It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Cewek Arsha?
Teman cewek Arsha?
Gebetan Arsha?
Kekasih Arsha?
Siapa?
Aku membuat daftar imajiner di kepalaku mengenai siapa kira - kira 'tokoh cewek' itu. Rasa penasaranku tak bisa ku sembunyikan saat Arsha menghampiriku. Lengannya merangkul pundakku dan menggiringku ke kantin, lalu duduk dan saling berhadapan.
"Arsha.."kataku terputus karna Arsha langsung pergi begitu saja. Memesan makanan rupanya. Dia kembali duduk dan menaikkan alisnya padaku.
"Apa?"tanyanya.
"Kenapa kemarin kamu menutup telponnya begitu saja?"tanyaku. Dia menatapku lalu tertawa.
"Sori, Fa. Gratisanku udah habis. Makanya nggak bisa lanjutin nelpon"
"Dasar kamu, Sha"hardikku dan Arsha tertawa. Makanan kami datang. Aku segera menyendok makananku.
"Kamu juga belum cerita soal cewek kamu itu"kataku kecut. Arsha terdiam sejenak.
"Cerita apa? Nggak ada yang perlu di ceritain, kok. Dia cuma teman, kok"sahutnya sambil menyuapkan sesuap nasi ke mulutnya.
"Tapi instingku bilang ada something antara kamu dan cewek itu"kataku padanya. Dia menatapku seolah aku sedang melawak.
"Kamu lucu deh, Fa"dia meninum es jeruknya. "yah, kita memang agak dekat belakangan ini"katanya menerawang. Aku menopang dagu.
"Agak?"ulangku dan dia mengangguk. "Kapan kalian saling dekat?"tanyaku berusaha keras agar tak terdengar getir.
"Dua minggu? Aku lupa"jawabnya dan tanpa sadar aku berdecak. Arsha menatapku dan sesuatu di dalam hatiku berontak ingin keluar. Berteriak pada Arsha. Tanganku meremas meja menahan kesal. Aku tergelak sendiri. Aku menatap wajah Arsha lucu. Lihat, bagaimana cowok itu mencoba membuatku mual dengan bualannya itu.
Diam - diam aku merasa dikhianati!
"Lumayan juga, ya?"sahutku lemah. "Hmm... apa dia gadis yang cantik?"tanyaku lagi. Arsha tersenyum.
"Cantik"sahutnya singkat. Aku meminum es tehku cepat.
"Siapa namanya? Kayaknya.. hmm.. kalian bakal.. kelihatan cocok"kataku lemah. Aku tak bisa menahan kegetiran di dalam nada suaraku sendiri.
Memangnya ada yang senang kalo orang yang dia suka dekat dengan orang lain?
Arsha menatap mataku. Tangannya menepuk tangan kananku.
"Mukamu serius banget, sih?! Aku cuma bercanda aja"katanya sambil tergelak. Aku diam. Dia tersenyum lebar.
"Kamu itu terlalu serius, Fa. Jangan semua kamu bawa tegang. Sekali - kali santai, lah. Ngerti, kan?"katanya menyunggingkan senyum. Aku memasang wajah cemberut. Dalam hati aku lega.
"Tapi selera humormu itu aneh tau, Sha. Masa dekat sama cewek kamu pikir bercanda? Nggak lucu sama sekali"ketusku. Dia terkekeh.
"Itu yang aku bilang tadi. Kamu itu terlalu serius. Apa - apa kamu pikir pakai logika. Pakai perhitungan"
"Sama sekali nggak lucu, Sha. Lah, jadi kamu mau aku buang semua logikaku, gitu? Bisa dikira gila aku, Sha!"hardikku dan Arsha tertawa.
"Tuh, kan enak dengarnya kalo kamu ketawa. Daripada kamu ribet mikirin siapa cewek imajiner itu"katanya lagi dan aku mengangguk.
Ya, Arsha benar. Di luar selera humornya yang aneh, aku memang orang yang agak serius. Aku mendongak saat handphone Arsha berdering. Dari deringnya yang panjang bisa ku tebak ada telpon masuk. Dua detik kemudian handphoneku juga berdering. Arsha menatapku lucu.
"Kok bisa samaaan, ya?"katanya. Aku mengedikkan bahu. Tersenyum lucu.
"Jadi?"tanyaku lagi saat handphoneku dan Arsha tetap berdering. Aku melihat nama Randy di handphoneku. Sementara aku nggak tahu nama siapa yang ada di handphone Arsha.
Seseorang dengan tujuan yang nggak aku tahu menelpon Arsha. Dan seseorang dengan tujuan yang nggak Arsha tahu menelponku. Aku memandang Arsha lagi.
"Ayo, dijawab. Tapi jangan sampai ada yang cemburu, ya?"gelaknya bercanda.
Aku tahu dia sedang menyindirku.
Silahkan di komen, beri saran, like dan kritik kalian ya buat cerita abal - abal ini kedepannya :v
And buat o komo...please say, panjangin lgi dunkkk..
Hadeuuuuh... Pendek amat bang update nya.. Hahaha
Sepertinya Arsha itu orang yg misterius.. Haha,, ga bisa d tebak..
Ok d tunggu lanjutannya...
@Lovelyozan Alfa: makasi say nasehatnya. Ntar aku kasih tau si komo buat bikin yg lebih panjang :v
@Daser hehehe, di maklumin aja klo kependekan. Sengaja kok sifat aslinya Arsha di misteriuskan :v
@melkikusuma1 hmmm, di tahan aja dulu pertanyaannya. Liat next part aja :v
@kikyo makasi udh sempetin membaca :v mak erot bukannya spesialis manjangin kont*l? Coba deh komo bawa ke mak erot biar di panjangin nih cerita :v hehehe
@black_skies huhuhu, nanti komo panjangin untuk memuaskanmu say :v
@lulu_75 sengaja ngapain to mas?
@William_Earthlings12 hahaha, monggo kalo ingin ditiru. Kalo bisa di terapin aja dalam kehidupan sehari - hari *plak :v
BAGIAN #2
Aku menatap pantulan diriku sendiri di dalam cermin. Aku mengerutkan keningku mencoba mencari sisi cool dan keren dalam busana dan penampilanku.
Aku merengut.
Aku nggak pergi dengan pakaian biasa seperti itu. Aku membuka lemariku lagi. Membongkar isinya. Aku menarik beberapa baju lagi. Lalu menarik koleksi jeans kesayanganku. Aku memilah baju itu, merentangkannya dan menatap diri di cermin lagi.
Kenapa aku mau repot - repot kayak gini? Sekali lagi dalam setengah jam yang telah berlalu aku kembali merengut dan mendengus penuh komplain. Aku sudah berulangkali mengingatkan diriku sendiri kalo ini hanya acara jalan - jalan biasa. Tapi bukan aku namanya kalo nggak bisa tenang, paranoid dan berubah menjadi menyebalkan.
Tadi siang sepulang sekolah aku sudah menelpon Randy kalo aku mau acara ini diundur. Randy bilang kalo aku sudah ada 'kemajuan' karna mau menelponnya. Bukannya aku mengerti maksudnya itu. Tapi, hei, perduli amat buat dibahas. Kami sempat terlibat perdebatan sengit. Aku ingin menunda bahkan kalo perlu meniadakan acara itu sementara Randy ngotot untuk melanjutkan acara itu. Setelah sesi Debat-Rayu-Memohon-Maksa itu selesai aku mengaku kalah dan nggak berkata apa - apa lagi.
Aku kembali ke alam nyata dimana aku memutuskan buat duduk di pinggir ranjangku. Merenungkan segalanya. Lalu saat pandanganku kosong sebuah ilham melintas begitu saja di kepalaku. Aku teringat sesuatu. Dengan rasa penasaran aku bangkit dari tempatku duduk dan menarik laci bawah lemariku yang sudah patah pegangannya.
Benda itu masih disini nggak, ya? Atau sudah aku buang, ya? Aku nyaris berteriak karna dikejutkan dengan kecoa yang terbang keluar dari laci itu. Dasar kecoa nggak sopan! Bikin kaget aja. Mataku bersinar cerah saat menemukan benda itu masih disana.
Yup, buku diary dan album fotoku.
Segera kuambil benda pusakaku itu. Aku bersandar di kaki ranjangku. Aku buka diaryku itu dan dihalaman pertama ada fotoku dan foto Randy saat masih pacaran dulu. Aku menarik foto yang terselip begitu saja disana. Warna foto itu sama sekali belum memudar. Disana tampak potret Randy yang tengah merangkul bahuku. Kelihatan begitu akrab. Kami berdua tersenyum cerah kearah kamera yang saat itu difotographeri Sonny, temanku waktu SMP.
Lalu tanganku menyibakkan halaman diaryku yang penuh tulisan cakar bebek. Aku sengaja menulisnya begitu untuk mengecoh orang yang mau baca atau nggak sengaja menemukan diaryku. Aku membacanya perlahan - lahan. Perlahan memori di dalam otakku bekerja secara otomatis memproyeksi setiap kenangan yang aku tulis disana. Semakin bertambahnya tanggal dan berubahnya bulan disana membuat dadaku berdebar mengantisipasi.
Seluruh kenanganku itu tercatat disana. Detail sekali. Lalu aku meremas erat buku itu seolah buku itu sedang menggigit tanganku. Kata pertama yang tertulis di halaman bertanggal 15 september itu,
-"Aku mau putus"
Itu yang Randy katakan padaku sepulang sekolah tadi-
Aku mengingat kejadian itu. Bahkan tanpa membacanya ulang. Kertas itu mulai menguning tapi bekas air mataku masih membekas dikertasnya.
Putus dengan Randy adalah pukulan terberat untukku. Randy itu adalah cinta, sahabat dan pacar pertamaku. Aku menyayanginya dan dia dengan caranya yang cuek dan seolah tak terusik memutuskanku begitu saja.
Kalian tahu, kan bagaimana rasanya patah hati? Rasanya Randy seperti mengkhianatiku. Kalian tahu rasanya dikhianati? Buatku dikhianati itu rasanya seperti luka berdarah yang disiram cuka.
Perih...
Selama kegalauan itu jangan kira aku nggak akan bertingkah konyol. Aku sering melakukan self denial. Aku sering menyangkal kalo aku belum putus sama Randy. Aku masih pacaran dengannya. Aku ingat Icha dan Jimmy. Dua mahluk gokil yang menemaniku dikala aku sedang down. Mereka begitu gigih mensupportku kalo aku bisa move on dari Randy. Dengan segala caranya mereka menasehatiku, menjagaku dan yang terpenting mereka mau mendengarkanku tanpa mencela, mencibir atau mengejekku.
Tapi yang paling berjasa dalam masa penggalauanku adalah Jimmy. Dia lah satu - satunya orang yang berani memukulku.
Benar - benar memukulku sampai bibirku berdarah. Dia melakukannya untuk mencegahku agar tidak lagi memohon, berharap dan mengemis cinta Randy. Dan tololnya aku bahkan mau mengajak Randy tidur denganku agar dia tahu aku mencintainya.
"Kamu kira kamu itu pelacur? Jangan gila, Fa! Mana harga dirimu kalo kamu tidur sama dia?! Tolol tau gak!"
Kata - kata Jimmy itulah yang menjadi penenang diriku. Setelah bisa move on dari Randy dan lepas dari kegalauan berkepanjanganku aku mulai menyadari sesuatu.
Sahabat itu segalanya buatku.
Terutama Jimmy.
Lalu sekarang?
Aku menutup buku diary itu. Aku taruh diary dan album foto itu kedalam laci. Aku nggak mau lagi mengingat masa lalu. Cukup sampai disitu saja kisahku sama Randy.
Ya, aku sudah memutuskan.
Aku mendengar bunyi mesin motor yang dulu begitu ku kenal memasuki halaman rumahku. Sekali tebak pun aku tahu siapa yang datang. Aku keluar dari kamarku dengan pakaian yang aku pakai tadi.
Dia disana. Tersenyum dengan senyum ramah yang dulu memabukkanku. Penampilannya begitu cool dengan jeans hitam dan kemeja biru kotak - kotak. Jaket kulitnya menambah kesan macho untuknya. Aku naik ke boncengannya. Motor itu melaju menembus jalanan. Kata - kata Arsha yang mengingatkanku untuk bersikap tenang seolah memberiku semangat.
Memangnya kenapa kalau jalan - jalan sama Randy?
Sepanjang perjalanan kami berdua cuma membisu. Diantara deru motor dan hembusan angin yang menepuk wajahku kudengar Randy bicara. Aku tidak jelas mendengarnya.
"Kenapa, Ran?"tanyaku.
"Pegangan, Fa. Kita bakal ngebut sekarang"katanya memperingatkanku. Dan benar saja, aku hampir terjungkir ke belakang karna Randy tidak main - main dengan ucapannya. Dia benar - benar ngebut dengan kecepatan gila - gilaan. Aku meremas pinggangnya kesal karna dia ngerem mendadak dan membuat wajahku terantuk di punggungnya. Bukannya kesakitan dia malah tertawa.
"Aku kan sudah bilang pegangan"katanya padaku. Aku cuma mendumel kesal dalam hati. Walaupun sudah kesal, tanganku tetap saja memeluk pinggang cowok yang pernah kusayangi itu.
Kami berhenti di depan Grand. Sebuah mall paling besar di kotaku yang letaknya di ujung barat kota. Randy menarik tanganku masuk ke dalam. Tujuan pertama kami adalah Gamezone. Melihat begitu banyaknya permainan disana membuatku gembira luar biasa. Randy hanya tertawa melihat tingkahku yang seperti anak kecil.
Kami membeli koin permainan di counter. Melihat koin - koin itu di tanganku membuatku tak sabar. Aku menarik Randy menuju HitMongkey. Permainan favorite Icha. Cara mainnya gampang. Masukkan koin. Ambil palu yang sudah disiapkan. Tekan start. Lalu pukul boneka monyet yang muncul. Jika sudah habis, maka akan muncul tiket hadiah dan bisa di tukarkan dengan hadiah yang diinginkan.
"Kamu mau nyoba, Ran?"tanyaku.
"Boleh. Seru kayaknya"katanya. Dan dia pun memasukkan koinnya. Permainan di mulai. Randy terlihat asyik memainkannya. Aku sebagai penonton juga merasa gemas.
"Itu yang dipojok!"
"Awas, monyet keluar!"
"Aaa, itu nongol!"
"Pukul lagi! Pukul!"
Aku malah jadi heboh sendiri.
"Sekali lagi"katanya. Saat monyet terakhir muncul Randy memukulnya sangat keras sehingga monyet itu jadi macet.
"Eh, kenapa, nih?"katanya panik. Aku yang melihat ekspresi panik Randy otomatis tertawa. Dia mencoba menekan - nekan boneka monyet itu, siapa tahu cuma macet doang.
"Haha..Aku nggak mau tanggung jawab lho, ya?" Ucapku disela tawaku. Randy menatapku pangling.
"Kabur, yuk"wajah Randy berubah pias dan seringai tengil terukir di wajahnya. Aku nggak bisa berhenti tertawa karnanya.
"Makanya jangan suka main pake kekerasan dong"sindirku dan dia terkekeh kecut.
"Aku mukulnya udah agak pelan, kok. Mainannya aja kali yang macet"Aku memutar bola mataku. Jelas -jelas dia memukulnya udah kayak punya dendam pribadi sama monyet itu. Tak ingin menanggapi ketidaksetujuanku Randy menarikku untuk melanjutkan permainan. Mencari permainan yang lain tepatnya.
Capek bermain, aku dan Randy memutuskan buat makan siang di kafetaria Grand. Kami sibuk ngobrol soal acara jalan - jalan kami. Aku mendengarkan dia bercerita tentang kesehariannya, begitu juga aku bercerita tentang keseharianku.
"Jadi kamu masih jomblo, nih?"tanyanya. Aku mengangguk dan es krim pesananku datang. Aku menyendok es krimku.
"Kamu sendiri gimana? Udah punya pacar?"tanyaku. Randy mengusap tengkuknya dan tersenyum canggung padaku.
"Belum ada. Nyarinya susah"sahutnya enteng. Aku menggigit sendok es krimku.
"Kamu kan cakep, Ran. Masa, nggak ada yang kecantol"
"Menurut kamu aku cakep? Nggak percaya aku"
"Cakeplah. Kalo kamu nggak cakep.."aku menimang kata - kataku"mana mau aku sama kamu"Wajahku terasa panas dan Randy intens menatapku.
"Jadi kamu suka aku karna aku cakep? Bukan karna cinta, gitu?" Pertanyaannya menjebakku. Aku memalingkan wajah, merasa makin malu.
"Kok malah ngelantur... Jadi, gimana? Sudah ada yang kecantol apa belum?"kataku mengalihkan pembicaraan.
"Kecantol sih, banyak. Tapi yang sreg di hati belum ada"Randy terkekeh
"Dasar, narsis kamu! Emang yang sreg di hati kamu itu kayak gimana?"
Randy kelihatan berfikir. Aku masih menunggu jawabannya.
"Minta, dong"katanya menunjuk es krimku.
"Nih"tanganku refleks menyendok es krim dan menyuapinya. Randy memandangku dengan pancaran matanya yang berbinar.
"Ya, kayak kamu"Randy tersenyum lembut. Sendok di tanganku hampir saja terjatuh.