It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@ori455 @shandy76 @melkikusuma1 siip ditunggu y...
@Ninia nggk bkln lama kok updateny
@OkiMansoor siip mksih udah membaca.
@JimaeVian_Fujo smga nggk
@Lovelyozan aamiin...
mksih bang ...
@ori455 @shandy76 @melkikusuma1 siip ditunggu y...
@Ninia nggk bkln lama kok updateny
@OkiMansoor siip mksih udah membaca.
@JimaeVian_Fujo smga nggk
@Lovelyozan aamiin...
mksih bang ...
@Daser @freeefujoushi @Sho_Lee @mustajab3 @JoonHee @lulu_75 @JimaeVian_Fujo @PCYXO15 @Tsunami @ricky_zega @Agova @jimmy_tosca @rama_andikaa @LostFaro @new92 @Otsutsuki97S @billyalatas18 @delvaro80 @ramadhani_rizky @Valle_Nia @diccyyyy @abong @boygiga @yuliantoku @ardi_yusman @fian_gundah @Lovelyozan @Rabbit_1397 @Tsunami @Adiie @sn_nickname @Gabriel_Valiant @happyday @Inyud @akhdj @DoojoonDoo @agran @rubi_wijaya @putrafebri25 @Diansah_yanto @Kim_Hae_Woo679 @Vanilla_IceCream @shandy76 @bram @black_skies @akina_kenji @abbyy @abyyriza @05nov1991 @1ar7ar @kaha @blasteran @BN @dian_des @Pyromaniac_pcy @melkikusuma1 @asik_asikJos @jj.yuan @opatampan @The_jack19 @ori455 @lukisan_puisi @usernameku @dadanello @boncengek3 @earthymooned @gaybekasi168 @jimmy_tosca @handikautama @OkiMansoor @Ninia @ananda1
Part 24
Gue berjalan sambil menyibakan semak-semak dan menyeret Askar penuh nafsu. Askar tetap mengikuti gue walau dia gue bawa kesemak-semak. "Kita mau kemana sih?" Terdengar suara Askar bertanya ke gue.
"Ikut aja." Jawab gue tanpa menoleh ke belakang. "Nggak bisa ikut gitu aja dong, gue harus tau kita kemana. Kalau gue diapa-apain ntar gimana?"
"Siapa yang mau ngapa-ngain lo?" Gue berhenti dan memandangnya yang telah bertampang mesum yang sukses bikin gue jengah setengah mampus.
"Lo." Jawabnya tanpa dosa. "Please deh..., dewasa dikit napa. Gue nggak bakalan apa-apain lo kali." Ujar gue sambil menoyor kepalanya yang udah kotor. "Makanya otak lo itu sering di bersihin."
"Eh ngapain lo noyor-noyor kepala gue, ntar gue bego gimana? Lagian otak gue nggak kotor kok." Jawabnya sarkas sambil mengelus-elus kepalanya. "Bisa jadi lo mau memperkosa gue karena nggak tahan sama tubuh gue laksana patung Yunani yang nggak bisa lo jamah semalam. Iya kan?" Tuduhnya ke gue.
Gue memutar bola mata, melepaskan genggaman gue dari tangannya dan melangkah meninggalkannya di tengah semak-semak. Kadang gue merasa jengah bercampur dengan tuduhan-tuduhan absursnya itu. Tidak masuk diakal dan kekanak-kanakan.
"Hey tunggu gue!!" Si otak kotor mengejar gue dari belakang. "Tapi lo takut gue perkosa? Ngapain juga lo ngejar gue." Jawb gue sengit sambil mempercepat langkah gue. Karena tubuhnya yang lebih tinggi dari gue, dia dengan mudah mengimbangi langkah gue. Gue bisa mendengar kekehannya dan tiba-tiba tangannya sukses menggandeng tangan gue, tanpa adanya perlawanan dari gue. "Gue tau lo nggak bakalan apa-apain gue." Dia mencolek dagu gue dan megedipi gue. Huh..., Dasar bipolar.
Setelah sekian lama keluar masuk semak-semak, kita (gue dan Askar) sampai di sebuah lapangan yang berada di tepi sungai. Sungai tersebut membelah kota gue menjadi dua bagian. Sebenarnya lapangan tersebut tidak jauh dari rumah Dwi -yang berarti tidak jauh dari jalan besar-, hanya saja dibatasi oleh semak-semak tinggi menjulang laksana menara Petronas yang membuat lapangan kecil ini hanya diketahui oleh anak-anak sekitaran kompleks ini, plus gue sama Aldi, dan sekarang Askar juga.
Di tepi lapangan, tumbuhlah sebuah pohon besar dengan cabang yang cukup banyak. Diantara cabang itu terdapat rumah pohon yang sudah nampak tidak terawat lagi.
Guepun berjalan kearah pohon besar itu dan mengambil ancang-ancang untuk memanjat. "Lo bisa manjatkan?" Tanya gue ke Askar yang dijawab dengan kekehan khasnya. "Lo nantang gue manjat pohon?" Tanyanya balik sambil memanjat pohon. "Lo nanya gue bisa manjat pohon, lo aja bisa gue panjat." Ujarnya yang bikin gue mendelik ke arahnya. Apa otaknya isinya selangkangan mulu ya? Setiap ngomong ke gue, pasti berbau seks mulu. Sialan, dasar cowok libido tinggi nih orang.
Guepun terus memanjat pohon tanpa mempedulikan ocehan mesum Askar yang bikin gue jengah. Biarlah Askar tetap mengoceh, sedangkangue tetap memanjat pohon.
Sesampai diatas rumah pohon itu, gue mengedarkan pandangan gue ke sekeliling. Nampak bangunannya sudah tidak terawat lagi, walau tidak kotor dan tampak bersih. Aldi duduk di dekat jendela rumah pohon, sedangkan Dwi sibuk dengan handphonenya bersandar ke dinding bersebrangan dengan posisi Aldi.
"Thanks udah datang." Ucap Aldi sambil menatap gue dingin seperti ingin hendak menghabisi hidup gue saat itu juga. Gue hanya mengangguk mengiyakan sambil mengambil posisi duduk di dekat Aldi yang membuang pandangannya kearah sungai. Sedangkan Askar duduk di seberang di samping Dwi yang nampak sibuk (mungkin) dengan CoCnya.
Gue turut memandang sungai seperti apa yang Aldi pandang. Sejenak suasana diam, mungkin ada malaikat lewat. Entahlah, gue tidak tahu. Gue memilih untuk diam sekarang, sebab gue nggak tau harus mulai dari apa dan apa tujuannya Aldi gue meminta gue datang ke sini.
Gue menoleh kearah Dwi yang nampak acuh karena sangat fokus dengan game di smartphonenya itu. Sedangkan Askar hanya memandang gue tanpa ekspresi, gue mengkodenya dan dia hanya mengangkat bahunya tanpa memberi gue solusi berarti.
Sialan bener. Kalo kayak gini, sampe lebaran babi nggak bakalan mulai nih pertemuan. Gue mengambil inisiatif untuk pura-pura berdehem dan deheman gue sukses membuat Aldi menoleh kepada gue dengan muka porselennya. Dingin, licin dan tidak bisa gue prediksi + tatapannya yang tajam setajam katana. Dia mengambil nafas dalam dan menghembuskannya. Dia mengalihkan pandangannya kembali ke sungai, dia tanpak menerawang.
"Dulu, semasa TK, gue sangat iri dengan anak tetangga gue yang lahir kembar." Aldi memulai percakapan. "Makan berdua, main berdua, pergi sekolah berdua, tidur berdua, malah boker juga berdua, intinya segala-galanya berdua. Berbeda dengan gue, yang semua selalu serba sendiri, makan sendiri, main sendiri, tidur sendiri, semua serba sendiri. Sehingga gue selalu mengangis ke Bunda, kenapa gue tidak seperti anak tetangga gue yang dilahirkan kembar, sehingga gue nggak kesepian seperti ini. Gue benci sendiri, gue butuh seorang teman, saudara, yang bisa menyayangi gue dan bisa gue sayangi."
"Hari itu hari sabtu, takala gue dan Bunda pergi ke sebuah acara pesta pernikahan salah seorang teman Bunda. Gue duduk di sebuah kursi sambil memandangi Bunda yang sibuk dengan temannya. Ntah apa yang ada didalam pikiran gue, sehingga gue mengedarkan pandangan gue kesekeliling, dan mata gue bertemu dengan mata seorang anak seusia gue. Awalnya gue menyangka dia adalah seorang cewek, tapi setelah gue perhatikan dia adalah seorang cowok sama seperti gue. Dia memakai baju bewarna merah mencolok dengan dasi kupu-kupu dan celana pendek selutut. Didalam hati gue mengejeknya waktu itu, 'masa anak laki-laki memakai baju bewarna merah sih'. Dia menggandeng tangan seorang wanita dengan baju senada yang mungkin itu adalah ibunya. Mereka datang kearah Bunda, dan ibu dari anak berbaju merah tadi menyapa Bunda, nampaknya mereka sudah kenal lama sebelumnya. Terbukti mereka sangat akrab sekali."
"Setelah sekian lama, Bundapun memanggil gue. Bunda memperkenalkan gue ke ibu anak tadi yang mencubiti pipi gue kegemasan. Begitupun sang ibu anak itu juga memperkenalkannya ke gue dan Bunda."
"Anak itu lucu, matanya bulat dengan hidung sedang dan bibir tipis. Bulu matanya yang panjang dan lentik. Mukanya juga sangat bersahabat dan menggemaskan, sehingga sangat pantas gue mengira dia cewek sebelumnya. Dia mengajak gue bermain, awalnya gue gengsi bermain karena bajunya itu, tapi dia tetap terus memaksa gue, mendesak gue untuk bermain, sehingga akhirnya gue menyerah, dan guepun bermain dengan anak itu."
"Dia sangan pintar dan cerdas, kita bermain sepanjang pesta berlangsung, saling tertawa dan gue lupa dengan gengsi gue tadi, sehingga gue begitu menikmati waktu bermain bersamanya. Sehingga pesta selesai dan Bundapun mengajak gue pulang."
Aldi meneguk ludah sejenak, menoleh kearah gue dan sorot matanya yang dalam seakan langsung dapat menembus diri gue. Gue seperti dapat merasakan apa yang dia rasakan sekarang.
"Pertama kalinya gue tidak merasakan kesepian waktu itu, gue seperti merasakan apa yang dirasakan oleh si kembar terangga gue. Saat itu gue merasa kehilangan dan berharap bisa bertemu dengannya lagi."
Aldi kembali menatap aliran sungai tanpa mempedulikan gue, Askar dan Dwi yang memandang kearahnya.
"Setahun kemudian, Bunda memasukan gue ke SD negeri terfaforit di sekolah gue. Gue yang tidak pandai bersosialisasi tidak mendapatkan teman seorangpun. Separuh semester gue hanya duduk dikelas, memakan bekal dan membaca buku yang bisa gue baca pas istirahat. Berbeda dengan teman-teman gue yang lain, yang bermain di luar, tanpa pernah mengajak gue bermain."
"Hari itu adalah hari sabtu saat istirahat, gue pergi ke wc untuk kencing. Sesampainya di toilet, gue melihat seorang anak yang dibully oleh tiga orang temannya di ujung toilet. Ntah kenapa gue sangat marah saat itu. Gue langsung berlari kearah mereka dan menghajar ketiga anak pembully tadi, sehingga mereka meninggalkan anak yang dibully. Gue membantunya berdiri, dia bajunya kotor dan dia nampak berantakan. Kalian tahu, rupanya dia adalah cowok berbaju merah saat pesta setahun yang lalu. Dia menangis, dan gue lalu memeluknya seperti apa yang dilakukan si kembar disaat salah satunya menangis."
"Semenjak peristiwa itu, dia selalu datang ke kelas gue, mengajak gue bermain dan melakukan aktifitas bersama. Dia berjanji akan menjaga gue dan akan selalu ada untuk gue. Dia bahkan memproklamirkan dirinya sebagai saudara gue. Begitupun gue juga berjanji akan menjaganya seperti saudara gue sendiri." Ujarnya bersungguh-sungguh membuat gue lupa sejak kapan mata gue telah basah oleh air mata.
Aldi menghampiri gue, menatap mata gue lekat lekat sambil memegang kedua tangan gue. "Gue berusaha melindunginya dari apapun. Gue takut dia akan terluka, gue takut dia akan sedih dan gue takut dia akan kehilangan keceriaannya."
"Gue tidak mau dia salah jalan, gue berusaha melindunginya seperti gue melindungi saudara gue sendiri dengan melarangnya untuk menyukai seseorang. Gue takut dia tidak normal, membuatnya menderita, dipermainkan oleh cowok pycho dan terjerumus dalam lembah maksiat."
Air mata Conan gue tidak terbendung lagi. Dia langsung menubruk gue dan memeluk gue erat. Tangisnya pecah, dia seperti anak kecil yang meraung-raung sejadi-jadinya. "Maafin gue Ian, gue berusaha melindungi lo, gue berusaha buat lo normal. Gue takut karena orientasi lo, lo akan malu, menderita. Tapi sikap guelah yang membuat lo menderita. Gue yang egois, kekanak-kanakan bikin lo dilema dan menderita. Maafin gue... "
"Maafin gue Ian..." Aldi melepas pelukannya dan menatap gue penuh pengharapan yang gue jawab dengan anggukan penuh haru, disertai tangisan kebahagiaan gue sambil memeluknya erat-erat.
Dan tiba-tiba seorang Dwi langsung berhambur dan memeluk kami berdua dengan air mata yang berserakan di pipinya.
"Gue bisa merasakan cinta lo berdua kemarin malam dan entah kenapa, sekarang gue yakin kalo Askar bisa menjaga lo dan membuat lo bahagia."
Aldi melepaskan pelukan kita bertiga, mengusap pipi gue dengan jempolnya dan menghampiri Askar, memandangnya lekat dan tiba-tiba memeluknya hangat. "Gue yakin lo bisa menjaga dan membahagiakan Adrian dan ... maaf gue udah jahat ama lo, gue udah egois sama kalian berdua." Aldi melepaskan pelukannya seraya melirik gue. Senyum gue mengembang dan gue merasakan kedamaian sehingga membuat gue nyaman banget.
"Gue juga minta maaf karena udah mencelakakan lo beberapa hari yang lalu. Dan gue janji akan menjaga dan membahagiakan Adrian sepenuh jiwa raga gue."
Aldi tersenyum dan menepuk bahu Askar. "Gue tau itu. Tapi kalau lo nyakitin Adrian, gue nggak akan segan-segan misahin lo berdua." Kata Aldi mantap.
"Al, tadi lo cuma nyeka pipinya Adrian doang, gue nggak lo seka?" Celetuk Dwi sambil menunjuk pipinya yang sudah banjir bandang air mata.
Dan kami bertigapun tertawa.
---
"Hmmph... hmph..."
"Enak banget Rian..."
"Enak ya Kar?"
"Enak banget Rian, asli mah. Hmmph... btw emutan lo hebat bener sampai habis gitu."
"Hehe Adrian gitu lo. Ngemut ginian mah biasa."
"Lo sih Dwi..."
"Kenapa gue Aldi? Apa salah gue?"
"Lo itu beli es krim cuman satu doang. Tuh si Askar keenakan makan es krimnya dan lo tau kalo Adrian nggak cukup sama setangkai es krim doang." Ujar Aldi sambil nyerahin es krimya ke gue. "Nih! Gue udah kenyang." Dengan semangat 45 gue langsung mengambil dan menjilat es krim tersebut sambil sesekali mengemut sambil merem melek. "Thanks bro..." ucap gue disela-sela menjilat eskrim. Dan senyuman Aldi yang bisa menggoyahkan iman cewek tersebut langsubg menghiasi mukanya yang tampan.
"Eh Al, nih rumah pohon siapa yang buat sih? Gue penasaran deh." Tanya Askar yang memandang rumah pohon sambil tetap fokus mengemut eskrim.
"Oh itu kita (gue, Aldi dan Dwi) yang buat saat kita kelas VIII. Dulu ini adalah markas kami kalo ada masalah ato lagi ngerjain tugas. Sebab tempatnya nyaman, jarang diketahui orang dan ditepi sungai juga."
Askar masih tetap setia dengan emutannya "hmpph... jha...dii lo udah tem...naaan sama Dwi semenjak S...MP? Hmph ..." . Anjir emutan dan desahannya itu bikin adek gue berontak.
"Iya, kita sekelas semenjak kelas VII sampai sekarang. Dan Dwi juga yang mengusulkan markas kita disini." Jawab Aldi sambil memandang Dwi yang dibalas jempol oleh Dwi.
"Hmmm... gitu ... hmph... enak banget."
Dan sukses desahan Askar itu membuat gue harus menyingkir ke tepi sungai untuk menenangkan diri. Meliat matanya yang merem melek, mendesah-desah saat makan eskrim membuat gue horni berat. Gue memposisikan diri tepat di tepi sungai sambil sesekali melemparkan kerikil ke sungai.
"Lo kenapa menjauh?" Tanya Askar sambil duduk disamping kiri gue. "Lo nggak horni kan liat gie ngemut es tadi?" Bisiknya di telinga gue yang membuat badan gue merinding. Gue menggeser duduk gue menjauhi Askar "Apaan sih.", sambil mempelototi dia.
What the hell...
Dan Askarpun menggeser posisinya mendekati gue, memegang pinggang gue dan menyandarkan kepalanya di bahu gue. "Gue cinta ama lo Adrian."
"Gue tau itu." Tangan gue sudah begerilya mengelus rambutnya yang hitam itu. "Gue merasa beban gue terasa hilang begitu aja."
Askar tersenyum, "Begitupun dengan gue, beb." dan bibirnya telah mendarat di pipi gue.
"Beb?"
Dia menaikan sebelah alisnya. "Panggilan sayang gue buat lo." Dan diapun mengecup bibir gue sekilas. "Gue cinta ama lo."
"Gue juga cinta ama lo Askar."
"Berarti kita udah pacaran dong?"
--- tbc
R~
Hayhay Aurora kembali. Maaf udah menunggu lama n baru bisa update hari ini. Gue bukannya mau nelantarin nih cerita, tapi krna ad bbrpa hal yg terhadi sama gue. Yaa selain uts gue yg molor dari jadwal, gue jga ad sdkit masalah pribadi (tau aj deh masalahnya ttng ap. ) yang membuat mood gue berantakan abis beberapa minggu ini, sehingga berbanding lurus dengan mood menulis gue. Tapi gue usahain buat bisa update lebih cepat untuk k depannya. Mohon doanya...
Gue juga mohon vote n komentar tmn2 pembaca smua tntng cerita ini, apalagi di part ini yang nggk nendang. Ntahlah. Krna dri vote n komentar tmn2 lah yg memotivasi gue utuk semangat membuat lanjutan cerita ini.
Thanks udah membaca n sunt.
R~
gk sabar next up nya,,,
tapi tadi aku sempat bingung nih bacanya coz dialog antara mereka itu gabung...kirain masih askar yang ngomong, ternyata bersambung aja jadi adrian ngomong...ato setelah aldi, langsung bersambung aja jadi adrian yang ngomong, *dalam satu paragraf*
semoga next time dialog antar tokohnya di pisah, biar ga bikin bingung...
@akina_kenji yups tepat sekali bang... smua tntu punya alasan u/ melakukan sesuatu, dan itu alasan dari Aldi.
terimakasih sarannya bang..., aku akan usahain lbih rapi lagi.
#comentchefdegan
jadi lupa dah cerita sbelum nye.