It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
More...more..;)
Siapakah tamunya...
Kurasa ada sesuatu yang di beritahukan tante Bela pada mama sampai mama bisa setegang itu, aku tak bisa diam saja. Aku melangkah semakin maju kearah ruang tamu dan kulihaqt tante Bela dan mama mendongak menatapku. Dengan serempak mereka berdiri.
“Ical, kamu sudah pulang sayang” Kenapa aku merasa seolah-olah Tante Bela tak tulus lewat kata yang ia lontarkan.
“Iya tante, tante kapan kembali?” Aku mencoba berbasa-basi, kulihat mama hanya terdiam di sana. Aku merasakan ada yang tidak beres di sini.
“Mamamu sudah tahu, tante sudah cerita padanya jadi kamu tidak perlu menyembunyikan apapun padanya.” Senyuman tante Bela membuat perasaanku tidak enak.
“Ical, apa itu benar Nak?” Mama menatapku dengan linangan air mata. Dadaku terasa sesak, bagaimana bisa aku membuat mamaku menangis karena aku. Apa yang sudah di katakan wanita itu padanya.
“Maaf ma.” Entah apa yang telah ia katakan, tapi aku hanya mau minta maaf atas airmata yang telah di tumpahkan oleh mamaku karena aku. Aku sakit melihat air mata itu.
“Hebat sekali, kamu sangat cepat mengambil tindakan tante. Aku salut kamu cukup berani melibatkan mereka dalam permainan kita.” Aku menatap Max yang sudah berdiri di sampingku. Cukup heran dengan kata-kata yang di lontarkan Max.
“Aku tidak pernah main-main dengan kata-kataku sendiri jadi jangan pernah menantangku.” Seringaian licik Max membuat aku merinding.
“Gue juga tidak pernah suka ada orang yang melibatkan orang yang gue cintai dalam permainan gue. Lihatlah neraka sudah ada di dekat lo.” Suara cekikikan tante Bela terdengar nyaring bahkan memenuhi ruang tamu.
“Aku sangat takut. Kita lihat siapa yang akan hancur lebih dulu.” Nada mematikan dari tante Bela membuat aku sedikit merinding, genggaman tangan Max membuat aku ikut meremas tangannya.
“Lo sudah hancur dari dulu, sejak suami lo lebih memilih mami gue jadi jangan coba buat bilang siapa pemenang dan pecundangnya di sini . Karena selamanya lo akan jadi pecundang Tante!” Max mengeja kata yang ia lontarkan.
“Mami lo murahan, lo juga anak haram.”
“Huh, aku mulai ragu Nathan adalah anak suaminya lo. Lihatlah bagaimana bedanya Nathan sama suami lo. Nathan tidak pernah sadar bagaimana berbahayanya ibunya.”
“Dengar anak haram, jangan pernah mengusik anak gue kalau lo gak mau nyesal.”
“takut sekali.” Tante Bela pergi dengan kemarahan yang terlihat jelas di matanya dan kulihat Max hanya bisa cengengesan merasa menang dengan pertarungan kata-kata mereka.
“Satu lagi, besok ada pesta. Bawa dia kalau lo berani” Tante Bela berucap lalu.
Aku sedikit tersentak karena menadapat pelukan dari mamaku, kulihat dia sesenggukkan tapi tak lama suara tawanya terdengar. Apa mamaku sudah gila karena tahu anaknya penyuka sesama. Ya tuhan aku akan menjadi anak paling durhaka kalau sampai itu terjadi.
“Tante aktingmu yang terhebat” Aku terkejut mendengar suara Max yang memuji mama, apa-apaan ini? Apa yang tidak ku ketahui di sini. Kulihat mama tersenggih malu mendengar pujian dari Max dan aku hanya bisa melongo tak mengerti apa yang terjadi.
“Apa yang baru saja kalian bicarakan?” Aku bertanya dengan nada menahan marah, rasanya bagi di tipu dengan mentah-mentah. Pelukan mama membuat aku sedikit terkejut dan juga merasa semua akan selalu baik-baik saja kalau ada mama.
“Mama sudah tahu semuanya sayang, Max sudah cerita semua pada mama.” Aku mengerutkan alis di dalam pelukan mama.
“Tahu apa Ma?” Aku mengangkat wajahku mencoba menatap mama, kulihat mamaku tersenyum di sana.
“Semuanya.” Hanya kata itu dan mama kembali mendaratkan pelukannya padaku, aku tahu saat mama mengatakan semuanya berarti memang semuanya tanpa ada kata yang tidak ia ketahui. Aku menyayangi wanita yang sekarang memelukku dengan sangat erat ini.
***
“Sungguh kita harus datang ke pesta itu?”
“Entah kamu yang suka dengan suaramu atau memang kamu yang selalu ingin aku menjawab dengan jawaban yang selalu sama. Kita akan datang, apapun yang terjadi kita akan hadapi bersama. Sudah ku jawab sekarang, awas kalau tanya lagi. Cari pertanyaan yang lebih bagus dari yang itu.” Aku tersenyum menatap Max, terlalu beruntung dengan hadirnya pria di sampingku ini.
“Baiklah, apa kita sudah siap berangkat?” Aku mencoba mengganti topic pertanyaanku.
“Ayo!” Max memegang tanganku, entah dia sadar atau tidak tapi caranya sangat terlihat mempesona dimataku. Aku menatap mama yang sudah menunggu kami di bawah tangga. Aku tidak tahu apa mama setuju dengan hubungan yang coba ia tawarkan sedangkan aku sendiri, entahlah aku merasa nyaman di dekat Max tapi satu hal yang harus aku rahasiakan dari semuanya kalau Masih Joe yang mengisi penuh hatiku. Masih nama Joe yang bergema seolah ia sudah menjadi penghuni yang tetap dan tak akan terganti sampai kapanpun itu tapi memaksa hubungan kami dengan resiko mamanya yang tak akan pernah setuju adalah hal yang buruk untuk di lakukan. Memendamnya juga tak baik bagiku, entahlah kapan hatiku akan meneriaki kesakitannya.
“Kamu melamun?” Aku mengerjap beberapa kali, menatap kosong kearah wajah Max yang seolah tak tampak. Lalu ku sadari aku baru saja berbuat bodoh dengan membiarkan hatiku kembali menguasai keinginanku.
“Tidak jika kita bisa jalan sekarang.” Aku menjawabnya dengan senyum piasku, kulihat dia hanya menggelengkan kepalanya mungkin merasa lucu dengan jawabanku.
“Baiklah, kamu harus siap!” Max memperingatkan.
“Aku akan selalu siap” Ragu, tentu saja itu yang hatiku rasa. Aku tidak akan tahu seberapa luka yang akan menggores hatiku di sana. Aku juga tidak tahu semematikan apa racun yang akan di berikan Nathan untukku. Aku hanya berharap semoga semuanya tak terlalu membuat aku menyedihkan.
***
Kami sampai lebih cepat dari yang ku perkirakan, Tante Bela mengadakan pesta di rumah barunya dan juga rumahnya tidak terlalu jauh dari kompleks ku. Aku mengikuti langkah Max yang terlihat santai saja. Seolah ia menghadiri acara sahabatnya. Padahal baru kemarin dia beradu mulut dengan si empunya pesta.
“kamu mau minum?” Max menawarkan dan aku hanya menggeleng, aku sedang tidak haus dan juga aku kesini bukan untuk minum, aku hanya ingin memastikan penghuni hatiku memang berada di pesta ini. Aku mencoba mencari kesegala arah tapi aku tak mendapat apa yang ku cari.
“Itu teman-temanmu!” Max menunjuk kearah kolam renang yang sudah di hias dengan balon dan bermacam-macam pernik pesta.
“Ada Aurel disana” Aku menimpali dengan nada khawatir.
“Ayo kita hampiri, kamu bisa berakting kan? Karena Aurel belum mau teman-temanmu tahu.” Aku mengangguk, mencoba membantu kisah pelik Aurel.
Max mencium pipi Aurel dengan mesra, kulihat Sandi dan Riki hanya menatap dengan risih kearah dua sejoli yang seakan tengah di mabuk asmara.
“Aku mengajakmu datang bareng, kamu malah tidak mau. Masalahnya apa sih?” Max bersuara dengan nada merajuk dan aku cukup tak suka dengan hal itu. Max sangat pandai berakting bagaimana kalau caranya padaku selama ini juga acting belaka. bagimana kalau dialah penjahatnya tapi kulihat mama sangat percaya padanya jadi aku tidak memiliki alasan untuk meragukannya.
“Aku tahunya kan kamu satu arahnya sama Ical jadi lebih baik bareng Ical dari pada jauh-jauh jemput aku.” Alasan Aurel dengan senyum manisnya, apa Max tidak tertarik sama perempuan itu. Lihatlah bagaimana sempurnanya gadis itu.
“Cal. lo baik?” Aku menatap Sandi dengan pandangan seolah bertanya, baik dalam hal apa? Entah yang di tanyakan Sandi adalah baik melihat kemesraan Max dan Aurel atau baik karena harus kembali bertemu dengan Nathan dan yang akan membuat aku tidak baik untuk sekarang hanyalah bagaimana kalau aku mendapat kabar yang tak kuinginkan dari pesta yang di adakan mamanya Nathan. Aku takut, takut tak mampu menahan hatiku lagi.
“Aku tidak pernah sebaik ini” Aku menjawab dengan pasif.
“Kita selalu ada buat lo.” Aku menatap Juna, aku tahu ada yang tidak beres dari kata itu. Apa maksudnya mengatakan kata yang seolah menyatakan kalau aku akan hancur sebentar itu.
“Apa separah itu?” Aku bertanya pada Riki yang akan selalu mengerti maksud di balik kataku. Aku terkejut saat tiba-tiba Yesa memelukku dan menangis di sana. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Aku hanya menatap mereka semua dengan bingung.
@Otho_WNata92 @lulu_75 @nakashima
@hendra_bastian
@akina_kenji @harya_kei @NanNan
@boy @BangBeki @arieat @Asu123456
@boybrownis @DM_0607 @littlemark04
@dimasalf9 @freeefujoushi @4ndho
@jacksmile @kristal_air @Pradipta24
@abong @cute_inuyasha @Aurora_69
@JimaeVian_Fujo @Hiruma
@ArDewa @wita @Rifal_RMR
@balaka @ridhosaputra @Lovelyozan
@amir_tagung @keanu_
Haduh,,sepertinya Nathan mo tunangan. Sabar ya Cal**pelukIcal**
Mataku tak pernah lepas dari pecahan kaca yang bertebaran di kakiku, Aku merasa de javu karena pernah melakukan hal yang sama pada kaca di kamarku. Darah yang mengalir tak menyurutkanku dari meninju kembali dinding yang ada di balik kacaku,. Aku menumpahkan semuanya di sana. Aku benci takdir dan aku benci tuhan yang seakan tak pernah menyayangiku.
Takdir telalu kejam padaku, apa salahnya ia membuat aku mendapatkan cintaku kembali setelah aku sudah dengan sabar meninggalkannya selama dua tahun dan sekarang lagi-lagi takdir mempermainkanku dengan mudahnya. Membuat aku terluka dan tak berdaya.
Aku sudah tak bisa merasakan sakit lagi, melihat tubuhku yang penuh dengan memar membuatku ingat betapa liarnya aku setelah pergi dari hidup sosok yang aku cintai. Aku tidak pernah mengerti seberapa bencinya mamaku pada mahkluk pecinta sesama, sampai dia sendiri tak pernah peduli pada penderitaanku. Aku bahkan hampir terbunuh dalam kenakalan yang ku alami. Aku tak pernah menemukan sosok baikku saat cintaku tak bersama denganku.
Dia mamaku bahkan sejahat apapun yang dia lakukan padaku, dia tetap mamaku dan aku tak bisa membencinya. Aku hanya membenci diriku yang tak pernah bisa berbuat apa-apa.
Mama tak menginginkan aku untuk dekat dengannya tapi kenapa dia membawaku kembali ke tempat dimana aku akan semakin tersakiti. Aku dekat dengannya tapi tak bisa menyentuhnya dan itu akan semakin membuatku tak berdaya. Mungkin aku akan mati dengan perlahan.
“Den, Aden sudah di tunggu nyonya di bawah. Semua orang sudah datang!” Suara ketukan pintu di sertai suara pembantuku membuatku menghentikan aktivitasku dari memukul dinding yang tak pernah bersalah padaku.
“Aku sebentar lagi turun” Aku menjawab dengan pelan dan ku dengar suara langkah kaki menjauh. Ku pakai jazku dan membalut sembarang tanganku dengan kain kasa. Aku melihat kulit jemariku terkelupas tapi kenapa aku tak pernah bisa merasakan sakitnya. Seolah sakit di hatiku tak ada yang mampu menandingi.
Aku berjalan dengan pelan memasukkan tanganku ke kantung celanaku agar tak ada yang tahu aku baru saja berbuat hal yang gila.
Langkahku terhenti saat aku sampai di bagian belakang rumahku, tempat mama mengadakan pesta sialan yang sudah ku tahu maksudnya dan ku pastikan dia juga sudah mengetahuinya. Aku sengaja menyuruh Juna untuk memberitahunya agar dia tak terlalu terkejut dengan berita yang akan dia dengar. Entah apa yang membuatku terlalu yakin kalau dia masih milikku seutuhnya. Karena sepertiku, dia juga tak akan dengan mudah terjamah.
“Nah ini dia yang kita tunggu, ayo sayang. Calon istrimu sudah menunggu.” Mama brucap dengan nada yang cukup lantang seolah memamerkan barang paling berharga pada khalayak umum. Aku mendekat kearah mama dan dapat kulihat ada seorang wanita sedang berdiri di dekat mama. Wanita itu mengerai rambutnya dengan dress selutut dan kacamata yang membingkai mata bulatnya.
Aku baru pertama kali bertemu dengan wanita ini, dan kurasa wanita itu juga terpaksa melakukan perjodohan sialan ini.
“Ayo Viona, mendekatlah!” Aku melihat wanita itu semakin merapat kearah mama dan mama memegang pundaknya menggeser wanita itu untuk berdiri di dekatku. Aku mulai risih dan ingin sekali pergi dari sana.
Pandangan kami bertemu, untuk sesaat aku merasa hanya ada dia disana. Dia menatapku dengan tatapan terluka yang tak bisa ia sembunyikan lagi. Kulihat semua teman-temannya memberikan simpati padanya. Hatiku hancur sudah, aku menyakitinya lagi dengan segala kebodohanku yang tak bisa melawan keinginan mamaku.
Dia menunduk seolah jika lebih lama lagi ia menatapku, dia akan hancur dan aku memang menghancurkannya. Dia pergi, entah apa yang sedang merasukiku. Kulihat mama masih sibuk bicara dengan orang yang ku yakin adalah orang tua gadis yang akan di jodohkan denganku. Aku pergi, berlari meninggalkan semua orang yang memandangku dengan heran termasuk teman-temanku.
Tak lama aku menemukannya yang masih sibuk berjalan dengan getaran di bahunya, aku mengikutinya dalam diam. Hanya seperti ini sungguh tak cukup buatku, aku ingin dia memelukku sekarang. menumpahkan segala keluh kesahnya selama ini padaku. Aku ingin dia memukulku untuk menyadarkanku kalau aku telah melukainya.
“berhenti mengikutiku!” Entah sejak kapan dia sadar kalau aku mengikutinya karena sekarang aku sudah melihat mata coklatnya menatapku dengan keteguhan yang coba ia pertahankan. Dia gagal, aku tahu dia tak akan sekuat itu.
“Apa hanya mengikutimu membuat kamu risih juga?” Aku bertanya dengan nada pelan, aku ingin moment berharga ini tak rusak oleh apapun.
“Joe, Berhenti berpura-pura kalau kita baik-baik saja.” Dia kembali menyuarakan kesesakkannya.
“Dan juga berhenti berpura-pura kalau kamu sekuat yang kamu tunjukkan karena kamu tak lah seperti itu. Kamu bisa membohongi semua orang tapi tidak denganku.” Aku maju selangkah dan dia mundur, begitu terus sampai aku harus diam di tempatku agar dia tak lari dariku.
“Kamu tidak pernah tahu apapun tentangku,” Dia mendelik tajam.
“Kamu yang tidak pernah tahu aku, aku yang mencintaimu. Aku yang merindukanmu. Aku yang-“
“Joe stop!” Suaranya kasar dan dengan cepat ia berbalik hendak berlari meninggalkanku tapi aku lebih cepat tanggap karena aku sudah lebih dulu memeluknya dari belakang. Dia meronta dengan sekuat tenaga tapi aku mencoba mempertahankannya sebisaku.
Rontaannya tiba-tiba terhenti dan kulihat dia diam seolah baru meyadari sesuatu dan saat itu juga aku tahu apa yang membuat dia seperti patung di dalam pelukanku. Aku menarik tangan kananku tapi dia berhasil memegangnya tak membiarkan aku menyembunyikan lukaku.
“Kamu terluka?” Dia bertanya dengan pelan, seolah pertanyaan itu hanya untuk dirinya. Aku menghembuskan nafas dengan berat. Aku tidak suka dia kasihan padaku tapi apa yang bisa kulakukan sekarang karena dia tahu hal yang tak ku inginkan orang-orang untuk tahu.
“Hanya luka kecil” Jawabku pendek, dia menggenggam tanganku yang kiri dan membawaku kearah jalan besar, dengan cepat ia menyetop taksi. Entahlah dia mau kemana.
***
Aku duduk menatapnya yang sedang sibuk mondar-mandir kesana kemari mencari obat dan juga air untukku. Haruskah aku bahagia dengan caranya yang masih khawatir padaku.
Kulihat dia sudah duduk di dekatku dan kembali sibuk membuka kain kasa yang sudah berwarna merah karena darahku. Aku tak sadar kalau darahku sebanyak itu, padahal dulu aku pernah mengiris pergelangan tanganku dan darahnya tak banyak.
“Apa yang kamu lakukan sampai bisa separah ini?” Dia bertanya tanpa mau menatapku karena matanya masih pokus pada lukaku yang sedang ia obati dengan teliti.
“Hanya mencoba memamerkan kehebatanku pada dinding kamarku.” Aku menjawab asal dan kulihat dia menatapku dengan tatapan marahnya. Aku tersenyum miring kearahnya, selalu suka dengan tatapan marah itu.
“Apa ini sakit?” Dia bertanya seolah lukaku adalah hal paling menakutkan dalam hidupnya. Aku tersenggih dan dia hanya menatapku dengan kerutan di dahinya.
“Lebih sakit saat aku menyadari kalau aku tak akan bisa melihatmu lagi di hari-hariku.” Tatapannya membuat rasa sakitku kembali muncul, aku ternyata meninggalkan makhluk tuhan yang begitu mencintai dan di cintai olehku.
“Mandilah, kamu terlihat kacau sekali” Dia menyarankan, aku menatapnya dengan seringaian lucu.
“Sepertinya ada yang lebih berantakan dari pada aku di sini.” Dia hanya terdiam tak mau menanggapi candaanku. Dan aku cukup mengerti untuk itu.
“Mandilah!” Aku mengangguk dan bangun dari dudukku, mengambil handuk putih yang sudah di sediakn hotel. Aku ragu antara membuka bajuku di depannya atau menyuruhnya menyingkir dari sini. Aku tidak mau dia semakin terkejut melihat bekas luka di sekujur tubuhku. Baru melihat tanganku saja dia sudah berubah pikiran dengan mengajakku kehotel yang awalnya dia akan meinggalkanku. Aku tidak mau dia semakin sedih melihat betapa hancurnya aku tanpa dia.
“Rival!”
“Ya” Dia berbalik menatapku yang ada di belakangnya, kurasa dia baru saja melamun. Entah apa yang dia pikirkan.
“Aku langsung ke kamar mandi saja”
“Tidak repot nanti? Aku tidak akan melihatmu, aku janji” Aku tersenyum ternyata dia salah mengartikan maksudku.
“Tidak kok” Aku langsung melangkah meninggalkannya kearah kamar mandi. Dengan cepat ku buka kemejaku dan juga celanaku. Aku menyalakan shower dan membiarkan air dinginnya mengguyur tubuhku. Ku pegang bagian dadaku yang masih terlihat bekas jahitannya bahkan aku masih ingat bagaimana pisau itu menggores dadaku. Aku menatap diriku di cermin yang ada di depanku, tubuhku sungguh tak bisa ku banggakan lagi karena luka-luka sayatan ini.
Ku pejamkan mataku, mengingat kembali darimana saja aku mendapat luika-luka ini. Keperihan itu sungguh tak sebanding dengan perih hatiku dulu.
Aku tersentak kaget saat kurasakan seseorang memelukku dari belakang seolah tak ingin melepaskan aku. Aku memegang tangan yang melingkar di perutku. Aku tahu tangan siapa ini dan akupun tahu kalau dia melihat semua hal mengerikan di tubuhku. Bodohnya aku yang lupa mengunci pintunya.
Aku melepas tangan itu dan berbalik menatap si pemelukku yang sekarang sudah ikut basah kuyup dengan pakaian lengkapnya. Ku pegang pipinya dan mengelusnya dengan punggung tanganku. Ku berikan ia senyum terbaik yang aku miliki.
“Kenapa tidak bilang kalau mau mandi bareng” Aku mencoba bergurau dengannya, tak ingin ia membahas soal luka-luka ini. DIa hanya menggelang dan kembali memelukku. Aku hanya bisa mengelus rambut basahnya dan membiarkan hanya shower itu yang bersuara.
***