengakui kalau dia salah!” Jawabku tegas. “Kau nggak harus melakukan kekerasan seperti ini, kau orang yang lebih baik daripada ini!!”
Ekspresi berubah menjadi terluka. “Bagaimana kalau aku ternyata memang nggak lebih baik dari ini, Scotty? Karena sekarang, yang kumau hanya menghantam wajah konyolnya ini...”
Taylor terperanjat didinding, tampak sangat ketakutan. Aku nggak tahu pasti apa yang sedang terjadi. Ini pertama kalinya aku bicara dengan Vincent setelah Jum’at malam dan sekarang aku nggak yakin apa yang akan terjadi nanti.
Tiba-tiba, Alexis muncul dari pintu putar. Dia jelas sekali mengikuti Vincent dari belakang yang artinya dia pasti sudah bicara dengan sahabatnya itu lagi. Aku jadi agak sedikit kesal, Vincent bisa memaafkannya tapi tetap mengacuhkanku.
“Apa yang sedang terjadi?” Pekik Alexis saat melihat pemandangan yang sedang terjadi didepannya.
Taylor mengambil kesempatan itu untuk kabur saat Alexis mencoba untuk mengalihkan Vincent. Dia berlari melewati kami semua dan langsung kabur menuju tempat parkir siswa secepat mungkin.
Vincent kemudian langsung meneriakinya. “YEAH, LARILAH!!! INI BELUM BERAKHIR TAYLOR!!!”
Mendengar suara teriakannya, Receptionist sekolah mengintip kepalanya dari sudut hallway dan berjalan dengan cepat menuju mejanya.
“Permisi, ada apa ini? Apa semuanya baik baik saja?”
Vincent menyurukkan tangannya kedalam kantong jaket dan kemudian berjalan keluar dari Reception Area dengan tenang. Alexis mencoba untuk menyusul Vincent dan Vincent kemudian membalikkan badannya.
“Enyahlah Alexis... semua ini nggak akan terjadi kalau bukan karena foto yang kau ambil itu...”
“Vincent,.. ayolah...” rengeknya. “Katamu kau mengerti... Gimana dengan latihan bandnya?”
“Kita latihan nanti..” gerutunya. “Sekarang, tinggalkan aku sendiri”
Saat Vincent menjauh, kemarahan langsung melandaku. Dia kembali menjauhi semua orang lagi, termasuk aku. Kenapa dia tetap bersikap dingin padaku? Aku tahu kalau aku salah, tapi aku merasa sedikit muak dan lelah diperlakukan seperti kotoran oleh orang yang sudah kuklaim mencintaiku.
Dengan kesal, kuikuti dia menuju parkiran mobil dan memanggilnya.
“Hey! Berhenti!!”
Dia berhenti dan langsung menoleh padaku. Aku bisa melihat Alexis sedang menyaksikan kami dari Area Reception tapi dia tak berani untuk datang mendekat dan menganggu kami.
“Apa yang harus kulakukan?” Pekikku. “Aku nggak bisa terus terusan meminta maaf atas apa yang sudah terjadi. Maafkan aku atau tidak sama sekali. Aku nggak bisa terus terusan digantung seperti ini sementara kau masih menimang nimang apa kau mencintaiku atau tidak...”
Aku belum bisa menerima perasaan ini, tapi kini aku sedang mengeluarkan semuanya dengan lantang di tempat parkir mobil. Setelah kejadian di sepanjang akhir pekan, aku sudah muak.
Kalau aku nggak salah lihat, mata Vincent berair. Dia berkedip dan kemudian matanya kembali seperti biasa. Dia melangkah, mendekatiku.
“Scotty,... tentu saja aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu...”
Nafasku terhenti di tenggorokan saat dia mengatakan kata kata yang ingin kudengar darinya. Kuulurkan tanganku padanya... tapi dia melangkah mundur.
“....tapi aku nggak bisa melupakan kau dan dia... setiap saat aku menutup mataku, itulah yang selalu terbayang... ini menyiksaku....”
Vincent kelihatan sangat tertekan. Aku benci bahwa faktanya semua emosinya ini diakibatkan olehku.
“Itu sudah berlalu,” jawabku lembut. “Aku nggak bisa merubahnya lagi sekarang...”
“Aku tahu,” balas Vincent. “Tapi kau masih peduli padanya kan? Setelah semua yang telah dia lakukan padamu....”
“Tapi nggak kayak peduli yang kau pikirkan!” Teriakku balik. “Semuanya rumit...”
Vincent meletakkan tangannya ke pelipis, membuat rambut hitamnya jatuh kedepan dan menutupi matanya. Yang ingin kulakukan hanyalah berlari padanya dan menciumnya. Tapi aku nggak bisa.
“Apa yang bisa kulakukan?” Tanyaku. “Bagaimana lagi caranya agar aku bisa memperbaiki semuanya?”
“Aku nggak tahu,” Jawab Taylor datar.
Kami berdiri saling hadap-hadapan selama beberapa saat, nggak satupun dari kami mau bicara kemudian. Dan akhirnya, Vincent pun mengakhiri keheningan yang tercipta diantara kami.
“Scotty, aku sudah telat ke kelas,... aku pergi dulu”
Dia mulai melangkah pergi dan aku langsung meneriakinya panik.
“Vincent tunggu! Kita nggak bisa membiarkan semuanya seperti ini... Please jangan pergi dulu...”
“Maafkan aku,” Katanya pahit dari bahunya. “Aku butuh waktu. Maafkan aku, Scotty”
Dan dengan itu, dia kemudian pergi.
--
Harikupun tetap berlanjut. Aku berjalan di lorong sekolah dan juga pergi kekelas seperti semuanya baik baik saja. Seperti hatiku nggak sakit sampai membuatku nggak bisa bergerak.
Saat makan siang, aku menemukan tempat kosong di sudut Cafetaria dan kemudian meletakkan barang-barangku di atas salah satu meja. Aku sedang nggak mau makan apapun. Aku Cuma ingin mati secara perlahan tanpa diketahui oleh orang lain.
Saat aku sedang duduk di meja, kulihat Olive memasuki cafetaria dan duduk di sudut yang berlawanan denganku. Menyiapkan diri, aku kemudian mengumpulkan keberanian dan menghampirinya.
Dia duduk sendiri, memakan semangkuk pasta. Saat au muncul dia melengahkan kepalanya ke arah lain dan menganggap bahwa dia nggak melihatku. Aku nggak tahu apa dia masih marah atau hanya bersalah karena sudah mengacuhkanku sepanjang akhir pekan. Bagaimanapun juga, aku haus mencoba dan mendapatkan perhatiannya. Kudekatkan wajahku padanya.
“Hey Olive,” kataku langsung. “Dengar, aku tahu kau masih marah padaku... tapi aku sangat membutuhkanmu sekarang... kau adalah sahabatku....”
Dia dengan cepat langsung menoleh padaku.
“Scotty, kalau aku sahabatmu terus kenapa kau nggak pernah cerita padaku? Bahkan selama ini? “ Katanya dengan matanya tampak terluka. “Aku minta maaf karena sudah mengacuhkanmu, OK, tapi sekarang aku nggak tau lagi harus mengatakan apa padamu... Kau jelas sekali nggak nyaman berteman denganku, jadi apa lagi gunanya minta maaf?”
Dia memalingkan wajahnya dan mulai memaksakan dirinya untuk fokus pada pasta, mungkin berharap aku mengerti dan meninggalkannya sendirian. Aku menghela nafas dan kemudian merogoh tasku.
“Kau tahu Ol, aku nggak percaya kau duduk disini dan mengatakan semua itu padaku. Kalau kau benar benar ingin membiarkan satu rahasia bodoh menghancurkan pertemanan kita, lakukanlah, kita nggak usah kenalan lagi. Tapi sebelum kau menjauhiku, aku ingin memberikanmu sesuatu...”
Kuambil buku tempel itu dari tasku. Aku sudah menghabiskan berjam jam semalaman dan sekarang buku itu sudah diisi dengan banyak foto dan kenangan dari petualanganku dan Olive selama bertahun tahun. Aku sudah memilih foto foto kami yang keren untuk cover depannya dan kutulis : Scotty Dan Olive Selamanya, dengan huruf besar nan bewarna warni.
Kuletakkan buku itu didepannya dan dia terkejut.
“Apa ini?”
“Baca saja, OK?” Kataku. Sebelum dia bisa menjawab, aku kemudian kembali menuju mejaku di sudut ruangan yang lainnya.
--
Cafetaria semakin heboh, jadi susah bagiku untuk bisa memperhatikan reaksi Olive dengan jelas. Aku mentainya dari jauh, jadi aku bisa melihat wajahnya. Dia sedang membaca buku, tapi nggak tau bagaimana reaksinya. Padahal aku sudah menuliskan permintaan maaf yang sangat panjang yang kutulis dari lubuk hatiku yang terdalam di halaman terakhir jadi rasanya sangat gugup untuk melihatkan itu padanya. Jika dia masih nggak memaafkanku setelah ini, maka nggak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku hanya harus berharap semoga saja buku itu bisa membuatnya memaafkanku.
Saat aku baru saja bisa memperhatikannya dengan jelas, tiba tiba saja seseorang berdiri tepat didepanku dan menghalangi pandanganku.
Patricia dan teman temannya lah yang sedang berdiri itu, sikapnya masih sama kasarnya dan juga angkuh.
“Duduk disini saja,” katanya dengan lantang kepada teman teman dibelakangnya. “Kita hanya harus menyingkirkan sampah dulu”
Sebelum aku bisa mencerna apa yang sedang terjadi, sekolompok orang berdiri di belakangku dan mendorongku menjauh dari kursiku.
“Hey!” Pekikku. “Apa apaan ini!”
Aku jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk dan Patricia langsung duduk di kursi yang baru saja kududuki. Dia lalu mulai melambai-lambaikan tangannya didepan wajahnya dengan dramatis.
“Yuck, disini bau sekali! Baunya seperti homo basi!!”
Kuraih tasku dan kemudian berdiri dengan martabat yang masih kupunya.
“Kau menyedihkan” kataku pada Patricia. “Nikmati saja mejanya. Aku nggak peduli”
Aku kemudian menjauh, tapi salah seorang penjaga Patricia menyungkai kakiku hingga aku terjengkal kedepan dan membuat Patricia tertawa terbahak bahak.
“Mungkin kau yang menyedihkan, Scotty! Kau kayaknya sangat suka sekali mendelusikan pacar orang,... Hanya karena kau menyukai Taylor, bukan berarti itu membuatnya dia gay, kau tahu!!”
Aku memutar mataku. “OK. Terserah saja. Dah Patricia”
Dengan kesal dia meraih tanganku, mencengkramnya dan membuat kukunya yang panjang itu menusuk tajam ke dalam dagingngku.
“Aku putus dengannya karena kau dan masalah yang sudah kau buat. Kau sangat menyedihkan,... membuat hidup orang lain berantakan seperti hidupmu. Kau itu manusia yang nggak berharga... Taylor itu NGGAK sama sepertimu...”
Kulerai tanganku dari cengkramannya. “Jika dia nggak sama sepertiku, lalu kenapa kau putus dengannya?
Dengan canggung semua teman Patricia saling menoleh satu sama lain. Mereka pasti tau kalau temannya itu benar benar sedang mengalami denial.
Patricia memekik. Tanpa aba-aba, dia langsung menjambak rambutku dan aku sekuat tenaga mencoba menarik kepalaku, kupikir dia akan mencoba untuk mencabut kepalaku. Aku kemudian mengerang kesakitan.
“Kau nggak tahu apapun tentangku dan juga Taylor,” Lengkingnya. “Kami pasti masih bersama jika bukan karenamu dan juga kebohonganmu!”
Aku mencoba untuk melepaskan tangannya, tapi dia menjambakku dengan sangat kuat. Aku hampir saja kehilangan harapan sampai kemudian sebuah suara teriakan menghentikan kekacauan yang sedang terjadi.
“LEPASKAN TANGANMU DARINYA SEKARANG.”
Patricia dengan kesal melepaskan tangannya saat Olive menghantamnya.
“Kau memalukan Patricia,” geram Olive. “Aku akan membuatmu masuk Detention setiap harinya di minggu depan!”
“Kau nggak bisa melakukan itu!” Pekik Patricia membela dirinya.
Olive dengan berang menunjuk wajahnya. “Mungkin kau tahu kalau sebagai seorang HEAD GIRL, aku bisa melakukan apapun yang kumau!”
“Kau sudah nggak BERTEMAN lagi dengan Scotty,” Pekik Patricia. “Dia sudah menyakiti kita berdua,... seharusnya kau bersimpati padaku!!”
“Dia sahabatku,” Kata Olive, memeluk buku tempel yang tadi kuberikan padanya. “Dan nggak ada yang boleh cari gara-gara dengan sahabatku.”
Kemudian, dia mengulurkan tangannya padaku.
“Ayo Scotty, kita pergi”
--
Saat kami sudah berada di luar Cafetaria dan aman di dalam koridor yang kosong, Olive memelukku.
“Scotty, maafkan aku,... maafkan aku karena sudah marah padamu... bukumu sangat indah... aku nggak bisa kehilanganmu...”
Kupeluk dia balik dengan erat.
“Nggak,.. aku yang minta maaf... dari hatiku yang paling dalam. Aku seharusnya sudah menceritakan tentang Taylor padamu dari awal... merahasiakannya darimu benar benar membuatku merasa tersiksa....”
Dia kemudian mencium pipiku.
“Aku mencintaimu Scotty. Dan aku nggak akan pernah mau lagi bertengkar denganmu.”
Kupeluk dia, dan menyembunyikan kepalaku di lehernya.
“Aku juga mencintaimu Olive. Teman selamanya?”
Dia memelukku sangat erat dan membuatku susah bernafas.
“Ya! Teman SELAMANYA!!”
hahaha. makan tuh patricia. kasiaaan. wkwkwk
ada yg typo nih bub
“Aku nggak tahu,” Jawab Taylor
datar.
harusnya vincent.
upnya kapan lagiii?