It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tanggung jwab
gnti #Lototin Ts
@shuda2001 ada kok di wattpad juga mas
@syafiq makasih juga syafiq :-*
@Adityaa_okk @RenoF @arifinselalusial @Adiie @Rifal_RMR @Adi_Suseno10 @Roynu @sunan @SteveAnggara @Anne @zeva_21 @abyyriza @meandmyself @aldino_13 @Aurora69 @Rikadza @galaxy_meja @hendra_bastian @DM_0607 @ardi_yusman @Asu123456 @PeterWilll @Zimmy Zayn @Otho_WNata92 @Kibosuke @khieveihk @JNong @LostFaro @Toraa @Bintang96 @dimasalf9 @_abdulrojak @amir_tagung @Ndraa @Pradipta24 @rzlwrdana @rezka15 @Akang_Cunihin @pujakusuma_rudi @marchphu @half_blood @ardi_cukup @freeefujoushi @Sho_Lee @abiDoANk @haha5 @akina_kenji @fairytail_lover @Kim leonard @andre_patiatama @shuda2001 @Pyromaniac_pcy @FransLeonardy_FL @pangeran_awan99 @ken89 @alfa_centaury @prasetya_ajjah @Agova @DoojoonDoo @kim_juliant27 @tianswift26 @new92 @syafiq @JimaeVian_Fujo @awanwanku @Greent @haha_hihi12 @Tsunami @shuda2001 @Rabbit_1397 @AryaPutra_25
Untuk yang nggak mau dimention lagi bilang yah
Aku mengangguk dengan tersenyum kecil menanggapi kekhawatiran Ibu panti. "Wajah kamu pucat, Yuri." Ibu panti mengerutkan keningnya meneliti wajahku.
"Yuri, cuma kecapekan aja Bu. Tadi Yuri juga udah minum obat kok." Jelasku meyakinkan Ibu panti. Ibu panti hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menanggapi kekeras kepalaanku. Aku terkekeh kecil. "Yuri berangkat sekolah dulu ya, Bu.." Pamitku kemudian dan mencium tangan Ibu panti untuk mengucapkan salam.
Ibu panti mengusap kepalaku. "Orang yang biasa nunggu kamu di depan panti, tadi Ibu lihat mobilnya ada di depan. Sepertinya dia sudah ada di sana sejak semalam." Aku mengerjap mendengar Ibu panti. Ibu panti mengulum senyumnya. "Ibu selalu mengintip apa yang terjadi pada kalian di depan panti."
"Ibu!" Sentakku terkaget dengan apa yang Ibu panti ucapakan. "Itu... Itu nggak seperti yang Ibu pikirkan..," jelasku tergagap mencoba membuat pengertian agar Ibu panti tidak berpikir yang macam-macam terhadap kami.
Ibu panti terkekeh pendek. "Memangnya Ibu mikir apa?" Ibu panti menautkan kedua alisnya. "Kamu udah dewasa Yuri. Ibu yang pertama menggendong kamu saat kamu ditinggalkan di depan panti ini hanya dengan sebuah surat. Jadi Ibu sama halnya dengan kedua Papa kamu, Ibu juga sudah menganggap kamu anak Ibu sendiri, dan Ibu bisa mengerti sedikitnya apa yang terjadi dengan anak Ibu."
"Ibu.." Dengan mata yang berkaca-kaca aku langsung memeluk Ibu panti. Setidaknya aku tidak benar-benar seorang diri. Ada sosok seorang Ibu di sini untukku.
Untuk dia yang mungkin pernah mengandung dan melahirkan aku, aku berterimakasih karena telah meninggalkan aku di panti ini, bukan di pinggir jalan dan menjadi makanan anjing liar. Dengan begitu aku bisa memiliki kedua orang tua seperti Papaku dan seorang adik yang begitu manis. Sungguh tidak ada yang lebih aku syukuri di dunia ini selain keluargaku. Dimanapun mereka berada sekarang, mereka pasti sama merindukan aku seperti aku merindukan mereka.
-
-
Galuh berdiri bersandar di pintu mobilnya dengan wajah yang tertunduk dan kedua tangan yang dia masukan ke dalam saku celana jeansnya. Apa dia akan berangkat sekolah dengan pakaian seperti itu?
Apa Galuh tertidur? Aku sudah berdiri selama beberapa detik di depannya, namun dia sepertinya belum menyadari keberadaanku. Aku sedikit menundukan kepalaku untuk bisa melihat wajahnya yang tertunduk. Matanya terpejam. Bagaimana dia bisa tertidur dalam posisi seperti ini?
Keningku mengernyit saat aku menyadari ada sesuatu di keningnya. Ada luka di atas alis tebalnya dan darah mengering di sana. Apa yang terjadi dengan orang ini?
Lukanya harus segera dibersihkan dan diobati agar tidak timbul infeksi. Aku mengbuang nafas berat dan langsung berbalik ingin kembali ke dalam panti untuk mencari obat. Tapi kemudian aku tersentak saat ada yang memegang tanganku, menahan langkah kakiku.
Aku berbalik. Galuh menengadahkan kepalanya. "Aku ngantuk banget..," dia menguap lalu tersenyum kecil padaku.
"Luka kamu harus diobati." Kataku cemas melihat wajahnya yang menunjukan ekspresi bahwa dia baik-baik saja.
Galuh melepaskan tanganku dan lalu menyentuh luka di keningnya. "Aku jatuh." Jelasnya pendek. Apa dia pikir bisa membodohiku dengan alasannya itu?
"Tunggu di sini sebentar." Aku segera berbalik, berlari kecil dengan tergesa-gesa mencari kotak obat yang biasa disimpan Ibu panti.
Setelah aku berhasil menemukan kotak obat, aku segera kembali menghampiri Galuh. Galuh sudah duduk di dalam mobilnya, dia membukakan pintu mobilnya untukku agar masuk ke dalam mobilnya, dan aku langsung masuk ke dalam mobilnya tanpa penolakan seperti biasanya.
Dengan cemas, aku langsung mencari antiseptik di kotak obat dan aku tuangkan ke kapas yang sudah aku siapkan. Alisku saling bertaut saat aku dengan perlahan membersihkan luka Galuh yang ternyata robekan kulit di atas alisnya sedikit terbuka. "Ini harusnya dijahit." Desisku padanya di sela-sela tiupan dari mulutku untuk meringankan rasa perih pada lukanya yang aku olesi obat.
Galuh memegang pergelangan tanganku yang sedang mengolesi obat di lukanya. Aku mengerjap-ngerjap tersadari bahwa kini wajah kami nyaris menempel. Jantungku menjadi-jadi degupannya saat Galuh menengadahkan kepalanya dan menatap mataku.
Aku tidak berani membalas tatapannya. Mataku turun melihat dagunya dan bisa aku rasakan nafas kami saling bertukar dari hidung kami yang nyaris bersentuhan.
"Kalau dengan terluka bisa membuat kamu mencemaskan aku dan membuat kamu memperhatikan aku, aku rela terluka berjuta-juta kali untuk ini." Ucapnya pelan membuat mataku memperhatikan bibirnya yang bergerak-gerak.
"Uhug..," aku terbatuk kecil untuk mengakhiri moment ini. Galuh tersenyum kecil dan melepaskan tanganku. Aku mejauhkan wajahku dari wajahnya.
Aku mengulum bibirku, menundukan kepalaku dan meremas celana abu-abuku untuk menahan gejolak dalam dadaku yang tidak karuan. Aku bisa mendengar Galuh yang terkekeh kecil, dan bisa aku lihat dari ujung mataku kalau dia masih memperhatikanku seolah aku adalah sesuatu yang lucu untuk dia lihat. Apa dia sedang menggodaku?
"Kulit wajah kamu pucat, apa kamu sakit?" Aku menoleh melihatnya. Galuh menyentuh dahiku dengan telapak tangannya. "Badan kamu panas..," gumamnya sendiri dan menjauhkan tangannya dari dahiku.
Aku mengerjap. "Aku nggak apa-apa."
"Apa karena kejadian kemarin?" Galuh menautkan alisnya menatapku.
Aku menggelengkan kepalaku. "Aku cuma kecapekan aja, nanti juga baikan sendiri." Jelasku.
Galuh mengangkat ujung bibirnya. "Kamu kemarin keren banget tahu nggak..," dia tersenyum lebar. "Kamu harus seperti itu terus yah, hajar siapapun mereka yang mengusik kamu."
"Aku harus berangkat sekolah sekarang." Jelasku ingin mengakhiri pembahasan ini. Sebenarnya aku ingin bertanya lebih padanya tentang alasan yang sebenarnya tentang luka di keningnya. Aku tahu dia berbohong saat tadi dia bilang kalau dia terjatuh. Aku juga ingin menanyakan untuk apa yang membuatnya ada di sini pagi ini yang mungkin saja dia ada di sini sejak tadi malam. Tapi, aku tahu pertanyaanku akan sia-sia karena sudah pasti dia akan mengabaikan pertanyaanku.
"Kita bolos aja hari ini, gimana?"
Mataku terbelalak lebar. "Apa kamu bilang?" Tanyaku untuk lebih meyakinkan pendengaranku.
"Kita bolos sekolah hari ini. Aku yang akan mengurus semuanya nanti."
"Apa semua itu begitu mudah untuk kamu melakukannya?" Aku berdesis. "Mengurusnya?"
Galuh menaikan sebelah alisnya. "Kamu akan takjub dengan apa aja yang bisa aku lakukan." Tegasnya dengan sombong.
Aku memutar kedua bola mataku. "Tetap aja aku nggak bisa seenaknya bolos sekolah kayak gitu. Segala yang aku lakukan ada perhitungannya. Aku bukan anak orang kaya seperti kamu." Jelasku kesal padanya yang selalu memudahkan segala sesuatu.
Galuh menyandarkan belakang punggungnya di jok mobilnya. Kepalanya menengadah ke atas, dia memijit matanya yang terpejam sebentar. Dia terlihat sangat lelah, aku bisa merasakan ada sesuatu yang dia sembunyikan dalam dirinya. Entah itu apa, tapi aku tahu orang ini sedang tidak baik-baik saja.
"Kita mau kemana?"
Galuh menoleh melihatku dengan tersenyum menang. Aku pikir, aku baru saja menyesali kalimat yang tanpa aku sadari terlontar keluar dari mulutku begitu saja.
Galuh membawa Yuri ke vilanya yang berada di puncak Bogor. Vila besar itu benar-benar kepunyaan Galuh atas namanya yang dihadiahkan oleh Kakeknya saat Galuh merayakan ulang tahunnya yang ke 17.
Yuri sudah tertidur dari semenjak di tengah perjalanan tadi. Galuh meletakan telapak tangannya di dahi Yuri untuk memeriksa suhu tubuh Yuri. Yuri memang sakit, bibirnya sedikit kering dan bergetar dan suhu badannya semakin panas. Dia berkeringat dingin.
Tidak ingin membangunkan Yuri, Galuh membopong Yuri dengan hati-hati agar Yuri tidak terbangun. Galuh langsung membawa Yuri ke salah satu kamar di vila yang menjadi kamar utama.
Galuh dengan perlahan menurunkan Yuri dan menidurkannya di tempat tidur. Galuh menutupi tubuh Yuri dengan selimut kemudian dia langsung keluar dari kamar untuk mencari orang yang menjaga vila-nya.
"Aden kok datang tidak ngasih tahu terlebih dahulu." Seorang Bapak yang sudah berusia lanjut menyapa Galuh dengan sopan disertai logat sundanya yang begitu terasa.
"Bisa tolong carikan obat untuk demam, Mang?" Pinta Galuh langsung. "Dan tolong buatkan makan siang, jangan lupa masak sup juga."
"Aden sakit?" Tanya si Bapak sedikit cemas.
Galuh menggeleng pelan dan tersenyum kecil. "Bukan saya Mang yang sakit, tapi teman saya." Galuh menunjuk dengan menoleh ke arah kamar Yuri tidur. "Tolong cepat ya, Mang."
"Iya, Aden.. Apa ada yang Aden butuhkan lagi?"
"Sudah Mang, itu saja." Galuh tersenyum lagi dan langsung menuju dapur vila-nya.
Galuh menyiapkan air hangat di mangkuk plastik, kemudian Galuh membawanya ke dalam kamar Yuri berada.
Galuh mencari sesuatu di lemari pakaian dalam kamar itu yang bisa digunakan untuk mengompres. Setelah menemukan apa yang dia cari, Galuh segera mengompres dahi Yuri dengan air hangat dan mengusap keringat dari leher Yuri.
Galuh kemudian berpikir, kalau Yuri tidak akan nyaman dengan memakai seragam sekolahnya yang sudah basah karena keringat dingin Yuri. Galuh memutuskan untuk menggantikan paling tidak kemeja sekolah Yuri dengan baju yang lebih nyaman dan hangat.
Tanpa ragu, Galuh mulai membuka kancing kemeja Yuri. Yuri mengenakan kaos dalam berwarna putih yang sudah kusam. Galuh mulai menyadari ada sesuatu yang aneh pada Yuri saat dia sudah melepaskan semua kancing kemeja seragam Yuri.
Galuh mulai memperhatikan Yuri dari wajahnya yang putih dan kecil, hidungnya tidak terlalu mancung tapi sangat pas untuk wajah kecilnya, bibir Yuri yang bulat dan tipis berwarna pink sedikit pucat. Yuri benar-benar sangat manis.
Galuh menautkan alisnya saat dia menyadari kalau Yuri tidak memiliki jakun layaknya seorang laki-laki. "Gila!" Galuh memukul kepalanya sendiri saat memikirkan dirinya ingin sekali mencium leher Yuri.
Dan entah bagaimana mata Galuh kini menuju ke dada Yuri. Di balik kaos dalam Yuri, ada sesuatu yang kecil dan menonjol di sana. Ini sedikit aneh. Dengan tubuh kurus Yuri, sesuatu yang menonjol itu terlihat mengganjal.
Galuh menelan ludahnya. Tidak ingin membuat Yuri menjadi tidak nyaman nantinya, Galuh memutuskan untuk mengancingkan kembali kancing kemeja sekolah Yuri.
Kini pikirannya sedikit terganggu dengan itu. Apa ada yang dia tidak ketahui selama ini tentang Yuri? Apa jangan-jangan Yuri seorang perempuan?
Galuh menggelengkan kepalanya merasa sangat konyol atas pemikirannya itu. Mana mungkin Yuri seorang perempuan, kalau Yuri seorang perempuan, sudah pasti Galuh bisa melihat Yuri mengenakan sesuatu di dadanya. Apa perlu Galuh memeriksa apa yang ada di balik celana dalamnya?
Baiklah, itu sudah berlebihan walaupun beberapa detik lalu mata Galuh tertuju ke sana. Apa salahnya kalau laki-laki memiliki dada yang sedikit menonjol? Dan tentang jakun Yuri, itu hanya karena tubuh Yuri yang kecil sehingga jakunnya tidak terlihat. Bukankah ada beberapa laki-laki yang memang seperti itu?
Galuh membuang nafasnya berat dan juga membuang segala pikiran anehnya itu dari kepalanya. Galuh memeriksa kompresan di dahi Yuri, merapihkan kembali kemeja Yuri dan menyelimuti Yuri sampai batas lehernya.
Setelah memastikan panas Yuri sudah turun, Galuh meninggalkan Yuri yang masih tidur di vilanya.
Galuh menitipkan pesan pada penjaga vila untuk Yuri sebelum dia berjalan ke kebun teh yang tidak jauh berada di belakang vilanya.
-
-
Yuri sedikit kebingungan saat dia bangun dari tidurnya. Demamnya sudah turun. Yuri mengambil sesuatu di keningnya. Dia mengerjap, berpikir apakah Galuh yang melakukan ini untuknya?
Yuri mengitari kamar, mencari sosok Galuh dan memastikan dimana Galuh membawanya. Yuri memegang kepalanya yang masih sedikit terasa pusing. Yuri kemudian beranjak bangun dari tempat tidur dan menemukan baju yang terlihat seperti switter terlipat di atas meja kecil dekat tempat tidur. Ada kertas yang tergeletak di sana yang menuliskan kalau Yuri disuruh mengganti kemeja sekolahnya dengan switter itu.
Setelah mengganti bajunya, Yuri keluar dari kamar. Yuri mengitari ruang vila dengan menoleh kanan dan kiri, berharap menemukan Galuh untuk bisa menjelaskan semuanya kepada dia.
"Aden Yuri sudah bangun?"
Yuri sedikit kaget melihat seorang bapak yang tiba-tiba muncul di sampingnya. "Maaf, bapak siapa?" Tanya Yuri sopan.
"Panggil saya Mang Asep, Den.., saya yang jaga vila ini."
"Vila?" Yuri menaikan sebelah alisnya belum mengerti.
"Iya Den, ini Vilanya Aden Galuh.."
"Vila?" Yuri mencoba berpikir sebentar. "Apa bukan di Jakarta?"
"Bukan atuh Den Yuri.., ini kan di puncak Bogor atuh.."
"Pucak Bogor?" Mata membelalak lebar. "Jam berapa ini Mang?" Tanya Yuri cemas menyadari Galuh sudah membawanya pergi jauh.
"Ini jam tiga seperempat, Den." Mang Asep memberitahu dengan menunjuk ke arah jam dinding dengan jempolnya.
Yuri menggigit bibirnya, cemas. Dia sudah terlambat untuk berangkat bekerja. "Galuhnya dimana yah Mang?" Tanya Yuri kemudian dengan lemas.
"Den Galuh tadi pesan, kalau Den Yuri bangun disuruh minum obat terlebih dahulu dan makan. Mang Asep akan siapkan supnya untuk Den Yuri."
"Gak usah Mang, terimakasih. Saya cuma mau ketemu Galuh sekarang." Jelas Yuri cemas. Dia harus segera menemukan Galuh dan memintanya untuk segera pulang.
"Den Galuh tadi bilangnya mau ke kebun teh yang ada di belakang Vila, Den."
"Bisa tolong tunjukin saya jalan ke sana Mang?"
-
-
Yuri melewati jalan kecil di tengah perkebuan teh. Niatnya untuk mencari Galuh sedikit terlupakan karena pemandangan perkebunan teh di sore hari itu sudah menghipnotisnya dengan udara yang menyegarkan membuatnya begitu menikmati keberadaanya di sana.
Warna hijau mendominasi menyejukan mata. Senyum dari wajah Yuri terus terulas begitu saja, tangannya sedikit di rentangkan untuk menyentuh daun-daun teh di sisi kanan dan kirinya.
Yuri menghentikan langkahnya saat melihat satu-satunya pohon yang terlihat di dekatnya. Ada seseorang yang sedang duduk di bawah pohon itu. Yuri berjalan mendekat saat dia yakin orang yang dilihatnya adalah Galuh.
Galuh memejamkan matanya. Sepertinya dia sedang tertidur. Galuh menekuk satu kakinya, dan satu kakinya lagi dibiarkannya menyelonjor. Kedua tangan Galuh terlipat di dadanya.
Yuri duduk berjongkok di samping Galuh, menghadapnya. Melihat wajah Galuh yang seperti ini sungguh mendamaikan hatinya. Yuri tidak tega membangunkan Galuh yang terlihat sangat lelap dalam tidurnya.
Bibirnya tertutup rapat, nafasnya sangat teratur berhembus dari hidungnya yang tinggi. Alis tebalnya dengan wajah yang tegas, membuat Galuh terlihat berkali-kali lipat mempesona dari biasanya untuk Yuri.
Yuri melipat tangannya di atas lututnya, dia menyandarkan kepalanya di atas tangannya dengan menghadap ke samping memperhatikan wajah Galuh. Tanpa Yuri sadari, dia tersenyum sendiri dengan mata yang sesekali mengerjap terus memandangi wajah Galuh.
"Apa aku sudah jatuh cinta?" Gumam Yuri sendiri tanpa melepas pandangannya dari Galuh yang sudah menghipnotisnya.
Yuri membuka mulutnya lebar, dia jatuh terduduk karena terkejut saat Galuh tersenyum dengan menaikan ujung bibirnya masih dengan mata yang terpejam. "Kamu sudah jatuh cinta sama aku?" Galuh membuka matanya.
Mata Yuri membulat lebar. Dia terbelalak dengan mulut yang terbuka, tergagap, nyaris saja jantungnya terlompat keluar dari dadanya. Kedua tangan Yuri menahan tanah agar dia tidak sampai terjatuh pingsan.
Apa dia sudah bangun dari tadi? Atau dia sebenarnya tidak tidur? Yuri terus bertanya heran dalam hatinya. Tenggorokannya kering tidak sanggup untuk bicara. Dia bahkan lupa bagaimana caranya berkata-kata.
Galuh melebarkan senyumnya. "Serangga bisa masuk ke dalam mulut kamu, kalau kamu membuka mulutmu selebar itu." Yuri langsung mengantup mulutnya rapat. Galuh mendekati wajahnya pada Yuri. Yuri mengerjap-ngerjapkan matanya dan langsung tertunduk malu. "Apa aku benar-benar mempesona?" Yuri masih menundukan kepalanya, wajahnya tersipu malu sampai memerah. Galuh semakin mendekatkan wajahnya, "senyum kamu tadi sangat indah. Apa kamu tahu itu?" Bukankah tadi matanya terpejam? Jadi bagaimana dia bisa melihat Yuri? Yuri mengangkat kepalanya. Yuri mengerjap kaget saat hidungnya tidak disengaja langsung bersentuhan dengan hidung Galuh.
Yuri menurunkan pandangannya ke tanah, jantungnya terus berdegup-degup tidak menentu. Yuri memejamkan matanya saat dia merasa Galuh ingin menciumnya.
Galuh mengulum bibirmya menahan tawa, dia kemudian berdiri. "Ayo kita pulang." Galuh menjulurkan tangannya untuk membantu Yuri bangun.
Yuri membuka matanya, wajahnya semakin memerah saat dia sadari kalau dia baru saja sudah berpikir yang tidak-tidak. Berpikir Galuh akan menciumnya. Konyol!
Yuri menyambut tangan Galuh. Entah bagaiman Yuri saat ini hanya terdiam mengikuti Galuh yang terus menggandeng tangannya berjalan perlahan melewati kebun teh. Yuri hanya menundukan kepalanya melihat tanah menyembunyikan wajahnya yang tersipu malu.
Galuh menghentikan langkahnya dan langsung berbalik tepat di depan Yuri membuat Yuri terkejut dan menabrak Galuh. Galuh langsung menangkap Yuri dan memeluk tubuhnya. Saat ini mereka tepat berada di tengah-tengah perkebunan teh.
"Aku hampir berpikir kalau kamu benar-benar menyukai cowok lain." Gumam Galuh dengan mengusap lembut belakang kepala Yuri yang berada di dadanya.
Yuri melingkarkan kedua tangannya di pinggang Galuh. "Maaf.."
Galuh tersenyum, dia mengecup atas kepala Yuri. "Walaupun menyakitkan, aku akan tetap memeluk kamu seperti ini. Kamu juga, jangan pernah melepaskan diri dari pelukan aku meskipun ini menyakitkan." Yuri semakin menenggelamkan kepalanya di dada Galuh.
Untuk beberapa lama, mereka berdua berpelukan seperti itu tanpa saling bicara lagi. Tidak memikirkan hal lain di luar saja, tentang apa saja yang bisa terjadi saat mereka meninggalkan tempat ini dan kembali ke Jakarta dimana kenyataan sudah menanti mereka.
Yang Galuh ingin saat ini, hanya memeluk Yuri seperti ini, tidak lebih. Yang Yuri ingin saat ini, hanya tetap berada dipelukan Galuh seperti ini, tidak lebih.
Galuh melepaskan pelukannya. Mereka berdua saling menatap dengan mengulas senyum. Yuri memejamkan matanya saat Galuh mengecup keningnya selama beberapa detik.
"Ayo kita pulang.."
Yuri mengangguk sekali dan tersenyum. Galuh tersenyum dan kemudian menggandeng tangan Yuri lagi. Jari-jari tangan mereka saling bersilang menyatukan. Galuh membawa tangan Yuri yang digenggamnya ke dalam saku switternya.
Mereka terus berjalan seperti itu sampai menuju ke vila.
Dan bersabar akan kisah selanjutnya.
Met berjaya selalu buat tsnya
@Akang_Cunihin so sweet yah:)
@amir_tagung makasih udah sabar