It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Ya udah buruan update baaangg udah gak tahaaann
Usai memesan kamar, aku segera memindahkan barang-barangku.
Neil memperhatikanku beberapa saat. Pandangan kami beberapa kali bertemu.
Ia menatapku berat, namun Shin terus mengajaknya mengobrol dan menuntut perhatiannya.
Aku menata barang-barang dan pakaianku. Oscar ikut membantuku.
Aku istirahat sebentar. Merebahkan tubuhku.
Malam semakin larut. Aku hendak mandi, lalu segera tidur. Namun aku lupa bahwa perlengkapan mandiku masih tertinggal disana.
Meski malas, aku mau tak mau harus kembali lagi kesana dan mengambilnya.
Aku mengetok pintu. Beberapa saat kemudian Neil membuka celahnya sedikit. "Hei, ada apa?"
"Aku mau mandi, tapi perlengkapan mandiku masih disana. Biarkan aku masuk!"
"Siapa, Neil?" sela Shin dari kejauhan.
Neil menoleh, "Alan! Mau mengambil sesuatu yang ketinggalan."
"Ya sudah, biarkan saja dia mengambilnya sendiri!
Lanjutkan lagi! Aku kedinginan sekarang, cepat selesaikan!"
Neil tampak gugup dan kebingungan.
"Ehm, tak apa kan kalau kau mengambilnya sendiri? Aku masih menyeka dan membersihkan tubuh Shin."
"Tak masalah!"
Ia membuka celahnya lebih lebar dan membiarkan aku masuk.
Neil bertelanjang dada dan hanya mengenakan short pant. Tubuhnya tampak basah.
Sedangkan Shin bersandar dikursi dan hanya mengenakan celana dalam.
Neil tampak kikuk dan Shin terus memanggilnya, menyuruhnya melanjutkan.
Ia pun berlalu, melanjutkan membersihkan dada Shin dengan handuk basah.
Aku tak menghiraukannya dan segera mengambil barangku.
"Tutup pintunya ya!" seru Shin.
Aku menutupnya dan terduduk lemas dibalik pintu. Aku meremas kepalaku.
Aku semakin tak suka melihat kebersamaan mereka. Dan aku benar-benar tak suka dengan sikap Shin yang selalu saja menuntut Neil harus selalu memperhatikannya dan bersamanya. Walau harus dengan berbagai cara, termasuk berbohong dan memanfaatkan orang lain.
Waktu terus berlalu. Setiap hari mereka selalu bersama.
Shin tak membiarkan sedikitpun aku bersama dengan Neil, bahkan berbicara dengannya walau hanya sebentar.
Hal itu cukup menggangguku. Mengganggu konsentrasiku saat pagi bekerja hingga ketika akan tidur pada malah hari.
Neil selalu ada disisinya. Menyuapinya, menemaninya berjalan-jalan ditaman, memandikannya, mengajaknya berbicara dan bersenda gurau.
Jujur, aku sangat merindukan Neil.
Aku tak dapat membohongi perasaanku.
Sehari saja tanpa bersamanya rasanya hari-hariku tak lengkap.
Aku merindukan tatapan mata itu.
Aku merindukan sosok jangkung dan besar itu.
Aku merindukan suara bass itu, yang selalu membuat hatiku berdesir dan jantungku berdegup lebih kencang saat suaranya merasuki inderaku.
Aku merindukan sikap dingin dan menyebalkannya.
Aku merindukan omelan dan suaranya yang berisik.
Aku merindukan setiap perhatiannya, yang berlebihan dan membuatku sedikit overdosis.
Oh, God...
Aku merindukan usapan lembut tangan itu.
Aku merindukan dekapan hangat itu.
Aku merindukan...
Merindukan...
Aku merindukan kecupan itu.
Terimakasih telah menggenggam tanganku.
Terimakasih telah memanggil namaku.
Terimakasih telah menatapku.
***
Pagi itu aku baru selesai bersiap-siap untuk berangkat kerja. Tiba-tiba telfon hotel berdering, memberitahu bahwa ada seseorang yang menungguku di lobby.
"Oscar, aku berangkat dulu!"
"Hati-hati!"
Sesosok pria tinggi, mengenakan kemeja putih slimfit tanpa lengan tampak sedang duduk disudut ruangan sembari menyeruput secangkir kopi.
"Miro? Why you..."
Ia beranjak. "Kemarin kebetulan aku ada urusan disekitar sini dan menginap disini.
Aku sengaja tak memberitahumu.
Jadi sekarang aku sekalian akan mengantarmu."
"Oh, geez!"
Ia mengulurkan sebuah kantung karton. "Flowers!" candanya.
Sontak mataku terbelalak, menatapnya tak percaya.
"Oh my god! I can"t beliefe it! it's first series. "
Aku memasukkan lagi novel-novel itu.
"And this is, Athira Hoffman. How can you know that I like him so much?"
"I know everything!" kelakarnya. Aku menyiku lengannya pelan.
"So, you like my ordinary and lil' faded 'flowers' ?" ia memainkan alisnya naik turun, seakan menanti jawabanku.
"I... I like it so much! Really...
But, it's too much! I can't receive it!
It's too expensive!"
"Just put into your bag, okay!
We must go now!" ia mempersilahkanku jalan duluan dan segera masuk ke Ble yang telah menanti dihalaman hotel.
Saat didalam Ble, ia memberiku secangkir hot chocolate.
Aku menghirupnya perlahan. Menghangatkan tubuhku.
"Ke-kenapa kita tak lewat arah ke kantor? Mau kemana kita?" tanyaku heran saat Ble tersebut malah mengarah ke selatan.
"Aku sudah mengurus cutimu dan mengurus semuanya.
Hari ini ulang tahunku, dan aku ingin kesana. Kau mau kan menemaniku?" ia mengeluarkan pass card dari dompetnya dan memberikannya padaku.
"Ellafreis Land?" aku membacanya.
Ia tersenyum ramah, "Yup! Sudah lama aku tak kesana. Terakhir saat aku masih SMA waktu liburan ke Ellafreis."
"Diulang tahunku yang ke-25, sekarang aku hanya ingin kesana. Tapi tak ada yang bisa menemaniku." sambungnya.
Aku menghela nafas, berusaha menenangkan diri. Rasanya tubuhku mulai menguap, lalu meletup ke angkasa.
Mungkin pipiku memerah sekarang. "Geez! Sejak kecil aku selalu ingin ke wahana wisata. Tapi karna tak punya uang jadi aku tak pernah kesana."
"So, kau mau kan? Tak keberatan kan?"
"Oh, Jesus...!!!
Sure, I will! And of course, big no!"
Ia tersenyum lebar. "Aku benar-benar senang. Aku tak tahu harus berkata apa lagi?!"
Aku mendecak. "Hei, harusnya aku yang senang dan sangat berterimakasih. Aku selalu bermimpi ingin ke sebuah wahan wisata, dan sekarang sepertinya terwujud."
"Aku senang jadi orang yang menemanimu pertama kalinya kesana.
Terimakasih kadonya!"
Aku mengernyit, "Kado apa? Aku bahkan tak tahu kapan hari ulang tahunmu dan belum menyiapkan kado apapun."
Ia tersenyum simpul, "Kau sudah mau menemaniku adalah kado terbaik yang pernah kudapatkan!"
***
Ellafreis Land, North Main Gate
Kami sampai dan berdiri didepan gerbang besar yang menjulang tinggi, melingkar diseluruh lahan luas Ellafreis Land.
Didesain seperti gerbang kerajaan eropa jaman dulu, beserta patung-patungnya yang khas.
Ada empat pintu tinggi dan lebar yang berdiri tegak seakan menyambut kami. Disetiap pintu terdapat petugas dengan bando kelinci lucu yang menyapa kami dengan ramah.
"Welcome to the Ellafreis Land!
Gets an amazing, magical and unforgettable moments here!
The wonderful world which always lifes, without any limits!"
Dari sini tampak beberapa gedung megah dan tinggi. Juga menara-menara yang didesain seperti kastil istanah.
Kami tak sabar segera menuju salah satu pintu gerbang yang bertuliskan VVIP dan menggesek pass card yang kami bawa.
Setelah itu seorang petugas men-scan kami beserta ransel dan barang bawaan yang kami bawa.
"Kau suka?" Miro menatapku, setelah kami melewati main gate.
Aku tercengang, takjub!
Mengedarkan seluruh pandanganku ke setiap sudut. Aku tak mau kehilangan setiap sudut pun untuk menyaksikan keindahannya.
Kami berjalan ditengah jembatan berbatu khas eropa jaman dulu, dengan sungai berair jernih yang menyilaukan mata. Membentang luas dan panjang.
Ada pepohonan, berbagai bunga warna-warni dan rumah-rumah peri lucu yang tinggal dipohon-pohon besar nan tinggi.
Dibeberapa sudut ada kristal-kristal cantik berwarna-warni yang melayang-layang. Menambah keindahan.
Kami terus berjalan dan disambut dengan portal bertuliskan Fairy World setelah melewati jembatan tersebut.
Ada air mancur besar ditengah-tengah, seakan menyambut dan mempersilahkan kami berkeliling.
Anak-anak kecil berlarian. Tak sabar ingin segera menaiki wahana.
Mereka tampak riang gembira.
Ada badut hewan-hewan lucu menyambut kami. Dan ada sejumlah orang yang didandani benar-benar seperti peri hutan.
Melayang dan terbang diangkasa dengan sayap tipis mereka. Melambai menyambut para pengunjung.
"Sayap-sayap itu dibuat khusus dengan tekhnologi yang sama seperti pada mesin Ble. Dengan mesin mini yang ditempatkan dipusat sayap mereka yang dapat membuatnya mengepak cepat dan terbang." Miro menjelaskan padaku yang tampak takjub dan bertanya-tanya.
"Oh my God!" aku tak dapat berkata apa-apa lagi dan langsung menarik tangannya.
Mengajaknya berlari-lari kecil seperti anak kecil yang tak sabar ingin mencoba setiap wahana yang ada.
Ia tergelak melihat tingkahku yang terpesona dengan ini dan itu, bertanya banyak hal serta hampir menunjuk ke semua wahana, meminta untuk mencobanya.
Pertama-tama ia mengajakku memasuki sebuah toko yang dihiasi berbagai tokoh kartun, terutama Ellios Land Icon. Yakni Cobby and Canny, dua ekor kelinci lucu dan menggemaskan.
Yang satu berwarna putih dengan hidung merah muda dan satunya lagi kelinci cokelat.
Kami disambut oleh banyak baju, mainan dan pernak-pernik tokoh-tokoh kartun terkenal.
Aku berjalan menuju salah satu lemari kaca besar yang berisi banyak Action Figures keren.
"Tunggu sebentar!" Miro berjalan menuju area pakaian.
Beberapa menit kemudian tiba-tiba ada seseorang yang mengenakanku sebuah bando dari belakang. Sontak aku berbalik.
"Kau tampak sangat manis!" godanya.
Aku meraih untuk melihatnya dan mengenakannya lagi. "Thank you!" aku mengedip dan melambai manis seperti gaya Canny yang kulihat videonya disalah satu screen.
Ia terkekeh, lalu membenarkan posisi bando yang ku kenakan.
Ia mengenakan bando cokelat Cobby, dengan singlet cokelat bertuliskan Cobby juga.
Aku tergelak melihatnya memakai bando kelinci. "Kau seperti playboy profesional yang penuh kharisma dan akan memikat banyak gadis disini!"
Ia tertawa lebar. "Enak saja! Aku bukan player. Aku pria baik-baik dan setia. Bahkan aku masih single!"
"Lihat, aku pria single yang penuh kharisma!" ia menyisir rambutnya ke belakang dengan jemarinya.
Aku berpura-pura akan muntah dan tertawa geli melihat tingkahnya. "Tampaknya sang playboy sedang berusaha memikat mangsa baru, dengan segala tipu muslihat."
Ia menggelitik pinggangku hingga aku menggeliat tak karuan. Aku balas menggelitiki perutnya.
Kami tertawa bersama setelah itu.
"Cepat ganti baju kerjamu itu!" ia menyodorkan kantong karton berisi singlet putih Canny dan short jeans putih.
Okay, tak lama kami segera keluar dari toko itu dan tampak seperti sepasang Cobby and Canny.
"You looks adorable!" ia memperhatikan penampilanku dari atas hingga bawah.
Kami mencoba beberapa wahana. Dari mulai yang sedang hingga yang sangat menegangkan, bahkan seperti bukan permainan lagi. Tapi mesin pembunuh menurutku.
Memang kita tidak terbunuh karna permainan itu, tapi kita dibuat serasa nyawa sudah mulai menguap diubun-ubun dan melayang diudara.
Benar-benar gila!
Namun sangat menyenangkan dan aku benar-benar senang. Salah satu mimpiku terwujud.
Aku berteriak sekuat tenaga karna amat bahagia. Miro tertawa dan bodohnya ikut berteriak bersamaku, membuat sepasang mata tertuju pada kami.
Kami tak perduli dan melanjutkan perjalanan.
Kami tiba ditengah hutan peri.
Kami berjalan dan melihat-lihat beberapa pilihan wahana.
Ada satu wahana yang menarik perhatian Miro. Ia terus memperhatikannya.
"Ayo kita coba ini!" ajaknya bersemangat.
Aku menggeleng cepat.
Oh my God! Itu tinggi sekali. Mungkin sekitar 2000 kaki tingginya.
Tampak sebuah tower besar didesain seperti pohon sungguhan.
Ada papan kayu bertuliskan "The Clouds Jumper".
"Ayolah!" ia menarik tanganku bersemangat.
"Nope! I'm afraid...! That's fuckin' high!"
"Justru itu yang membuatnya menarik dan mengasyikkan. Memacu adrenalin kita.
Hmm... Tenanglah! Lagipula ada aku." ia menatapku, menunggu jawabanku.
Aku berfikir sejenak. "Kita coba yang lain saja ya?!"
"C'mon, Alan! This is my birthday!
Please...!"
Aku mengetuk-ngetuk daguku dengan telunjuk.
Akhirnya aku mengangguk malas.
Kami dibawa dengan Ble dan diturunkan diatas menara tersebut.
Tak ada antrian berarti dikelas VVIP, hanya ada sepasang kekasih yang tengah dipasangi safebelt oleh petugas.
Mereka saling terkait dan saling memeluk.
"Lihat, gadis itu saja berani. Masa kau kalah darinya?"
Aku hanya dapat mendengus kesal.
"Kau tampak sangat imut kalau seperti ini." ia terkekeh, memperhatikan ekspresi duck face ku.
Tak lama kemudian petugas yang lain memberi aba-aba, lalu mulai menyalakan mesin.
Mereka mulai ditarik dan melayang perlahan. Kian lama kian cepat dan meluncur melewati tower-tower lainnya yang berada diujung.
Aku menelan ludah, meremas lengan Miro saat tiba giliran kami.
"Tenanglah, ini hanya permainan! Kita tak akan terbunuh dengan ini. Rileks, okay?
Justru kalau kau tegang malah akan membuatmu sakit. "
Para petugas yang didandani seperti peri-peri hutan mulai memasangkan safebelt pada kami, lalu menariknya untuk mengeceknya.
Tubuh kami terkait erat. Kami berdiri berhadapan dan tubuhku menempel pada tubuh Miro.
Aku dapat merasakan deru nafasnya yang sedikit tak teratur dan degub jantungnya yang berdegup kencang.
Aku pun merasakan hal yang sama.
Karna gugup dan merasa tak nyaman karna terlalu dekat dengannya, juga karna betapa menyeramkannya wahana ini.
Ia memperhatikanku yang tampak semakin gelisah, lalu berusaha membuatku lebih tenang. "Ini seperti Flying Fox, hanya saja lebih tinggi dengan lintasan yang merentang bukan menurun, dan ada mesin diatas kita yang menarik kita, serta membuat kita terombang-ambing."
Aku mengangguk dan mendaratkan kedua tanganku dipundaknya.
Mungkin lebih tepatnya sekarang aku mulai meremasnya.
Petugas yang lain mulai memberi aba-aba.
"Kalau kau takut, pejamkan saja matamu!"
"Enak saja! Aku tak takut!" tukasku tak mau diremehkan. Ia terkekeh.
Petugas pun mulai menyalakannya. Dan mesin diatas kami juga mulai menyala.
Perlahan kami ditarik dan mulai melayang.
Hembusan angin diketinggian setinggi ini cukup kencang. Membuatku sedikit heboh.
"Jangan lihat bawah! Sangat mengerikan!!!" godanya berusaha menakutiku.
"Lebih baik lihat ke bawah daripada terus melihatmu."
Ia tertawa kecil, lalu merapikan poniku yang terhempas angin dan menggangguku.
Kian lama kami ditarik kian kencang, melewati tower demi tower.
Tak lama kemudian permainan yang sesungguhnya pun dimulai.
Mesin itu mulai membuat kami terombang-ambing kesana kemari dalam kecepatan yang masih seperti sebelumnya. Benar-benar mengerikan!
"Aaarrrgggghh!" Sontak aku memeluk Miro erat dan membenamkan wajahku didadanya.
Ia balas memelukku dan terus membisiki telingaku agar aku tetap tenang.
"Yeeeeaaaahhh!" ia malah terdengar senang dan menikmati sekali.
"Sesekali buka matamu! Pemandangannya bagus!" ia menggodaku lagi.
"Gila! Tak ada waktu untuk menikmati pemandangan. Aku mau ini cepat berakhir!"
Ia tertawa renyah, lalu mempererat pelukannya.
Aku dapat merasakan hembusan nafasnya ditengkukku.
"Tenanglah, ada aku disini!"
***
"Yeay, we did it!" seruku, saat kami telah melakukannya. Ia mengacungkan jempol ke arahku.
"Ayo lunch dulu, aku lapar!" ia menarik lenganku.
Pada akhirnya Miro mengajakku sekalian memesan kamar saja, agar dapat meletakkan tas dan barang bawaan kami.
Tak berat dan banyak sih, tapi cukup merepotkan juga ternyata.
Akhirnya kami check in disebuah hotel yang bangunannya didesain seperti pohon besar, dengan jendela-jendela mungil dan lampu-lampu keemasan seperti rumah peri hutan.
"I like this room!" aku melompat ke atas ranjang dan membenamkan wajahku ke bantal.
"Kau suka?"
Ia pun segera menelfon petugas hotel dan memesan makanan. Tak lama kemudian seorang Waiter mengetok pintu, mengantarkan makanan untuk kami.
Makanan disini semuanya vegetarian. Mungkin sesuai tema?
Kami memesan Sauted Mushroom, Purple Magical Soup, Fairy Salad, dan masih banyak lagi.
"Aku mau mandi sebentar, gerah!" pamitnya, setelah kami selesai makan.
Seusai beristirahat sebentar dihotel, kami melanjutkan perjalanan dan tiba disebuah bangunan raksasa dengan gerbang besar. Bangunan tersebut didesain seperti istanah pasir.
Diatas ada plakat besar bertuliskan, "Sea World".
Kami langsung disambut oleh para petugas yang berdandan seperti makhluk fantasy dasar laut. Dengan mata biru, telinga seperti sirip, kulit bersisik, dan trisula besi sebagai pelengkap.
Didalamnya jelas, didesain seperti panoraman dasar laut. Dengan pasir pantai, anemon, ganggang laut tiruan yang dapat bergerak-gerak. Juga bermacam-macam ikan, gurita, kuda laut dan hewan laut tiruan lainnya yang melayang-layang kesana kemari dengan sensor yang dapat membuat mereka tak menabrak apapun.
Aku menengadah, lighting disini sangat mengagumkan. Benar-benar seperti cahaya mentari yang menerpa air laut. Benar-benar indah, seperti berada didalam laut sungguhan.
Dikiri-kanan ada berbagai bangunan dan toko-toko yang seperti terbuat dari pasir.
Kami terus menyusuri jalanan luas ini.
Ada Mermaid cantik dan Merman gagah yang melayang-layang dengan sirip cantik mereka yang mengkilat.
Para Merman membawa trisula emas sebagai aksesoris pelengkap, sedangkan para Mermaid membawa bola-bola besar yang dibuat seperti mutiara sungguhan.
Mulutku menganga. "It's beautiful!"
"Yeah! Sudah lama tak kesini ternyata semakin bagus saja."
Kami tak banyak mencoba permainan disini. Kami memutuskan untuk berenang dan lebih banyak mencoba permainan air.
Ada seluncuran yang amat tinggi, ada perang tembak air, ada permainan seperti arung jeram namun tak memakai perahu karet, akan tetapi dari perahu yang dibuat menyerupai kerang besar. Satu orang memakai satu kerang. Dan masih banyak permainan air lainnya yang menyenangkan.
Setelah benar-benar lelah, kami beristirahat dan rebahan dikursi kayu panjang.
"Sudah sore, ayo kembali ke hotel!" aku beranjak.
Ia memperhatikanku sejenak, "Iya! Hmm... Kau tak apa, Alan? Kau tampak pucat. Kau pasti kelelahan dan tegang karna beberapa permainan yang memacu adrenalin."
"Aku tak apa! Ayo cepat ganti baju dan kembali."
***
Mungkin karna sangat kelelahan jadi tanpa sadar aku langsung tertidur ketika merebahkan tubuhku diranjang.
Suara Miro membangunkanku.
Ia tampak baru selesai mandi, dengan balutan handuk dipinggangnya.
"Jam berapa sekarang?" aku mengerjap. Ada sebuah handuk basah didahiku.
"Jam sepuluh malam. Maaf kalau aku membangunkanmu. Tapi kau harus makan malam."
"Astaga!" aku langsung beranjak.
"Eh, tentu tak apa! Justru harusnya aku tak meninggalkanmu tidur begitu saja. Maaf!"
"Tak masalah! Justru aku sangat mencemaskanmu!
Wajahmu pucat dan tubuhmu tampak lemah. Suhu tubuhmu juga cukup tinggi."
Ia mengambil sebuah kemeja dan mengenakannya. "Sebenarnya aku mau memanggil dokter. Tapi, setelah aku mengompresmu, suhu tubuhmu menurun. Syukurlah!"
"Ja-jangan pernah mendatangkan dokter atau membawaku ke rumah sakit apapun yang terjadi padaku!" tanpa sadar intonasiku meninggi.
"Hah, kenapa?"
Aku mendesis, "Kau masih ingat kan tentang kemampuanku? Jaringan tubuhku sedikit berbeda dengan manusia pada umumnya. Aku takut kalau sampai ada orang yang mengetahuinya dan tertarik untuk memanfaatkanku."
Ia meremas rambutnya, "Ah! Kalau begitu maafkan aku. Aku hanya sangat mengkhawatirkanmu."
"Tak apa! Lain kali jangan!" aku tersenyum padanya. Ia mengangguk.
Setelah makan malam, ia mengantarku pulang. Namun saat aku hendak keluar dari Ble, ada sesosok pria yang tengah duduk ditangga depan pintu masuk.
Saat tahu bahwa aku keluar dari Ble, ia berjalan dengan cepat ke arah kami.
Ia langsung memelukku erat, lalu mengguncang bahuku.
"Kemana saja sih kau ini, hah? Seharian menghilang!
Aku mencarimu kemana-mana sampai ke kantormu pun juga tak ada. Katanya kau malah cuti.
Dan ternyata kau malah bersama pria itu! Apa yang dia lakukan padamu, hah?!"
Miro keluar dari Ble. Aku menatapnya sejenak, seakan meminta maaf dan merasa tak enak karna hal ini.
"Apa yang kau bicarakan, Neil?! Kau ini kenapa sih!"
Ia beralih menatap Miro, "Dengar baik-baik! Dia ini milikku, jauhi dia!
Jangan berani-berani mendekatinya lagi!
Dan akan ku pastikan dia takkan bekerja ditempatmu lagi!"
"Neil, hentikan! Kau benar-benar keterlaluan! Apa yang kau pikirkan, hah?!" bentakku.
Miro hanya terdiam dan memperhatikan kami. Menatap dingin ke arah kami.
Neil segera menarikku paksa memasuki lobby. Sejumlah pasang mata memperhatikan kami.
"Lepaskan!" pekikku. "Kau keterlaluan, Neil! Apa yang sudah kau lakukan?!" aku berjalan hendak menemui Miro dan meminta maaf.
"Aku takkan membiarkan siapapun merebutmu dari sisi ku!" Neil merangkul pahaku dan mengangkatku ke pundaknya.
Aku memukul-mukul punggungnya keras, namun ia tak bergeming. Ia benar-benar kuat dan tanganku yang malah sakit.
"Lepaskan bodoh!!!"
Ia membawaku menuju tangga darurat.
Ia melompat begitu tinggi beberapa kali dan tak lama kemudian sampai dilantai tujuan.
Ia segera membuka kamarku dan menghempaskanku ke ranjang.
"Oscar, keluarlah!"
Oscar hanya tampak kebingungan dan segera keluar. Ia bergidik ngeri dan ketakutan melihat Neil seperti ini. Ia hafal betul kalau Neil sudah seperti ini takkan ada yang dapat menghentikannya. Karna membuat Neil marah adalah sebuah kesalahan besar.
Ia menindihku dan memegangi kedua tanganku. "Aku sudah pernah mengatakannya padamu, jangan pernah pergi kemana pun tanpa memberitahuku!
Bahkan kau malah pergi seharian bersama pria sepertinya!" ia menatapku dalam. Tatapan yang tak pernah kulihat sebelumnya.
Ada pendar ketakutan dan kekecewaan dimatanya. "Aku sudah membiarkanmu kerja ditempatnya. Sekarang kau malah seperti ini! Kau bodoh atau naif, hah? Apa kau tak dapat melihat bahwa dia sedang berusaha mengejarmu?
Kau tahu, aku mencarimu ke seluruh Ellafreis seharian!"
Mataku mulai berkaca-kaca. "Kenapa kau seperti ini? Kenapa kau selalu berlebihan? Kenapa kau selalu mengaturku? Kenapa kau selalu seenaknya sendiri? Memangnya aku ini apa buatmu?" aku tak tahan melihatnya seperti ini...
"Karna kau tahu semua isi hatiku. Kau tahu apa yang selalu ku pikirkan tanpa harus ku katakan!
Kau tahu benar siapa yang mengisi relung hatiku! Kau tahu siapa yang namanya selalu ku sebut! Kau tahu semuanya!!!"
Ia memegang daguku, menatapku dalam-dalam. "Katakan kalau kau tak menyukaiku! Katakan, Alan!"
Jantungku seakan remuk. Berhenti berdetak. Terhempas ke tanah, terinjak-injak dan hancur berkeping-keping.
Ia mengecup bibirku singkat, "Katakan kalau hatimu tak pernah berdebar saat bersamaku! Katakan kalau kau tak pernah memikirkanku! Katakan kalau aku tak berarti untukmu!"
"How dare you are! That's my first kiss!!!" pekikku.
Aku mengusap bibirku seakan jijik. "Kau salah! Aku bukan gay, dan aku tak menyukaimu!
Aku hanya dan akan selalu menganggapmu teman. Tak lebih, tak kurang.
Berhentilah menyukaiku! Kau hanya akan lelah, lalu bosan menunggu dan berusaha mendekatiku! Semua ini sia-sia!!!"
Ia mendaratkan bibirnya dibibirku. Mencium bibirku dengan paksa dan sedikit kasar. Menghisap bibirku, melumatnya, lalu lidahku, dan menyapu setiap sudut...
Nafasnya menderu tak beraturan menerpa kulitku. Membuat hatiku berdesir hebat. Jantungku sudah tak karuan lagi rasanya.
"Ehhhmmmpp...!" aku berusaha melepaskan ciuman itu.
Plak!!!
Aku menampar pipinya dengan keras. Namun tak membuat kepalanya bergerak sedikitpun. Ia benar-benar kuat.
"Hentikan, Neil! Kau sangat keterlaluan sekarang!!!
Aku bukan sebuah barang, dan aku bukan milikmu!"
Tanpa sadar buliran bening mulai mengalir dipipiku, "Pergi sana! Pergi yang jauh, tinggalkan aku!!
Pergi sana temui Shin saja! Dia yang menyukaimu, bukan aku. Dan dia yang lebih membutuhkanmu!"
Namun ia malah mencengkeram tanganku dengan kencang dan menciumi leherku.
Deru nafasnya membakar setiap inchi tubuhku. Membuatku terbakar oleh luapan emosi yang berkecamuk dalam hatinya.
"Aarrgghhh!" aku mulai kewalahan melawannya. Bahkan usahaku untuk melepaskan cengkeraman tangannya dan lepas dari tindihannya hanya sia-sia.
Kekuatannya bukan tandingannya. Aku hanya tumpukan kapas baginya.
Aku mulai berhenti untuk melawan dan terdiam lemas kelelahan.
Ia menghentikan aksinya, lalu mencium bibirku lembut beberapa saat, dan berkata, "Berhentilah membohongi dirimu dan selalu menyangkal!
Aku tahu bahwa kau juga menyukaiku.
Lupakan soal Shin! Aku takkan memperdulikannya lagi apapun yang dia lakukan. Dia itu seekor rubah licik! Dia akan melakukan apapun untuk memisahkan kita!"
Ia mengusap air mataku lembut. "Aku tahu kemana matamu selalu menatap.
Aku tahu kemana kakimu selalu melangkah.
Aku tahu untuk siapa hatimu berdebar.
Kau seakan jijik dengan gay bodoh sepertiku. But, your heart wants what it wants..."
Ia melepaskan tanganku dan menatapku serius. Tatapannya yang semula menakutkan mulai berubah hangat. "Aku hanya milikmu, Alan. Begitupun juga kau."
Ia mengecup punggung tanganku, lalu memelukku erat dan membenamkan tubuhnya.
Perlahan aku membalas pelukannya.
"Thanks, Alan! Aku akan selalu menjagamu!"
***
You came, and lighting me up.
Pull straight all my attention.
Snared me in your enchantment.
But, I bet the odds against it all.
I know I'm acting a bit crazy.
I've ever known, I'm hoping.
This is too deep.
I was lying to my self.
But, the bed was getting cold when you weren't here.
I lost a part of me. I'm falling apart.
Breathless moment...
I couln't fathom that I would ever,
Be without you. Never imagined I'd be.
Cause, I didn't know you, didn't know me.
But I thought I knew everything
I never felt.
The pain reflected in this heart.
I'm feeling inside, I need you...
We belong together.
There's a million reasons why I try to give you up!
I was stupid, I was foolish.
But, the heart wants what it wants...
Keep wants what it fuckin' wants.
Breaking me down.
And made me tethered to you.
***
@irfandi_rahman @greent @gabriel_valiant @monster_swifties @lovelyozan @hendra_bastian @daser @vanilla_icecream @readhy_pda @sully_on @akina_kenji
Ada aroma cinta segi empat ni..
Ok, lanjoooooot...:)
Eh, apa alan ga bisa membaca pikiran miro ya...???!!
Eh, apa alan ga bisa membaca pikiran miro ya...???!!
tipe" cowo keras.
@daren bisa dan tahu, tapi dia ga nganggep itu dan bersikap biasa aja. cmn aku sengaja ga blh dicerita karna harusnya pembaca dah tau. wkwk
Neil mempererat pelukannya, lalu menciumi tengkuk Alan dan meniup-niup telinganya.
"Good morning, Bocah!"
Ia menyingkapkan singlet Alan dan menggigit gemas bahunya, "Bangun! Dasar malas!"
Alan menggumam tak jelas, lalu memutar badannya. Matanya masih lengket terpejam. "Berisik!"
Neil merapikan rambut Alan. Menyisirnya dengan jemarinya. "Aku baru sadar kalau kau ternyata sangat manis. Bahkan mungkin cantik?!"
Alan membuka matanya perlahan. "Hmm... Okay, salah satu dari kita harus mencari nafkah sekarang."
Neil tergelak, lalu mencubit pipi Alan gemas. Alan mengaduh kesakitan.
"Aku akan mandi, bersiap-siap untuk kerja. Lalu kau membuat sarapan dan memasangkan dasi untukku."
Alan tertawa, "So classic! Sorry, but I think you must remove your sweet dream. I can't cook!"
Neil terkekeh, lalu mencubit dan menarik hidung Alan. "Makanan pesanan hotel juga tak apa! Asal aku makan bersamamu."
Neil menunjuk pipi Alan yang kini merona, "Haha, pipimu memerah!"
"Hah?! Tidak! Enak saja!" Alan mengusap-usap pipinya.
Neil tertawa geli melihatnya...
Alan membungkam mulut Neil dengan kesal. Namun Neil langsung meremas pergelangan tangan Alan dan menyingkirkannya.
Ia langsung mencium bibir Alan dengan cepat. Melumatnya...
Disisi lain ada seseorang yang berdiri dibalik pintu. Ia bersandar ditembok.
Ia menepuk-nepuk dadanya dan menangis sesenggukan.
Beberapa saat kemudian ia berlalu. Berjalan tertatih dengan tongkat.
Sejam kemudian Neil keluar dari kamar.
Ia baru saja mandi dan hanya mengenakan jeans hitam. Ia tampak terburu-buru.
Ia membuka pintu. Mengamati sesosok pria yang memunggunginya.
"Apa kau tidur? Aku mau mengambil barang-barangku." tanya Neil.
Shin beranjak. Ia menoleh dan menatap Neil dalam. Matanya berkantung dan sembap.
Ia mengusap air matanya.
"Hey, whats wrong?" Neil menghampirinya dan mengusap kepalanya.
Shin tiba-tiba memukul-mukul dada Neil dengan keras. Neil tak bergeming.
Beberapa saat kemudian ia berhenti, lalu menangis sesenggukan didada Neil.
"Ka-Kau... Kau tahu betul bahwa aku sejak lama mencintaimu! Aku terus mengejarmu sejak kita pertama kali bertemu. Tapi bahkan kau tak pernah menatapku!"
"Dan si brengsek itu tiba-tiba datang, lalu merenggutmu! Kau bahkan menatapnya dan tertawa bersamanya!
Dia mencuri pandanganmu! Dia mencuri tawamu! Dia mencuri semua perhatianmu dariku!"
Neil meremas kedua tangan Shin dan menghentakkannya, menjauh dari tubuhnya. "Hentikan, Shin!"
Shin mendaratkan kedua telapak tangannya dipipi Neil, "Tatap aku! Aku ingin kau menatapku seperti kau menatapnya!" pekiknya. Tangisnya pecah.
Neil tak bergeming dan hanya menatapnya dingin.
Tak lama kemudian Shin tiba-tiba mencium bibir Neil dengan paksa. Seketika itu Neil mendorongnya dan membuatnya terjatuh dilantai.
"Apa yang kau lakukan!" pekik Alan geram.
"Bahkan Pria murahan, tak tahu diri itu mencuri ciumanmu!" Shin berusaha bangkit, lalu berjalan tertatih menuju Neil.
"Aku hanya mencintai Alan, bukan kau! Aku tak pernah menyukaimu! Berhentilah bertindak bodoh untuk mengejarku!" Neil berbalik, segera meraih tasnya dan berjalan menuju pintu.
Shin mengejarnya dan memeluk tubuhnya dari belakang. Ia terisak. Ia tak ingin Neil kembali menemui Alan.
Hatinya tak berbentuk lagi. Hanya tersisa perih dan dendam yang kian lama kian meradang.
Neil berusaha melepaskan pelukan itu, namun Shin malah memeluknya semakin erat.
"Jangan buat aku mendorongmu dengan kasar! Lepaskan!" bentak Neil.
Perlahan Shin melepas pelukannya dan terduduk lemas dilantai. Kepalanya tertunduk. Ia menangis sesenggukan.
Tangan kanannya mengepal kuat dan memukul-mukul lantai.
Neil segera membuka pintu dan berlalu meninggalkannya.
Tiba-tiba Oscar datang, sembari menenteng sekantung buah-buahan segar. "Ada apa ini?"
***
Neil membuka pintu dengan kasar dan mengagetkan Alan yang baru saja selesai mandi.
"Ada apa?" tanya Alan kaget saat melihat Neil penuh dengan amarah.
Neil mengepalkan tangannya, lalu memukul dinding cukup keras hingga tembok tersebut retak.
"Kau ini kenapa, hah?! Katakan!"
Neil menghela nafas. "Kita cari hotel lain saja! Pindah dari sini!"
Alan semakin bingungan, "Kenapa? Ada apa sebenarnya? Kalau kita pindah, bagaimana dengan Shin dan Oscar?"
"Cepat kemasi barang-barangmu!"
Namun Alan tak mau menurutinya dan bersikukuh tetap disana saja. Lagipula ia tak bisa meninggalkan Shin dan Oscar. Mereka masih harus merawat mereka yang masih belum pulih benar.
"Pokoknya kemasi barang-barangmu!
Aku akan ke bawah sebentar, mengurus check out serta membayar perpanjangan sewa kamar selama sebulan kedepan untuk mereka.
Saat aku kembali, kau sudah harus siap!"
"Katakan ada apa?!" pekik Alan. Namun Neil segera berlalu.
"Neil!!!"
Dengan keadaan yang masih penuh dengan tanda tanya, Alan mulai mengemasi barang-barangnya. Ia tampak sangat kesal.
Saat ia mencoba membaca pikiran Neil, namun ternyata Neil sengaja mengosongkan pikirannya. Ia bertanya-tanya, sebenarnya ada apa? Apa yang terjadi?
Beberapa menit kemudian ada seseorang yang mengetok pintu dengan kasar. Alan pun segera membukanya.
"Shin? Ada apa?!"
Shin tampak sangat kacau. Matanya masih sembap dan badannya bergetar hebat.
Ia mendorong Alan kuat-kuat hingga terjatuh ke lantai.
Shin segera menutup pintu dengan keras.
Ia langsung mendekat dan memukuli Alan dengan tongkatnya ke sembarang arah.
Lehernya pun juga terkena pukulan.
"Aaarrrghhh! Hentikan Shin! Sakit!" tubuhnya mulai memar dan sebagian ada yang berdarah.
"Beraninya kau merampas satu-satunya hal yang paling berharga bagiku!" Shin membuang tongkatnya, lalu mencekik leher Alan kuat-kuat.
"SLUT!" pekik Shin geram.
Alan berusaha melawan. Lalu, menggerakkan meja yang ada dikamar. Meja itu melayang dan menghantam punggung Shin dengan keras.
Braaaaaaaakkkk!!
Shin jatuh tersungkur. Ia mengerang kesakitan ketika punggung dan kakinya juga tertimpa meja.
Sepertinya tulang rusuknya patah.
Alan terbatuk-batuk. Darah segar keluar dan membasahi lantai.
Ia merangkak tertatih, berusaha menuju pintu sembari sesekali memegangi lehernya yang terluka dan berdarah.
"Aak... Aaa... Aaaarrrkk!" ia berusaha berteriak memanggil pertolongan, namun ia tak dapat mengeluarkan suara.
Shin bangkit. Ia segera meraih tongkatnya. Ia hendak memukul kepala Alan, namun tepat saat itu juga Neil kembali dan terkejut dengan apa yang terjadi. Ia langsung menangkap pukulan Shin dan membuang tongkatnya.
Ia mendorong Shin dengan kuat hingga terbanting ke lantai dan jatuh pingsan.
Tak lama kemudian Alan tak sadarkan diri.
Neil langsung memeluk Alan erat. Ia menatapnya nanar. Tubuhnya memar dan berdarah-darah. "Alan... Bertahanlah! Bertahanlah!" tangisnya pecah. Ia memeluk Alan erat, lalu tak lama kemudian segera membopongnya dan berlari menuju rumah sakit terdekat.
***
-Neil P.O.V-
Sudah dua hari Alan tak sadarkan diri.
Aku terduduk lemas disampingnya. Menggenggam erat tangannya dan mengecupnya sesekali.
Batin ini tak kuasa melihatnya terkulai lemah tak berdaya, dengan selang dilehernya.
Ia tampak sangat lemah. Kulitnya pucat, tapi tangannya masih tangannya. Masih hangat dan lembut seperti biasanya...
Lehernya diperban dan diberi alat bantu yang menyanggannya.
Dahi, tangan, serta sikunya juga diperban.
Aku menggenggam tangannya dan membayangkan bagaimana dunia tanpanya. Dunia ini tak berharga.
Saat ia sakit, aku sekarat.
Oh, God! Kau sudah mengambil semuanya dariku. Keluargaku dan pria yang dulu sangat kucintai.
Cukup mereka! Sudah cukup!
Jangan sekali-kali merenggut Alan dariku!
Suara dokter yang tadi baru saja menjelaskan kondisi Alan masih terngiang-ngiang dikepalaku.
Pita suaranya juga terkena imbasnya...
"Pita suaranya akan mengalami ketidakmampuan untuk menutup sepenuhnya. Jika pita suara tidak sepenuhnya menutup, suara menjadi lemah, serak, dan pada kondisi pasien saat ini ia akan kehilangan kendali atas suaranya.
Dalam kata lain tak dapat berbicara."
Setiap hari aku selalu disisinya. Walau terkadang suster memarahi dan melarangku menemuinya diwaktu-waktu tertentu.
Terkadang aku diam-diam menyelinap dan menggenggam tangannya, mencium keningnya, sebelum sesaat kemudian aku tertangkap.
Aku dan Oscar bergantian menjaga Alan...
Jangan tanyakan dimana dan bagaimana keadaan Si Iblis itu! Aku tak peduli.
Aku akan membunuhnya bila ia berani menyentuh Alan sedikit saja!
Saat itu mentari terbenam cantik seperti biasanya. Kelopak mata dan jemari Alan bergerak.
"Alan!" aku langsung beranjak dan mendekatinya.
Namun tiba-tiba matanya terbelalak. Mulutnya terbuka lebar seakan sedang berteriak, namun tak keluar suara apapun.
Tubuhnya berguncang hebat, seakan ia baru saja bangun dari mimpi buruk.
Ia memegangi lehernya, seakan kejadian itu masih terjadi. Seakan ia masih merasa Shin masih mencekiknya.
Oscar segera pergi memanggil dokter.
"Alan...! It's okay, I'm here!
Stop it!" aku kebingungan menghadapinya.
Ia menatapku sekilas, lalu mulai tenang.
Air matanya mengalir perlahan.
"It's okay, I'm here! Okay?" aku menggenggam tangannya. Mengecupnya.
Aku mengusap kepalanya dengan lembut.
"Aa... Aaak!" ia membuka mulutnya, seakan ingin berbicara sesuatu padaku.
"Hentikan! Jangan mencoba dan memaksakan dirimu untuk bersuara!" tak terasa air mataku mengalir.
Ia menutup mulutnya. Ia tampak semakin tenang, lalu mengusap air mataku. Menggelengkan kepalanya, seakan melarangku menangis.
"I love you, Alan! I love you so much!
Don't leave me!" tangisku pecah. Aku menciumi tangannya berkali-kali.
Tangannya yang lain bergerak, Ia menyentuh dadaku perlahan, lalu menggerakkan mulutnya seakan ingin berkata, "I love you too!"
Aku menangis sesenggukan. Menangis bahagia.
Thanks God, kau masih membiarkannya bersamaku. Kau tak mengambilnya juga.
Hanya mengambil suaranya.
Tak lama kemudian Oscar datang bersama dokter dan seorang suster. Mereka segera memeriksa kondisi Alan.
Saat malam menjelang, Alan tertidur pulas. Aku meninggalkannya dan duduk dikursi tunggu didepan ruangannya.
Tiba-tiba sesosok pria dengan setelan jas hitam datang bersama dua orang pelayannya yang membawa rangkaian besar bunga berwarna-warni dan sekeranjang buah-buahan.
Aku langsung beranjak, menyipitkan mataku geram.
Apa yang dilakukan pria itu disini?! Mau cari mati?!
Berani-beraninya ia masih berniat menemui Alan!
Darimana dia tahu kalau Alan dirawat disini...
Aku mengepalkan kedua tanganku geram. Berjalan ke arahnya...
***
@o_komo @didot_adidot @lulu_75
@irfandi_rahman @greent @gabriel_valiant
@monster_swifties @lovelyozan
@hendra_bastian @daser @vanilla_icecream
@readhy_pda @sully_on @akina_kenji
Oh gosh!!! Aku jadi pengen tau acara mandi bersama neil dan shin wkwkwkwk lol
Neil bener² buaasss suka type² bad boy hihihi