It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
"Ayo turun." Ucap Ben pada Fian yang masih betah di belakang.
Tidak, malah Fian sekarang jadi ragu untuk turun. "Uhm.. apa kita harus makan di sini?" Tanyanya waswas.
"Tentu. Hanya ini tempat roti yang kulihat di sepanjang jalan tadi." Ben melepaskan helmnya dan meletakkannya di atas kaca spion. "Lagian restorannya juga sepertinya menyenangkan. Ayo turun!"
Fian menghela nafas dan perlahan turun.
Sebenarnya ada satu alasan kenapa dia tidak mau masuk ke dalam restoran tersebut. Tentu saja karena pemilik dari tempat tersebut adalah Farel. Ingin sekali rasanya dia meminta Ben untuk mengantarkannya pulang sekarang juga dan menelfon KFC untuk mengantarkan makan siangnya. Namun Fian juga tidak ingin di tanya-tanyai oleh Ben nanti.
Jadilah Fian sekarang mengalah dan memilih mengikuti Ben dari belakang.
Bule tersebut langsung menarik perhatian pelanggan kaum hawa yang kebanyakan adalah siswi SMA yang sedang nongkrong di restoran tersebut. Tentu saja karena sekarang Ben benar-benar tampak seperti aktor hollywood. Lihat saja jaket kulit yang membentuk bisep dan juga oto dadanya itu. Lalu rambut coklatnya yang bergoyang-goyang ditiup oleh kipas angin yang di pasang dilangit-langit ruangan.
Sungguh semua tatapan mata cewek-cewek tersebut membuat Fian geli.
Terbersit ide nakal di benak Fian. Ia mendekat membisikkan sesuatu pada Ben. Membuat bule tersebut kemudian terkekeh dan melingkarkan lengannya yang berisi ke pinggang Fian. Dan cowok manis tersebut melengokkan kepalanya ke samping sambil mencibir pada cewek-cewek tersebut.
Cewek-cewek itu langsung berdecak kesal. 'Yah, gataunya homo' bisik salah seorang dari mereka yang langsung mengundang kikikan dari Fian.
Ya ampun, Fian! Kamu harusnya berhenti melakukan itu kepada cewek-cewek tersebut! Fian menasehati dirinya sendiri. Dia juga merasa bersalah karena sudah membuat Ben dicap sebagai gay oleh orang-orang itu.
Tapi toh, Ben dan Fian juga tidak mengenal mereka kan?
Namun rupanya ada yang tidak senang melihat adegan itu. Adegan dimana Ben melingkarkan lengannya di pinggang Fian dan menuntunnya ke depan etalase yang berisi berbagai macam roti tersebut. Cowok itu tersulut api amarahnya melihat scene itu. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain menahan diri agar semua orang tidak salah paham dengannya nanti.
Tidak ada orang yang boleh tau kalau dia gay.
Tidak, terlebih setelah dua tahun yang lalu kedua orang tuanya memergoki ia kedapatan sedang memeluk Fian dengan mesra di meja belajarnya.
Fian masih mencibir pada cewek-cewek tersebut dan membuat mereka sadar sampai-sampai ia tidak sadar kalau mereka sudah tiba di depan rak yang berisi nampan. "Hey, berhenti menggoda mereka. Ambil nampanmu, aku tak mau nanti Bude memarahiku karena membuatmu kelaparan sepanjang hari."
Cowok manis tersebut langsung menolehkan kedua kepalanya pada Ben dan mengangguk. Setelah itu ia ikut mengambil nampan seperti yang dilakukan Ben. Mereka berdua lalu mulai memilih roti-roti yang berada di etalase kaca tersebut.
Sangat banyak jenis roti yang di sediakan oleh tempat ini. Mulai dari Croissant sampai roti isi. Semuanya lengkap dan berjejer rapi dibawah sinar lampu neon bewarna jingga. Ben mengambil dua roti caramel dan juga satu Croissant. Sedangkan Fian meraih dua sandwhich, dua croissant, empat donat dengan taburan biji wijen, serta satu roti isi kacang hijau.
Ben melotot saat melihat nampan Fian yang membludak. "Kamu yakin bisa menghabiskan semua itu sendirian?"
Fian yang masih sedang memilih roti menolehkan kepalanya pada Ben yang tengah melotot horror padanya. Saat mata besar cowok cantik tersebut bertemu dengan mata coklat bule itu, waktu seolah-olah berhenti berdetik bagi Ben.
Mata itu terlihat sangat indah.
Mata itu terlihat sangat polos.
Mata itu terlihat sangat menawan.
Mata itu.. menakjubkan.
Ben tak bisa berkedip dibuatnya. Ini baru kali pertama ia bisa menatap mata Fian dalam jarak sedekat ini. Dan itu berhasil membuat jantungnya berdetak tak karuan. Berdetak lebih cepat 1000 kilometer per jam. Mata tersebut bagai menelannya bulat-bulat ke dalam dunia lain yang membuainya dengan keindahan.
"Ben?"
Suara Fian sontak langsung menarik Ben dari dunianya. Ben mengerjapkan mata beberapa kali dan menemukan Fian yang tengah menatapnya heran.
"Ben, menurutmu ini kebanyakan? Apa aku harus menguranginya? Uangmu tidak cukup ya?"
"Ti--tidak!" Sial! Ben malah jadi gugup sendiri di buatnya. Fian malah cengo di tempatnya. "Maksudku, uhm.. ayo kita bayar dulu rotinya."
"Oh," gumam Fian. "Baiklah. Katanya disana kita juga bisa pesan minuman."
Oh ayolah, Ben. Calm down! Tenanglah. Yang tadi itu hanya kebetulan. Kamu baru lima hari disini dan sekarang kamu sudah takluk oleh pesona seorang Fian? Kemana Ben yang dulu selalu membuat orang-orang bertekuk lutut didepanmu?
Gusar, Ben menggelengkan kepalanya. Mengundang tanda tanya bagi Fian. "Kamu kenapa, Ben?"
"Aku juga tidak tau, Fian. Mungkin sebaiknya kita bayar ini dulu di sana. Kita juga akan memesan minuman kita disana."
Fian tersenyum simpul dan kemudian mengangguk. Mereka berduapun berjalan menuju kasir. Dimana seseorang sudah menunggu disana tanpa Fian sadari. Orang yang sudah memperhatikan bule dan cowok manis itu dari tadi, sejak saat pertama mereka menginjakkan kaki di restorannya ini.
Ding! Ding!
Ponsel Fian tiba-tiba berbunyi lagi. Dia dengan cepat memasang handsfree-nya yang sudah terhubung dengan smartphonennya. Sesaat setelah Fian memencet tombol khusus di atas kabel benda tersebut, sebuah lagu yang baru ia download tadi pagi langsung bergema di telinganya.
'Kasih maaf bila aku jatuh cinta
Maaf bila saja ku suka
Saat kau ada yang punya
Haruskah ku pendam rasa ini saja
Ataukah ku teruskan saja
Hingga kau meninggalkannya dan kita bersama...
Hai Fian, aku nggak sabar nunggu hari Sabtu. Good day, sweetheart'
Fian terkikik geli mendengar pesan suara dari Juanda. Dia perlahan mecabur handsfree-nya dari telinga dan menghentikan langkahnya ketika Ben juga melakukan hal yang sama.
Saat ia menoleh ke kasir, saat itu pula ia terperanjat kaget.
Farel menatapnya dengan kedua alis mata yang bertaut seolah-olah meminta penjelasan untuk apa yang dilihatnya tadi. Bukan, mungkin untuk semuanya. Namun alih-alih bertanya seperti itu, ia malah menjaga gengsinya.
"Halo, selamat siang. Selamat datang di Sunday Breadfast."
Ben malah dengan polosnya tersenyum lebar. "Hai Farel! Bagaimana kabarmu?" Tanyanya.
Bagaimana kabarku katamu? Tanyakan saja pada pacarmu ini bagaimana kabarku, bule sialan. Batin Farel geram.
Awkward! Uh, oh.
@akina_kenji @Aurora_69 @rigil
trus kakak dan abang @Tsu_no_YanYan @muffle @balaka @3ll0
lanjutkan abyyyy!!!
Oya pas di kalimat ini kok kepala fian dua ya..'menolehkan kedua kepalanya pada Ben' hmm..
Ceritanya bagus..
Farel menghela nafas dalam-dalam, mencoba menahan emosi yang sekarang membludak di dalam dirinya. Pikirkan saja, kenapa dia tidak emosi coba? Kemarin waktu di datangi, mantannya itu bilang kalau ‘gay itu sakit’. Cowok yang bekerja di tempat roti ini awalnya pikir Fian benar-benar kesal dengan dirinya sendiri dan mencoba untuk menutup diri dari dunia abu-abu seperti ini—semenjak kejadian dua tahun yang lalu—di malam mereka berpisah. Tapi apa yang dia lihat tadi benar-benar tidak mencerminkan kalau gay itu sakit.
Maksudku, Fian senang-senang saja di rangkul oleh bule seperti seorang Ben?
Apanya yang sakit kalau begitu?
Farel lantas memejamkan matanya sebentar, lalu berpura-pura tersenyum ramah. “Kabarku? Aku baik-baik saja.” Adalah responnya beberapa saat kemudian. Ben mengangguk, tanpa bule itu sadari mata Farel tak bisa lepas dari sosok Fian yang sedang berdiri gelisah di sampingnya.
Farel berdehem. “Kalau kamu sendiri, Fian? Bagaimana kabarmu?”
Fian yang sedari tadi hanya menundukkan kepalanya gelisah tiba-tiba tercekat. Ia mendadak tidak bisa menemukan suaranya. Kenapa harus ketemu sama orang ini, sih? Batin Fian dengan bodohnya. Tentu saja dia harus ketemu sama orang ini. Lah ini kan restoran punya Farel.
Ya. Farel pernah mengundangnya ke acara peresmian toko roti sekaligus restoran miliknya ini beberapa bulan yang lalu. Tapi Fian tidak datang.. karena alasan privasi.
Ben tidak menghiraukan mereka berdua dan lebih memilih untuk berkutat pada daftar minuman yang di sediakan oleh tempat ini. Menunya di tulis di atas papan hitam yang ia tempel di langit-langit belakang tempat kasir. Persis seperti caffe ala Paris yang selalu ia kunjungi setelah mengajak Josh jalan-jalan setiap hari Sabtu. Biasanya dia akan memesan kopi untuk menyegarkan pikirannya setelah seminggu penuh berkutat dengan tes dan juga tugas-tugas lainnya. Ben bisa menghabiskan waktu berjam-jam di dalam tempat itu hanya untuk menikmati secangkir kopi.
Tapi, sekarang bukan di London. Ini Indonesia, bro.
Lagian di tempat ini sepertinya tidak terlalu suka dengan kopi. Buktinya saja di tempat ini, terlalu banyak Susu yang mereka tawarkan. Mulai dari Susu Coklat, Susu Coklat Panas, Susu Murni dan banyak yang lainnya. Ben sedikit tidak puas saat tidak menemukan nama kopi yang selalu ia pesan dulu. Dia hanya menemukan beberapa minuman berkafein yang acap kali ia temui dulu, tetapi sangat jarang ia pesan.
Bule itu berpikir panjang. Aku selalu terbiasa minum kopi setelah makan dessert seperti ini, Ben bergumam sendiri di dalam pikirannya. Kenapa sih mereka tidak menyediakan Black Coffee?
“Aku mau pesan..” Ben bersuara, masih menatap daftar menu yang di tempeli di langit langit tanpa repot-repot menoleh pada Farel yang masih mencoba menelanjangi Fian dengan tatapannya. “White Frape.”
“Baiklah..” ujar Farel seraya melepaskan tatapan matanya dari Fian dan menuliskan pesanan Ben. “Lalu?”
Bule itu menoleh pada Fian sekarang. “Kamu mau minum apa, Fian?”
Cowok manis itu mendongakkan kepalanya, mata besarnya lagi-lagi bertemu dengan Ben—membuat bule seksi itu kembali berdebar-debar jantungnya. Tapi berbeda dengan yang tadi, kali ini sorot mata Fian justru penuh akan kebimbangan dan juga kesedihan. Hanya saja, Ben terlalu buta untuk membaca semua itu. Mungkin untuk saat ini.
Fian menghela nafas. “Aku samakan saja denganmu, Ben.”
Dengan cepat Ben menggelengkan kepalanya. “No. Kamu dari tadi memilih dan mengambil berbagai macam roti sesukamu. Bagaimana mungkin kamu sekarang mau minum yang sama denganku?”
Cowok manis itu terdiam dengan kedua tangan yang mencengkram erat ujung-ujung nampannya yang sudah di penuhi oleh berbagai macam roti manis tersebut. “Mungkin sebaiknya aku cari tempat dulu disana..”
“Dan kamu tak mau memesan minuman? Kamu yakin lambungmu cukup kuat untuk mencerna semua manisan itu?” Serang Ben.
Sebenarnya aku hanya tidak ingin dilayani oleh orang ini, Ben. Fian menggerutu sendiri. “Baiklah, kalau gitu aku mau susu murni!” Kata Fian dengan suara tinggi, sukses membuat Ben sedikit terkejut.
Loh? Kenapa dia malah marah? Ben bertanya-tanya.
Farel kembali menyunggingkan senyum palsunya, sementara Fian hanya bisa menggerutu kesal pada Ben. Lagian Ben juga salah sih, apa dia tidak bisa mengerti kalau ada sesuatu di antara cowok manis tersebut dengan pemilik restoran ini? Harusnya tadi dia biarkan saja Fian pergi cari tempat untuk mereka memakan semua roti-roti ini. Yah begitulah isi hati Fian saat ini.
Saat Ben mengeluarkan dompetnya, Fian langsung meninggalkan bule tersebut menuju meja kosong yang dari tadi sudah di intainya. Semua cewek-cewek yang tadi hanya mencibir padanya karena sudah bergelayutan dengan manja di lengan Ben si bule seksi, spontan langsung menutup mulutnya. Aura yang menguar dari tubuh cowok cantik itu benar-benar berbeda sekarang. Sekali mereka membuka mulut, maka mata Fian akan langsung menyambar bagai elang.
Lalu? Bagaimana reaksi dua cowok tampan dan seksi yang sedang berdiri di depan dan belakang mesin kasir itu?
Farel menyunggingkan senyum liciknya, aku akan beritahu Bude nanti, Fian. Kamu tau kalau aku masih mencintaimu dan nggak ada orang yang boleh memilikimu selain aku. Tidak ada yang boleh,Fian! Tidak ada! Batinnya penuh ambisi.
Sementara Ben hanya cengo sendiri, bahunya jatuh ke bawah dan senyumnya yang tadi merekah diikuti oleh debaran jantungnya yang menggila saat melihat mata besar Fian, mendadak berubah. Ya Ampun, apa yang telah aku perbuat? Apa menyuruhnya memesan minuman berarti menyamakan dia seperti anjing lagi, ya? Sepertinya aku harus banyak-banyak minta pendapat pada Bude.
“Baiklah, satu White Frape dan satu susu muni. Silahkan ke tunggu di mejamu, Ben. Nanti akan diantarkan pesananmu.” Farel berkata ramah. Padahal dalam hati dia benar-benar ingin membunuh bule ini. Berani-beraninya lo merangkul pacar gue? Hah? Sungguh, emosi Farel benar-benar sedang di puncak kepala saat ini.
Ben mengangguk dan membalikkan badannya ke belakang, berjalan menuju Fian yang sudah duduk lebih dulu di meja mereka. Tak sedetikpun cewek-cewek ganjen tersebut membicarakan ketampanan Ben. Um.. tau maksudku? Cewek mana yang bisa menolak aura seorang bule tampan yang memakai jaket kulit hitam bak pengendara motor Harley, lalu rambutnya yang coklat dan matanya yang indah. Ya ampun, orang awam pasti akan mengira kalau dia itu artis. Tapi sepertinya pelanggan-pelanggan tempat ini bukan orang awam sama sekali. Sepertinya mereka orang gaul semua.
‘Bilang gue kalau itu bukan Justin Bieber, Sheila!’
‘Oh. My. Gosh. Liat tangannya itu! Bahkan tangan Chico Jerico kalah!’
‘Hey! Chico Jerico itu bebeb gue tau! Tapi.. dia emang cantik.’
Ben sudah terbiasa sih dibicarakan seperti itu. Sebenarnya Ben tidak terlalu mengerti dengan semua bisikan-bisikan aneh dari mereka tersebut. Maksudku, mereka itu orang Indonesia dan Ben adalah bule yang baru saja tinggal di Indonesia. Emangnya dia bisa langsung ngomong Bahasa Indonesia seperti kebanyakan orang disini, gitu?
Tapi meskipun demikian, Ben tidak terlalu mengkhawatirkan itu. Selama Ben tidak macam-macam maka tidak akan ada yang menganggunya. Plus, sepertinya mereka juga membicarakan hal yang baik-baik saja tentang bule tersebut.
Sekarang yang harus dia khawatirkan adalah Fian.
Ya ampun, dari kejauhan seperti ini saja sudah ketahuan kalau Fian badmood lagi. Dan Ben bertanya-tanya ini pasti gara-gara dia lagi. Ben, kamu benar-benar cocok sebagai moodbreaker nya Fian!
“Hey,” sapa Ben saat sudah sampai di mejanya. Ia lalu meletakkan nampannya ke atas meja, menarik kursi dan duduk di depan Fian yang sedang memperhatikan suasana padat jalan raya dari kaca besar di sebelahnya. “Belum dimakan, rotinya?”
Fian menghela nafas panjang dan sesaat itu langsung meraih satu Croissant. Ben hanya memandanginya aneh. Cowok manis itu tampak seperti anak kecil yang tidak mendapatkan permintaannya sekarang. Pipinya menggembung dan kedua alisnya saling bertaut.
Sangat menggemaskan.
Damn! Sebenarnya umurnya berapa sih? Batin Ben dalam hati.
“Aku minta maaf, oke?” Kata Ben dan siapa tau ternyata itu berhasil menarik perhatian Fian. Cowok itu mendongakkan kepalanya dan menatap Ben dengan sebelah alis yang terangkat ke atas. Lalu bule tersebut melanjutkan kalimatnya. “Aku minta maaf karena sudah membuatmu kesal tadi. Aku cuma tidak mau kamu tersiksa gara-gara minum minuman yang sama denganku. Aku ini—“
“Siapa yang marah?” Potong Fian dengan mulut yang penuh dengan Croissant. “Aku nggak marah kok.”
Sekarang Ben kembali dilanda kebingungan. Kalau dia tidak marah? Lalu kenapa tadi Fian meneriakinya dan meninggalkannya sendirian di mesin kasir? “Maksudmu, kamu tidak marah?”
Fian terdiam sambil menggembungkan pipinya. “Aku memang marah kok.”
Tadi katanya tidak marah? Sekarang marah? Yang benar yang mana sih? Jawabannya Fian berhasil membuat Ben membatin sendiri dalam hati.
“Tapi aku tidak marah padamu.” Lanjut Fian yang langsung di sambut Ben dengan senyuman. Namun, berhasil membuat Bule tersebut bingung. Kalau cowok manis itu tidak marah padanya, tidak mungkin dong dia marah begitu saja tanpa ada alasan.
“Kamu—“
“Permisi,” Seorang pelayan cewek dengan rambut di kuncir kuda kemudian datang membawakan pesanan mereka. Fian mendongak dan mendengus saat melihat cewek tersebut. Di nametag nya tertulis : Nadia. Fian tau pasti siapa cewek ini. Tapi dia tidak mau mengungkit-ungkit masalah itu. “Satu White Frape dan Satu Susu Murni. Terimakasih sudah mampir ke restoran kami.” Katanya sambil tersenyum lebar dan sesaat kemudian berlalu.
Entah mengapa hati Fian terasa panas melihat senyuman itu. Senyum yang sama yang berhasil memecahkan hatinya yang memang sudah pecah menjadi pecahan yang lebih kecil lagi. Ia merasa kalau Farel benar-benar kejam padanya dan Fian benar-benar tidak bisa mentolerir semua janji-janji manis cowok itu lagi. Tapi untung saja masa-masa gelapnya sudah berlalu dan sekarang dia sudah bisa kembali ke mode biasanya.
Ben sudah lupa dengan apa yang mau di katakannya tadi. Dia lebih memilih untuk menyesap White Frapenya. Sedangkan Fian secara sembunyi-sembunyi menghapus air mata yang menggenang di kelopak matanya. Dia harus kuat. Fian, kamu harus kuat.
Kedua orang tersebut menikmati siang mereka dengan santai sambil menikmati makanan mereka. Meski Ben tampak senang-senang saja dengan makanannya dan sesekali mengajak Fian berbicara. Tapi Fian tak sesenang itu. Dari jauh Farel hanya bisa menatap mereka nanar.
Sementara itu, suara Adele yang mengalun dari pengeras suara yang di tempelkan di setiap sudut restoran terdengar sangat melankolis dan semakin memperparah suasana hati Farel.
Hello from the other side..
I must’ve call a thousand times
To tell you I’m sorry for everything that I’ve done
But when I called you never seem to be home
Hello from the outside
At least they can see that I’ve tried
To tell you I’m sorry for breaking your heart
But it don’t matter, It clearly doesn’t tear you apart anymore..
Mungkin benar apa yang orang katakan, hati adalah bagian paling tersulit untuk di obati.
~~~
“Bapak, Bukde dengar Addited Web Series di larang tayang loh di China.” Suara Bukde ditengah-tengah acara makan malam keluarga kecil tersebut.
Pakde yang sedang fokus menonton Indonesia Lawyers Club hanya menggumam pelan sebagai jawaban—dan itu berhasil membuat Bukde kesal. Ketika Bukde sengaja menginjak kaki suaminyaa, Pakde melolong kesakitan dan membuat Ben serta Fian terkejut. “Ibu! Bapak lagi fokus nonton ini! Nanti aja ngomongin Web Series kesukaan Bukde itu!”
“Tapi Pak, Webseries ini tuh keren banget! Nanti Bukde liatin ke Bapak ya. Luo Yin nya mirip banget sifatnya sama Fian! Besok-besok Bukde mau beliin Fian anjing juga lah, eh, bukan. Karena Gu Hainya Ben, besok Bukde mau nyuruh Ben beliin Fian anjing retrovier buat Fian ah!”
Ben dan Fian yang dari tadi hanya diam tiba-tiba tersedak mendengar Bude berceloteh seperti itu. “Bukde apa-apaan sih?” Gerutu Fian.
What the heck? Ben membatin sendiri sambil meminum air putih di gelasnya.
“Ibu, Fian itu alergi sama bulu anjing.” Akhirnya Pakde berhasil mengalihkan perhatiannya dari TV. “Dan Bukde ini harusnya wes khawatir toh sama Fian. Liat itu di TV orang-orang pada ngomongin LGBT. Gay itu sakit lah. Gay itu apa menular lah. Gimana nanti kalau temen-temennya Fian malah ngejauhin dia? Hm?”
Fian tersenyum. “Alhamdulillah, Pakde. Sejauh ini teman-teman Fian biasa-biasa aja kok.”
“Tuh, Pakde denger sendiri kan kata Fian? Bapak aja yang terlalu posesif.” Racau Bukde lagi dan membuat Fian serta Pakde geleng-geleng kepala. “Lagian, apa-apaan itu dengan Gay itu sakit sama Gay itu menular?” Sekarang wanita paruh baya itu malah bergumam sendiri sambil berpikir. “Maksudnya Gay itu menular toh, Pakde?”
Pakde mengangguk. “Itu dengerin tuh kata Psikolognya. Wes Bapak juga heran toh, buk e. Mereka bilang kalau dekat-dekat sama gay nanti bisa menular. Lah iki anak kita udah ngaku gay sejak dari SMP, Bapak nggak pernah tertarik tuh sama temen bapak.”
Sebenarnya Fian memang bukan anak Bukde dan Pakde sih. Bukde adalah adik dari ayahnya Fian. Jadi ketika kedua orang tua Fian meninggal karena mobil yang mereka tumpangi di tabrak oleh kereta api, hak asuh Fian jatuh ke tangan Bukde yang memang tidak bisa punya anak karena suaminya mandul—maaf ya Pakde. Itu semua terjadi juga dua tahun yang lalu. Bertepatan dengan kejadian itu yang semakin membuat Fian terpuruk dan tidak mau mengingat hari itu lagi.
Namun setiap saat ia mencoba melupakannya, setiap saat pula Farel datang dan memaksanya untuk memaafkan segala perbuatan yang telah ia lakukan di masa lalu pada cowok manis tersebut.
Fian bukannya tidak bisa, tapi dia tidak mau untuk merasakan rasa sakit yang teramat sakit itu lagi.
Ben sendiri lebih memilih untuk melanjutkan makannya dan tak mendengarkan perdebatan di antara pasangan suami istri tersebut. Dia bukannya tidak mau, tapi dia tidak mengerti. Tapi paling tidak, ia senang karena di sini ia selalu merasa di anggap.
~~~
‘Must be love on the brain
That's got me feeling this way
It beats me black and blue but it fucks me so good
And I can't get enough
Must be love on the brain
And it keeps cursing my name (cursing my name)
No matter what I do
I'm no good without you
And I can't get enough
Must be love on the brain’
Malam itu, Ben sedang melakukan work-out biasanya satu jam sebelum tidur. Dua hari setelah berada di Indonesia, Bukde dan suaminya langsung membelikan alat-alat fitness untuk bule tersebut. Ben juga tidak mengerti untuk apa mereka melakukan semua itu deminya, tapi yang jelas tentu saja bule seksi tersebut tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan baik yang telah di berikan oleh sepasang suami istri tersebut padanya. Selama di Indonesia dia ingin menjadi lebih sehat lagi.
Dia ingin menjadi lebih kuat dan membuktikan pada semua orang, kalau bukan hanya nerd yang bisa menjadi orang pintar dan berkeliling dunia karena kepintarannya.
Lihat, dia bukan nerd tapi bisa berkeliling dunia kan?
Sambil mendengarkan alunan suara Rihanna di earphone Beats by. Dre miliknya, Ben terus berlari-lari di atas treadmill yang berada di depan cermin besar di lemarinya. Di London, Ben memang terbiasa untuk work-out paling sedikit 15 jam setiap minggunya. Ia selalu mengenakan pakaian khusus setiap melakukan aktifitas rutinnya tersebut : joggerpants abu-abu serta tank-top hitam yang melekat sangat pas di tubuhnya.
Ben sangat menyukai lagu Rihanna yang satu ini. Dari setiap lagu baru yang diva nakal tersebut rilis Februari lalu, ia hanya tidak bisa menahan dirinya untuk tetap memencet tombol replay setiap saat mendengarkan lagu tersebut.
Must be love on the brain....
Hingga beberapa menit kemudian, Ben berhenti dari aktifitasnya berlari-lari kecil di atas treadmill dan dengan nafas yang terengah-engah berjalan menuju balkon kamarnya. Ia menyusun barbel-barbel milik Pakde yang saban hari diberikan oleh pria tua tersebut padanya di sana.
Saat ia membuka pintu balkon dan menoleh ke samping, ia menemukan Fian sedang duduk di sana dengan gitar miliknya dan sebuah earphone yang menutupi telinganya. Ben langsung berhenti saat itu juga dan diam-diam memperhatikan sosok Fian dari belakang tanpa diketahui oleh cowok manis tersebut.
Fian tengah bernyanyi.
Menyanyikan sebuah lagu yang belakangan tidak bisa di lupakan oleh Ben.
Dan entah kenapa saat mendengarkan Fian menyanyikan lagu tersebut, senyum simpul langsung mengembang di wajah Ben.
‘And you got me like ah...
What you want from me?
And I tried to buy your pretty heart, but the price is too hard..
Baby you got me like, ooh..
You love it when I fall apart..
So you can put me together against the wall..’
Must be love on the brain... that’s got me feeling this way. Ben ikut bernyanyi.
Dan perlahan.. perasaan itupun tumbuh di hatinya.
hueeeeeeeeeeee mau curhat kalau hp gue mati. UEEEEEEEEEEEEEEEEEEEE
@Gabriel_Valiant Yeah! Singkirkan Clarisaaaa! #ikutanpasanghastag
@Tsu_no_YanYan PuhLeaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaseee stop panggil gue aby! apa yang salah dengan bedakjohnson? harus gitu pake bedakmiyabi? *eh #efekgalau
@balaka #ikutanketawa gaje
ben udah cinta, lah fian belum
moga hapenya idup lagi ya, atau dapet ganti yg baru deh.. aamiin
buru balik asrama yaw, sepi nih gak ada yg bisa diajak ribut..
abyyyyyy #berpelukan
#maubacafianbenduluahh