It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
PS: nitip mention nya ya.. buat all readers jg salam kenal..
PS: nitip mention nya ya.. buat all readers jg salam kenal..
Kapan nih dilanjut.
Trims...
Jum’at paginya saat bangun, rasanya sama saja seperti hari hari yang biasanya.
Harus kuakui semalam tidurku nggak nyenyak. Aku memikirkan tentang percakapanku nantinya dengan Vincent dan apa yang akan kukatakan nanti padanya. Dan itulah kenapa rasa gugupku tak kunjung hilang. Lagipula, jika Alexis bisa memaafkanku atas apa yang telah terjadi, harusnya aku tau kalau Vincent juga akan mengerti. Mungkin semua itu akan menyakitinya, tapi dia akan mengerti.
Dia harus mengerti.
Aku bangun lebih awal, memakai kemeja, jeans dan juga memanggang roti untuk sarapan. Rutinitas yang sama yang selalu kulakukan disetiap akhir pekan. Aku menggosok gigi, menata rambut, lalu pergi ke sekolah. Aku ke sekolah selalu menggunakan jalan yang sama, melewati beberapa rumah tua dan juga toko-toko di setiap sudut kota. Sejauh ini, hari ini masih seperti hari Jum’at yang biasanya.
Aku tak sadar bahwa ada kekacauan yang sedang menungguku saat aku sampai di sekolah nanti.
Ini bukanlah hari yang biasa. Ini, adalah hari yang akan membuat seisi duniaku hancur.
--
Aku memasuki gerbang dan berjalan menuju College Reception. Aku bisa melihat dari pintu pintu kaca bahwa sedang ada keriuhan di serambi sekolah. Orang orang berkumpul dan berbisik bisik satu sama lain. Sangat asing sekali bagi seluruh siswa di sekolah ini bisa jadi se semangat itu di pagi hari.
Aku melewati orang orang itu dan bertemu dengan Fritz yang sedang berjalan menuju arah yang berlawanan. Kulambaikan tanganku padanya seraya mengucapkan salam pagi dan dia langsung berhenti saat melihatku.
“Scotty,... apa kau baru datang?”
Pertanyaan yang aneh, Bahasa Inggrisnya Fritz memang berantakan jadinya setiap pertanyaan yang dia keluarkan selalu terdengar agak aneh.
“Err ya, aku baru sampai. Kenapa?”
Wajahnya jadi sedikit pucat. “Kau harus segera ke hallway di belakang Reception sekarang. Soalnya ini nggak baik untukmu...”
Jantungku langsung berhenti seketika didalam dada. “Apa?? Ada apa?”
“Aku nggak akan menghakimi temanku, OK? Tapi mungkin orang lain akan melakukannya...”
Perutku mendadak terasa berputar putar dan membuatku mual. Aku langsung tau pemandangan apa yang sedang menungguku di Hallway saat Fritz mengatakannya padaku, tapi aku tak ingin mempercayainya. Dia sudah janji padaku nggak akan melakukannya,.. dia sudah janji.
Aku berpaling dan Fritz dan langsung berlari menuju Reception Area. Murid murid dari segala umur menunjuk nunjukku dan berbisik. Aku tak mempedulikan mereka saat aku menghantam setiap kerumunan orang.
“Please God....,” gumamku terengah engah. “Please.. jangan jadi seperti yang kubayangkan..”
Saat aku memutari sudut, tubuhku langsung diserang rasa kaget bak seseorang baru saja menembakku.
Itu dia. Foto itu. Sedikit gambaran kasar dari Taylor dan Aku bercium, tergantung di dinding koridor untuk orang orang agar bisa melihat.
Bukan hanya satu, tapi ratusan foto. Mungkin lebih banyak. Berbaris mengisi kedua dinding di oridor. Dan dibawah fotonya tertulis sebuah kalimat yang sengaja ditebalkan: “Scotty Williams Pernah Tidur Dengan Taylor Raven”.
Tenggorokanku terasa kering karena pemandangan itu.
Semua orang mulai mengerubuniku, semuanya saling berbicara hiruk pikuk.
“Oh My God, itu dia! Itu Scotty! Apa dia baik baik saja?”
“Kupikir dia pacaran dengan Vincent Hunter? Apa dia menyelingkuhinya? Dasar bajingan!”
“TAYLOR RAVEN gay?? Dia pernah tidur dengan COWOK?! TAYLOR RAVEN?!!!”
“Siapa yang mengambil foto ini?? Kenapa ada banyak sekali yang ditempel disini?”
“Mereka berdua pasti malu sekali!! Menurutmu si Head Girl udah liat belum? Dia temannya Scotty kan?”
“SESEORANG HARUS CARI VINCENT HUNTER, DIA HARUS MELIHAT INI!!”
Saat mendengar nama Vincent, aku langsung berdiri dari posisi jongkokku. “No! Dia nggak boleh melihat ini!” Pekikku. Kudorong semua orang dan berlari menuju foto foto yang ditempelkan didinding itu, mencoba sekuat tenaga untuk mencabut beberapa foto itu. Semuanya ditempel dengan sangat kuat didinding dengan lem yang sengaja diberikan di setiap sisi foto, jadi sangat sulit bagiku untuk melepaskannya.
Dua guru wanita muncul di ujung koridor, meneriaki setiap orang dan menggiring mereka untuk menjauh agar tak terjadi kerusakan.
“Come on, people, bergerak... Pergi ke kelas kalian, SEKARANG... Kami akan mencari tahu siapa yang melakukan ini tapi sekarang, PERGI!! Pertunjukan selesai!!”
Guru yang kedua menoleh ke dinding dan tampak sangat kebingungan. “Kenapa semua ini bisa ditempel disini?! Perasaan tadi nggak ada kejadian aneh...”
Guru yang satunya menjawab disela sela meneriaki orang orang untuk masuk ke kelas. “Aku nggak tahu... pasti ada orang yang menempel ini semua saat rapat guru pagi ini, aku nggak ngerti juga... SAYA ULANGI, MASUK KE KELAS KALIAN SEKARANG!!!! SEMUANYA!!!”
Tak seorangpun mendengarkannya, mereka semua saling menoleh dan menjerit dan benar benar terpesona dengan scandal besar yang sedang terjadi didepan mata mereka. Aku terdudu di lantai, sadar bahwa aku takkan bisa untuk melepaskan foto foto itu sendirian.
Dan kemudian, kejadian. Semuanya sudah terkuak. Dan bom pun meledak.
Meskipun kami punya jadwal yang beda di hari Jum’at, tapi kami semua berada di dalam gedung. Dan saat sebuah skandal besar baru terkuak, maka kabar itu akan segera tersebar ke seluruh penjuru sekolah bagaikan api yang sedang melahap sebuah rumah kayu. Kupikir saat aku melihat foto foto itu, aku tahu semua ini takkan bisa terelakan. Semua orang akan tahu, meski dengan cara terburuk sekalipun. Tapi tetap saja, aku tak punya persiapan untuk menghadapi dampak dan efek atas apa yang sedang terjadi padaku.
Orang pertama yang muncul adalah Olive. Tentu saja dia. Dia adalah Head Girl dan dia selalu menjadi orang pertama di TKP yang akan tahu kapanpun saat hidungnya mencium sedikit saja bau drama di sekolah Havensdale. Setidaknya dia nggak tahu bahwa keributan yang terjadi di hallway itu diakibatkan olehku, orang yang dia panggil dengan ‘sahabat’.
Aku bahkan mempertanyakan apa aku masih pantas menerima panggilan seperti itu setelah ratusan kebohongan yang telah kukatakan padanya?
Dia mendorong setiap siswa, dan menemukanku terduduk di lantai. Aku dengan sekuat tenaga mencoba untuk tetap sadar dan melawan tanda tanda Panic Attack yang kini sedang melandaku. Dia jelas sekali lebih dulu melihatku sebelum tau apa yang tertulis di foto itu.
“Scotty, Oh My God apa kau baik baik saja? Apa yang sedang terjadi??”
Kekhawatirannya padaku membuat tenggorokanku terasa kering. Kutatap matanya. “Olive, maafkan aku. Maafkan aku karena tak pernah mengatakan ini padamu... Aku tak mau kau tau dengan cara seperti ini...”
Dia melihatku dengan bingungnya. Lalu dia berbalik dan mulai memperhatikan foto foto yang ada didepannya.
“Apa ini?” gumamnya. “Apa ini kau Scotty? Dan Taylor?? Aku nggak mengerti...”
Dia mendekati foto itu, dan membaca tulisan yang ada di awahnya. Aku tak mencoba untuk menghentikannya. Lagian juga nggak berguna lagi untuk melakukan itu.
“Ini semua omong kosong kan?” Pekiknya dengan tawa yang dibuat buat. “Seseorang pasti mem-photoshop ini pada kalian berdua... Kenapa dia melakukan itu? Bahkan mengatakan kalian pernah tidur bareng?? Ini kejam Scotty, kita harus melepaskan foto foto ini! Siapa sih yang menyebarkan omong kosong ini?!”
Aku tak mengatakan apapun. Aku hanya melihat Olive dengan kedua mataku yang memohon untuk minta maaf padanya. Dia menatapku tak percaya.
“Nggak mungkin,... ini nggak benar kan, Scotty?”
Sebelum aku sempat menjawab kalimatnya, sebuah teriakan tajam menggema di udara.
“NGGAK. INI NGGAK MUNGKIN. NGGAK MUNGKIN!!!!”
Aku mendengar dua guru berteriak, mereka semua nggak bisa mengontrol situasi yang tengah terjadi didepan mereka. Suara teriakan iut terdengar semakin dekat dan dekat padaku.
“LEPASKAN FOTO FOTO ITU! LEPASKAN!!! BERHENTI MELIHAT FOTO FOTO ITU SEMUANYA!!! ITU SEMUA BOHONG!!!”
Orang orang bergeser dan langsung menampakkan Patricia, wajahnya memerah dan kebingungan. Aku tak pernah melihat seseorang tampak begitu emosi sebelumnya. Taylor mengikuti Patricia dibelakangnya bagaikan kelinci dalam sorot lampu. Semua orang menunjuk dan membicarakannya, tapi dia tampak cuek dengan semua realita yang sedang terjadi. Padahal ini semua adalah rahasia kecilnya yang paling dalam, gelap, yang sedang terbongkar dan membuat semua orang kaget bukan kepalang.
Patricia langsung berlari padaku dan menamparku dengan kuatnya di pipi. “DASAR HOMO BAJINGAN!!! KAU YANG MELAKUKAN INI!! TINGGALKAN PACARKU SENDIRIAN!!!”
Aku nggak melakukan apapun untuk membalasnya. Tamparan Patricia bukan apa apa dibandingkan dengan rasa sakit yang sedang kurasakan sekarang. Taylor tampak tersadar dari cueknya dan langsung menarik Patricia dariku. Dia berbalik dan juga menamparnya dengan garang diwajah.
“Berhenti!!!” Pekik Olive diantara kami. “Apa yang sedang terjadi, berhenti semuanya!!”
Ada air mata yang jatuh dibalik kacamatanya, jatuh dengan pelan membasahi pipinya. Aku mencoba untuk menenangkannya, tapi Olive malah menarik badannya dariku. Tingkahnya terasa menyakitkan dan membakar seluruh tubuhku.
Patricia kemudian berlari keluar dari kerumunan, diikuti oleh Taylor dibelakangnya. Guru guru masih berteriak dan memanggil pekerja untuk minta tolong. Sekarang Olive kembali melihat foto foto itu, dan terisak. Semua emosi ini meluap luap dari semua sisi, dan ledakan bom terakhir, datang dari suatu tempat.
“Scotty.. katakan padaku ini semua nggak benar...”
Aku berpaling dan itu dia, tepat di belakangku. Dia berdiri dalam diam, tapi ada nada yang tak kukenali dalam suaranya. Hanya dengan melihat wajahnya cukup membuat hatiku hancur berkeping keping.
“Vincent,.. ini bukan seperti yang kau lihat...”
Semua orang langsung terdiam disekitar kami, menonton bagaikan kami adalah aktor dalam drama favorit mereka. Bahkan guru gurupun ikut mendengarkan. Aku benar benar berharap ini akan menghibur mereka. Bagaimanapun juga, hidupku juga sedikit lagi akan hancur.
“Katakan saja padaku...” Katanya dengan suara yang monoton. “Apa kau dan Taylor... pernah melakukan itu?”
Matanya menusuk tajam pada mataku. Membuatku rela untuk berbohong padanya, tapi aku tak bisa.
“Ya. Aku pernah tidur dengannya”
Itu dia. Faktanya. Fakta yang sangat hangat di hari Jum’at yang dingin.
Pada awalnya Vincent nggak bereaksi. Dia berdiri disana, tampak sangat terkejut. Kata-kataku keluar dengan sangat lantang dan hampir saja aku ingin menariknya kembali.
“Vincent,.. kejadiannya sudah lama sekali... kejadiannya bukan saat aku sudah bersamamu... Ayo kita bicarakan ini di suatu tempat... I love you..”
Kulihat air mata terkumpul di pelupuknya. Dia kemudian berbalik memunggungiku dengan dinginnya.
“Vincent!” Panggilku padanya. “Please...”
Dia menjauhiku dengan berang. Semua orang langsung berhamburan pergi saat dia lewat, takut akan Vincent. Saat dia sudah sampai di depan pintu Reception Area, dia mengerang penuh amarah dan menghantam pintu beberapa kali. Bunyi kayu yang pecah terdengar beberapa kali, dan membuat punggung tangannya terluka.
“Mr. Hunter!” Pekik salah seorang guru. “Kau merusak properti sekolah, hentikan segera!!!”
“Stop!! Vincent, dengarkan aku...”
Aku mencoba untuk menyusulnya, tapi tatapan yang ia berikan padaku membuatku langsung berhenti ditengah jalan. Tatapan yang gelap, kelam dan mengancam, seperti dia melihatku dengan sangat hinanya.
“Aku tak percaya aku pernah mempercayaimu,” desisnya. “Kau cuman satu lagi kekecewaan dalam hidupku”
Kata katanya terdengar sangat kejam. Aku tak pernah sisi ini darinya sebelumnya. Tapi mungkin, aku pantas mendapatkan ini semua.
Aku tak mencoba untuk mengikutinya saat dia berjalan menjauh dariku dan berjalan keluar dari gedung sekolah. Aku tak tahu kemana Taylor menghilang sekarang, tapi aku senang Vincent tak mendatanginya atau apapun itu, mungkin akan terjadi baku hantam lagi jika itu semua terjadi.
Aku balik menatap Olive dari kerumunan orang. Aku butuh penghibur. Aku butuh orang untuk menghiburku. Mungkin hiburan seperti semuanya akan baik baik saja dari sahabatku. Tapi dia masih menangis didepan dinding.
“Kupikir kita teman, Scotty... tapi buktinya tidak. Kau cuman pembohong yang egois.”
Dia mengusap airmatanya dan menghampiri para guru, membantu mereka untuk mencabuti foto foto itu dan membuangnya. Ku hampiri Olive, memohon maafnya.
“Olive, tentu saja kau temanku.... biar aku jelaskan...”
“Pergi kekelasmu Scotty” Katanya dingin. “Kami sedang mengurus masalahmu, pergilah”
Selama pertemanan kami, Olive tak pernah berbicara sedingin ini padaku sebelumnya. Rasanya seperti pisau yang ditancapkan tepat di jantungku.
Guru yang berada disampingku tampak iba dan mengalungkan lengannya di pundakku. “Ayo Pria Kecil, kau pergi istirahat saja dulu untuk menenangkan diri.... Ini semua memang kejutan... tapi kami akan cari tahu siapa yang melakukan ini dan mereka akan mendapatkan hukuman yang setimpal.”
Aku mengangguk putus asa. Aku bahkan nggak bisa merasakan badanku lagi. Ini bukan hidupku, ini hidup orang lain. Aku hanyalah penonton.
Orang orang mulai pergi menuju kelasnya. Semua kebahagiaan mereka sudah habis sekarang.
Saat kerumunan orang sudah habis, aku melihatnya. Alexis Mae. Dia datang dari pintu, melihat sekeliling dengan bingungnya tentang situasi yang baru saja terjadi.
Situasi yang diakibatkan olehnya sendiri.
Badanku langsung bergetar oleh amarah. Sebelum aku sempat menghentikan tubuhku sendiri, aku langsung berlari kearahnya.
“Kau PENGKHIANAT!!! Kau bohong padaku!!!”
Dia nggak punya waktu untuk melindungi dirinya dari seranganku. Kudorong dia dengan sekuat tenanga, membuatnya terdorong kebelakang. Aku nggak peduli dengan konsekuensi dari aksiku ini, aku sangat membencinya waktu itu. Setelah semua yang dia katakan padaku di taman, bagaimana mungkin dia tampak seperti orang yang ingin balas dendam padaku?
“Kau bersumpah nggak akan menyebarkan foto foto itu! KAU BERSUMPAH!!!”
Dia berdiri dan kemudian menamparku, dipipi yang sama yang Patricia tampar tadi.
“Menyingkir dariku!!”
Saat rasa sakit menjalar di pipiku, kudengar sebuah bentakan keras dari kepala sekolah di seberang Hallway.
“CUKUP. KALIAN BERDUA KEKANTORKU. SEKARANG.”
Sepertinya guru guru lain sudah datang untuk membantu, hanya saja kepala sekolah muncul disaat yang salah. Sekarang, dari seorang korban, aku sudah jadi pelaku dari tindak kriminal.
Aku tak peduli lagi apa yang akan terjadi padaku. Aku tak peduli apapun lagi. Aku hanya ingin semua orang yang kusayangi memaafkanku. Aku hanya ingin kembali lagi ke masa lalu, di masa masa awal hubunganku dengan Vincent dan menceritakan kenyataan yang sebenarnya padanya.
Tapi sekarang sudah tak bisa lagi untuk mundur. Permainan sudah selesai. Game Over. Nggak ada lagi yang bisa kulakukan.
+*+*+*+*+*+*
Cuap Cuap Abub:
Ehm.. Well, oke gue bakal ngeles beberapa kali. Pertama, gue terlalu sibuk. Kedua, gue lagi banyak Pr. Ketiga Laptop gue bisa dipakai. Oke, ketiganya itu adalah bohong. Aslinya gue hilang mood buat ngelanjutin cerita ini karena waktu itu gue dilarang makai laptop entah kenapa. Jadi sekarangmumpung lagi mood dan ada kesempatan, gue lanjutin aja. Maaf ya kalau Updatenya kelamaan. Peace! Hehe
@Gabriel_Valiant @Greent @ananda1 @adamy @Risqi @Bib_Ung @NanNan @harya_kei @Kirangan @ffirly69 @freeefujoushi @lulu_75 @Alvin21 @Rikadza @Rezadrians @JengDianFebrian @putrafebri25 @lucifer5245 @ardavaa @centraltio @new92 @raw_stone @balaka @akina_kenji @Andyanz @AlmeraVan @Zhar12 @fery_aditya @phanthek @Toraa @arya_07 @Seiranu @mmdd90 @cute_inuyasha @ardi_cukup @elgo_vevo @ZaenalArdana @abong @3ll0 @rama_andikaa @lucifer5245 @