It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kalo benar alexis yang nyebarin foto itu, dia jahat sekali ckck...
Ato taylor pelakunya..
Lanjut lanjut...
di saat2 seperti ini emang seharusnya ada penghibur, tp apa semua menjauh. puk puk puk
curiga nih bukan alexis yg masang. taylorkah? abisnya diem2 aja dia.
bub. lanjut lg buub
Chapter 40 : Who Did It?
Alexis dan aku duduk bersisian di ruangan Mrs. Patrick. Butuh banyak tenaga bagiku untuk bisa menahan keinginanku menendang kursi yang ia duduki. Hanya dengan melihatnya saja membuat kulitku terbakar oleh amarah.
Mrs. Patrick duduk dengan tegas didepan kami, mengusap-usap dagunya kesal. “Mr. Williams , Mrs. Mae, Aku tak tahu apa yang sedang terjadi pagi ini, tapi aku ingin mendengarnya langsung dari penyebabnya. Aku mengerti ada orang tak bertanggung jawab yang menempelkan foto-foto itu di koridor. Apa diantara kalian berdua ada yang tau darimana asal foto foto tersebut?”
“Dia yang mengambilnya!” Pekikku, menunjuk Alexis. “Dia yang mem-blackmailku (mengancam) dengan foto itu beberapa hari yang lalu”
Mrs. Patricks menaikkan kedua alisnya terkejut. Alexis menyondongkan badannya kedepan di kursinya, melambaikan tangannya hingga membuat gelang gelang besi yang melingkar ditangannya berbunyi.
“Bukan aku yang melakukannya!! Maksudku, aku memang mengambil foto itu, tapi bukan aku yang menempelaknnya di dinding! Aku nggak tahu apa yang terjadi sampai Scotty tiba tiba menyerangku!”
“Yeah, benar” Ejekku. “Jika kau bukan pelakunya, lalu siapa lagi yang akan melakukannya??”
“Aku nggak tau!!” Pekiknya. “Tapi yang pasti bukan aku!! Kenapa juga aku harus melakukan itu padamu dan Vincent?”
Suaranya terdengar meyakinkan. Aku mulai bertanya tanya sendiri apa mungkin dia benar benar jujur sekarang.
“Kau ingin memisahkan kami,” balasku. “Dan sepertinya kau berhasil... dia membenciku sekarang... “
Keringat Alexis jatuh mentes di keningnya. “What?! Maksudmu dia melihatnya?? Astaga, Scotty!!”
Mrs. Patricks menginterupsi kami dengan helaan nafas menghina.
“Jujur saja, aku nggak paham dengan semua ini. Blackmail? Memisahkan satu sama lain?? Mr. Williams, apapun keputusanmu dalam urusan pribadimu, seharusnya kalian berdua lebih fokus pada studi kalian masing masing daripada main drama-dramaan di salah satu episode Drawson’s Creek!”
Alexis menatapku konyol mendengar nasehat aneh, dan ketinggalan jamannya Mrs. Patrick. Ocehannya random sekali sampai aku hampir saja ingin tertawa. Bisa kubilang, Alexis juga merasakan hal yang sama.
Dan pada saat itulah aku sadar bahwa dia nggak bersalah. Semua yang telah dia katakan padaku di taman waktu itu adalah benar. Dia takkan pernah melakukan ini semua padaku ataupun Vincent. Dia memang membuat kesalahan, tapi dia bukanlah seorang monster.
“Kau benar benar nggak melakukannya kan?” Tanyaku lantang.
“Nggak!” Teriaknya. “Aku bersumpah Scotty, bukan aku!”
Aku bisa melihat wajahnya mengatakan kebenaran. Matanya bahkan memohon padaku untuk mempercayainya.
Aku menoleh pada Mrs. Patrick. “Mungkin aku sudah bisa langsung mengambil kesimpulan... Alexis jelas sekali bukan dalang dari semua ini”
Aku kemudian menatap mata Alexis. “Aku minta maaf karena sudah mendorongmu...”
Dia mengangkat kedua bahunya. “Terserah. Lagian doronganmu kayak anak cewek juga, jadi nggak sakit tuh” Dia berhenti sebentar, menggoyang-goyangkan kakinya di kursi. “Aku juga minta maaf karena sudah menamparmu, OK? Yang tadi itu cuman reflek pertahanan diriku...”
“Nggak apa-apa” gumamku. “Aku memang pantas ditampar...”
“Well, aku senang kalian sudah menyelesaikan masalah kalian sendiri,” Mrs. Patricks menyela kami berdua. “Kita masih harus mencari tahu siapa yang bertanggung jawab untuk ini. Kita tentu saja nggak akan mentolerir tindak kriminal yang dilakukan secara terang-terangan di Havensdale. Apa diantara kalian berdua tau siapa yang mungkin saja menjadi dalang di balik foto-foto itu?”
Kami berdua menggelengkan kepala. Mrs. Patricks mengerucutkan bibirnya.
“Kupikir kita butuh waktu untuk bisa menyelesaikan masalah ini. Scotty, mungkin sebaiknya kau pulang dulu dan kita bisa kembali berkumpul Senin paginya saat kau sudah tenang dan mengerti masalahnya. Bagaimana menurutmu?”
“Ba..baiklah” Jawabku. Sepertinya Mrs. Patrick juga nggak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya, sama sepertiku.
“Aku mengerti kalau Taylor Raven juga korban dari foto-foto itu. Aku nggak akan ikut campur dalam hubungan kalian, itu bukan urusanku, tapi aku akan tetap berbicara dengannya juga dan kuharap kalian berdua akan mencari informasi yang berguna untuk menyelesaikan masalah ini. Jika kalian punya nama yang mungkin bertanggung jawab untuk foto-foto itu, maka aku butuh namanya”
“OK” jawabku patuh. “Akan kucoba dan akan kupikirkan, Mrs. Patricks.” Dalam hati aku merasa ngeri sendiri dengan opini bahwa Vincent Hunter duduk ditempat dimana aku baru saja duduk sebagai seorang korban. Dia pasti akan sangat susah sekali mendapatkan simpati dari orang lain. Dia mungkin akan mencoba dan membalikkan situasi disekitar dan menyalahkanku atas apa yang telah terjadi.
“Istirahatlah, OK?” Lanjut Mrs. Patrick. “Kami akan mencari tahu apa yang terjadi pagi ini dan akan kami pastikan yang seperti ini nggak akan terjadi lagi. Tapi kau harus sangat hati hati dengan urusan pribadimu. Anak anak muda jaman sekarang selalu menyebarkan apa saja secara online dan kau nggak apan pernah tau siapa yang akan mengerjai fotomu dan menyalahgunakannya seperti ini”
Dia berpaling pada Alex yang merosot dengan canggung di kursinya. “Miss Mae, jangan pikir kau lepas dari hukuman juga. . . Kau sudah menyerang Scotty secara fisik di hallway, dan itu sangat tidak bisa diterima. Jika dia ingin mengkasuskanmu karena telah menjadi orang yang pertama kali mengambil foto foto itu, maka kami akan mengambil tindakan.” Dia membelalakkan matanya padaku. “Kau juga sama Scotty, kau seharusnya nggak boleh melakukan kekerasan kepada murid lain, khususnya cewek!”
“Aku tahu,” kataku tenan. “Aku benar benar minta maaf, kami berdua minta maaf. Aku nggak mau Alexis juga ikut bermasalah. Kami akan bekerjasama dan mencari tahu siapa yang melakukan ini”
--
Kami berbicara banyak hal dengan Mrs. Patricks sebelum kemudian dia mempersilahkan kami untuk keluar. Alexis disuruh untuk kembali mengikuti kelasnya sedangkan aku diperintahkan untuk pulang. However, kami berjalan bersisian di koridor untuk sementara.
“God Specs,” Alexis menghela nafas. “Ini benar benar kacau. Kacau banget!”
“Aku tahu,” jawabku. “Dan sekarang aku nggak tahu lagi harus melakukan apa. Aku benar benar nggak tau bagaimana cara untuk memperbaikinya”
“Kenapa kau nggak telfon Vincent aja?” Sarannya sambil bergumam.
Kukeluarkan ponselku dari tas dan menekan nomornya. Panggilanku langsung dialihkan ke Pesan Suara dan kemudian langsung kumatikan.
“Nggak diangkat... aku nggak bisa bilang kalau aku terkejut...”
Alexis mengeluarkan ponsel dari kantong jaketnya. “Aku coba juga, OK?”
Dan Vincent juga nggak merespon panggilan Alexis.
“Jangan cemas, mungkin dia cuman sedang ngambeg” katanya sembari mematikan panggilan. “Dia biasanya juga seperti ini. Dia dulu juga suka ngambeg kalau lagi bertengkar dengan ayahnya. Biarkan saja dia dulu, nanti juga muncul sendiri”
Kututupi wajahku dengan kedua telapak tanganku dan kemudian mengerang. “Kenapa dia tahunya harus kayak begini sih?? Siapa yang tega melakukan ini pada kami?? Maksudku, liat saja tulisan di foto itu “Scotty pernah tidur dengan Taylor” . . . siapa yang menduganya??”
Dan tiba tiba aku menyadari sesuatu. Jantungku langsung berdetak cepat.
“Alexis, . kau nggak cuman mengirimkan fotonya padaku kan?”
Dia menatapku kebingungan. “Apa yang kau dapatkan?”
Tiba tiba semuanya menjadi jelas. Tanganku bergetar hanya karena menyadarinya.
“Scotty, ada apa? Kau tahu siapa yang melakukannya??”
Aku tahu pasti siapa yang sudah melakukannya. Dan orang itu sedang memutari sudut koridor tepat saat berjalan menuju kantor Mrs. Patrick.
Dia berhenti saat melihatku. Jelas sekali dia nggak mengharapkanku masih berkeliaran di sekitar pintu kantor. Kusipitkan mataku padanya, nafasku mendadak menjadi dalam dan cepat.
“Taylor. . . ternyata kau. . . KAU YANG MELAKUKANNYA!!”
Suaraku langsung memecah menjadi sebuah auman kemarahan, mengejutkan Alexis dan tentu saja membuat Taylor takut setengah mati. Dia langsung membalikkan badan dan berlari menyusuri koridor. Kukejar dia, adrenalin yang bergejolak diseluruh tubuhkulah yang membuatku mendadak bisa berlari secepat cahaya.
“KENAPA??” teriakku padanya. “KENAPA KAU MELAKUKANNYA??”
Dia berhenti didalam salah satu toilet laki laki saat dia meluncur di Hallway, dia jelas sekali berharap kalau aku tertinggal sangat jauh sampai nggak tau kemana dia lari. Meskipun dia secara fisik lebih kuat dan lebih cepat dariku, tapi kemarahanku memberiku energi spontan untuk mengejarnya.
Kuhantam pintu toilet dengan paksa, dan suara kemarahanku bergema ke seluruh ruangan. Nggak ada siapapun disana selain Taylor, dia sedang bersandar didepan salah satu sink dan mencoba untuk mengatur nafasnya. Dia tampak terkejut saat aku muncul.
Karena aku marah sekali, ku dorong dia dengan agresif dan dia terdorong kebelakang. Aku lalu mulai kembali meneriakinya.
“Kau belum senang sebelum menghancurkan semuanya, kan?! Apa alasanmu?? Apa kau nggak bisa melihatku dan Vincent bahagia bersama??”
Kudorong dia lagi, dan diam menghentikanku.Mencoba menahan tanganku dan berlindung dari seranganku. Dia kemudian juga meneriakiku, suaranya sedikit bergetar.
“Aku nggak tahan lagi, OK?! Aku hanya ingin orang orang tau...”
“Kau ingin orang orang tau dengan cara SEPERTI INI?!” teriakku. “Dengan melecehkan kita berdua didepan semua orang?!”
Taylor kini meringkuk di sudut ruangan dengan air mata di pelupuk matanya. Aku tak pernah menyangka bahwa akan datang hari dimana dia akan takut padaku. Aku kemudian mundur, mencoba untuk menenangkan diriku.
“Bagaimana kau melakukannya?” Tanyaku berang. “Ada banyak sekali foto di dinding dinding, . . seseorang pasti sudah menolongmu untuk menempelkannya”
“Billy dan Bobby,” balasnya dengan suara yang sangat pelan. “Kupaksa mereka untuk membantuku. . . kami menempelkannya pagi pagi sekali saat semua staff sedang rapat. . . .”
Aku nggak percaya kalau kedua pelindung Taylor yang homophobic itulah yang menolongnya untuk melakukan cara nggak masuk akalnya untuk coming out. Dan juga, mereka sangat sangat bodoh dan mudah untuk ditipu. Mereka akan melakukan apapun yang Taylor minta jika mereka pikir itu akan membuatnya berarti di mata Ayah Taylor si bintang tennis. However, aku punya firasat bahwa insiden ini nggak akan disenangi oleh Ayahnya Taylor.
“Trus kenapa kau melakukannya?” Sambungku. “Untuk balas dendam pada Vincent? Atau hanya untuk membuatmu dan Patricia putus tanpa harus mengatakan yang sebenarnya oleh dirimu sendiri?”
“Kau seharusnya yang mengatakan itu!” Taylor membalas kata-kataku. “Kau punya banyak kesempatan untuk mengatakan pada pacar tercintamu itu tentang kita, tapi kau lebih memilih untuk bungkam. Dia harus tahu lebih awal... juga mereka yang lainnya. Dan sekarang mereka tau, jadi berhentilah meneriakiku omong kosongmu yang nggak berguna itu!!”
Kalimatnya menyentrumku. Khususnya karena semuanya benar.
“Biar kutebak” lanjutku, mencoba untuk mengacuhkan amarahnya. “Kau juga berpikir kalau kau bisa menyalahkan ini pada Alexis?”
“Kalau iya, kenapa?” Jawabnya balik. “Dia jalang yang mengerikan dan dia pantas menerimanya. Dan karena semuanya kini sudah tahu... akulah disini yang sudah membantu kita berdua!”
Aku nggak percaya kalau Taylor pikir semua ini masih dalam taraf baik baik saja. Tidakkah dia peduli dengan reputasinya yang perlahan hancur dan menjerumuskan hidupku kedalam tempat terbusuk? Mungkin dia akhirnya sadar dan menjadi benar benar gila sepenuhnya.
“Kau sinting,” gumamku. “Kau sadar itu? Kau sinting, maaf karena kau masih bertingkah seperti manusia normal”
“DIAM!” dia menarikku, kemudian mendorongku dan lari keluar dari toilet. Aku tak tahu kemana dia pergi, dan aku juga nggak punya keinginan untuk mengikutinya.
Tiba tiba aku merasa lemah dan kucengkram salah satu sink untuk membantuku berdiri. Saat aku mendongak, aku bisa melihat pantulanku sedang menatap dengan liarnya padaku. Mata yang penuh kemarahan yang sudah menyimpan terlalu banyak rahasia.
Aku nggak tahu siapa orang yang ada didalam cermin itu. Apa itu aku? Apa itu hidupku?
Aku hanya ingin kembali menjadi diriku yang dulu.
Sial, aku akan memperbaiki ini. Semuanya. Bagaimanapun caranya.
di kedua sisi Taylor dan scotty salah
Sebenarnya kasian si taylor itu, tapi bagaimana lagi dia lebih memilih jadi pecundang ckck....puk puk scotty..
Sebenarnya kasian si taylor itu, tapi bagaimana lagi dia lebih memilih jadi pecundang ckck....puk puk scotty..