It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@johannes41 @lemon_tea @fours @susucoklat @roshanhrd @denmarrio @zhe_azz @hanya_kei @kaha @leeferdian_89 @3ll0 @rayyi @sho_lee @mustajab3 @joonhee @freeefujoushi @Sho_Lee @mustajab3
@JoonHee @JimaeVian_Fujo
@PCYXO15 @Tsunami @ricky_zega @Agova
@jimmy_tosca @rama_andikaa @LostFaro
@new92 @Otsutsuki97S @billyalatas18
@delvaro80 @ramadhani_rizky @Valle_Nia
@diccyyyy @abong @boygiga @yuliantoku
@ardi_yusman @fian_gundah
@Rabbit_1397 @Adiie @sn_nickname
@happyday @Inyud @akhdj
@DoojoonDoo @agran @rubi_wijaya
@putrafebri25 @Diansah_yanto
@Kim_Hae_Woo679
@shandy76 @bram @black_skies
@abbyy @abyyriza @05nov1991 @1ar7ar
Aku pura-pura terganggu dan memutar tubuhku, lalu menyandarkan kepalaku disandaran kursi penumpang.
Sontak ia melepaskan pelukannya dan sedikit menggeser tempat duduknya.
Beberapa saat kemudian aku tertidur lagi. Hingga aku merasakan usapan tangan seseorang dipipiku.
"Alan, bangun! Kita sudah sampai." suaranya terdengar lembut. Membuatku sedikit tersenyum dan rasa kesalku mulai memudar padanya.
Aku membuka mataku, beranjak dan merapikan pakaianku.
Kami segera berjalan menuju elevator untuk turun dari stasiun.
Keheningan itu pun mulai merambat sekali lagi.
Tak ada percakapan selama dijalan, hanya bicara seperlunya.
Hingga kami tiba disebuah penginapan.
Aku pun tak sabar segera mencari kamar itu dan mengetok salah satu pintu kamar.
Sosok yang sudah kukenal dan lama tak kulihat segera membuka pintu.
Ia tampak letih dan lemas. Matanya berkantung, bibirnya kering dan ada perban didadanya.
"Oscar!" aku langsung memeluknya. Ia membalas memelukku.
"Bagaimana keadaanmu? Dasar lemah!" Neil memukul pelan lengannya yang lain. Oscar terkekeh.
"Cukup baik sekarang. Tapi Shin masih belum terlalu banyak perkembangan. Masuklah!"
Aku melihat ia terkulai lemas. Kulitnya pucat, matanya sayu dan kakinya diperban.
Namun saat melihat kami datang, ia tampak senang sekali.
Matanya terbuka lebih lebar dan ia tersenyum bahagia.
"Neil!" ia mengulurkan tangannya yang masih lemas. Neil pun segera menyambutnya dan mendekapnya.
Ya, ia tampak senang karna Neil datang. Entah termasuk aku atau tidak. Tapi sejak awal pandangannya hanya tertuju pada Neil.
"Aku sangat merindukanmu. Aku sangat mencemaskanmu! Aku sangat lega sekarang, melihatmu baik-baik saja!" Shin mengusap punggung Neil dan mempererat pelukannya.
Neil melepas pelukan Shin hati-hati, "Aku baik-baik saja! Aku juga mencemaskan kalian!"
Shin meraih tangan Neil dan menggenggamnya. "Aku tak dapat berjalan sekarang." matanya berkaca-kaca.
Neil menghela nafas berat. "Apa yang terjadi pada kalian?" ia beralih menatap Oscar juga, menuntut jawaban.
"Kami sa..."
"Panjang ceritanya. Kakiku tertimpa reruntuhan bangunan." Shin menyela, membuat Oscar tak melanjutkan ceritanya. Ia terdiam.
Aku sedikit merasa aneh. Kenapa dia tampak selalu berusaha mencuri perhatian Neil?
Apa hanya perasaanku saja?
Ia tampak tak ingin sedetik pun Neil mengalihkan pandangannya darinya.
Entah apa yang ada dipikiranku. Konyol! Kenapa aku berfikir seperti ini?
Mungkin hanya perasaanku. Mungkin saja ia memang lebih akrab dengan Neil. Entahlah!
"Oh, God!" Neil mengamati kaki Shin nanar. "Kalau lukanya sudah sembuh pasti kau bisa berjalan lagi. Jangan berfikir macam-macam!"
Shin menatap Neil lekat. Air matanya menetes dan kembali memeluk Neil. Sedangkan Neil mengusap kepalanya dan terus memberikan support.
Aku berjalan menghampiri mereka, hendak menyapa dan memberi simpatiku pada Shin.
"Hei Shin!" aku menepuk pundaknya. Namun ia tak bergeming. Pandangannya tetap pada Neil dan tak membalas sapaanku.
"Ah, aku lapar!"
Neil memandangiku sesaat, lalu kembali menatap Shin. "Kau belum makan? Bagaimana bisa dalam keadaan sakit seperti ini kau belum makan!"
"Habisnya lidahku terasa pahit. Aku juga merasa benar-benar malas makan." keluh Shin. Ia mendesis kesal.
Neil beranjak, "Baiklah, kau mau apa? Aku akan membelikannya untukmu."
Shin langsung meraih tangannya dan menariknya. "Jangan! Kau disini saja!"
Ia beralih menatapku, "Bisakah kau membelikan mie untukku?"
Aku sedikit kaget. "Eh! Ehm, baiklah!"
Neil menepuk pundak Shin,"Jangan Alan, biar aku saja!"
Shin tampak tak suka. "Aku mau kau disini! Biar Alan saja! Lagipula dia tak keberatan."
"Tapi," Neil beralih menatapku. Kedua alisnya bertemu.
"Tak apa biar aku saja!" aku tersenyum simpul. "Aku pergi dulu!"
"Eh Oscar, temani Alan! Kau kan yang tahu tempatnya." pinta Shin. Oscar pun segera menyusulku.
"Tapi Oscar kan masih sakit!"
"Aku sudah baikan, Alan! Tak apa!"
Kami berjalan beberapa mil. Tempatnya cukup jauh ternyata bila berjalan kaki.
"Hei, benar kau tak apa? Kau kan masih sakit." aku membuka obrolan.
"Tak apa! Aku sudah lebih baikan sekarang. Lagipula Shin benar, aku yang tahu tempatnya dan aku harus menemanimu."
"Begitukah?"
Ia mengangguk singkat. "Lagipula aku ingin memberi mereka waktu untuk berdua."
Alisku bertaut, "Berdua?"
"Iya, berdua. Shin itu sudah sejak lama menyukai Neil. Dan satu hal lagi, dia sudah makan dan minum obat. Dia hanya ingin kita memberi mereka waktu berdua."
"Pantas, dia selalu ingin dekat dan mendapat perhatian Neil." aku mencoba mengingat-ingat masa lalu.
Memang sih... Shin yang biasanya setahuku pendiam dan dingin terlihat begitu ceria, banyak bicara dan bahkan bercanda hanya ketika bersama Neil.
"Iya, tapi Neil tak pernah menyukainya."
Entah kenapa aku sedikit senang mendengarnya. "Kenapa?"
"Sepertinya dia masih belum bisa melupakan kekasihnya yang sudah lama meninggal itu. Dan memang dia sepertinya tak ada perasaan lebih pada Shin."
Kami kembali setengah jam kemudian.
Saat kami membuka pintu, Shin tengah tertidur diatas dada Neil dan memeluknya erat. Neil tengah mengusap-usap kepalanya lembut.
"Kenapa begitu lama? Ia baru saja tertidur." Neil tampak gugup dan sedikit melonggarkan pelukan Shin.
"Iya, tempatnya memang cukup jauh." aku mengalihkan pandanganku darinya dan berjalan mengambil segelas air, lalu menenggaknya.
"Yasudah, biar dimakan nanti saja!"
Aku menatap Oscar, "Oh ya, apa kalian tahu apa yang terjadi pada Lyra? Aku tak dapat menembus pikirannya sampai saat ini."
Ia menghela nafas berat. "Kami tak tahu. Kami juga terpisah darinya.
Yang aku takutkan ialah kemungkinan bahwa dia tertangkap."
"Astaga...! Kemungkinan begitu. Karna aku juga tak dapat menembus pikirannya sampai sekarang."
Neil tampak berusaha melepaskan pelukan Shin dan memindahkan kepalanya ke bantal, namun Shin malah semakin bergeser dan mempererat pelukannya.
Ada secuil perasaan 'tak suka' membuncah. Jantungku berdegup tak beraturan. Tengkukku terasa berat.
Aku duduk dikursi, bersandar. Menjauhkan pandanganku dari momen menyebalkan itu.
Aku tahu Shin hanya pura-pura tidur, karna aku dapat merasakannya.
Ia terus berpura-pura dan seakan menikmati setiap detik waktunya bersama Neil.
Entahlah, kenapa aku tak suka melihatnya? Apa karna sedari tadi harus melihat tingkah menggelikan Shin yang memeras dan berusaha menarik perhatian Alan, atau aku tak suka karna aku sudah beberapa minggu sebelumnya terbiasa bersama Neil. Ketika ia membagi waktu dan bersama orang lain, aku jadi tak suka.
Semacam perasaan anak kecil yang takut kehilangan temannya ketika temannya bersama anak lain.
Entahlah! Yang pasti aku tak suka dan aku benar-benar ingin memisahkan mereka.
Aku tak seharusnya seperti ini. Shin sedang sakit dan biarkan sajalah mereka berdua bersama.
Apa peduliku? Bukan urusanku juga.
I'm not gay, and I have no any special feeling to him.
"Kau sudah makan?" suara Neil membuatku tersadar.
"Belum!" jawabku singkat.
"Ayo kita pergi cari makan!"
Aku menelan ludah, "Tak usah! Lagipula Shin masih tertidur disana. Nanti saja, atau mungkin aku akan beli sendiri. Aku belum lapar."
"Begitu ya? Baiklah!" ia seakan tampak kecewa.
Tak terasa, beberapa saat kemudian aku tertidur. Hingga beberapa pasang suara tawa dan obrolan membangunkanku.
"Hmm... Enak!" Shin tampak begitu senang saat Neil menyuapkan makanan ke mulutnya.
Neil tertawa kecil, "Makanlah yang banyak!" dan mengacak-acak rambut Shin.
"Kalau kau yang menyuapiku, aku akan selalu makan banyak setiap hari!" godanya.
"Ya, kenapa tidak? Aku akan merawatmu hingga kau sembuh."
Shin tersenyum lebar. Ada semburat rona merah dipipinya.
Aku beranjak, hendak meninggalkan mereka.
"Kau sudah bangun? Eh, mau kemana?" tanya Neil tiba-tiba. Ia berhenti menyuapi Shin.
"Aku lapar! Cari makan." jawabku singkat.
"Tunggu sebentar lagi, okay? Setelah aku selesai menyuapi Shin, kita cari makan sama-sama."
Aku segera menuju pintu, "Tak usah!"
***
Kami tak dapat disini terlalu lama. Apalagi besok aku mulai kerja ditempat Miro.
Sorenya kami bersiap-siap. Rencananya kami mau membawa mereka ke Ellafreis dan merawat mereka disana. Tinggal dan berkumpul bersama-sama lagi.
"Aku tak mau pakai tongkat! Kau mau kan menggendongku biar lebih cepat?" Shin melingkarkan kedua tangannya manja ditengkuk Neil.
Neil terlihat gugup karna hal itu, "Te-tentu! Biar lebih cepat."
Shin tersenyum lebar dan tampak sangat senang. Ia tak sabar, segera melompat dan naik ke punggung Neil.
"Aaw! Pelan-pelan, nanti kakimu terantuk!"
Shin memeluknya erat dan mendaratkan dagunya dibahu Neil.
"Kau berat juga ya!" ledek Neil.
"Enak saja! Lagipula kau kan kuat mengangkat batu besar. Masa' menggendongku saja kau mengeluh? Dasar payah!" Shin mencubit pipi Neil gemas.
Neil tergelak, "Aku hanya bercanda!"
Tiba-tiba Shin menatapku. "Alan, kau tak keberatan kan membawa tongkatku? Tak mungkin Oscar yang melakukannya."
"Te-tentu saja!"
"Aku tak apa kok, biar aku saja!" sahut Oscar.
"Ehm, tidak! Biar Alan saja!"
Aku megambil tongkat itu dan segera mengikatnya dengan seutas tali.
"Oke, sudah siap semuanya?"
"Yap!" seru Oscar, diikuti anggukan Neil.
Neil tampak memperhatikanku sejenak, lalu mulai berjalan.
Karna kereta yang kami naiki cukup penuh, tempat duduk kami terpisah.
Neil duduk bersama Shin, sedangkan aku bersama Oscar.
Tak banyak yang kulakukan. Aku lebih banyak tidur selama diperjalanan.
Kami sampai pada malam hari. Neil pun segera memasukkan sandi pada screen dan membuka pintu hotel.
Ia membopong Shin dan mendaratkannya diatas ranjang.
Shin melingkarkan kedua tangannya ditengkuk Neil. "Thanks, Neil! Tidurlah disampingku, kau pasti lelah karna terus menggendongku."
Neil berusaha melepaskan lingkaran tangan Shin dengan hati-hati.
"Tidak, aku harus menata barang-barang dulu dan memesan satu kamar lagi untuk kau dan Oscar."
Aku berjalan mendekat dan menyandarkan tongkat Shin didekat ranjang.
Shin mengernyit, "Bisakah aku sekamar denganmu?
Aku membutuhkanmu! Aku lebih suka kalau kau yang merawatku daripada Oscar."
"Tapi aku sudah sekamar dengan Alan sejak kami disini, dan..."
"Tak apa, Neil! Aku akan bersama Oscar. Lebih baik Shin disini saja! Dia membutuhkanmu." selaku. Neil tampak tak suka.
"Lihat! Alan tak keberatan kan?!" seru Shin senang.
"Tapi..." Neil menatapku seakan hendak memprotes.
"Sudahlah, aku mau ke lobby dulu memesan kamar." aku berusaha tersenyum.
***
Eh si Shin rese amat ya, ganggu aja.
Ts,,,mensyen ane lok up ya !!
@lovelyozan sip! nanti bakal dimention.
@lovelyozan sip! nanti bakal dimention.
Ditunggu updatenya kang @jj.yuan