It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@ kikyo
@ rubi_wijaya
@ lulu_75
@ kikyo
@ rubi_wijaya
@ lulu_75
Peter tak ingat dia pernah semarah ini dalam hidupnya, dadanya masih sesak dan tanganya gemetar, dia sama sekali tak menoleh saat melewati kebun di halaman depan rumah daniel. Dia bahkan tidak yakin apa yang membuatnya semarah ini, apakah ini karena ciuman daniel atau justru karena daniel mengatakan bahwa dia hanya ingin ‘ mencoba’ nya. Entahlah dia belum bisa memutuskan . yang jelas saat ini dia ingin pergi sejauh mungkin dari tempat ini, dari daniel. Peter langsung mencegat taksi pertama yang lewat didepanya dan naik. Sebetulnya dion sudah bilang pada peter untuk menelponya disaat-saat seperti ini, tetapi saat ini peter dalam keadaan yang membuatnya tak ingin bicara pada siapapun bahkan pada dion. Entah mengapa perjalanan pulang terasa berabad-abad, peter sering jengkel sendiri pada hal-hal biasa seperti, ‘ lampu merah yang terlalu lama’, ‘ pengendara motor’, bahkan’ kucing yang lewat ditengah jalan’. Sehingga bukan untuk sekali dia menyuruh supir taksi unuk menambah kecepatan.
Setelah sampai dirumahnya dia langsung menuju tangga ke kamarnya tanpa mengucapkan salam, bahkan menjawab ucapan selamat datang ibunya dengan dengungan tidak jelas. Dia menghempaskan diri ke kasurnya dan memukul-mukul bantalnya yang tak bersalah dengan geram. Dia hanya ingin tidur, namun detak jantungnya yang luar biasa keras membuatnya sulit memejamkan mata, membuat dia semakin kesal.
Entah sudah berapa lama peter terbaring dalam kegelapan kamarnya, karena dia terlalu malas bahkan untuk menyalakan lampu. Dia masih tidak bisa tidur, kelebatan kejadian sore tadi masih terngiang-ngiang di kepalanya, dan setiap kali peter mengingat daniel dada nya terasa panas. Tak lama peter mendengar suara langkah kaki dan ketukan pelan di pintu, dia langsung menutup mata pura-pura tidur. Seleret cahaya masuk melalui celah pintu yang sedikit terbuka, kepala ibunya menjulur dari balik pintu. Mengamati putra satu-satunya dengan sayang kemudian pelan sekali menutup kembali pintu dan turun kebawah. Peter kembali membuka matanya saat mendengar ibunya menuruni tangga. Hampir tiga jam kemudian akhirnya peter tertidur walaupun tidak nyenyak. Dia bermimpi daniel sedang menciumnya di sebuah aula besar yang terang, disampingnya dion berdiri kaku dan berkata. “ selanjutnya.” Saat peter menoleh kebelakang dia melihat antrean panjang wanita-wanita lain, yang kemudian dicium daniel satu persatu.
Dia terbangun beberapa detik kemudian- atau begitulah yang dikiranya-karena HP nya berdering keras. Sayangnya mood peter sama sekali tidak membaik dan mimpi tadi justru malah membuatnya semakin buruk sehingga dia jengkel sekali menerima telepon dion pagi ini.
“ APAAN SIH! PAGI-PAGI BUTA UDAH NELPON GANGGU TAU!” katanya keras sebelum dion sempat berkata apapun dan dia tangsung menutup telponya.
Karena marah-marah tadi sekarang dadanya terasa sangat sesak kembali. Dia turun dari kasur dan langsung menuju kamar mandi, menendang bukunya yang tergetak di lantai, sialnya buku itu adalah kamus yang luar biasa tebal, membuat jari kakinya jadi sakit sekali, dia mengumpat kesal sekeras yang dia bisa. Peter yakin setelah ketidak sopananya tadi dion tak akan datang menjemputnya. Karena itu dia kaget saat melihat dion sudah duduk di meja makan, mengobrol ceria dengan ibunya yang sedang menyajikan setumpuk tinggi pancake yang disiram saus madu. Walaupun begitu peter tahu bahwa dion marah padanya karena dia sama sekali tak bicara selama makan, bagi peter itu bukan masalah karena dia juga sedang malas ngobrol. Namun sepertinya marahnya dion tidak berlangsung lama karena dia langsung menanyai peter saat mereka sampai di samping motornya.
“ lo kenapa sih?! Pagi-pagi udah marah-marah. Lo ada masalah?”
Tapi peter tak menjawab dan langsung naik ke boncengan motor dion. Dia menghela nafas dan mulai menstater motornya, berteman dengan peter selama lebih dari lima belas tahun membuatnya hafal apa yang harus dilakukanya kalau peter sedang marah, membiarkanya sendirian dulu. Namun sayangnya agresi peter belum juga membaik, dan dia mulai menyerang teman-teman disekolahnya. Nita yang sakit hati mendiamkanya sepanjang pagi karena peter marah-marah padanya saat dia menanyakan PR. Sementara aldo bersikap lebih hati-hati setelah salam selamat paginya yang ceria sama sekali tak ditanggapi oleh peter. Namun entah kenapa dion terlihat lebih marah dari peter, dia merasa bahwa dion sebentar lagi bisa meledak. Mungkin karena peter sudah membentak orang-orang tak bersalah semenjak pagi. Walaupun peter merasa bersalah setelah menjadikan teman-temanya sebagai pelampiasan, dia sedang berada dalam ego yang terlalu tinggi untuk minta maaf.
Saat bel istirahat berdering, peter langsung keluar kelas tanpa mengatakan apapu pada teman-temannya. Dia berjalan cepat ke tempat favoritnya kalau sedang ingin menenangkan diri, belakang sekolah adalah tempat terakhir yang akan didatangi mereka yang pikiranya lurus. Namun sebelum dia sampai ke tempat tujuanya, dia menabrak seseorang di belokan koridor.
“ aduh...hati-hati dong kalau jalan!” kata orang itu kesakitan, saat dia mengangkat wajahnya ternyata itu nita.” Oh, hai pet, kenapa buru-buru?” sambungnya setelah mengenali siapa yang menabraknya.
Peter hanya memasang senyum setengah hati sambil menggeleng.
“ kebetulan aku juga pengen ketemu kamu. Poster yang kemarin semuanya pada suka dan sekarang sedang disebar, pasti pensinya bakalan keren deh.” Katanya semangat.” Sebenernya aku pengen minta tolong sama kamu, kamu bisa nggak anterin surat ini sama daniel. Dia hari ini nggak berangkat, sakit katanya. Dan aku nanti nggak bisa soalnya harus ikut rapat panitia.”
Peter mengawasi amplop besar berwarna coklat yang terlihat formal itu dengan enggan. Daniel sakit? Sepertinya kemarin dia baik-baik saja.
“ sorry nit, nanti siang gue juga nggak bisa, gue ada janji sama dion.” Bohong peter dengan suara serak. Hal terakhir yang ingin dilakukanya saat ini adalah bertemu dengan daniel.
“ gitu ya? Yaudah deh nggak apa-apa.” Katanya kecewa.” Yaudah duluan ya pet.”
Peter mengawasinya sampai berbelok menaiki tangga ke lantai dua sebelum dia kembali berjalan ke belakang sekolah. Pikiran mengenai daniel kembali masuk ke kepalanya. Daniel sakit apa? Parah nggak ya? Entah kenapa hal itu membuatnya khawatir. Tapi dia cepat-cepat menghilangkan pikiran itu. Daniel hanyalah seorang cowok brengsek, itulah kesimpulan yang sudah didapatnya setelah merenungkan dengan marah tentang hal ini semalaman.
Belakang sekolah peter sebenarnya adalah sebuah lahan kosong yang hampir tak terawat. Alang-alang dibiarkan tumbuh tinggi di bawah tembok batu bata, sebuah pohon mangga yang tak berbuah berdiri kaku di sudut, satu-satunya pemandangan yang tampak bagus adalah serumpun besar begonia yang sedang berbunga. Namun entah kenapa tempat ini bisa membuatnya berpikir dengan tenang saat dia lagi stres. Dia duduk di sebuah bangku panjang dari semen yang berjajar sampai kesudut. Rasa bersalah kembali menerpanya saat dia memikirkan tentang teman-teman nya, seharusnya dia tak memarahi mereka, bukan salah mereka jika daniel berusaha mempermainkanya. Mengingat ekspresi nita tadi saat dia membentaknya membuat tenggoroknya tercekat menyakitkan, membuat peter harus menundukan kepala untuk menarik nafas.
Saat itu seorang berdiri di depanya, peter tahu karena dia bisa melihat bayangan orang itu menutupi tubuhnya. Saat peter mendongak dia melihat dion yang terlihat berusaha menahan marah. Peter kembali memundukan kepalanya, bahkan untuk menatap dion pun dia tak bisa.
“ sekarang hanya ada lo sama gue! Dan lo nggak perlu bohong lagi, gue tau lo ada masalah, sekarang ceritain ke gue!” katanya dengan suara bergetar.
“ sok tahu!” kata peter ketus masih tak menatap dion.
“ lima belas tahun! Apa itu belum cukup bagi lo buat bisa percaya sama gue! Lo tu selalu...LIHAT GUE!” bentak dion tak bisa lagi menahan marahnya karena sejak tadi peter bahkan tak memandangnya. Peter yang terkejut langsung mendongak secara reflek, ini pertama kalinya dion membentaknya selama mereka berteman. “ GUE NGGAK TAHU APA YANG TERJADI SAMA LO TAPI GUE NGGAK AKAN PERNAH BISA TERIMA KALAU LO PERLAKUIN TEMEN-TEMEN LO KAYAK TADI!” nafas dion terputus-putus saking marahnya. Tubuh peter gemetar sehingga dia mencengkeram tepi tempat duduknya. Melihat peter masih terdiam, dion kembali bicara. Saat ini suaranya jadi lebih tenang dan nafasnya mulai lancar. “ gue mungkin nggak bisa banyak bantuin lo, tapi gue pengen lo tau kalau gue bakal selalu ada dibelakang lo apapun yang terjadi, gue nggak akan ninggalin lo. Cuma itu yang pengen gue bilang!” Dan dia berbalik meninggalkan peter yang masih tertunduk.
“ yon sorry.” Kata peter parau. Dion berhenti dan menoleh, kali ini peter memandangnya dengan mata yang memerah.” Gue sudah keterlaluan.”
“ ya memang.” Kata dion setengah tersenyum, yang entah mengapa memuat jantung peter yang sejak tadi berdetak liar mulai tenang.” Udah mau cerita sama gue?”
Peter masih ragu apakah dia ingin menceritakan masahnya dengan daniel padanya. Karena jika dion tau sudah bisa dipastikan bahwa dia akan mencari dan menghajar daniel, dan itu bukan hal yang bagus karena sebentar lagi mereka ujian.
“ sorry, untuk sekarang gue nggak bisa bilang.” Kata peter kembali menunduk, takut dion melihat keresahan dari matanya. Namun tampaknya kali ini dion memutuskan untuk bersikap lebih bijaksana.
“ gue ngerti.” Katanya tenang.” Mau balik ke kelas? Lo berhutang maaf sama nita.”
Peter mengangguk singkat dan mengikuti dion dibelakangnya. Tampaknya masih tersisa kecanggungan diantara mereka, karena baik dion maupun peter sama sekali tidak bicara dalam perjalanan pulang ke kelas. Nita masih duduk di kusinya, wajahnya menghilang dibalik buku tebal yang sedang dibacanya, namun dia toh mendongak ketika menyadari peter berdiri didepanya. Nita belum pernah melihat peter semerana itu, membuat kekesalan nita tadi sudah lenyap entah kemana.
“ gue minta maaf nit, udah bentak-bentak lo tadi. Gue tau kalau gue tadi nyebelin.” Kata peter dengan suara serak seperti sedang flu berat.
“ sedikit.” Jawab nita enteng sambil menutup bukunya.” Tapi aku tahu kok kalau kau lagi ada masalah. Sebenernya tadi aku minta dion buat biarin kamu sendiri dulu, biar tenang, tapi dion bilang dia nggak suka cara yang bertele-tele dan lama seperti itu.” Lanjutnya setengah geli.
Peter menoleh pada dion yang yang hanya mengangkat bahu dan berkata.” Tapi berhasil kan.”
“ aku juga udah maafin kamu kok pet.” Timbrung aldo yang datang entah darimana.
“ oh,ya gue juga harus minta maaf sama lo ya.”
“ nggak usah formal begitu.” Kata aldo sambil tersenyum, dan memasukan dua tanganya ke saku celanaya lalu melompat duduk di meja samping intan dengan santai.” Oh ya, gimana kalau hari ini kita jalan bareng, kudengar ada semacam pasar malam malam gitu di daerah kota lama, kita kesana yuk, aku juga belum pernah jalan-jalan ke kota lama.” Usulnya semangat dengat senyum lebar.
“ wah, boleh...kayaknya seru bisa jalan-jalan berempat.” Sahut nita.” Kau gimana yon? Ada latihan hari ini?”
“ kalau latihan sih gampang, gue bisa ijin dulu.” Kata dion enteng.
“ entahlah...gue lagi nggak mood buat jalan.” Kata peter malas, sebenarnya rencananya hari ini hanyalah menggalau seharian di kamarnya.
“ oh ayolah pet...aku yakin ini akan memperbaiki mood mu kok, ikut ya...sekali-sekali lah.” Desak dion pantang menyerah yang akhirnya membuat peter mengalah.
Karena itulah pukul tujuh malam itu dion sudah berada di halaman depan rumah peter dengan motornya. Hari ini dia memakai jaket kulit diatas kaos hitam berlengan pendek, dia tampak sepenuhnya rileks seakan dia tak pernah membentak-bentak peter siang tadi. Sedangkan peter, walaupun masih tampak agak malas, membahas senyuman dion dengan sedikit canggung.
“ hati-hati di jalan, pulangnya jangan malem-malem ya.” Kata ibu peter yang ikut berdiri diri di ambang pintu.
“ siap tante, tenang aja.” Kata dion sambil menepuk dadanya.
Walaupun aldo menyebutnya pasar malam, menurut peter itu lebih tampak seperti sekumpulan kios dan stan-stan yang menjual berbagai macam barang. Bangunan kota lama peninggalan belanda yang cat putihnya sudah pudar dan berlumut, kini berpendar dalam cahaya lampu warna-warni. Celotehan ramai memenuhi jalan yang penuh sesak dijejali tenda-tenda kecil yang berderet-deret. Peter dan dion bertemu dengan aldo yang sedang membonceng nita yang tampak sangat cantik dibalut baju casual berwarna biru muda, rambut keriting lebatnya yang biasanya berantakan kini diikat rapi. Untuk sesaat dion tampak melongo namun langsung bersikap biasa lagi ketika aldo dan nita berjalan mendekat.
“ kalian sudah lama sampai?” kata nita yang memandangi dion dengan heran, “ kau kenapa yo?”
“ nggak-nggak apa-apa.” Jawab dion salah tingkah.” Cepetan yuk cari makanan, laper nih gue.”
“ mood mu sudah baikan?” tanya aldo yang ikut berjalan disamping peter.
“ lumayan lah..”
Sebenarnya mood peter sudah menjadi jauh lebih baik daripada padi tadi, tapi ego peter terlalu tinggi untuk mengakuinya. Walupun dia tak bisa menahan senyum saat dion yang sedang tidak fokus jatuh terjirembab menabrak seorang ibu-ibu sampai terjengkang, hanya nita yang tampak khawatir. Mereka berhenti untuk makan di kios terdekat yang menjual berbaga macam makanan jawa. Aldo memasukan sambal banyak-banyak ke dalam rawonya yang menurutnya terlalu manis, sedangkan peter makan gudegnya dengan bernafsu seakan bersikap sangar seharian membutnya sangat lapar.
Setelah perut mereka penuh oleh gudeg dan rawon mereka kembali berkeliling pasar malam yang semakin ramai. Dion berhenti lama di sebuah stan kecil yang menjual berbagai macam kaos, sedangkan nita sangat tertarik pada spanduk kecil di stan sebelahnya yang bertuliskan , ‘karya daur ulang’. Karena sepertinya mereka berdua sedang tak bisa diganggu aldo mengajak peter untuk berkeliling dulu, yang langsung disetuluinya.
Setelah hampir setengah jam berkeliling, peter duduk dengan lelah disebuah kursi panjang dari besi tempa disudut yang agak sepi. Disampingnya tas plastik belanjaanya penuh sesak dengan berbagai macam cemilan yang tak bisa ditolaknya, sementara aldo yang ikut duduk di sebelahnya membeli sebuah ukulele bagus dengan ukiran batik.
“ capek..” keluh peter smbir bersandar.
“ tapi seneng kan?” tanya aldo sambil tersenyum dan mencoba ukulele-nya.
“ seneng.” Kata peter dengan senyum lebar. Ya memang benar dia sudah tak lagi memikirkan daniel, sehingga dia heran sendiri kenapa tadi pagi dia bisa marah-marah. Mungkin yang dikatakan dion benar. Sahabat adalah obat paling manjur untuk hati yang sakit.
“ laper nggak pet?”
“ sedikit sih, tapi tadi kan udah makan nasi, masa makan yang berat lagi.”
“ ada yang jual surabi disana, mau nggak?” kata aldo seraya menunjuk sebuah kios yang cukup ramai, spanduk didepanya bertulis ‘ surabi berbagai rasa’ yang kelihatan menggiurkan.
“ mau.” Jawab peter sebelum sempat memutuskan apakah surabi termasuk makanan berat atau tidak.
“ yaudah aku beli dulu, titip ya.” Kata aldo langsung melompat bangun setelah menyerahkan ukulele-nya pada peter.
Peter mengawasi aldo yang ikut antre didepan kios surabi itu. Saat dia melihat sekeliling ada sebuah stan yang menarik perhatianya, lebih mirip seperti sebuah tenda kecil sebenarnya, berantakan dan agak kumuh sehingga tak seorangpun mau lelayangkan pandangan kearahnya. Peter menoleh dengan agak bimbang, antreanya masih sangat panjang, maka dia memutuskan untuk melihat-lihat stan itu dulu sembari menunggu aldo.
Peter memasuki tenda sambil berkata pelan.” Permisi.” Namun tak ada yang menjawabnya. Untuk sesaat dia terkejut karena dekorasi dalam tenda berbanding terbalik dengan bagian luarnya. Ruangan itu tampak hangat karena cahaya kemerahan dari lampu-lampu minyak dalam tempat-tempat berukir yang berdiri di setiap sudut. Lantainya ditutupi permadani tebal berwarna merah dan coklat. Di tengah ruangan hanya ada tiga bangku kecil tanpa sandaran yang mengelilingi sebuah meja bundar. Diatas meja itu ada beberapa lilin beraroma menyengat dan membuat pusing. Peter sama sekali tak bisa menebak kios apa ini sebenarnya, dan untuk sesaat dia mengira dia salah masuk. Tapi saat dia berbalik hendak pergi, sebuah suara menyapanya.
“ selamat datang nak.” Saat peter menoleh dia melihat seorang wanita tua dengan penampilan paling aneh. Dia memakai sebuah jubah panjang berlapis-lapis berwarna coklat yang hampir sama dengan warna kulitnya yang sudah berkeriput. Dilehernya dia memakai kalung manik-manik berwarna-warni yang jumlahnya tak terhitung. Peter menebak usianya paling tidak sudah sembilan puluh tahun. Wanita itu duduk di salah satu bangku kecil dan mendongak menatap peter yang masih berdiri kaku.” Silahkan duduk nak.” Katanya sambil menunjuk salah satu bangku di depanya.
Peter ragu-ragu sejenak sebelum akhinya duduk di bangku yang berhadapan dengan wanita itu. Dia tak tahu harus berkata apa, sepertinya pertanyaan ‘ tempat apa ini’ tidak terlalu sopan. Namun tampaknya wanita itu tau apa yang peter pikirkan karena dia langsung bicara.
“ aku, memakai istilah umun dari masyarakat, adalah seorang peramal.” Kata wanita itu yang membuat peter langsung memahami dekorasi aneh tempat ini.” Tapi aku katakan padamu nak, bodoh kalu kau terlalu mempercayai ramalan.”
Oke ini aneh. Baru kali ini peter mendengar ada seorang peramal yang mengatakan jangan mempercayai ramalan.
“ tapi anda meramal kan?” tanya peter tak bisa menahan diri.
Wanita itu tersenyum penuh pengertian sebelum menjawab.” Aku mengatakan pada orang-orang apa yang kulihat, tapi aku tak bisa memberitahu mereka apakah yang kulihat itu adalah kenyataan. Tangan kirimu, nak, kalau boleh.”
Peter mengulurkan tangan kirinya dengan agak ragu. Wanita itu menyusuri telapak tangan peter dengan jari-jari berkeriputnya yang memakai cincin batu jelek. Ekspresi wanita itu aneh, seperti kesedihan seseorang saat memandangi foto keluarganya yang sudah tidak sama lagi. Dia menghela nafas dalam sebelum menatap peter dengan senyuman sedih.
“ ini bukan garis tangan yang bagus nak.” Peter menelan ludah.” Harus kukatakan, kau diikuti sesuatu yang jahat. Kematian barang kali.” Dia mengakhirinya dengan menepuk tangan peter penuh simpati. Apakah ini jawaban dari semua pertanyaan yang menggelayut di kepalanya. tentang kematian tommy dan para preman itu? Peter akui ini membuatnya sangat takut sehingga wajahnya memucat. Sepertinya wanita itu menyadarinya, karena dia langsung berkata hati-hati.” Tapi seperti yang kukatakan tadi nak. Bodoh kalau kau terlalu mempercayai ramalan.”
“ maksud anda, saya akan mati?” tanya peter pelan.
“ oh tentu.” Jawab wanita itu yang langsung membuat nafas peter tercekat.” Tentu, kita semua akan mati jika sudah waktunya, kau tak perlu merisaukan itu.”
“ tadi anda bilang saya diikuti kematian.” Kata peter dengan nada setengah menuduh.
“ yang bisa kukatakan padamu adalah aku melihat sesuatu yang gelap di jalanmu, tapi aku tak bisa memberitahumu apa itu, nak.”
Peter tak bertanya lagi. Sepertinya dia merasa tak akan mendapat banyak informasi dari wanita ini, maka dia berdiri dan mengambil dompet dari saku celananya.
“ jadi ehm...berapa saya harus membayar anda?”
“ oh aku tak akan meminta bayaran untuk berita buruk nak, tidak, sepertinya itu sudah cukup membebanimu.” Katanya sambil memandang peter iba.
“ baiklah terimakasih.” Kata peter yang langsung berbalik dan keluar tenda. Mau tak mau dia kembali memikirkan kata-kata wanita tadi. Kalau dia memang diikuti kematian mungkin memang karena dialah tommy dan para preman itu meninggal. Sebelum peter sempat mencerna dugaan mengerikan ini, seseorang menepuknya dari belakang dan membuat dia terlonjak.
“ kau darimana saja sih?! Panik aku mencarimu, kukira kau hilang!” kata aldo marah, dia membawa dua buah kotak kardus kecil yang peter yakin isinya surabi.
“ hehe sorry-sorry do, tadi gue jalan-jalan sebentar.”
“ yaudah, nih surabimu.” Katanya sembari menyerahkan salah satu kotak kardus itu pada peter.
“ thanks do, hmm enak. Kita cari dion sama nita yuk,”
Aldo mengangguk pelan dan mengikuti peter yang sedang berjalan sambil memakan surabinya. Mereka menemukan dion dan nita di dekat parkiran, dion tampak kesal karena ditinggalkan. Membuat dia marah-marah sepanjang perjalan pulang yang nyaris tak didengarkan oleh peter. Kata-kata peramal tua itu masih saja menghantuinya karena hal itu sama persis dengan ketakutan terbesarnya.
*****
Kemanakah daniel beberapa hari belakangan ini? Peter tak pernah lagi melihatnya setelah insiden yang membawa malapetaka dirumahnya dulu. Sejenak peter merasa bahwa mungkin daniel menghindarinya. Tapi hal itu terbantahkan saat peter makan dikantin bersama nita dan aldo di suatu siang yang mendung. Dion datang kesana saat peter sedang setengah jalan menghabiskan rotinya, dia tampak kesal.
“ ketua osis nggak berguna! Kemana sih dia saat dibutuhin!” kata dion kesal sambil menyambar roti yang sedang dimakan peter dan menelanya sampai habis.
“ lo kesambet apaan sih?” tanya peter.
“ pacar lo tuh. Pas gue butuh dia, dia malah nggak berangkat, pas gue nggak butuh, dia nongol tiba-tiba!”
“ maksudmu daniel.” Sambung nita setelah selesai mengunyah baksonya.
“ iyalah siapa lagi. Sensei andre nyuruh gue minta formulir pendaftaran buat lomba karate yang katanya dibawa si daniel, pas gue kekelasnya dia nggak ada. Temen-temenya bilang udah beberapa hari dia nggak berangkat.”
“ kenapa? Sakit?” tanya nita antusias sementara aldo masih sibuk dengan sotonya dan tampak sama sekali tak tertarik dengan pembicaraan ini.
“ katanya sih. Pet, nanti temenin gue kerumahnya daniel ya?” tanya dion tiba-tiba yang membuat peter tersedak jus jeruk yang sedang diminumnya, dan langsung gelagapan mencari alesan.
“ hmm...sorry gue nggak bisa yon, hari ini gue harus hmm nganterin mama arisan.” Jawab peter yang sedang ingin menjauhi apapun yang berhubungan dengan daniel saat ini.
“ tumben, biasanya lo seneng banget kalau ketemuan sama si daniel.” Kata dion heran sementara peter memilih meminum kembali jus jeruknya dan mengabaikan dion.
“ kalau gitu pulang bareng aku ya pet.” Kata aldo antusias.
“ boleh.”
“ yah jadi gue harus kerumah daniel sendirian nih, payah!”
“ aku bisa ikut.” Kata nita tiba-tiba sambil tersenyum.
“ beneran nih nit? Asik.” Kata dion yang langsung kembali ceria, mengambil jus jeruk peter dan menghabiskanya dalam sekali teguk.
Mau tak mau peter kembali kepikiran tentang daniel. Kira-kira dia sakit apa ya sehingga harus absen hampir seminggu? Apakah dia harus menjenguknya? Tapi peter pikir itu bukan ide yang bagus saat ini, ditambah lagi dia juga masih kesel sama daniel.
Hujan turun dengan luarbiasa deras saat motor aldo berhenti di depan gerbang rumah peter. Dia menyuruh aldo memasukan motornya ke halaman dan berteduh dulu di rumah peter yang sama sekali tak ditolaknya. Walaupun badan dan motornya basah kuyup namun anehnya aldo tampak senang.
“ masuk dulu do, bentar gue bikinin teh anget. Nih keringin dulu badan lo.” Kata peter sembari menyerahkan handuk kecik pada aldo yang langsung mengeringkan rambutnya.
“ makasih pet, sorry ngerepotin.”
“ nggak lah aku yang makasih udah dianterin pulang. Tunggu disini dulu ya.” Kata peter sambil berjalan menuju dapur.
Setelah mengeringkan rambut dan badanya, aldo duduk di salah satu sofa di ruang tamu rumah peter yang terasa hangat. Dia memandangi dengan tertarik sebuah foto keluarga besar yang terpasang di salah satu sisi dinding. Seorang pria dan wanita yang tampak sangat bahagia menggendong seorang bayi mungil dengan rambut ikal. Saat aldo sedang mengawasi bayi peter sambil tersenyum simpul, peter yang sudah dewasa datang dari arah dapur, membawa sebuah nampan berisi dua cangkir yang masih mengepul.
“ minum dulu do, biar anget.” Kata peter sambil mendorong salah satu cangkir kedepan aldo.
“ makasih pet.”
Saat peter hendak duduk, HP di saku celananya bergetar sehingga membuatnya kembali berdiri untuk mengambilnya. Layar HP yang menyala bertuliskan, dion. Peter menekan tombol receive dan menempelkanya ke telinga.
“ pet, gawat...” kata dion diseberang dengan suara tersegal, deru hujan juga terdengar dari tempat dion bicara.
“ kenapa yon, lo...lo baik-baik aja kan?!” tanya peter yang langsung panik
“ daniel...daniel meninggal!”
Peter terduduk dikursinya dengan shock, tanganya gemetar, sesuatu menyumbat nafasnya, terasa berat dan menyakitkan.
“ lo, nggak bercanda kan?” katanya dengan suara hampa.
“ nggak mungkin lah gue bercandain yang beginian. Gue sama nita baru aja sampai di tempat daniel, sudah ada rame-rame. Gue tanya orang yang ada disini katanya daniel meninggal, bunuh diri...”
HP peter terjatuh dan pecah dilantai keramik, namun dia tidak mempedulikanya. Ini tidak mungkin...daniel tidak mungkin bunuh diri...ini tak mungkin terjadi bahkan dalam mimpi terburuknya. Peter memegang dadanya yang terasa sangat sakit, matanya mulai berair. Dia berharap ini hanya gurauan, dia berharap daniel sudah ada di depan pintu rumahnya dan tersenyum lebar sambil berteriak ‘ kejutan.’ Namun hal itu tak pernah terjadi. Nafas peter menjadi tercekat, setiap tarikan nafas menjadi luar biasa menyakitkan.
“ pet..peter kau baik aja!?” kata aldo panik sambil memegangi punggung peter yang mulai bergetar. Peter langsung memeluk aldo erat. Dan menagis keras.
*****
Malam sudah turun, namun hujan tak juga berhenti. Rumah sederhana itu tampak terang dan ramai namun dengan nuansa duka yang sangat pekat. Para pelayat terus berdatangan, berlindung dari hujan dengan payung-payung mereka. Seorang wanita setengah baya tampak sangat merana, matanya sembab dan wajahnya kusut saat dia menyalami para tamu yang mengucapkan bela sungkawa. Wanita disampingnya yang berkuncir kuda tampak lebih tegar, walaupun pundaknya terlihat berguncang saat dia menunduk, mendekap wajahnya dengan kedua tanganya yang gemetar.
Sementara itu, seorang pria memandangi rumah itu dari kejauhan. Walaupun hujan mengguyur tubuhnya, dia sama sekali tak berusaha berteduh. Penampilan pria itupun terlihat kacau, rambutnya berantakan seperti orang habis bangun tidur, ada lingkaran gelap dibawah matanya yang tampak berat, wajahnya tirus dan pucat seakan sudah sangat lama tak terkena sinar matahari. Selain itu ditubuhnya penuh plester penutup luka di tempat-tempat yang ganjil, pipi, lengan, leher, bahkan dijari-jarinya. Satu-satunya yang terdengar selain deru hujan adalah suara klak keras saat pria itu memakan coklat batangan yang ia bawa.
“ kau tak akan lolos dari ini.” Katanya geram sambil meremas coklat ditanganya sampai hancur.” Peter!”
hmm...siapa y...