It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Max menarik pergelangan tanganku dengan sedikit kasar, seolah menumpahkan kekesalannya lewat pegangannya. Tapi hatiku sekarang tak dapat merasakan sakit apapun kecuali sakit yang telah di torehkan kekasih masalaluku. Apa aku naïf?
Aku tersungkur keararah sofa, menatap nanar kearah pemuda yang telah berlaku kasar padaku walau aku tak menyalahkannya sama sekali. Hatiku selalu membenarkan caranya padaku walau aku sama sekali tak ingin mengakuinya tapi entah sejak kapan dia telah mendapat tempat special di hatiku.
Aku hanya menatapnya tanpa peduli dengan suara-suara hatiku yang seolah berteriak untuk meninggalkan pemuda di depanku ini dan berlari mengejar seseorang yang mungkin tak akan mengenalku lagi.
“Apa tidak ada minuman di sini?” Aku brsuara, tenggorokanku rasanya bagai di sirami pasir gurun. Meneguk minum adalah canduku untuk saat ini. Aku sangat menderita.
Max menghilang sebentar dan kembali dengan segelas air putih yang langsung ia berikan padaku. Aku mengambilnya dan menegukknya dengan satu kali tegukan. Kulihat Max hanya menatapku tanpa mau bersuara lagi. Aku hanya bisa menatap kearah lain, kemana saja asal jangan padanya.
“Sejak kapan lo tahu semuanya?” Aku mencoba kembali menyuarakan tanya di kepalaku, berharap hanya dengan satu kalimat itu ia akan dapat menjawab semua tanya di kepalaku.
“Jangan bicara, aku sedang tak ingin mendengar suara apapun keluar dari mulutmu.” Aku mendongak menatapnya yang tengah bersedekap, seolah menantangku untuk meninju bagian wajah yang mungkin selalu ia banggakan itu.
“terlalu sulit untuk menjawab pertanyaan gue?” Aku tak ingin di perintah olehnya, aku tak ingin lagi takut padanya. Cukup semuanya.
“Aku bilang jangan bicara!” Dia membentakku, sungguh terlihat begitu marah padaku. Aku sendiri bingung apa yang membuatnya semarah ini.
“Apa yang lo inginkan dari gue?” Aku bangkit. mendekatinya yang masih bergeming di tempatnya semula dan kini kami berdiri sejajar. “Nyawa gue?”
“Aku sudah memperingatkanmu.” Entah apa yang telah terjadi yang kutahu aku sudah terjatuh kembali kesofa yang baru saja aku duduki tapi kini ada Max di atasku, berusaha menciumku. Aku mengelak tapi dengan mudahnya ia mendaratkan ciumannya di leherku. Aku mengejang, ingin menolak tapi keadaan menjepitku.
“Mar-marcel. Stop!” Aku mencoba berteriak padanya tapi malah suara desahan sialan yang keluar, Apa yang harus kulakukan sekarang? Max benar-benar sudah kehilangan warasnya. Aku tidak bisa membebaskan tanganku yang ada di tengah tubuh kami.
Suara ketukan pintu apartemen itu membuat aku terselamatkan, max mengerang melepaskan bibirnya di leherku. Dan dengan cepat ia bangkit dari tubuhku. Aku bengkit mencoba untuk pergi tapi tangannya sudah lebih dulu mencengkram pinggangku dan mendaratkan dagunya di pundakku. Ya tuhan lelaki ini sudah gila.
“jangan pergi, aku takan akan melakukannya asal kamu jangan membahas masalah itu.” Aku mendesah, menenangkan degub jantungku yang masih berdetak seperti genderang.
“Buka pintumu, mungkin seseorang yang penting.” Aku dapat merasakan ciuman Max di pundakku sebelum dia meninggalkanku di balik dinding itu melangkah menuju pintu. Aku bingung dengan keadaan yang terjadi. Aku masih ingat dia kekasih sahabatku. Apa yang akan mereka katakan kalau tahu semuanya. Aku pastikan tak akan lagi memiliki mereka.
“Kamu lapar?” Aku menatap Max yang sudah berdiri tidak jauh dariku dengan sekotak kantung makanan. Kapan dia memesannya?
***
Keadaan canggung bukanlah yang kuharapkan sekarang, aku hanya ingin keadaan normal dimana kami mungkin bisa menjadi seorang teman. Jika boleh jujur aku merindukan caranya yang dulu. Aku melirik kearah Max yang masih sibuk dengan makanannya. Aku yakin dia hanya mencoba untuk menyibukkan dirinya, sama seperti yang aku lakukan.
“Kamu mau mengantarku pulang?” Pertanyaan yang memalukan tapi aku juga butuh seseorang yang bisa membuka suara dan tentu saja aku menawarkan diriku menjadi yang pertama karena aku tak pernah suka dengan kecanggungan.
“Menginaplah, ada dua kamar disini jadi kamu tidak perlu takut aku akan berbuat macam-macam sama kamu” Suara datarnya berarti begitu dalam. Dan sejak kapan aku mulai ikut mengatakan bahasa sopan padanya. Ya tuhan jangan bilang aku sudah mulai terpengaruh dengan lelaki di depanku ini?
“Gue belum minta izin sama nyokap, takutnya dia nanti marah kalau gue izinnya mendadak.” Aku harus mulai menjernihkan kepalaku dari masalah pelik ini.
“Perlu aku yang minta izin sama tante?”
“Marcel!” Aku mulai naiik darah karena tingkah dan ucapannya yang seolah tak terjadi apa-apa pada kami. Seolah kami di sini baik-baik saja.
“Berhenti memanggilku dengan nama itu” Nada dinginnya seolah mampu menusuk mataku yang sedang menatapnya. Dia menatapku seolah aku adalah mangsa yang seharusnya di lenyapkan.
“Gue gak suka situasi ini, jadi gue mohon ngertiin gue.” Aku mencoba memelas padanya tapi ia tak bergeming masih tetap setia mengunci mataku dalam tatapnya.
“Kamu tidak suka situasi dimana kamu baru saja bertemu dengan seseorang yang mampu membuatmu menangis semalaman, begitukah maksudmu?” Aku melongo, sungguh itu bukan maksudku. Aku memang memikirkan Nathan tapi memikirkannya ada dalam urutan kedua sekarang. Yang lebih menguras pikiranku sekarang adalah lelaki di depanku ini yang setiap saat emosinya selalu berubah-ubah.
“Lo tahu apa yang gue maksud dan itu bukan dia!” Aku mulai berteriak, seakan rasa bersalahku terkuras habis. Kurasakan tangan Max menggenggam tanganku dengan erat seolah memberi tahu kalau aku bisa mempercayainya dan aku memang percaya hanya saja pikiranku sedang kacau sekarang.
“Maaf” Hanya kata itu yang ia ucapkan dan ia langsung melanjutkan makanannya. Sungguh Max adalah copy dari Daniel yang selalu menunjukkan kalau tidak ada masalah seakan semua selalu baik-baik saja. Jika bisa di telaah lagi, dia memperlakukan aku seakan aku kekasihnya. Kecemburuan jelas terlihat di tingkahnya.
Suara dering ponsel Max membuat aku menghentikan makananku tapi Max masih tetap setia menyendokkan makanan ke mulutnya dan lihatlah bagaimana cueknya dia padahal ponsel itu ada di dekatnya. Aku terus menatap kearah ponsel itu, berharap Max bisa mengangkatnya dan mendapat kabar penting lalu pergi meninggalkan aku, oh itu hanya harapan saja.
“Max” Aku memanggil namanya, membuat ia menatapku dengan tatapan datarnya. “Suara ponselnya sangat mengganggu.” Aku berusaha membujuknya untuk menjawab panggilan itu yang memang tak diam dari tadi.
Sialannya Max malah mengeluarkan batrai ponsel itu dan melemparnya ke sofanya, aku hanya menganga melihat kelakuannya. Apa dia tak mau tahu siapa yang menelponnya.
“Lanjutkan makananmu, setelah itu akan ku antar kamu pulang” Aku hanya mengangguk tak ingin membuat masalah lagi, mendengar ia mau mengantarku pulang sudah sangat membuatku lega.
“Kamu memiliki apartemen ini, tapi kenapa masih mau saja membayar rumah di dekat rumahku. Tentu itu sangat membuang uang.” Aku mencoba bertanya dengan nada manis. Semoga saja ia tak tersinggung.
Dia menyeringai, kali ini seringaiannya terlihat tulus. “Untuk bisa lebih dekat denganmu” Dan aku kembali merasakan degub jantung sialan ini.
***
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima
@hendra_bastian
@akina_kenji @harya_kei @NanNan
@boy @BangBeki @arieat @Asu123456
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04
@dimasalf9 @freeefujoushi @4ndho
@jacksmile @kristal_air @Pradipta24
@abong @cute_inuyasha @Aurora_69
@JimaeVian_Fujo @Hiruma
@ArDewa @wita @Rifal_RMR
@balaka @ridhosaputra @Lovelyozan
Seret namaku sama jeng @yeniariani
Good job
ntah kenapa suka ical sama max. romantiss