It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Haaaaaah ?? O.o
Mana lagi nih! Mana lagi!!! #kalap
Lagi lagi lagi >.<
peluk aby. ditanyain ardi tuuh. hehehe
And there’s a couple getting steamy in the car, parked in the drive
Was I too young to see this with my eyes?
And by the pool that night, apparently
The chemicals weren’t mixed properly
You hit your head and then forgot your name
Then you woke up at the bottom by the drain
And now your altitude and memory’s a shame
What about taking this empty cup and filling it up
With a little bit more of innocence, I haven’t had enough
It’s probably because when you’re young
It’s okay to be easily ignored
I’d like to believe it was all about Love for a Child..
~~~
Empat hari berlalu setelah malam itu, saat Ben mendengarkan suara indah Fian menyanyikan lagu kesukaannya. Perasaan itu muncul begitu saja bagai bunga yang akhirnya mekar pada musim semi, namun kuncupnya belum juga tampak. Ben merasakannya, tapi dia enggan mengakuinya. Rasanya sungguh membuat dadanya bergemuruh hebat dan tubuhnya menjadi panas dingin di setiap detiknya saat Fian menyebutkan kata per kata lagu tersebut.
Dan selama empat hari ini pula,Ben berdebat dengan dirinya sendiri. Dia itu straight. Selurus paku, selurus baja yang selalu di gunakan untuk mendirikan plafon bangunan. Sekokoh itulah pendiriannya kalau dia adalah pecinta wanita sejati.
Namun, Fian bukan wanita. Lihatlah Ben! Dia itu cowok tulen! Tak pernah sedikitpun dia bertingkah seperti wanita ataupun berpakaian seperti wanita. Mungkin dia pernah manja padamu siang itu tapi, hey! Itu wajar bukan? Lagian sepertinya Fian bukan tipikal cowok yang cocok untuk menjadi garang. Wajahnya terlalu manis untuk bisa kau—
Berat rasanya bagi Ben berdebat dengan dirinya sendiri selama beberapa hari ini. Setiap pagi saat ia bertemu dengan Fian, jantungnya akan langsung berdetak lebih cepat. Namun egonya lebih kuat untuk menyuruh bule tersebut menolak. Kau menyukai wanita, Ben. Ingat itu. Kau menyukai wanita. Kalimat tersebut terus ia ulang-ulang di dalam benaknya setiap kali Fian memeluknya dalam perjalanan pulang ataupun berangkat ke sekolah.
Gosh, semua perasaan aneh ini membuat Ben menjadi gila dan.. agak sedikit sakit jiwa.
Bagaimana tidak? Setiap saat acara makan keluarga, saat Bude mengocehkan sesuatu Ben akan diam dan melamun—mencoba untuk tidak terlalu noticeable dalam acara tersebut. Karena semakin dia mendengarkan maka Bude akan semakin menggodanya. Dan jika Bude semakin menggodanya, maka Pakde dan juga Fian akan terkikik sendiri di tempat. Dan melihat Fian tertawa seakan kembali membangkitkan perasaan itu didalam hati Ben yang sudah mati-matian ia kubur didalam relung hatinya. Ujung-ujungnya? Ben akan menggeleng-gelengkan kepala seperti orang gila dan langsung berdiri kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Dan omong-omong soal kamar, selama empat hari ini pula Ben seperti enggan jauh-jauh dari kamarnya tersebut. Dia ingin mengoreksi dirinya dan menghukum hatinya yang bodoh ini. Gay? Bahkan dia sama sekali tidak terpikir kalau akan menjadi pecinta sesama jenis.
Maksudku—yah—diluar sana kan hal-hal seperti ini memang lagi happening dan orang-orang disana juga biasa saja menanggapi masalah seperti ini. Tidak tidak, Ben tidak pernah menganggap penyimpangan orientasi seksual sebagai sebuah masalah. Malah menurutnya itu adalah sebuah perbedaan yang harus di hormati—itu hak semua orang kan untuk menjadi siapapun yang mereka mau? Bahkan Ben disekolahnya ada banyak pasangan gay yang tidak ia kenal, dan bule yang mirip Chris Pratt tersebut juga bersikap biasa saja.
Tapi dia tak habis pikir, kenapa dia malah merasakan perasaan seperti ini sih pada cowok?
Setiap saat dia memejamkan mata, maka suara Fian akan mengalun merdu di telinganya.
Setiap saat dia melakukan work-out di balkon kamarnya saat Fian tak ada, maka sosok cowok manis tersebut akan muncul begitu saja di sebelahnya sambil bermain gitar.
Dan bahkan setiap saat dia menatap jalanan, mata besar Fian yang menggemaskan akan terlintas di dalam benaknya.
Semua tentang Fian.
Tak ada sedetikpun tanpa bayangan Fian dalam hidupnya dan dia benar-benar gila sekarang!
Kesal, Ben lantas menjambak rambutnya sendiri sambil mengerang kesal—membuat seisi kelas yang tengah meribut langsung menoleh pada bule tersebut dengan tampang cengo. Ben acuh dan sekarang malah menghentak-hentakkan kakinya seperti paskibraka sekolah di lantai. Dia bingung. Dia kesal. Dan.. entah kenapa dia juga senang di saat yang bersamaan.
“Ben?” Clarisa yang sedang berkaca di sampingnya kemudian menegur bule itu. Sebelah alisnya terangkat, rambutnya yang kemarin tergerai sekarang di kuncir ke belakang. “Kamu kenapa?”
Ben melepaskan cengkraman tangan di rambutnya sendiri dan lalu menoleh pada Clarisa. “Apa aku tampak seperti kenapa-kenapa?” Bule tersebut malah balik bertanya.
“Kamu seharian melamun, tidak mendengarkan Pak Dodi menerangkan—bahkan hampir saja disetrap kalau tidak aku bantu, dan sekarang kamu malah bertingkah seperti ini. Pertanyaanmu benar-benar tidak menjawab pertanyaanku, Ben.” Clarisa menghela nafas sambil menjatuhkan bahunya.
“Aku haus.” Bohong Ben.
“Dan menjambak rambut sendiri akan menghilangkan rasa hausmu?”
“Apa maumu, Clarisa?” Ben menyipitkan matanya pada cewek tersebut, suaranya terdengar sedikit emosi.
“Kamu bisa menceritakan apapun padaku, Ben..” lirih Clarisa pelan dan menepuk bahu bule tersebut. “Kita ini teman, ingat?”
Teman apanya kalau ada maunya seperti itu, Ben bersungut-sungut sendiri di dalam hati. Bule tersebut lantas menghela nafas dan memalingkan wajahnya dari Clarisa. Ia jadi teringat kata-kata Pakde waktu itu.
Liat itu di TV orang-orang pada ngomongin LGBT. Gay itu sakit lah. Gay itu apa menular lah. Gimana nanti kalau temen-temennya Fian malah ngejauhin dia? Hm?
Pakde ada benarnya. Ini bukan London—dimana orang-orangnya tidak terlalu mempermasalahkan hal seperti ini. Masalahnya ini adalah Indonesia dimana masalah seperti ini masih terlalu tabu bagi masyarakatnya. Sore itu setelah mandi, Ben sempat ikut nonton acara infotaimen bersama Bude karena bosan dan bule itu sangat ingat cerita wanita paruh baya tersebut tentang Saipul Jamil yang dikucilkan dan dibuang dari TV-Show nya hanya karena kasus pelecehan seperti itu. Dan setelah itu baru gembar-gembor LGBT terdengar dimana-mana.
Intinya, Ben tidak mau merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh Bang Ipul.
Berjalan di koridor sekolah saja sudah membuatnya agak risih karena setiap saat dia bersama Clarisa orang-orang pasti akan menyempatkan diri barang melengok sedikit saja sambil berbisik : Wah! Bule! Bule. Membuatnya merasa kalau mereka sengaja mengatakan itu seperti Ben adalah orang yang mempunyai penyakit menular.
Untung saja ada Clarisa yang masih setiap berteman dengannya.
Dan Ben benar-benar tidak mau Clarisa akan menjauhinya dan diperlakukan seperti orang lain di sekolah ini memperlakukannya kalau ia mengatakan pada cewek itu : Aku mempunyai perasaan khusus pada Fian.
Bayangkan saja bagaimana reaksi Clarisa? Matanya akan meloncat keluar? Lidahnya akan menjalar sejauh 3 kilometer panjangnya?
Tidak. Ben tidak mau membayangkan hal tersebut. Jadi, ia memilih menghela nafas lagi—kali ini lebih berat daripada sebelumnya—dan menggeleng. “Tidak. Aku tidak mau menceritakannya padamu.”
“Kenapa?” Sambung Clarisa cepat. “Aku pikir kita teman?”
“Hanya karena kita teman, bukan berarti aku harus menceritakan semua masalahku padamu!” Emosi, Ben akhirnya membentak Clarisa dan membuatnya terperanjat kaget. Semua orang di kelas langsung terdiam dan kembali menolehkan kepalanya pada Ben.
Mendadak mata Clarisa berkaca-kaca. Ben tersentak dan kemudian tersadar bahwa ia seharusnya tidak membentak Clarisa. Cewek tersebut tidak salah apa-apa. “Ke—kenapa kau membentakku, Ben? A—Apa salahku padamu?”
Gosh! Lihat apa yang sudah kau perbuat, Ben! Maki bule tersebut pada dirinya sendiri.
“A—aku hanya berniat untuk me—membantumu dan ka—kamu malah membentakku se—seolah olah aku—“
Damn it! Ben paling tidak tahan melihat air mata seorang wanita. Dia jadi benar-benar merasa bersalah sekarang. “Clarisa, maaf.... aku tidak—“
Terlambat. Clarisa langsung berdiri dengan mata yang berkaca-kaca lalu berlari meninggalkan kelas. Setelah kepergiannya, semua orang sekarang melototi Ben. Like a total glare! Membuat nyali Ben ciut sendiri di kursinya. Lihat semua mata itu, bukan hanya satu, tapi seisi kelas. Seolah-olah bola mata mereka akan segera meloncat keluar kalau sepuluh detik saja mereka terus seperti itu.
Huft. I’m a deadmeat. Batin Ben dan lalu berdiri kemudian mengikuti Clarisa keluar kelas.
~~~
Aku jemput habis maghrib. See you later, sweetheart!
Fian langsung menekan tombol lockscreen ponselnya dan melemparnya ke atas kasur. Setelah itu dia berjalan ke lemari dan memakai parfum kesukaannya : permen karut. Baru kemudian dia memilih-milih baju yang akan ia gunakan malam ini untuk menemani Juanda menghabiskan tiket RollerCoaster di Memory Lane milik cowok calon pilot tersebut.
Fian tidak mau menganggap ini sebagai kencan, tapi terserah Juanda mau menganggap ini apa. Hitung-hitung tiket gratis bukan? Katanya hari ini adalah pembukaan perdana untuk para pengunjung. Akan ada kembang api juga di tempat wisata tersebut saat tengah malam.
Meski Fian sangat menyukai kembang api, tapi terserah saja sih. Toh yang mentraktir itu Juanda, bukan dia.
Setelah beberapa menit, Fian selesai mengurusi penampilannya. Dia tampil sederhana saja, hanya mengenakan t-shirt garis hitam-putih lengan panjang dan jeans hitam. Cowok manis itu juga menambahkan aksesoris seperti topi camo bewarna senada serta jam tangan hadiah dari Pakdenya saat hari jadinya satu minggu yang lalu. Untuk bawahan, Fian tak mau repot-repot memilih sepatunya. Ia hanya memakai sneakers yang tampak seimbang dan tak tabrak warna dengan wardrobe nya saat ini.
Mungkin, tidak beberapa menit juga sih. Saat Fian baru saja selesai memakai sepatunya, ponselnya langsung berdering dan cowok manis itu dengan cepat menyambar benda tersebut dari atas kasur.
“Ha—“
“Aku sudah hampir sampai, sayang. Tunggu dibawah ya?” Potong Juanda dari seberang. Tanpa repot-repot memberikan Fian kesempatan untuk protes, cowok tersebut langsung mematikan telfonnya secara sepihak dan membuat Fian mendengus sebal.
Dari tiga orang yang pernah mengejar-ngejarnya, hanya Juanda yang senarsis dan semenyebalkan ini. Semoga saja melihat penampilannya yang sekarang—yang serba gelap, cowok tersebut akan sadar bahwa Fian tidak akan pernah—sama sekali—menerimanya sebagai pacar. Ataupun memberikannya kesempatan menjadi sosok penting dalam kehidupannya.
Setelah di rasa cukup, cowok manis tersebut menyambar hoodienya dari dalam lemari dan menentengnya keluar kamar. Ratna yang kebetulan sedang pacaran—yah, kucing tersebut sedang kasmaran dengan kucing sebelah yang bernama Harry—melengok sebentar pada Fian yang baru saja keluar dari kamar. Ia mengeong seolah-olah sedang menyapa majikannya tersebut.
Fian menyunggingkan senyumnya dan berjalan mendekati kedua kucing tersebut. “Hai, Ratna. Hai, Harry.” Ucapnya sembari mengusap kedua puncak kepala kucing ras tersebut. “Hari ini aku harus menemani temanku, jangan nakal di rumah ya?” Kata cowok manis tersebut lagi seolah-olah berbicara dengan kedua hewan lucu tersebut.
Ratna hanya mendengkur sembari memejamkan mata. Sedangkan Harry menelengkan kepalanya seolah-olah bertanya : Kau nanti pulang jam berapa? . Oh, Fian sangat menyukai Harry. Dia sangat sangat merestui kalau suatu saat Ratna akan melahirkan anak dari kucing jantan tersebut.
“Fiaaaan!!” Tiba-tiba saja terdengar suara Bude memanggilnya dari bawah.
Fian spontan berhenti mengelus kedua kepala kucing tersebut. “Nah, itu temanku sepertinya sudah datang. Ratna, perlakukan pacarmu dengan baik, oke? Dan ingat, jangan mencakar sofa di bawah. Apalagi sofa di kasurku. Ingat?”
“Miaw!” Respon kedua kucing tersebut serentak.
Fian terkekeh dan menuruni tangga, menghampiri Bude yang pasti sedang tersenyam-senyum sendiri di depan pintu rumah.
Dan benar saja, saat menginjakkan kakinya di lantai bawah cowok manis tersebut langsung mendengar suara kekehan dari Bude. Saat ia melengok ke samping, ia menemukan Pakde sedang duduk santai di ruang tengah sambil mendengarkan vinyl kesukaannya.
“Pakde..” Ucap Fian. “Fian mau pergi dulu sama teman..”
“Teman? Siapa?” tanya pria paruh baya tersebut, masih memejamkan matanya menikmati alunan suara musik klasik tersebut.
“Juanda, Pakde.”
“Oh ya sudah, kalau gitu hati-hati ya.” Fian hanya menghela nafas melihat Pakde yang sepertinya masih cuek saja. Tapi syukur deh orang tersebut mau mengizinkan Fian.
Kemudian Fian melanjutkan langkahnya menuju pintu depan—dimana Bude masih tertawa-tawa dengan seseorang yang ia yakini pasti Juanda. Sekali lagi ia berhenti di depan jam dinding dan berkaca—memastikan kalau penampilannya sudah cukup keren malam ini.
Tapi, tiba-tiba saja Fian merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Saat ia menoleh, ia menemukan Ben sedang menatapnya aneh dengan kedua alis yang saling bertaut satu sama lain. Ia bersidekap dada.
“Hai, Ben.” Sapa Fian.
“Hai.” Respon Ben sangat singkat. Fian jadi merasa ada yang aneh dengan bule ini. Sejak beberapa hari yang lalu ia merasa sikap Ben perlahan berubah. “Kamu mau kemana?”
“Oh, aku mau menemani temanku jalan-jalan.” Jawab Fian jujur. Tapi itu seolah-olah tidak cukup bagi Ben.
“Teman? Siapa? Is it a guy or a girl?”
Alis Fian otomatis naik sebelah. Apa-apaan dengan pertanyaan Ben tersebut? Kenapa dia harus repot-repot menanyakan dengan siapa dia pergi? Apa itu penting baginya?
“Fiaaaan!!!” Bude tiba-tiba memanggil lagi.
“Um, aku harus pergi dulu. Dah, Ben.” Fian menyunggingkan senyumnya lagi dan meninggalkan Ben di depan jam kaca yang besar tersebut.
Ya ampun, Ben. Kenapa kamu menanyakan itu sih tadi? Batin Ben sambil menepuk jidatnya sendiri.
Ah, ayo lupakan Ben sejenak dan beralih pada Fian sekarang.
“Ya ampun, Fian! Kok kamu nggak bilang ke Bude sih kalau kamu mau kencan, dek!” Begitulah kira-kira celoteh Bude saat Fian sudah sampai di depan pintu dan menemukan Budenya tersebut sedang asik bercengkrama dengan Juanda.
Fian mendelik kesal pada Juanda yang hanya nyengir sambil membuat tanda peace dengan tangan kanannya. “Siapa yang kencan? Orang aku cuman nemanin Juanda kok.”
“Dia bohong, Bude. Kemarin waktu Juanda telfon, Juanda udah bilang kalau ini tuh kencan. Si Fiannya aja aja yang pura-pura lupa kalau ini kencan.” Tukas Juanda yang semakin membuat Fian kesal.
Bude dan Juanda lalu terkekeh di depan Fian, membuat cowok manis tersebut kesal saja. “Tau nih si adek, Jun. Ini kan malam minggu. Terus kamu bela-belain bawa mobil sedannya Papa kamu lagi buat jemput Fian. Apanya yang nggak kencan, kan?” Sahut Bude setelah beberapa saat tertawa bersama Juanda. Bukan, lebih tepatnya menertawakan Fian bersama Juanda.
Dasar cowok narsis! Kesal Fian dalam hati.
“Ini tuh udah kayak perfect-date banget kan ya, Bude? Hahaha. Nanti kalau jadi pacar a—“
Dalam hitungan detik, Fian langsung menginjak kaki Juanda sekuat tenaga. Emosinya sudah di ubun-ubun karena daritadi ditertawakan terus oleh Bude dan juga si calon pilot ini. Bude langsung menatap Fian horror dan spontan menutup mulutnya. Ia tau itu artinya Fian sudah benar-benar kesal sekarang, dan ia rasa sudah cukup untuk menggoda keponakannya itu. Sedangkan Juanda? Ia melolong kesakitan—lolongannya seperti serigala yang kehilangan anaknya. Cowok bertubuh tegap tersebut memegangi kakinya yang terasa berdenyut-denyut setelah di injak oleh Fian.
Cowok manis itu bisa berubah jadi iblis kalau kesal. Dan Juanda sepertinya melupakan itu.
“Bude, kalau gitu Fian pamit dulu, ya..” Kata Fian.
Bude hanya mengangguk sebagai respon, dan saat menoleh pada Juanda yang masih kesakitan dia hanya meringis. Hiiy!
Kedua orang tersebut lalu beranjak pergi meninggalkan Budenya yang masih berdiri di depan pintu rumah menuju mobil sedan hitam mengkilat milik Juanda. Juanda bersikap gentleman dengan cara membukakan pintu untuk Fian. Dan saat pintu ditutup, ia memencet tombol klakson lagi dan langsung di anggukkan oleh Bude.
“Jangan ke hotel, ya!” Teriak Bude saat mobil tersebut menghilang di ujung jalan.
Tanpa wanita paruh baya itu sadari, daritadi Ben sudah berdiri di belakangnya dengan perasaan gelisah. Siapa itu tadi? Dan kenapa dia mengajak Fian malam-malam seperti ini pergi keluar? Apa mereka hanya berdua? Lalu kenapa Bude menyebut Hotel tadi? Ben bertanya-tanya sendiri dalam hatinya.
Saat Bude menoleh ke belakang—sebelum menutup pintu rumah, ia sedikit terkejut menemukan Ben sudah berada di sana dengan penampilan yang cukup keren. Rambutnya ditata spike ke atas. Malam ini bule tersebut mengenakan kaus bertuliskan Fuck Money, untuk menambah kesan keren pada penampilannya, ia juga memakai kemeja yang sengaja ia buka kancingnya, membuat dadanya yang bidang itu tampak menonjol.
“Aduh,” Kata Bude spontan. “Ini anak Bude udah ganteng aja malam-malam. Mau kemana?” Tanya wanita paruh baya tersebut.
Ben tersenyum tipis. “Aku—um.. aku ingin pamit, malam ini aku akan pergi menemani temanku ke taman bermain.”
Bude mengangkat sebelah alisnya. “Taman bermain? Menemani teman? Teman yang mana, Ben?”
“Nanti aku dijemput, Bude. Jadi Bude bisa kenalan sendiri dengannya nanti.” Kata bule itu sembari menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Well,itu sudah seperti menjadi kebiasaan sendiri bagi Ben jika sedang gugup. Dan sekarang ia benar-benar gugup karena ini pertama kalinya dia harus meminta izin pergi keluar. Di London, dia bisa keluar kapan saja dia mau. Jadi ini adalah pengalaman perdananya.
Dan kebetulan sekali, beberapa saat setelah Ben berkata kalau Bude bisa kenalan sendiri dengan temannya ini, Clarisa sudah muncul di depan pintu. Rambutnya sekarang dibiarkan tergerai lagi, cuman sekarang dengan tatanan yang berbeda. Cewek tersebut mengenakan big-size-sweater bermotif bibir yang menutupi hingga setengah pahanya. Sedangkan ia menggunakan ankle-boots abu-abu.
“Selamat malam..” Ucapnya ramah di depan pintu.
Bude spontan langsung menoleh pada Ben—yang langsung di anggukkan oleh bule tersebut. “Malam juga, cah cantik..” balas Bude juga ramah dan menghampiri Clarisa.
“Bude,” kata Ben. “Ini Clarisa, temanku.”
“Clarisa, tante..” cewek itu tersenyum sopan pada Bude.
Spontan Bude langsung mendengus sebal karena dipanggil tante. Ya ampun, apa Clarisa buta? Bude itu selalu melakukan perawatan setiap minggunya bersama teman-teman arisan kelurahan! Lihat saja, kerutan di wajahnya malah hampir hampir tidak tampak. Dan plus, Bude juga tidak senakal itu untuk dipanggil tante. Emangnya dia nakal apa? Dia suka main cowok apa dibelakang suaminya? Big No! Bude itu setia pada suaminya.
Teori yang tidak masuk akal sih, tapi begitulah kira-kira kenapa Bude tidak mau dipanggil Tante. Titik!
Clarisa tiba-tiba gugup sendiri karena wanita paruh baya tersebut tidak membalas sapaannya. Duh, apa gue salah ngomong ya? Cewek tersebut bertanya-tanya dalam hati.
“Ya sudah, kamu jangan malam-malam pulangnya.” Kata Bude datar dan mendengus sebal pada Clarisa.
Cewek tersebut cengo. Sementara Ben mengulum senyum tipis. Sebenarnya dia juga tidak mau sih pergi malam ini, tapi dia sudah janji pada Clarisa akan melakukan apapun agar bisa mendapatkan maafnya.
Huft! Andai saja Ben tidak membentak Clarisa tadi siang..
Kedua muda-mudi itu lantas berjalan menuju Honda Jazz merah milik Clarisa yang sudah diparkir di depan gerbang rumah bule tersebut. “Kamu bisa bawa mobil, kan?” Tanya cewek itu yang langsung di anggukkan oleh Ben. “Kalau begitu kamu saja yang nyetir.”
Ben menaikkan sebelah alisnya. “Kenapa harus aku? Itu kan mobil kamu?”
Bukan berarti Ben tidak mau ya. Tapi dia hanya merasa aneh. Apa maksudnya dengan menyuruhku yang membawa mobilnya?
Tapi bule tersebut tak ambil pusing. Dia langsung menerima kunci mobil dari Clarisa dan masuk ke kursi pengemudi. Sesaat setelah Ben berada di dalam dan bahkan sudah menghidupkan mesin mobilnya, ia menemukan Clarisa masih berdiri di luar sambil bersidekap dada.
Apa lagi sekarang? Tanya Ben dalam hati. Bule tersebut lantas menurunkan kaca mobil. “Hey! Kenapa kamu tidak masuk ke dalam?” teriaknya.
Clarisa mendecak sebal—yang otomatis membuat Ben semakin tidak mengerti dengan sikap temannya itu. Cewek tersebut lalu masuk ke dalam dan duduk di samping Ben. Lagi-lagi dia hanya bersidekap dada di dalam, membuat Ben menghela nafas lagi dan mulai menjalankan mobil.
“Jadi, kita akan pergi kemana?” Tanya Ben saat akan membelokkan mobil di persimpangan.
Clarisa mendesah, dan kemudian menjawab : “Memory Lane.”
~~~
Ahh.. Memory Lane.
Tempat dimana orang-orang selalu menghabiskan uangnya untuk menikmati berbagai permainan serta wahana yang menyenangkan dan mampu memacu adrenalin di kota ini. Ada seluncuran air, atraksi badut, biang lala, komedi putar dan sebagainya. Ada juga pameran dan juga pertunjukan sirkus, tapi biasanya hanya dibuka pada malam minggu dan hari-hari besar lainnya. Dan setelah beberapa tahun membangun wahana baru, hari ini Memory Lane resmi membuka RollerCoasternya.
Juanda membukakan pintu untuk Fian—cowok manis tersebut lagi-lagi mendesah melihat sikap calon pilot tersebut yang dia akui, memang hangat tersebut. “Ayo!” Katanya. “Aku tak mau antri untuk itu.”
Fian memutar kedua bola matanya dan perlahan keluar dari mobil. “Kamu bertingkah seperti ini, bukan berarti aku akan menerimamu. Oke?” Katanya agak sebal.
“Well, aku akan tetap berusaha, sweetheart.” Juanda seolah-olah tetap saja menulikan telinganya. Cowok itu tetap tersenyum meski hatinya terasa sakit saat mendengar penolakan yang entah keberapa kalinya dari Fian. “Come on, kamu bisa memelukku nanti kalau takut.”
“You wish.” Balas Fian.
Mereka berdua kemudian berjalan masuk ke dalam tempat wisata tersebut.
Beberapa saat kemudian di saat yang bersamaan, sebuah Honda Jazz merah memasuki area parkir. Ben langsung keluar dan berjalan duluan masuk ke Memory Lane tanpa repot-repot menunggui Clarisa yang sekarang berdecak kesal lagi karena tidak ditunggui oleh teman—uhuk—date nya malam ini.
Cewek itu membuka pintu mobil dan dengan cepat berlari mengejar Ben. “Ben! Tunggu!” Katanya. Ia agak kesusahan berlari sekarang. Heels sepatunya adalah faktor kenapa dia jadi susah berlari. Dia harus menjaga sepatunya agar tetap bersih. Lihat saja tempat ini, karena hujan tanahnya jadi becek dan berlumpur. Ya ampun, merepotkan saja. Clarisa membatin.
Ben berhenti dan menoleh ke belakang, menunggui Clarisa yang tampak kesusahan dengan sepatunya. “Seharusnya tadi kamu tidak memakai sepatu itu, Clarisa.”
Cewek tersebut bergidik. “Ben, It’s Saturday Night! Semua cewek harus tampil sempurna di malam ini!”
Merepotkan saja, ucap Ben dalam hati.
Tiba-tiba Clarisa langsung saja merangkul lengan Ben. Cewek itu tampak senang sekali bisa melingkarkan tangannya di bisep bule seksi tersebut. Tapi berbeda dengan Clarisa, Ben malah risih. What the hell? Ini bukan kencan dan kenapa Clarisa malah bertingkah seolah-olah dia adalah teman kencannya?
Ben.. biarkan saja. Semua ini hanya agar supaya dia memaafkanmu. Ben menasehati dirinya sendiri.
Sementara itu, Juanda tampak sedang berusaha untuk bisa merangkul bahu ataupun pinggang Fian. Tapi setiap saat ia mencoba, Fian langsung menepis tangan cowok tersebut kasar. “Jangan coba-coba, Juanda!”
Ia merajuk. “Ayolaaaahhh.. ini kan kencan pertama kita setelah setahuuunn.. please?” Tingkahnya seperti anak kecil sekarang. Membuat orang-orang terkikik melihat Juanda. Siapa tau ternyata cowok yang bertubuh tegap, memakai kemeja yang tampak seksi di tubuhnya dan berperawakan tegas tersebut bisa bertingkah seperti itu di depan seorang cowok?
Well, tentu saja Juanda gay!
“Kita tidak pernah kencan, Juanda. Dan please, ada banyak orang disini!” Gerutu Fian sebal.
“Persetan dengan mereka! Mereka hanya iri karena malam ini aku kencannya sama kamu, bukan sama mereka!”
Urrgh! Capek deh berdebat dengan cowok narsis seperti Juanda. Fian hanya bisa menggerutu sebal.
“Memang kamu nggak cemburu apa aku mengajak orang lain untuk menemaniku malam ini?” Lanjut Juanda lagi.
“Honestly¸aku akan sangat bersyukur kalau kamu melakukan itu. Mungkin aku akan sujud syukur di depan tiang bendera!”
Juanda mencibir. “Kamu kejam, sayang.”
Orang-orang hanya tersenyum dan terkikik melihat kedua cowok tersebut meributkan hal yang sama sekali tidak mereka ketahui apa. Kenapa orang-orang rela repot-repot untuk menonton Fian dan juga Juanda? Tentu saja karena penampilan orang tersebut benar-benar menarik perhatian. Lihat saja Juanda yang keren, dan Fian yang tampak serasi dengan penampilan cowok yang tengah merajuk di depannya tersebut.
Mereka tidak tau saja kalau sebenarnya yang mereka tonton itu adalah dua cowok gay yang sedang berdebat. Ck.
Berbeda dengan pasangan itu, Ben dan Clarisa malah tenang-tenang saja. Meski risih, tapi bule tersebut tidak terlalu mempermasalahkan Clarisa yang bergelayut di lengannya. Dia hanya risih dengan orang-orang yang setiap kali melewatinya selalu berbisik, ‘Eh lihat, bule! Bule!’
“Kamu tau Ben..” Bisik Clarisa. “Aku senang kamu mau mengajakku kesini.”
Faktanya, Clarisa yang mengajak Ben ke tempat ini. Bukan Ben.
Ben menulikan telinganya dan memilih untuk melihat-lihat apa saja yang ada di dalam tempat ini. Sementara Clarisa mengoceh, Ben menguap beberapa kali saking bosannya. Wahana dan permainan yang ada di tempat ini sudah pernah ia coba sebelumnya. Apa tidak ada yang tidak pernah ia coba gitu? Semuanya terlihat sangat membosankan. Dan Clarisa semakin memperparah semuanya.
Ada banyak permainan di tempat ini. Ada tempat tembak-tembak bebek, crane boneka dan jam tangan, adu kekuatan, dan lain lain.
Serta ada banyak pula pedagang di sekelilingnya. Seperti pedagang topi, pedangang baju, kios kebab, dan pedagang permen gula kapas yang sedang melayani Fian dan juga cowok—
Tunggu. Siapa tadi? Fian? Mata Ben langsung melotot melihat sosok cowok manis tersebut yang tampak senang sekali dibelikan permen kapas bewarna biru oleh cowok yang ada disampingnya.
Siapa cowok tersebut? Ben bertanya-tanya dalam hatinya.
Dan, kenapa cowok itu merangkul pinggang Fian? Hatinya mendadak terasa panas melihat pemandangan itu. Ia tak menyukai perasaan ini. Rasanya seperti tubuhnya diremas-remas dari dalam dan perutnya tiba-tiba mendidih saja. Dia tidak menyukai pemandangan itu.
“Ben...” panggil Clarisa manja, sekarang pipinya sudah menempel saja di bahu bule itu. “Aku mau boneka...”
Ben tak menghiraukan Clarisa dan lebih memilih untuk terus memperhatikan Fian yang sekarang sudah berjalan meninggalkan tempat permen kapas tadi. Siapa sih cowok itu? Tanya Ben dalam hati. Apa itu jangan-jangan cowok yang tadi menjemput Fian ya?
“Ben!”
Ben kaget mendengar Clarisa meneriakinya. Spontan dia langsung menolehkan kepalanya dan menemukan cewek tersebut cemberut. Ia merasa bersalah sekarang. “Maaf, aku tadi melamun. Kamu mau apa tadi?”
“Aku bilang aku mau boneka!”
Tiba-tiba saja sosok Fian terlintas di pikirannya. “Bagaimana kalau permen kapas?”
Clarisa melotot. “Kamu pikir aku anak kecil? Kenapa harus permen kapas? Aku tidak suka makanan yang manis manis, Ben! Kamu tidak tau kalau makanan yang manis-manis itu bisa mengakibatkan obesitas? Nanti badanku melar!” Protesnya.
Ben, yang sabar ya nak.
Ben pasrah dan akhirnya membawa Clarisa menuju crane boneka untuk mendapatkan cewek tersebut apa yang diinginkannya.
Sementara itu di lain pihak, Fian tertawa mendengar Juanda yang sedang bersemangat bercerita. “Dan kamu tahu apa yang lebih parah? Ternyata mentorku lupa menjait celananya yang sobek!”
Kedua orang tersebut terbahak sambil menikmati permen kapas besar yang sengaja Juanda beli untuk dimakan berdua. How romantic. “Aku bisa membayangkannya.” Ucap Fian.
Mereka berdua sedang berjalan menuju antrian RollerCoaster yang membludak. Namun karena malas mengantri, pada akhirnya Fian mengajak Juanda untuk belok memasuki toko baju yang berada tepat di samping wahana tersebut.
Nah di belakang mereka, Ben tampak benar-benar tidak senang. Apa-apaan sih orang itu? Ia geram. Namun Clarisa tampak senang-senang saja dengan boneka Teddy Bear merah muda di tangannya.
Hati Ben terasa panas melihat Fian yang sedang tersenyum-senyum di dalam toko baju. Cowok yang sedang bersamanya tengah mencobakan baju yang tampak kekecilan di badannya. Menurut Ben cowok tersebut norak sekali karena memakai baju kaus ketat bewarna merah muda. Sangat girly dan menjijikkan.
Tapi berbeda dengan Fian, menurutnya Juanda justru tampak lucu dan menggemaskan. “Eh, eh, pakai topi itu juga dong!” Pinta Fian sembari menunjuk replika kuping kucing bewarna putih garis-garis hitam.
Juanda patuh dan memakainya. Membuatnya kembali menjadi tontonan orang-orang di dalam sana. “Ayo foto bareng!” Ajak cowok tersebut.
“Ah, nggak mau ah!” tolak Fian malu-malu.
Namun seorang pengunjung tiba-tiba mendorongnya hingga tubuh Fian menabrak tubuh Juanda. Juanda langsung saja merengkuhnya dan meminta seseorang memoto mereka.
Melihat pemandangan tersebut, Ben menjadi semakin kesal. Ia tiba-tiba saja menghentikan langkahnya dan membuat Clarisa tersentak kaget.
“Kenapa, Ben?” Clarisa mengerjap-ngerjapkan matanya kebingungan.
Mereka berhenti tepat ditengah-tengah kerumunan orang yang sedang menyaksikan pengamen yang sedang melakukan tugasnya. Pria tersebut tampak sangat menghayati lagu yang ia bawakan dengan gitar kusam dan kuno. Sementara orang lain hanya diam dan sesekali memasukkan uang receh kedalam topi yang sengaja diletakkan terbalik di atas tanah.
Perasaan Ben campur aduk sekarang.
Ia tetap berdiri di sana sembari menyaksikan Fian yang sedang bersenang-senang dengan cowok asing tersebut.
Dia tidak suka melihat Fian berada di dalam pelukan orang lain seperti itu.
Tapi dia bukan gay.
Ini semua sangat membingungkan baginya.
Ben mengacuhkan Clarisa dan melangkahkan kaki menuju antrian rollercoaster. Clarisa hanya kebingungan melihat sikap temannya yang tiba-tiba saja menjadi dingin tersebut.
Clarisa hanya tidak tahu saja apa penyebab Ben tiba-tiba menjadi seperti itu.
Sebelum meninggalkan tempat itu, dia menolehkan kepala sebentar mendengarkan pengamen tersebut bernyanyi.
‘It’s okay to be easily ignored..
I’d like to believe it was all about love for a child..’
Yaudah lah ya, semoga kalian bisa menikmati seperti saat gue menikmati menulisnya
@Gabriel_Valiant @McGerronimo @lulu_75 @akina_kenji @balaka @Tsu_no_YanYan @3ll0 @rozanfik
@Tsu_no_YanYan hiks kak T.T HPnya konslet masa'. Hiks hiks. UEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE
@balaka hah? bang ardi? abang! abanggg! bilangin gue kangen! gue mau nyubit yupinya bang! AAAAAAAAAAA *gemeteran sendiri*
Ssshhtt! gue lagi nyamar jadi orang lain! Jangan di bongkar! *bisikbisik*
@lulu_75 fian cemburu ke siapa deh? O.o
ehh ada dedek papan juga disini, wkwkwk @mcgerronimo
jadi oot. wkwkwk
abang ihh, aby lagi dalam penyamaran! jangan sebut bub bub! #sentilyupinya
omejehhhh Clarisa gak bisa dibuang aja?? jatuhin deh dari wahana apa gitu!
btw dedek, acuh = peduli yaaa
lanjuuuut
@Gabriel_Valiant thanks, gab
@josii oke oke
@balaka tuh bang dengerin kata kak @Tsu_no_YanYan ! Gue kan lagi nyamar! *sentilyupiyanggadisentilkakyan* jangan dibuang dong Clarisanya. Btw JANGAN PANGGIL ABY BISA KALI AH PLIS DEUCH