It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
'Just a shot, just a shot in the dark, oh oh
All you got, all you got are your shattered hopes
They never saw it coming
You hit the ground running
And now you're onto something, I, I, I say
What a sight, what a sight when the light came on
Proved me right, proved me right when you proved them wrong
And in this perfect weather
It's like we don't remember
The rain we thought would last forever and ever
There you'll stand, ten feet tallI will say, "I knew it all along."
Your eyes–wider than distanceThis life–sweeter than fiction'
"Good morning, Fian"
Cowok yang tengah asyik dengan gitarnya tersebut langsung mendongakkan kepala ketika mendengar seseorang memanggilnya dari balik dinding penghubung antara ruang tengah dengan dapur rumah kecil tersebut. Matanya coklat khas orang Indonesia. Berbeda dengan teman sebayanya, bibirnya merona merah muda menyala karena ia tak pernah sedikitpun menyentuh rokok. Selain itu, rambutnya yang tebal tersebut menutupi hampir semua dahinya. Fian tersenyum saat mendapati sosok yang baru 3 hari ini ditempatkan dirumahnya sementara waktu.
"Hi, Ben." Lirih Fian sembari meletakkan gitar tuanya ke lantai, sedikit mengagetkan Ratna yang sedang mendengkur diatas permadani ala kaum Persia yang beberapa tahun lalu dibelikan oleh Pak Denya. "Bagaimana tidurmu?"
Ben, pria berkebangsaan Britania Raya tersebut menghampiri Fian yang sedang duduk di dekat piringan kuno milik Bu Denya. "Boleh aku duduk?" Tanyanya ketika berjarak hanya tiga langkah dari cowok pribumi tersebut. Fian mengangguk. Iapun menarik sebuah kursi rotan tua dan duduk di samping Fian. "Aku rasa aku pernah mendengar lagu itu sebelumnya.."
Fian mengulum senyum manis dan mengangkat Ratna ke atas pahanya. Kucing Anggora tersebut tak bisa berbuat apa-apa selain mengeong, tapi saat selanjutnya Ia menikmati usapan kulit Fian diatas tubuhnya. "Sweeter Than Fiction, dari Taylor Swift. Dan kamu belum menjawab pertanyaanku, Ben."
"Oh, benar. Maaf. Aku masih agak kurang nyaman dengan kasurnya. Tapi aku yakin aku bisa membiasakannya." Ben terkekeh saat membayangkan kasur yang mengerikan itu. Di negerinya, Ia bisa tidur dengan nyaman diatas kasur yang empuk. Tapi di Indonesia, kasurnya tanpa per. Dia tak bisa tidur dengan nyenyak dimalam hari karena kasurnya diletakkan diatas papan papan yang sudah disusun. Punggungnya sakit memang, tapi memang itu resikonya. "Kucing yang cantik."
Fian mengangguk. "Namanya Ratna."
"Well," Ben menelan ludahnya. "Di Inggris aku juga punya peliharaan. Tapi anjing. Kami menamainya, Josh."
"'Kami'?" Ulang Fian dengan sebelah alis yang terangkat. "Aku pikir tadi kamu menyebut kalau hewan itu milikmu?"
"Memang." Angguknya. "Aku dan Josh, kami berdua sangat dekat. Meski, dia itu dasarnya anjing milik keluargaku."
"Aku selalu suka dengan anjing." Fian menimpali. "Sayang sekali aku alergi dengan bulu anjing."
"Sayang sekali ya.." Ben mengulangi, tampak dia sangat menyayangkannya. Padahal, Josh mungkin akan senang berada diatas paha Fian seperti itu. "Omong-omong, kamu bisa nyanyi apa aja?"
Fian mengangkat kedua bahunya sambil memanyunkan bibir. "Tergantung. Aku cuman menyanyikan lagu-lagu yang aku suka."
"Apa kamu pernah mendengar lagu, 'Creep' nya The Killers?"
Fian mengangguk. "Tentu saja. Tapi aku tak mendengar versi aslinya. Hanya versi penyanyi lain waktu tampil di acara ajang pencarian bakat beberapa tahun yang lalu." Jawabnya.
Ratna tahu diri kalau Fian akan kembali memainkan gitarnya. Maka dia berdiri dan memilih tempat lain untuk mendengkur : paha Ben. Fian langsung melotot pada kucing kesayangannya itu. *Ratna! Nggak sopan! Turun!* batinnya seolah olah Ratna mengerti.
Namanya saja kucing, jika sudah menemukan tempat yang nyaman, mereka pasti akan langsung mendengkur. Tak beda dengan Ratna yang sekarang melingkarkan tubuhnya diatas paha Ben yang hanya dibaluti joggerpants tersebut. 'Hi, sweetheart' bisik Ben pelan. Tapi masih bisa didengar oleh Fian.
"Oh, maafkan dia. Dia kadang juga suka lancang."
Ben menggeleng. "No, no, no. She's cute." Timpal Ben. Ia kemudian terkekeh. "Go head, mainkan aku lagu tersebut."
Fian memanyunkan bibirnya sebentar sebelum kemudian memperingati teman bulenya tersebut : "Versinya agak sedikit beda, jadi.."
"Go, go, go!" Suara Ben seolah-olah memerintah. Membuat Fian sedikit kesal, namun senang karena bule tersebut menyukai suaranya.
'When you're here before, couldn't let you in the eye
You look like an angel, your skin makes me cry
You float like a feather in a beautiful world
You're so freakin' special, I wish I was special
But I'm a creep, I'm a weirdo
What the hell am I doing here? I don't belong here..
He's running out, he run out
He's running out, he run, run, run, ru--'
"Tunggu, kamu nyanyiin itu untuk cowok?" Dengan kurang ajarnya, Ben langsung menyela permainan Fian dan membuatnya langsung berdecak kesal.
"Kamu menyebalkan."
"Kamu gay?" Serang Ben langsung, matanya berbinar-binar sekarang. Lucu sekali.
"Lalu?" Fian mencari-cari kunci lagi untuk melanjutkan lagunya. "Kamu ada masalah dengan itu?"
Entah kenapa, senyuman cerah secerah cuaca pagi di luar sana langsung terukir di bibir Ben. Itu terjadi begitu saja. Bahkan Ben sendiri tak tau apa yang membuatnya bisa tersenyum selebar itu.
Fian sampai ketakutan gara-gara itu.
"Kamu menakutiku, Ben."
~~~
Senin, seperti biasa Fian menuruni tangga menuju meja makan dimana Bu De dan Pak Denya sudah duduk duluan dengan beberapa roti bakar dan dua botol nutella didepan mereka. Fian sudah rapi dengan seragam putih abu-abunya. Ransel Camo merahnya ia sandang di bahu kiri. Sedangkan tatanan rambutnya masih sama seperti hari hari sebelumnya. Bukan Fian yang terlalu buta dengan fashion, hanya saja memang rambutnya yang sangat sulit diatur.
"Pagi, Bu De. Pak De." Suara Fian pelan dan langsung menarik kursi di depan Bu Denya yang sedang memencet-mencet remot TV.
Pak De sudah memakai baju dinasnya yang sudah agak sedikit longgar di badannya. Kantornya mengadakan program wajib diet dan membuatnya merutuk sebulan penuh karena ia sangat benci olahraga. Tapi efek baiknya, pria berumur kepala empat tersebut sekarang tampak lebih sehat daripada yang biasanya. "Udah sholat kamu?"
Fian yang sedang mengolesi selai kacang di rotinya hanya mengangguk pelan dan kemudian langsung memfokuskan matanya kepada tontonan Bu De pagi ini : Insert.
Yah, Fian tak ada pilihan lain selain ikut menonton apa yang Bu Denya tonton. Lagian, Spongebob Squarepants sudah pindah jam tayang. Sialnya bel pertama berbunyi lebih cepat daripada sekolahnya yang lain. Itu artinya Fian harus berangkat lebih awal jika tak mau dihukum Pak Doni : berdiri di lorong sekolah nanti.
"Ben udah bangun, dek?" Tanya Buk Denya tiba-tiba.
"Entahlah, Bu De. Fian langsung kebawah aja tadi."
Bu De berdiri dan meraih teko yang sepertinya berisi teh didalam. "Kamu kan satu sekolah mulai hari ini sampai beberapa bulan kedepan sama dia, jadi kamu harusnya bangunin dia juga dong. Kemarin bilang kan kalau disini tuh sekolahnya lebih pagi?" Bu De menasehati Fian panjang lebar yang hanya ditanggapinya seperti angin lalu.
Ben adalah peserta pertukaran pelajar dari Inggris. Dan kebetulan sekali ia ditempatkan di sekolah yang sama dengan Fian. Hari pertama Ben menginjakkan kaki di komplek perumahan Fian saja, semua orang langsung menjadikan Ben topik panas untuk dibicarakan. Bagaimana tidak? Sosoknya yang jangkung, berbibir tipis dan rambut coklat terang itu berhasil memikat hati kaum hawa. Baik Hawa muda ataupun Hawa kematian. Kalian mengerti maksudku?
Bagaimana Fian bisa dibebankan tugas untuk menjadi pemandunya Ben selama berada di Indonesia? Well, Pak De bekerja di Dinas Pendidikan. Dia juga yang mengatur semua ini pada Fian. Sederhana saja, Pak De dan Istrinya selalu ingin melihat keponakannya bahagia bersama bule. Tapi sudah banyak cowok yang mendekatinya, Fian tak kunjung peka dan berakhir dengan--well--sakit hati si cowok-cowok tersebut.
Mereka tak pernah mengerti dengan selera anak muda, kan?
"Kamu berangkatnya nanti sama Ben aja, ya?" Tukas Bu De.
Fian hanya mengangguk sambil menyeruput tehnya yang masih hangat. Sesaat kemudian, Ben bergabung di meja makan sambil mengucapkan selamat pagi pada Bu De dan juga Pak De.
Ben pagi ini tampak seperti preman saja. Baju putih yang melekat di tubuhnya benar-benar kekecilan. Lihat, dadanya bahkan sampai tercetak dengan jelas. Untung saja dia pakai oblong putih polos di dalamnya.
"Kamu nggak ada baju yang lebih besar sedikit, ya?" Tanya Fian langsung, diikuti oleh tatapan kedua Pak De dan Bu Denya.
Ben menggeleng dan duduk di samping Bu De yang langsung menuangkan kopi sambil tersenyum ramah pada bule jangkung tersebut. "Terimakasih, Mrs. Hayyan. Dan Fian, tidak. Mereka hanya memberiku satu ini saja."
"Too bad." Tukas Fian langsung. "Nanti ikut aku untuk mencari baju yang lebih pas untukmu. Dadamu terlalu tercetak disana, Ben."
"Nah loh, bagus dong, dek." Sahut Bu De. "Itu artinya dia seksi. Seksi kayak Chris Prett itu loh dek."
"Pratt, Bu De. Pratt." Koreksi Fian tak terima saat Bu Denya salah menyebutkan nama aktor favoritnya. "Dan lagian, Ben nanti akan di setrap sama Pak Dodi kalau makai baju kayak begitu."
"Ah, bilang aja sama Pak Dodimu itu kalau Ben itu anak AIESEC." Sahut Pak De sembari melipat korannya. AIESEC itu nama program pertukaran pelajarnya, omong-omong. "Toh biarin aja sekali-kali kan."
Ben yang sama sekali tak mengerti dengan pembicaraan ketiga orang di depannya--yang bicara dengan bahasa Indonesia yang faseh dan cepat--hanya bisa tersenyam-senyum kikuk. Apa mereka mengatakan sesuatu yang buruk tentangku? Batin Ben lagi dan kemudian melahap roti panggangnya.
Ben bisa bicara Indonesia, sedikit. Tapi belum begitu faseh benar.
"Yasudah kalau begitu. Nanti aku bilangin ke Pak Dodinya deh, Pak De." Fian akhirnya mengalah dan menyandang tasnya. "Aku mau siapin sepeda dulu ya.."
"Ehh!" Potong Bu De. "Kok pakai sepeda? Pakai motornya Pak Demu aja dek."
Fian menaikkan sebelah alisnya,bingung. Lha biasanya dia emang ke sekolah naik sepeda kok. Kenapa tiba-tiba Bu Denya menyuruhnya naik motor? Lagian kan Fian juga tidak bisa membawa kendaraan tersebut.
"Ah, Fian nggak mau." Tolak Fian cepat. "Naik sepeda lebih ramah lingkungan."
"Naik motor lebih ramah waktu." Serang Bu De tak mau kalah.
"Ayolah Bu De, sekalian olahraga pagi kan akunya.." Fian mulai memelas. Membuat Ben diam-diam tersenyum di tempatnya.
"Ben," Panggil Bu De dan kemudian langsung mengucapkan beberapa kosakata Inggris dengan lidah yang terpatah-patah. "Kamu bisa bawa motor kan? Nanti kamu boncengin Fian, ya?" Ya ampun! Bu De terdengar sangat memalukan kalau bicara bahasa Inggris. Dan apa-apaan dengan aksennya yang barusan? Dua tangan yang seolah-olah memperagakan sedang membawa stang motor?
Pak De hanya tergelak kecil di tempat melihat tingkah istrinya yang terlalu bersemangat dalam mencarikan cinta keponakan lelaki satu-satunya tersebut. Meski Ben sama sekali buta tentang rencana terselubung sepasang suami istri tersebut. Bagi mereka, biarlah Ben yang merasakan rasa itu sendiri. Mereka tak ingin memaksa, tapi selalu akan mencoba.
Ben mengangguk. "Tentu saja, Mrs. Hayyan. Aku bisa."
Fian menjatuhkan bahunya, lengkap sambil memutar matanya. Apa kata teman-teman ya nanti? Ucapnya dalam hati.
Sementara itu Bu De mengangkat jempol kanannya pada sang suami dengan sebuah kedipan mata. Misi pertama, berhasil! Katanya dalam hati. Sedangkan sang suami juga balas mengedipkan mata seolah-olah berkata. 'We did it!'
~~~
"Apa kotamu selalu macet seperti ini?!" Teriak Ben saat berada di perempatan yang sedang macet.
"Ya! Selamat datang di Indonesia, brother!" Balas Fian tak kalah nyaring di telinga Ben.
Kendaraan sama sekali tak bisa bergerak. Mobilpun hanya bisa merangkak. Fian kesal dengan keadaan ini, tapi Ben justru menyukainya. Yah meski asap-asap seperti suara klakson yang memekakakkan telinga sangat mengusiknya. Berada di dekat Fian, membuatnya merasa nyaman. Bahkan saat Fian menggerutu di belakangnya seperti ini.
Ya Tuhan, ada apa dengan Ben sebenarnya?
~~~
Dugaan Fian benar.
Pak Dodi benar-benar menyetrap Ben di lorong sekolah setelah upacara berlangsung. Kali ini bukan karena bajunya yang terlalu kekecilan, tapi Ben yang banyak tanya saat upacara berlangsung. Fian mencoba untuk memberi pengertian padanya, tapi Ben tetap saja bertanya dengan cueknya tanpa menyadari badannya yang tinggi dan besar sangat mudah diperhatikan oleh guru-guru.
'Fian, yang barusan itu kenapa namanya Pancasila?'
'Hey, lihat. Kenapa pemimpin upacara itu selaku mendegapkan dadanya seperti itu?'
'Ditempatku terompet selalu jadi alat musik wajib kalau sedang upacara ataupun penyambutan ratu'
'Aku mau pipis. Disini sangat panas. Kenapa mereka menjemur semua siswa di luar seperti ini?'
Dan pada akhirnya, Pak Dodi langsung menarik Ben dari barisan dan memisahkannya dari Fian. Bule itu langsung diam saat melihat kumis tebal dan tatapan mematikan dari guru KWN yang terkenal sangat garang tersebut. Lebih garang daripada Kak Rosnya Upin Ipin.
Saat jam istirahat tiba, Fian langsung keluar kelas dan menemukan Ben yang saat ini masih berdiri di lorong sekolah. Pak Dodi dan Bu Tati berdiri mengawasinya dengan mata melotot. Ben tampak sangat bodoh, tapi juga lucu di saat yang bersamaan sekarang.
Fian berniat untuk menghampiri kedua guru tersebut dan meminta pengertiannya untuk Ben. Ben pasti dihukum karena ribut waktu upacara, pakaian yang tak rapi dan bahkan kaus kaki yang terlalu pendek. Dia dihukum tiga kali lipat di hari pertamanya sekolah dan menjadi tontonan orang-orang yang lewat. Muka putihnya merah padam sekarang. Tapi, Fian mendapati dirinya berhenti didepan pintu dan tertawa melihat kondisi Ben saat ini.
Melihat Bule yang sedang berdiri satu kaki dengan dua tangan yang menjewer kupingnya.
Lucu sekali.
Ia mendadak teringat dengan lagu yang kemarin pagi ia nyanyikan saat melihat Ben. Dan tiba-tiba ia tersenyum begitu saja.
'There you'll stand, ten feet tall
I will say, "I knew it all along."
Your eyes–wider than distance
This life–sweeter than fiction'
[Bersambung]
"Kamu berkeringat." Ujar Fian tak kuasa menahan gelaknya melihat Ben yang sedang menggerutu di depannya. Bajunya sudah ia ganti dengan yang lebih besar dan pas untuk badannya. Tapi dia malah tampak lucu dengan setelan itu.
Fian yang menemaninya ke ruang busana sekolah tadi untuk meminta baju ganti. Sepanjang jalan menuju tempat itu, Ben tak henti-hentinya meracau tak jelas perihal Pak Dodi yang begitu galak dan memarahinya karena bertanya hal hal yang menurut bule itu penting. Ben sebenarnya tidak salah, yang salah itu dia menanyakannya di waktu yang tidak pas.
Ben masih membiasakan mulutnya dengan makanan yang ada didepannya : benda bulat kenyal dengan kuah yang tampak berminyak. "Apa ini?" Tanyanya sembari menunjuk makanan tersebut.
"Namanya bakso." Ujar Fian sembari merogoh sakunya. "Semacam daging yang di bentuk seperti bola, setelah itu disiram kuah panas yang diberi bumbu terlebih dahulu. Di Inggris ada kan?"
"Ada, tapi kami biasanya menyajikannya bersama spagetti."
Ben tak mempedulikan orang-orang yang kini sedang memandangnya asing. Seorang bule sedang duduk di tengah-tengah orang-orang pribumi di siang bolong saat jam makan siang, itu pemandangan yang tidak biasa bukan? Alhasil semua orang saling berbisik dengan teman temannya di meja sambil melirik Ben yang sekarang sudah sangat kelaparan. Namun Ben cuek dan mulai mengambil sendok serta garpu.
"Tunggu." Ucap Fian dan menyodorkan sebungkus tissue kering pada Ben. "Bersihkan dulu keringatmu sebelum makan."
Ben mengangguk dan kemudian meraih tissue tersebut. Setelah itu Ben membersihkan keringat yang meluncur bebas mengikuti fitur wajahnya. Indonesia sangat berbeda dengan negara aslinya. Lebih panas, tapi juga lebih ramah. Fian contohnya, Mr. dan Mrs. Hayyan juga orang yang baik. Tapi Pak Dodi dan buk Tati tidak.
Hiiy! Membayangkan kumis Pak Dodi saja membuat kedua bahu Ben bergidik geli.
"Kenapa?" Fian ternyata menyadari gidikan di bahu Ben tersebut. "Kamu barusan menggidikkan bahumu. Ada apa?"
Bule bertubuh jangkung tersebut meremas tissuenya, meletakkannya di samping mangkuk basonya dan lalu menggeleng. "Ah, tidak ada apa-apa. Aku cuma masih terbayang-bayang dengan rupa kumis Pak Dodi."
Ada yang berbeda dari cara Ben mengucapkan 'Pak Dodi'. Sama seperti kebanyakan bule pada umumnya, lidahnya masih patah-patah menyebutkan kosa kata yang tertera dalam KBBI. Dan bagi Fian, itu lucu. Ditambah lagi kini cowok tersebut juga ikut-ikutan membayangkan kumis Pak Dodi yang epik itu.
Yah, sedikit.
"Ada yang salah denganku?" Ben cengo sendiri melihat Fian yang tiba-tiba saja tersenyum tipis didepannya, membuat cowok pribumi tersebut langsung menetralkan otot-otot wajahnya dan memasang tampang datar. "Kamu barusan menertawakan apa?"
"Ah, tidak ada kok." Balasnya dan mengambil sendok serta garpu di sebelahnya. "Ayo cepat makan. Kamu sudah bolos empat jam pelajaran sekaligus. Kamu tidak boleh terlambat untuk selanjutnya."
"Oke. Baiklah." Setujunya setelah menelan terlebih dahulu baso yang ada di dalam mulutnya. Bule itu sepertinya mulai suka dengan makanan khas Indonesia yang satu ini. Buktinya belum ada 5 menit Fian menyuruhnya makan, basonya sudah tersisa sedikit di dalam mangkok.
Dan melihat itu, Fian hanya mampu bergeleng kepala.
~~~
Fian dan Ben tidak mendapatkan kelas yang sama. Itu semua kebijakan dari kepala sekolah ataupun kantor tata usaha untuk meletakkan siswa asing di kelas mana. Terlebih lagi karena di luar tidak ada penjurusan seperti di negeri ini, maka sedikit lebih sulit bagi Ben untuk mendapatkan kelas. Fian itu siswa jurusan Bahasa. Sedangkan Ben mendapatkan kelas di dalam jurusan Sosial. Sial bagi Ben karena dia sama sekali tidak kenal orang lain di sekolah ini selain Fian. Lebih sialnya lagi, Pak Dodi yang terkenal galak dan killer itulah wali kelas dari kelasnya Ben.
Double strike!
Hari Fian berjalan seperti biasa. Matematika, Sastra Indonesia, Sastra Jerman, dan Sejarah adalah mata pelajarannya hari ini. Sedangkan Ben, hmm.. harinya sedikit tidak biasa. Pertama : dia harus memperkenalkan dirinya dengan canggung di depan kelas, well, bule yang satu ini memang belum begitu bisa menyebut kata-kata Indonesia dengan lancar. Dan kedua, banyak cewek yang mengerubuninya dan juga cowok-cowok dengan pakaian keren yang sebenarnya mengajaknya nongkrong di belakang sekolah, hanya saja Ben tidak mengerti dan merespon dengan senyuman serta anggukan kikuk saja. Dan ketiga, ya ampun, sisa hari sialnya ini harus dihabiskan dengan pelajaran Bu Tati yang terkenal nggak kalah killernya dengan Pak Dodi.
Ben bisa apa selain cengo sendiri karena tidak mengerti? Iya kan?
Tapi untung saja ada seorang cewek yang duduk disampingnya selalu membantu Ben dalam menterjemahkan pelajaran Bu Tati kedalam bahasa Inggris. Yang lain sih, semuanya hanya bisa berbisik-bisik di belakang, berbeda dengan cewek ini. Namanya Clarisa. Kulitnya putih dan rambutnya hitam legam dengan panjang sebahu.
Selama sisa hari ini, Ben selalu mengandalkan Clarisa hingga bel pulangpun berbunyi. Clarisa orangnya baik.
Dan sepertinya.. dia juga dari keluarga yang terpandang.
"Mau mampir kerumahku dulu?" Tanyanya sopan saat berjalan menemani Ben menuju kelasnya Fian.
Ben menoleh pada Clarisa yang sekarang sedang menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Aku harus minta izin Bude dan juga Pakde dulu, tapi terimakasih untuk ajakannya."
"Bude? Pakde?" Ulang Clarisa. "Siapa mereka?"
"Oh, mereka itu keluarganya Fian. Aku kebetulan sekarang tinggal dirumah mereka dan aku tidak bisa keluar rumah begitu saja, kan?"
Clarisa mengangguk faham. Saat sudah hampir sampai di depan kelasnya Fian, Clarisa tiba-tiba bersuara : "boleh aku minta nomor telfonmu?"
Alis Ben spontan naik sebelah. Seorang cewek meminta nomor telfonnya tiba-tiba? Di Inggris sana, jarang sekali ada orang yang mau meminta nomor telfonnya. Kecuali kalau ada alasan penting. Terlebih kalau yang meminta itu cewek. Pasti ada alasan spesial di balik itu semua.
"Tenang saja, aku cuma berniat ingin membantumu, kok." Kata Clarisa segera saat melihat wajah Ben yang sekarang tampak aneh.
"Membantu apa?"
Clarisa mendadak jadi mati kutu. Wajahnya sedikit merona merah dan tiba-tiba saja ia memalingkan kepalanya dari Ben. Tanpa bule itu sadari, jantung cewek tersebut berdetak lebih cepat daripada yang biasanya. Apa orang ini nggak pernah nonton Girl's Code, ya? Batin Clarisa.
"Um.." responnya tiba-tiba. "Kamu tau kan kalau Buk Tati itu sangat gemar memberikan PR yang banyak. Jadi aku cuma berniat untuk membantumu, kamu bisa menelfonku nanti kalau tidak mengerti."
"Ah.." Ben mengangguk dan sesaat kemudian mengeluarkan ponselnya. Sebuah lambang klub sepakbola langsung bergoyang-goyang dari kait gantungan telfon genggamnya tersebut. Ben memang menyukai sepak bola, terlebih lagi klub favoritnya adalah Real Madrid.
Tapi baru saja Ben ingin mengucapkan nomor telfonnya pada Clarisa yang sekarang juga sudah bersiap-siap dengan ponsel di tangannya, seseorang memanggil bule tersebut.
"Ben!"
Mereka berdua langsung menoleh ke sumber suara dan menemukan Fian yang sedang berlari kecil menghampiri Ben dan Clarisa. Ben terrsenyum manis pada cowok tersebut, sedangkan Clarisa menjatuhkan bahunya sambil menghela nafas kesal. Telat deh gue, batinnya.
"Maaf ya, lama. Tadi aku piket dulu jadi agak telat keluar kelasnya." Kata Fian saat sudah berada di depan mereka berdua. "Hai Clarisa."
"Hai." Balasnya agak ketus.
"Kita pulang sekarang?" Respon Ben yang langsung dianggukkan oleh Fian. Membuat bule tersebut langsung memasukkan ponselnya ke dalam tas dan mengeluarkan kunci motor dari dalam saku celananya. Clarisa jadi semakin jengkel karena rencananya untuk mendapatkan nomor telfon Ben benar-benar gagal sekarang.
"Aku pulang dulu, ya, Clarisa?" Ucap Ben dan menoleh padanya.
Bagai rubah, Clarisa langsung memasang wajah ceria untuk menyembunyikan kejengkelannya. "Oh, ok. Sampai jumpa besok, ya?"
"Dah Clarisa." Ini Fian yang bersuara. Clarisa hanya menjawabnya dengan senyuman, padahal didalam hati ia merutuki cowok yang kini berjalan menuju gerbang bersama bule ganteng tersebut.
~~~
Ratna sedang makan dengan lahapnya sore itu saat hujan deras mengguyur daerah tempat tinggal keluarganya. Bunyi air yang beradu dengan atap-atap rumah penduduk terasa sedikit memekakkan telinga. Pohon-pohon serta tumbuhan di luar rumahpun tampak bergoyang-goyang dicium angin kencang. Fian duduk didekat jendela sambil memainkan gitarnya didekat Ratna.
'Dan....bila esok datang kembali
Seperti sedia kala dimana kau bisa bercanda
Dan...perlahan kaupun lupakan aku
Mimpi burukmu...dimana t'lah ku tancapkan duri tajam
Kaupun menangis...menangis sedih
Maafkan aku
Dan...bukan maksudku...bukan inginku
Melukaimu sadarkan kau di sini kupun terluka
Melupakanmu...menepikanmu
Maafkan aku....
Lupakan saja diriku
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar dan berpijar
Seperti dulu kala
Caci maki saja diriku
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar dan berpijar
Seperti dulu kala'
"Dek!" Panggil Bude tiba-tiba, membuat permainan Fian terhenti. "Fian ada yang nyari!" Suara nyaring Budenya terdengar lagi dari pintu depan.
Fian lalu meletakkan gitarnya dan menyenderkannya ke dinding. Setelah itu ia melangkahkan kakinya menuju pintu depan dimana Budenya sudah berdiri di depan pintu yang kini terbuka.
"Siapa Bude?" Tanya cowok tersebut.
Baru saja Fian bertanya, seorang cowok yang memakai baju putih seperti seorang koki langsung mencuatkan kepalanya dari celah pintu. Rambutnya ia tutupi dengan topi, sedangkan di lengannya ada jaket yang tampaknya basah karena air hujan.
"Kak Farel?"
"Hai Fian." Farel menyapanya dari balik pintu.
Bude tersenyum dan kemudian menepuk bahu Fian. "Yasudah kalau gitu. Bude bikinin susu coklat ya buat kalian, Fian, suruh gih pacarnya masuk." Godanya.
Wajah Fian langsung merona merah. "Bude! Aku kan sudah bilang kalau kami nggak pacaran!" Protesnya. Tapi terlambat, Bude tidak mendengarkan keponakannya tersebut dan lebih memilih bersenandung kecil lalu menghilang dibalik pintu dapur.
Sekarang, hanya tinggal mereka berdua saja di sana. Ugh, Fian benci situasi seperti ini. Saat melihat sosok yang ada di depannya, ia selalu saja kesal dan merasakan sakit di hatinya.
Farel kemudian menarik selempangan tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalam benda tersebut. "Ini." Ucapnya sembari menyodorkan sebuah baju kaus. "Kakak nggak sempat membungkusnya. Tapi,. Selamat ulang tahun ya."
Fian menatap baju tersebut dan kemudian mendongak untuk melihat wajah Farel. Ulang tahunnya itu minggu lalu, tapi bagaimanapun juga ia harus menghargai pemberian dari cowok itu. Fian lalu tersenyum tipis dan menerima pemberian Farel. Setelah itu ia membuka pintu lebih lebar, mengisyaratkan cowok yang lebih tua beberapa tahun darinya itu untuk masuk ke dalam.
Sudah dua tahun semenjak kejadian itu, sekarang dia tampak lebih dewasa. Farel dan Fian hanya terpaut dua tahun satu sama lain. Namun mereka tidak satu sekolah. Farel itu siswa jurusan tata boga di salah satu sekolah kejuruan di kotanya, dan sekarang dia sudah berhasil dengan usaha kecil-kecilannya membuka toko roti. Sedangkan Fian siswa SMA yang sekitar satu setengah lagi akan segera lulus.
"Meow!" Suara Ratna saat melihat sosok Farel sedang berjalan melewati ruang tengah. Kucing anggora tersebut dengan tidak tahu malunya langsung berlari ke kaki Farel dan mengusap-usapkan kepalanya dengan manja disana. Membuat Farel terkekeh dan mengangkat kucing tersebut.
"Hai, manis." Sapanya dan menciumi Ratna, seperti biasanya.
Sementara itu Fian mendengus sebal dan kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur.
Diatas meja sekarang sudah ada dua cangkir putih coklat panas. Tak ada orang lain di sana. Sepertinya Bude sudah masuk ke kamar. Kamarnya lebih ribut daripada yang biasanya. Mungkinkah sekarang dia sedang nonton kaset Cinta Henny lagi? Fian bertanya-tanya dalam hati.
"Silahkan duduk, kak." Ucap Fian dan menarik kursi kemudian duduk. Farelpun juga melakukan hal yang sama dan duduk di seberang Fian.
Farel sangat menyukai susu coklat buatan Bude mantan pacarnya ini. Dia selalu ingin tahu apa resep di balik minuman panas yang di lidahnya selalu terasa khas ini. Awalnya dia pikir itu hanya Cadburry biasa. Tapi setelah ia rasa-rasakan lagi dengan lidahnya, isinya ternyata tidak hanya Cadburry.
"Ah, aku selalu suka sama coklat bude." Tukasnya setelah menyesap sedikit minuman panas tersebut. "Dingin-dingin begini emang lebih enak minum yang panas-panas, ya?"
Fian melirik Farel sebentar. Sejurus kemudian ia lebih memilih untuk mengaduk-aduk coklatnya.
Fian kikuk.
Jelas sekali dari gelagatnya.
"Hey," panggil Farel lagi kemudian. Membuat Fian ragu-ragu mendongakkan kepalanya ke atas. Menemukan Farel yang sedang melihatnya dengan mata hitamnya tersebut. "Maafin aku ya baru bisa datang sekarang.."
Fian hanya menggidikkan kedua bahunya sebagai jawaban. Dia tak tahu harus menjawab seperti apa. Farel datang terlalu tiba-tiba, bahkan Fian sama sekali tidak memiliki ekspektasi cowok ini akan datang dengan membawakan sebuah baju kaus yang selalu dia inginkan dulu.
Melihat Fian yang sekarang hanya terdiam dan berdebat dengan pikirannya sendiri, membuat Farel gemas dan perlahan menggerakkan tangannya diatas meja makan untuk meraih tangan Fian. Cowok manis tersebut sedikit tersentak dan kemudian melirik tangan Farel yang sekarang sudah berada di atas tangannya.
"Kak,." Lirih Fian tak nyaman dan menarik tangannya.
Farel mendesah putus asa dan mengusap wajahnya frustasi. Ternyata Fian masih tidak memberikannya kesempatan. "Kamu masih marah?"
"Buat apa?" Tanya Fian langsung. "Lagian kakak memang lebih mencintai dia daripada aku kan?"
"Tidak, Fian.." balasnya. "Percaya aku, aku lebih memilih kamu ketimbang dia. Hati aku cuman untuk kamu.."
"Itu dua tahun yang lalu, kak." Serang Fian berusaha tenang. "Dan aku sudah menutup pintu hatiku untuk kakak."
"Tapi.. aku menyayangi kamu.." lirihnya.
"Kak Farel bukan gay, kakak itu straight dan gay itu sakit. Oke?" Suara Fian meninggi. Hatinya perlahan kembali terluka mendengar setiap kalimat yang meluncur dari kedua bibir Farel.
Semua luka yang terjadi di masa lalu, semuanya menguar kembali.
Fian tidak mau itu terjadi lagi. Dia tidak mau membuat orang lain sakit gara-gara perbuatannya.
Jadi, Fian dengan cepat langsung berdiri dan berlari ke atas menuju kamarnya. Meninggalkan Farel yang hanya bisa menatap punggung mantan pacarnya itu yang perlahan menghilang didepannya.
Ya Tuhan, Fian. Duri apa yang sudah kutancapkan di hatimu? Batin Farel dan berikutnya menjambaki rambutnya sendiri.
Farel masih berdiam diri sambil mengacak-acak rambutnya frustasi saat seseorang masuk dengan sebuah handuk yang bergelayutan diantara kedua pundaknya. Bule tersebut tengah mengeringkan rambutnya saat menyadari kehadiran orang asing di rumah Fian.
"Halo?" Suaranya dan membuat Farel berhenti dari kegiatan mengacak-acak rambutnya yang sekarang sudah berantakan.
Farel menoleh kesamping, menemukan seseorang yang jelas sekali bukan berkebangsaan Indonesia sedang berdiri kebingungan dan sedang tidak mengenakan apapun kecuali joggerpants hitam yang begitu mencetak kedua pahanya.
Siapa bule ini? Batin Farel dengan sebelah alis yang terangkat.
"Kemana Fian? Lalu siapa kamu? Kenapa kamu bisa ada disini? Apa kamu liat Bude? Tadi sih Pakde menyuruhku untuk memanggilnya kebelakang dan.." Sekarang Farel benar-benar tidak mengerti dengan apa yang sedang diucapkan bule tersebut. Dia benci bahasa Inggris. Bule gila ini sekarang malah meracau tidak jelas dengan logat yang bulat pula, ditambah lagi ia menggunakan bahasa bangsanya yang di telinganya terdengar sangat 'ugh!'.
Jika tadi sebelah alisnya terangkat, sekarang kedua alisnya saling bertaut. Menciptakan kerutan di dahinya yang bersih dari jerawat itu.
"Yuuuhuuu~"
Kedua cowok tersebut langsung menoleh ke sumber suara dan menemukan Bude sedang bersenandung kecil dengan sebuah toples kue kering di tangannya.
"Fian mana, Rel?" Tanya Bude sembari berjalan memasukkan toples kue kering tersebut kedalam kulkas. "Duhh bude tuh ya kenapa gitu kesel banget sama produser film Cinta Henny itu.. dia itu.." Ucap Bude kemudian mengeluarkan uneg-unegnya setelah menonton sinetron kesukaannya tersebut. Itu sudah menjadi semacam kebiasaan tersendiri bagi sosok yang sudah seperti bagi Fian tersebut. Dia akan terus mengoceh panjang lebar tanpa memberikan orang lain kesempatan untuk menyelanya. Bahkan Ben tahu diri untuk tidak melakukan itu. Terakhir kali ia melakukannya, itu berakhir dengan Bude mengomelinya dalam bahasa Jawa yang sangat aneh di telinganya.
"Bude.." panggil Ben kemudian. "Aku ke kamar dulu ya?" Pamitnya setelah dirasa Budenya akan segera selesai mengoceh.
"Ehh tunggu dulu dong Ben.." Dan benar saja, mendengar Ben pamit ke kamar, Bude sontak berhenti mengoceh. "Tolong bilangin Fian, Ratna jangan lupa di mandiin nanti sore."
Rupanya Ratna tau akan terjadi sesuatu yang buruk padanya nanti. Ia yang sedang mendengkur di atas meja langsung mendongakkan kepala, sejurus kemudian kucing betina tersebut bangun dan menghilang entah kemana di balik dinding.
"By the way.." Suara Bude agak aneh mengucapkan kalimat Inggris. "Farel, kenalin. Ini calon pacarnya Fian."
Farel yang tadi frustasi setelah menerima penolakan secara halus dari Fian langsung berdiri telinganya mendengar perkataan Bude. Sedangkan Ben yang tak mengerti apa-apa karena wanita tersebut mengucapkan kalimat itu dalam Bahasa Indonesia, hanya bisa tertawa kikuk sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
Sontak saja Farel terkaget-kaget, pasalnya perasaan yang ia punya untuk Fian masih sangatlah besar. Akan tetapi sekarang tiba-tiba saja Bude mengatakan mantan kekasihnya itu sudah punya calon. Mana itu bule lagi! Apa sekarang selera Fian sudah berubah haluan ya dari lokal menjadi interlokal? Farel bertanya-tanya dalam hati.
"Oh, dan juga Ben.." lanjut Bude dan menutup pintu kulkas. "Kenalin itu Farel. Mantan pacarnya Fian. Duhh ganteng banget ya orangnya? Kayak Dendy itu loh.. yang di Cinta Henny. Aduuuh! Coba kalau kamu itu udah seumuran sama Bude,nduk.." celotehnya lagi.
Kali ini Farel tersenyum pongah di depan Ben, seolah-olah lewat itu dia berkata : 'Kau dengar itu? Aku ini mantan pacarnya, jadi enyahlah!' .
Tapi sia-sia, Ben sama sekali tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Bude. Karena tidak mau membuat wanita tersebut kecewa, ia menganggukkan kepalanya sambil tersenyum ramah. Kemudian setelah itu ia berkata : "Senang berkenalan denganmu, Farel. Mohon bantuannya!"
Sebenarnya, itu hanyalah perkenalan biasa yang diajarkan oleh orang-orang AIESEC kepada orang-orang Indonesia asli. Di sekolahpun, Ben juga mengucapkan itu dan semua orang merespon dengan baik.
Tapi tidak dengan Farel, bara api menbakar hatinya saat Ben dengan santainya berjalan melewati mantan Fian yang kini mencengkram kuat gelas susu coklatnya.
'Apa-apaan maksud bule sinting itu dengan, 'mohon bantuannya'?' Batin Farel.
~~~
Kamar Fian berada di lantai dua, berada tepat di sebelah kamar Ben. Berbeda dengan Ben, kamar Fian terkesan lebih rapi. Cowok tersebut menyukai sesuatu yang bewarna biru langit. Bahkan dinding kamarnya pun ia beri warna biru langit. Di depan kasurnya sengaja ia letakkan satu set perabotan kayu yang menambah kesan vintage ruangan ini. Di dinding sebelah kanan dari pintu, terdapat berbagai bingkai foto yang sangat banyak. Foto-foto tersebut menutupi dinding yang sudah di gambari doodle kucing yang lucu dan menggemaskan terlebih dahulu. Dan bukan Fian namanya kalau tak pernah bersentuhan dengan yang namanya gitar klasik dan juga Grand Piano.
Tapi tidak sepertinya dengan hari-hari sebelumnya, malam ini Fian termenung di atas balkon kamarnya sambil memandangi pohon kesemek yang tidak pernah berbuah lagi tersebut. Tatapannya kosong, sementara pikirannya melayang-layang ke masa lampau.
Disaat dia masih bisa tersenyum dan tertawa bersama orang yang benar-benar ia sayangi.. hidup terasa sangat indah. It was a Good Life. Hingga kemudian peristiwa itu datang dan--
"Aww!" Fian mengaduh kesakitan saat merasakan sesuatu yang keras mencium kepalanya dari samping. Membuat cowok tersebut spontan menolehkan kepalanya dan menemukan Ben yang sekarang memalingkan wajahnya sambil pura-pura bersiul. "Ben!!"
Bule tersebut langsung menoleh kesamping dan berakting seolah dia tidak bersalah. "Huh? Ya? Aku?"
"Kamu apa-apaan sih ngelempar aku pakai anak congklak?" Kesal Fian.
Ben terkekeh. "Sorry." Bisiknya pelan. "Apa itu sakit? Aku menemukan benda panjang yang berlubang-lubang itu diatas lemari, dan anak-anakan kecil yang kayak kerang tersebut diatasnya. Jadi ya kupakai saja untuk melemparmu." Jawabnya santai.
"Kamu menyebalkan." Fian memalingkan wajahnya dari Ben dan kembali memilih untuk melamunkan masa lalunya.
Namun sejurus kemudian, Ben lagi-lagi iseng dan kembali melempari Fian dengan kerang kecil tersebut. "Ben!!!" Kali ini cowok manis tersebut berteriak. Membuat semua darah ditubuh pemuda tersebut mengalir ke wajahnya. Pipinya benar-benar merah sekarang.
"Apa?" Ben masih bersikap tidak tahu apa-apa. "Aku hanya memainkan anak-anakan itu denganmu. Ok?"
"Cara mainnya bukan dilempar seperti itu!!"
Ben mengerutkan bibirnya, takjub melihat Fian yang sekarang malah tampak menggemaskan dengan kedua pipi yang memerah merona seperti itu. "Ooh.. kamu mengingatkanku kepada Josh saat masih kecil. Kamu menggemaskan dengan pipi merah seperti itu."
"Jadi maksud kamu aku ini mirip dengan anjing?!" Fian tersinggung kali ini.
Ben malah dengan polosnya menganggukkan kepala. "Yap. Kamu mirip seperti anjing. Kamu lucu dan--"
"FINE!" Bentak cowok manis tersebut dan menghentakkan kaki ke kamarnya. "Jangan pernah mendekati aku lagi kalau begitu!"
Sesaat kemudian ia mendengar pintu balkon keponakan Budenya itu dibanting dengan keras. Membuat Ben terkejut dan kebingungan sambil bertanya-tanya dalam hati. 'Loh? Aku salah ya?'
~~~
"Bapak.. nanti kalau pulang jangan lupa beliin Ibu Soerabi ya.." Kata Bude saat sarapan pagi. Ia sedang menuangkan madu ke atas pancakenya.
Pakde yang sedang sibuk dengan korannya hanya menggumam saja sebagai jawaban. Membuat Bude langsung mengerucutkan bibir kesal melihat respon suaminya yang sangat singkat, padat dan jelas tersebut.
"Dan kamu Ben.." Bude kembali bersuara. "Bagaimana hari pertamamu di sekolah?"
Ben menelan makanannya, lalu tersenyum ramah. "Hari pertamaku menyenangkan. Aku bahkan sudah punya teman baru sekarang."
Wah, spontan saja Bude langsung menjadi bersemangat setelah mendengar jawaban dari 'anak angkat'nya tersebut. "Wow! Bagus dong, Ben!" Ben hanya terkekeh pelan sambil mengangguk mendengar perkataan Budenya. "Cowok atau cewek?"
Ia mengangkat wajahnya tak percaya dan menolehkan kepalanya ke Fian dengan horror. "Kamu dengar itu dek? Cewek! Ben dideketin cewek! Ini cewek loh dek! Kamu mau emang di duluin?"
Fian yang dari sore kemarin mood-nya sudah hancur, hanya menjawab seadanya. Ia menancapkan garpu ditangannya dengan kuat ke pancake, membuat meja makan langsung berderit. Sedangkan Pakde, Bude, dan Ben terperanjat kaget.
Oh, tidak. Ooh tidak. Fian badmood. Batin Bude dalam hatinya.
Sontak ia langsung menyipitkan matanya pada Ben yang sekarang sedang menatap Fian horror. "Psst! Psst!" Desis Bude memancing perhatian bule tersebut. Wanita separuh baya itupun kemudian menggidikkan kepalanya ke belakang, mengisyaratkan Ben untuk mengikutinya karena Bude sudah menduga, ini pasti ada hubungannya dengan Ben. Namun Ben malah berpikiran lain : 'Ya Tuhan, sekarang Bude malah terkena step. Apa yang harus kuperbuat?'
Pakde hanya menghela nafas melihat kelakuan istrinya tersebut. Diantara mereka berdua, memang istrinya lah yang paling gencar untuk ikut campur dalam urusan Fian.
"Dek, kamu tunggu di luar. Nanti Ben nyusul ya!" Bude seenaknya memerintah Fian dan langsung membuat cowok tersebut berdecak kesal. Alhasil ia segera menghentakkan kaki dan melangkah keluar, membuat semua orang di meja makan hanya bisa memandanginya angker.
Pakde yang tadinya tidak tertarik dengan permasalahan Fian yang sedang badmood, langsung melipat korannya dan bersuara : "Ben, kamu apain itu si Fian?"
Ben mendadak kikuk sendiri di tanya seperti itu oleh Pakde. "Um.. aku juga tidak tau, Pakde."
Bukde tidak puas mendengar jawaban itu dari mulut Ben, ia menyipitkan mata dan mengangkat garpunya tinggi tinggi hingga ke langit-langit ruang makan. Seolah-olah bersiap-siap untuk menerkam Ben kalau ia salah menjawab lagi. "Apa yang kamu katakan pada Fian sampai bikin dia badmood kayak gitu?"
Nafsu makan Ben mendadak hilang diinterogasi seperti ini oleh kedua pasangan sejoli ini. Ia menelan ludahnya dan menyeka keringat yang menetes di dahinya. "Aku cuma mengatakan kalau dia itu lucu seperti anjing, Bude."
Plak! Bukde dan Pakde spontan menepuk jidat mereka sendiri mendengar jawaban polos dari bule tersebut.
"Kalau gitu aku mau siapin mobil dulu, Ma." Pakde kemudian berdiri dan pamit kepada istrinya. Sepertinya dia lebih memilih untuk tidak ikut campur lebih dalam lagi.
Bukde mengacuhkan suaminya dan sekarang giliran Pakde yang merengut kesal. Satu sama, batin Bude. "Ben..." ucapnya. "Mungkin orang-orang luar senang di samakan seperti anjing yang lucu.. maksud Bude.. Fian, Pakde bahkan Bude sendiri sangat menyukai anjing. Tapi di Indonesia itu bukan permisalan yang bagus. Itu lebih seperti sebuah kutukan seperti.. apa itu yang lagi tren sekarang? Cirit?"
"Shit, bude." Koreksi Ben, tapi tentu saja niatnya tidak ada sama sekali untuk mengutuki Budenya.
"Yah apapun itu." Jawab Bude sambil memutar kedua bola matanya dan melambai-lambaikan kedua telapak tangannya. "Tapi yang jelas Bude yakin, Fian pasti tersinggung karena kamu menyamakannya dengan anjing."
Oh.. Ben paham sekarang. Dia mengangguk mengerti dan mulai mengingat kejadian kemarin malam. Pantas saja Fian marah. Tapi kemarin-kemarin saat Ben mengusilinya, Fian tidak akan semarah ini padanya. Tadi malam ada yang beda darinya setelah kepergian Farel sore itu dari rumah. Ia memang sempat pamit di depan pintu kamar Fian, tapi tak direspon oleh cowok manis tersebut.
Hah! Atau jangan-jangan ini ada hubungannya dengan Farel? Batin Ben.
"Nah," suara Bude. "Sekarang kamu berangkat, Fian pasti udah nunggu kamu di luar." Perintahnya sambil mendekati tubuh kekar Ben. "Plus,jangan lupa rayu dia kalau nggak mau memaafkan kamu." Bisik Bude yang ia akhiri dengan kedipan centil.
Merayu? Oh tentu sekali Ben bisa.
~~~
'Thinking back in time when I had you to loose,
Those were the days baby you were the truth,
But nothing you could do would ever changed that,
You riding with me, me riding for you
We follow our heart don't forget what they do--'
Tin! Tin!!
Suara klakson motor membuat Fian spontan langsung mengangkat jempolnya dari layar ponsel. Rekaman tadi dalam sekejap langsung diunduh masuk kedalam akun Soundcloudnya. Memang sudah menjadi kebiasaan Fian untuk sekedar merekam suaranya dan memasukannya kedalam aplikasi tersebut. Aplikasi tersebut sudah bagai candu bagi Fian.
"Hey, puppy boy!" Panggil Ben setelah menaikkan kaca helmnya pada Fian yang masih menatapnya jengkel dari kursi di teras. "Ayo naik! Nanti kita terlambat!"
Fian menghela nafas dan perlahan bangkit menghampiri Ben yang sudah menunggunya dengan gagah di atas motor gede kesayangan Pakdenya. Bule tersebut bahkan kini memakai jaket kulit warna hitam yang biasa di pakai oleh Pakdenya saat mengendarai si cantik itu. Membuat Ben benar-benar tampak mirip Chris Pratt di film Jurassic World sekarang. Andai saja dia sedang tidak ngambeg dengan Ben sekarang, dengan senang hati ia akan memuji bule tersebut. Tapi, gengsi dong!
Ah! Ini pasti gara-gara bude! Batin Fian.
Perlahan Fian duduk di belakang Ben dan bersiap-siap. Tapi selang beberapa menit, mesin motor belum juga berbunyi dan membuat cowok manis tersebut bingung. "Katanya takut telat?" Tanyanya.
"Memang," jawab Ben sekilas. "Tapi sebelum itu ada yang mau aku---"
"Kalau ini ada hubungannya dengan yang kemarin malam, maka jangan pernah membahas itu lagi denganku!" Potong Fian cepat, tapi malah membuat Ben tersenyum simpul melihat wajah cowok manis itu dari kaca spion.
"Justru aku mau membahasnya denganmu Fian.. aku--"
"Aku kan sudah bilang kalau--"
"Sssssshhhhttttttt." Ben berhasil membuat Fian terdiam dengan desisannya tersebut. "Orang manis sepertimu tidak boleh nakal, ingat?"
Fian mengerjapkan mata beberapa kali, tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. "Kamu bilang aku apa?"
"Aku bilang, kamu itu manis seperti anjing. Not in a bad way. Kamu itu lucu, dan menggemaskan dan membuatku ingin selalu mencubit pipimu serta membelai pipimu sepanjang waktu. Jadi--"
Blush!
Tanpa Ben sadari sekarang pipi Fian sudah merona sangat-sangat merah daripada yang tadi. Sementara Ben masih mengoceh, Fian malah sekarang merasa seperti melayang-layang di puji seperti itu.
Yah, memang pada dasarnya cowok manis itu paling lemah dengan pujian dari cowok-cowok ganteng seperti Ben dan juga Farel sih.
Tapi bukan berarti Fian menyukai Ben!
Tidak!
"Shut up and drive, Ben!" Respon Fian akhirnya karena sudah tidak tahan mendengar pujian-pujian yang dilontarkan Ben.
"Pegangan, manis!"
Dengan tangan yang gemetar dan senyuman yang terus merekah akibat rayuan-rayuan gombal Ben, Fianpun melingkarkan tangannya di pinggang ramping bule seksi itu.
Saat Ben mulai menggas motornya, saat itulah Fian dan juga bule tersebut bisa mendengar teriakan dari dalam rumah.
"Fian! Jangan mau diduluin sama cewek!! Bude udah susah cariin Chris Pratt buat kamu!"
Dalam hati, Fian langsung merutuki Budenya yang seolah menjadi penganggu suasana seperti ini. Dia jadi teringat lagi dengan lirik lagu Charlie Puth yang tadi ia nyanyikan sebelum pergi.
'Cause I, I will always love you
Baby I could never judge
I will take you as you are, are, are'
@Gabriel_Valiant udah update yaaaa
@lulu_75 makasih
@lulu_75 hihihi iya nih budee
Clarisa semakin dekat saja dengan Ben. Pagi ini saja saat Ben baru masuk ke dalam kelas, ia langsung menemukan cewek tersebut sudah duduk manis dengan tas disamping meja bule tersebut dan tangannya yang sedang sibuk memainkan ponsel pintarnya. Setelah itu saat Ben baru dudukpun, Clarisa langsung memberondongnya dengan banyak pertanyaan random dan membuat kelas heboh. Bule ganteng tersebut hanya menjawab seadanya dan sebisanya saja. Dia tau cewek ini sedang berusaha mendekatinya, dan Ben sama sekali nggak mau mem-php-kan dia. Kemudian saat jam istirahat datang pun, Clarisa selalu mengikutinya kemana-mana. Cewek itu sudah seperti Swiper si rubah pencuri sekarang. Ada dimana-mana.
"Kita duduk disana aja yuk, Ben!" Kata Clarisa seraya menunjukkan jarinya ke sebuah kursi kosong di tengah kantin. "Kamu pasti lapar? Iya kan?"
Ben kikuk sendiri. Clarisa lebih merepotkan dari gadis-gadis yang juga pernah mencoba untuk menarik perhatiannya diluar sana. Biasanya kalau Ben hanya merespon singkat, mereka semua akan mengerti dan mundur perlahan. Itu artinya Ben takkan pernah membalas perasaan mereka. Lah ini? Ben sudah melakukan itu dari tadi dan Clarisa agaknya tak kunjung menyerah untuk bisa mendapatkan perhatian bule seksi tersebut.
Akhirnya, Ben menghela nafas dan perlahan mengangguk. "Ya. Aku lapar."
"Baiklah, aku lihat sepertinya di sana ada bubur jagung. Kamu pernah coba?" Clarisa mulai berceloteh, sementara tangan mulusnya melingkar di lengan kekar Ben.
Ben risih sendiri. "Clarisa, aku tidak nyaman kalau kamu memeluk tanganku seperti ini.."
"Siapa yang memeluk tanganmu?" Cewek tersebut menaikkan sebelah alisnya. "Aku hanya menarik tanganmu. Tanganmu itu terlalu besar di tanganku."
"Terserah saja." Respon Ben sembari memutar bola matanya pasrah.
Aku tak ingin kalah lagi darinya, Ben. Batin Clarisa berapi-api.
Kita semua pasti tau siapa yang dimaksud oleh Clarisa, kan? Yak. Fian. Sudah banyak cowok-cowok keren incaran cewek cantik tersebut yang ternyata malah menaruh perasaan pada Fian. Sebut saja Alex yang sekarang sudah kuliah dan mantan ketua klub Basket dulu, kemudian Nikolas yang merupakan juara debat bahasa Inggris tingkat provinsi, sampai Juanda yang meski tidak satu sekolah dengan mereka tapi entah kenapa cowok yang tercatat sebagai siswa di sekolah pilot itu bisa jatuh hati pada Fian. Orientasi seksual Fian sudah menjadi rahasia umum di sekolah. Dan anehnya bagi Clarisa tidak ada yang mempermasalahkan itu. Yang lebih tidak masuk akalnya lagi, Fian yang berhasil membuat cowok-cowok keren bertekuk lutut padanya, tak pernah sekalipun tampak tertarik kepada mereka. Dan sekarang karena Ben sudah ada disini, Clarisa tak akan menyia-nyiakan kesempatan.
Aku harus mendapatkanmu, Ben! Clarisa berapi-api sendiri.
~~~
Sementara itu di tempat lain di waktu yang sama, Fian tampak sedang asyik mengerjakan tugas Sastra Jermannya sambil mendengarkan lagu yang baru saja ia unduh beberapa saat yang lalu. Sepertinya Fian sangat menikmati saat-saat itu sampai sampai ia tidak menghiraukan orang-orang di sekitarnya.
' Saat berjumpa dan kau menyapa
Indah parasmu hangatkan suasana
Buatku tak percaya, mimpi indahku jadi nyata
Saat sendiri jalani hari
Bayang-bayangmu selalu menghampiri
Dan aku pun mengerti apa maunya hati ini
Namun tiba-tiba kau ada yang punya
Hati ini terluka
Sungguh ku kecewa, ingin ku berkata--'
Ding! Ding!
Ponsel Fian bergetar, membuat fokusnya terganggu dari kertas essay yang sedang ia kerjakan ke layar smartphonennya. Fian hanya melengok sebentar, mendesah putus asa, dan kembali mengerjakan tugasnya.
Beberapa saat kemudian, ponselnya kembali bergetar. Fian tau yang melakukan itu pasti orang yang sama. Jadi dia lagi-lagi memilih untuk mengabaikan pesan tersebut dan fokus dengan kerjaannya.
Kali ketiga ponselnya bergetar, sedikit lebih lama dari yang tadi, Fian langsung menyambar ponselnya dan memencet tombol hijau.
"Apa?!" Suaranya hampir berteriak, Fian kesal sekarang. Sungguh. "Kamu nggak tau kalau aku lagi sibuk ngerjain tugas sekarang? Hmm?"
Orang itu tertawa keras di seberang telfon. Fian membayangkan kalau sekarang cowok yang sedang mengerjainya saat ini pasti baru saja menyelesaikan jadwal gym sekolahnya. Dan terkutuklah Fian kalau dia tidak tergoda karena membayangkan tubuh cowok tersebut. "Thinking about me, sweetheart?" Goda cowok tersebut dengan suara yang dibuat-buat seduktif.
"Berhenti menggodaiku!" Cepat-cepat Fian menggelengkan kepalanya menepis semua bayang-bayangan tentang tubuh cowok itu. "Kamu benar-benar cowok ternarsis yang pernah aku kenal, Juanda!"
"Yeah, I love you too." Godanya lagi dan malah membuat Fian mencibir geli.
"Ngapain?"
Jeda sebentar, sepertinya Juanda sedang merapikan barbelnya. Suara kasak-kusuk terdengar jelas dari seberang sana. "Aku kangen kamu, sweetheart.."
"Stop it!" Fian gerah sendiri di tempatnya. Beruntung dia tidak pernah menerima Juanda sebagai pacarnya. Dia benar-benar narsis. Orang ternarsis yang pernah dia kenal. "Aku bakal tutup telfon kamu kalau kamu nggak mau katakan ka--"
"Iyaaa... iyaaa.." Juanda akhirnya mengalah. "Malam minggu ini kamu ada acara, nggak?"
Fian menggeleng. Tentu saja Juanda tak bisa melihatnya. "Tidak. Kenapa emang?"
"Roller Coaster di Memory Lane baru saja di buka untuk umum dan aku sudah beli dua tiket. Kamu maukan ikut denganku?"
Fian menghela nafas. "Kamu nggak berpikir aku bakalan luluh dan nerima kamu hanya gara-gara ini, kan?"
Kantoi. Fian selalu bisa menebak isi fikiran Juanda. Buktinya sekarang calon pilot tersebut jadi kehabisan kata-kata dan malah terkekeh sendiri di seberang sana.
"Kamu tau kan kalau aku nggak mau kasih kamu harapan palsu?"
"Ayolaaahh.." Juanda mengemis. "Setahun di asramakan, aku udah kangen berat sama kamu. Selama ini kita cuman bisa komunikasi via internet. Pleaseeeeee..."
"Tapi Jun, kamu ngertiin aku juga dong.."
Tanpa Fian sadari, seseorang ternyata sedang menguping pembicaraannya dari belakang pintu kelasnya. Tangannya sedang merekam Fian yang sedang berbicara entah dengan siapa.
"Oke, oke. Aku pergi deh." Fian akhirnya mengalah.
"Yes!" Pekik Juanda kegirangan. "Kalau gitu Malam Minggu besok aku bakalan jemput kamu di rumah, oke?"
Fian mengangguk. Tapi dia lagi-lagi lupa kalau Juanda tidak bisa melihat anggukannya. "Oke deh."
Orang yang sedang bersembunyi di balik pintu itupun juga turut mematikan rekaman tersebut dan cepat-cepat menyurukkan ponselnya ke dalam saku rok. 'Gue harus kabarin ini ke Clarisa!' Gumamnya dan sejurus kemudian langsung pergi meninggalkan kelas Fian untuk mencari Clarisa.
~~~
"Aku lapar." Fian berucap di atas motor saat dia dan Ben sedang berada dalam perjalanan pulang menuju rumah. "Bude sepertinya baru pulang sore nanti."
Sebenarnya Ben tidak begitu mendengar suara Fian karena dia tengah berkonsentrasi dengan jalanan yang ada di depannya. Dia memang cukup handal dalam membawa kendaraan bermotor, hanya saja situasi jalan di London dan juga di Indonesia itu berbeda jauh. Dia tidak mau gara-gara keteledorannya ia bisa mencelakakan orang lain. Biasanya ia akan menulikan telinga jika sedang fokus, tapi sekarang ia bisa menangkap sedikit dari ucapan Fian.
"Kamu lapar? Kamu mau makan dulu sebelum pulang?" Teriak Ben, melambatkan laju sepeda motor Pakde yang sedang ia bawa.
"Uangku habis, uangmu masih ada tidak? Boleh aku pinjam dulu?"
"Tentu." Ben mengangguk. "Kamu mau makan apa?"
"Terserah saja. Tapi sepertinya aku sedang mau makan roti, Ben."
Tadi katanya terserah, batin Ben. Tapi tak apa, kebetulan sekali karena bule tersebut juga sedang menginginkan hal yang sama dengan Fian.
"Hang on!"
Fian mengeratkan pelukannya di pinggang ramping Ben saat bule tersebut mempercepat laju kendaraannya. Cowok manis tersebut yakin kalau Fian tau tempat yang cocok untuk bisa memuaskan nafsu makannya saat ini. Meskipun Ben masih baru di kota ini, tapi.. Fian hanya.. yakin saja pada bule tersebut.