It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
@Bang @lulu_75 : Hahah, iya bang Lulu (❁ *´ `*)
@Bang @ryo_aprlillio : hoo, gitu yah bang (❁ *´ `*), hahah, jadi abang tau SKO dari BF yah (❁ *´ `*). Wah Obi tersanjung! Hahah! Ahh, bumper mobil Obi yah (❁ *´ `*), hahah, itu...umm, hahah, Obi tumburin pohon (❁ *´ `*). Makasih bang atas doanya buat Obi bang (❁ *´ `*)
@Bang @jayok : Hahah, Obi mengucapkan banyak banyak terima kasih bang karena abang udah sempetin cicip permen gulalinya Joya (❁ *´ `*). Obi anak Jogja bang (❁ *´ `*). Ikutin terus chapter2 Joya yah bang (❁ *´ `*). Chapter 9 tamat kok (❁ *´ `*), sebentar lagi (❁ *´ `*)
@bang @amostalee : Hmm..., Pepunden (❁ *´ `*). Poponden (❁ *´ `*). Popobo (❁ *´ `*)
Hahah, ini bang Obi next lagi ‘Permen Gulali Joya’-nya. Obi ingin abang merasakan manisnya gulali Joya sekali lagi. Miniseri yang sengaja Obi buat khusus untuk forum BF tercinta ini.
Yap, seperti biasa sebelum memulai mengikuti chapter miniseri ‘Permen Gulali Joya’, Obi ingin mengenakan tarif buat abang-abang semua (hahah..). Berapa tarifnya? Murah kok, liat rincian di bawah:
1. Baca cerita Obi, bayar dengan 1 ‘Like’ atau 1 ‘LOL’
2. Atau dalam beberapa kasus tertentu, abang bisa membayarnya dengan 1 ‘Kesal’
3. Kasih Obi 1 komentar (wajib).
Yap! Wajib berkomentar, Obi ingin mendengar suara dan tanggapan abang sama temen-temen semua (❀*´ `*). Itu aja deh, selamat mengikuti (❀*´ `*).
❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀❂❁❀✿❂❁❀
Chapter 7. Preman Pemalak
...Lindungi adikmu...
”Nak..., engkau lebih tua dari pada adikmu. Engkau harus mau mengalah. Engkau harus memberikan potongan kecil daging ayam itu untuknya. Janganlah engkau memakannya sendirian. Berbagilah. Kalian terlahir dari darah yang sama. Kelak engkaulah yang akan menjaga adikmu jika ibu telah tiada... Berjanjilah kepada ibu untuk selalu menjaganya, nak...”
Bangun pagi, menyiapkan kotak harta karun, mandi...
Sarapan (bukan sisa makanan semalam), berdoa, berangkat...
Jangan lapar, jangan menyerah, berjuanglah...
Hangat. Hangat sekali. Tidak terlalu panas. Tapi nyaman. Mengusir sedikit dingin, dan bahkan mencairkan embun-embun kecil. Cahayanya indah sekali. Cerah. Menyinari siapa saja yang sudi menyapanya. Ya! Sinar mentari kembali datang menunaikan janji-janjinya. Ia datang untuk kesekian ribu kalinya. Ahh, mungkin berjuta-juta. Bahkan bermiliar-miliar kali. Menengok pelan dari balik cakrawala timur. Menebarkan senyuman cerah jika ia digambarkan pada secarik kertas putih tanpa cela. Menggantikan tugas sang rembulan bersanding ria dengan bumi pertiwi nan elok ini. Menggantikan? Ahh tidak juga. Ketika rembulan dengan ronanya yang indah menjulang tinggi, ia menunaikan janjinya di belahan ibu pertiwi yang lain. Ya! Dan itu adalah matahari indah pertama di tahun ini─tahun monyet api.
Anak berumur dua belasan tahun itu─Joya, berjalan pelan dengan langkah kecilnya. Ia berangkat untuk kembali mencari nafkah agar ia dapat memberi makan adiknya. Omong kosong dengan sebuah kalender yang salah satu tanggalnya berwarna merah cerah. Itu hari ini. Peringatan tahun baru Cina. Ia tidak libur seperti kebanyakan orang yang melakukannya. Karena bagi Joya, ‘hari’ itu tidak ada. Itu hanya mitos baginya. Kenapa? Karena peluhnya berarti makan malam. Tidak bekerja sama saja dengan melewati malam tanpa hidangan lezat (yang mungkin lauknya ayam).Tidak mau lagi ia melihat adiknya gelisah di tengah malam karena menahan rasa lapar. Tidak mau lagi melihat adiknya mengganjal perut dengan permen gulali dagangannya. Memang manis rasa permen gulali pengganjal lapar itu. Semanis madu. Manis sekali. Tapi pada kenyataannya, itu adalah masa-masa pahit yang harus dijilat mentah-mentah oleh adiknya. Itu sangat menyakitkan bagi Joya melihat adiknya demikian.
Kali ini berbeda. Joya tidak sendirian. Adik semata wayangnya ikut bersamanya. Ia bosan setiap hari harus menunggu abangnya pulang menjelang senja. Entahlah, itu hanya alasannya saja. Pagi ini ia merengek-rengek ingin ikut abangnya menjajakan permen gulali. Yah, anggap saja ia bosan. Ahh, andai ia masih bersekolah, tentunya rasa bosan itu akan tergantikan dengan kesibukannya sebagai tunas bangsa─mengamalkan ini-itu ilmu-ilmu pasti. Tapi lupakan saja itu! Karena pada kenyataannya, tidak ada uang SPP sama artinya dengan tidak sekolah. Tidak perlu menyalahkan lagi antek-antek pemerintah itu. Sudah ribuan kali Joya melakukannya. Namun tetap tidak ada perubahan sama sekali. Mereka─Joya dan adiknya, masih terusir dari dunia edukasi itu. Mungkin mereka─petinggi-petinggi yang tinggal di negeri permai ini, sudah tidak memiliki rasa empati. Itu, atau mereka sudah tidak memiliki kuping lagi untuk mendengar jeritan hati dua anak tersebut yang selalu merasa iri ketika melihat anak-anak berseragam rapi merah-putih itu!
Ya! Kali ini memang jelas sekali berbeda. Selain ia pergi bersama dengan adik kesayangannya yang belakangan mulai manja. Mereka─Joya dan adiknya, mengambil rute jalan yang lain dari pada biasanya. Mereka tidak lagi melewati rumah-rumah megah yang menyeruak bak hutan beton. Mereka tidak lagi melewati gang depan rumah ‘anak berwajah lucu’ itu. Mereka memilih jalan memutar. Lebih jauh. Asalkan tidak melewati rute yang biasanya. Sengaja. Joya sengaja melakukannya. Isi surat kemarin telah membuatnya berpikir panjang semalaman tadi. Joya memang ingin berteman dengan ‘anak berwajah lucu’ itu. Tapi ada dua hal lain yang membuatnya mengubah rute perjalanannya. Pertama, karena Joya tidak mau menghadiri pesta sesuai dengan apa yang ada pada isi surat kemarin. Dunia mereka berbeda, Joya tidak akan pantas bersanding dengan ‘anak berwajah lucu’ itu. Kedua, karena ‘anak berwajah lucu’ itu menginginkan 10 tusuk permen gulalinya. Joya tau, ‘anak berwajah lucu’ itu sedang berusaha mengasihaninya. Ia membeli permen tersebut hanya karena ia merasa memiliki rasa kasihan terhadapnya. Selama tiga hari belakangan, ia selalu membeli 10 tusuk permen gulalinya. Anak bodoh mana yang mampu makan tiga puluh tusuk permen gulali besar ini dalam tiga hari kalau bukan karena kasihan terhadapnya!
Biarlah demikian. Joya sudah berbulat tekad. Toh rute yang diambil sudah terlampau jauh dari jalanan menuju arah rumah ‘anak berwajah lucu’ itu.
...
Matahari menyapa tepat ditengah-tengah bumi. Naik ke atas langit. Jauh meninggalkan kaki cakrawala timur. Sang fajar telah keluar sempurna diatas awan. Ia hanyalah setitik sinar diseluruh luas galaksi bintang. Panasnya yang tadi hangat, kini membakar ubun-ubun. Sinarnya laksana api tak berwujud. Siapa sangka ia mampu berbuat demikian? Tua muda, besar kecil, semua merasakan sinarnya. Lihatlah tunasusila itu, mereka kepanasan. Berbeda dengan gadis-gadis Cina kaya yang berlalu-lalang. Ahh, betapa sedap melihat mereka yang berlenggak-lenggok bak model dengan payungnya. Dan..., hei, mana Bocil? Ini adalah kesempatan bagus buatnya. Namun, ia sama sekali tidak menampakkan batang hidungnya. Sayang sekali. Ahh lupakan dia sejenak!
Siang itu mereka menjajakan permen gulali. Mulai melupakan tentang pesta yang sedang berlangsung di rumah megah milik ‘anak berwajah lucu’ itu.
“Permeeenn..., permeeenn..., permen gulali..., siapa mau beli?”
Suara anak kecil kembali memecah deru kebisingan perkotaan. Ini sama seperti enam bulan belakangan. Ditempat yang sama. Diwaktu yang sama. Melakukan hal yang sama. Rutin. Tapi apa itu suara Joya? Hoho! Bukan! Itu suara adik semata wayangnya. Jelas sekali intonasinya berbeda ketika ia menjajakan gulalinya. Adiknya lebih semangat! Lebih ceria! Memang cara menjajakannya berbeda untuk kali ini. Itu ide Joya. Ia yakin para pengunjung mall-mall ini telah bosan mendengar suaranya (sekalipun Joya tau ia tidak terlalu diperhatikan, pun pengunjung selalu berganti setiap harinya). Rasa semangat dan ceria adiknya bukanlah tanpa alasan. Sedari pagi ia mengamalkan ide itu, sudah lebih dari sepuluh tusuk permen gulali yang mereka jual. Bahkan mereka harus mengeluarkan stok baru dari dalam kotak ajaibnya yang ditenteng oleh Joya. Itu ide yang cemerlang bagi Joya. Ia memanfaatkan keluguan dan kepolosan wajah manis nan kekanak-kanakan adik semata wayangnya. Suara khas anak-anak yang keluar dari mulut adiknya sangat ‘menjual’ permen gulali yang mereka jajakan. Apa itu berlebihan? Tentu saja tidak. Sebab ia telah menjanjikan lauk ayam sedap untuk makan malamnya nanti. Tidak ada yang dirugikan, bukan?
“Hei, kita istirahat dulu. Duduk disini. Aku akan membelikan kau minuman segar,”
Joya meminta adiknya untuk duduk di dekat tiang megah penyangga mall. Tempat baru Joya untuk melepas lelah di siang harinya. Tidak mau lagi ia istirahat di...eerrgghh, lupakan! Jangan mengingatkannya akan toko kelontong milik Cina sial itu! Tidak! Tidak akan!
Sekali ia mengusap peluh dahi adiknya menggunakan syal biru kesayangannya.
Ia berjalan menuju ke sebuah warung kecil yang terletak di bawah pohon beringin. Pintar sekali pemilik warung kecil itu. Ia sengaja mendirikan warung kecilnya tepat di bawah pohon beringin yang ada di ujung perkomplekan mall. Pohon besar. Pun rindang. Teduh. Itu strategi pemilihan tempat yang lumayan jitu. Karena secara de facto itu akan menarik banyak pengunjung yang bosan akan sang mentari yang tengah semangat menunaikan nubuatnya. Warung kecil itu sedang ramai. Joya membeli dua buah minuman dingin untuk menyegarkan tenggorokan mereka─Joya dan adiknya. Joya yakin, setelah beberapa jam berteriak-teriak menjajakan permen gulalinya, ia─adiknya, akan merasakan haus.
Selesai dengan urusan membeli air minum segar, buru-buru Joya kembali ke tempat dimana ia biasanya melepas lelah─tempat dimana adiknya sedang menunggunya saat ini.
Disinilah semuanya berawal. Ketika Joya berjalan hendak kembali menghampiri adiknya. Ia melihat sosok yang sangat familiar sekali. Dia berada disudut gang kosong belakang perkomplekan mall. ‘Anak berwajah lucu’. Namun ia tidak sendiri! Ada seseorang dengan dandanan ala-ala preman─mengenakan celana jeans butut yang lututnya disobek, kaos hitam lusuh berbalut rompi jeans kumal tanpa lengan (mungkin disobek juga, terlihat dari potongannya yang semrawut), lengan bertato, kulit hitam, tindik dimana-mana (tidak hanya satu dua ditelinga kirinya, namun di telinga satunya pun sama). Sebentar, dandanan ala-ala preman? Bukan ‘ala-ala’! Orang yang bersama dengan ‘anak berwajah lucu’ itu memang seorang preman! Nampaknya ia ingin merampas apa yang ada di dalam saku celana ‘anak berwajah lucu’ itu. Orang itu sedang memalaknya!!
“Untuk apa dia kemari? ‘Anak berwajah lucu’ itu?”
Joya berkata dalam hati.
Ini gawat!
Joya sontak langsung menuju ketempat dimana ‘anak berwajah lucu’ itu sedang terpojokkan.
“Hei! Hentikan!”
Teriak Joya sambil berlari.
Namun diluar dugaan, preman pemalak tersebut malah mengeluarkan sebuah benda dari balik rompinya. Kecil. Pendek. Runcing dan bersisi tajam. Sebuah pisau lipat! Nampaknya preman pemalak tersebut ingin mempercepat aksinya untuk mendapatkan hasil buruan, lantaran aksinya ditangkap basah oleh Joya.
Sekali lagi! Ini gawat!
Sekilas saja tergambar apa yang akan terjadi jika sampai pisau tersebut mencelakakan ‘anak berwajah lucu’ itu. Ahh, lihatlah muka anak itu, merah pucat lantaran ketakutan. Ia tidak berdaya dihadapan preman pemalak itu. Tapi berbeda dengan Joya. Ia pemberani. Ia mengambil sebuah tongkat besi ramping (mungkin bekas rak atau semacamnya) dan bergegas menuju mereka.
Joya mengayunkan tongkat besi sepanjang 70-an senti tersebut ke arah preman pemalak tersebut. Lebih tepatnya, Joya mengincar tangan kanan preman tersebut yang tengah memegang sebuah pisau lipat. Berharap pisau tersebut akan terlepas dari tangan preman tersebut. Hanya itu yang terbesit di kepala Joya. Setelah itu, mungkin mereka akan memutuskan untuk lari sambil berteriak meminta tolong. Keramaian di warung kecil tadi pasti bisa membantu Joya.
Sayang seribu sayang. Tongkat besi memang telah terayun. Telak mengenai tangan kanan preman tersebut. Dan bahkan preman tersebut sempat mengaduh. Namun..., pisau yang dipegangnya tidak terlepas dari tangannya. Agaknya kuat sekali preman tersebut menggenggamnya. Tidak putus asa, Joya kembali mengayunkan kuat tongkat ramping itu. Tapi..., sebelum tongkat yang diayunkan mengenai preman tersebut, sebuah pisau lebih dulu menembus lapisan tipis anak berumur dua belas tahun tersebut. Tepat, tepat diperutnya. Dalam. Dalam sekali. Semua badan besi pisau menembus masuk ke perut anak itu. Joya..., ah..., Joya tidak sempat berteriak, bahkan untuk mengaduh pun ia kesulitan. Ia kena telak. Rasa sakit yang teramat sangat dengan seketika menjalar ke seluruh tubuh kecilnya. Membuat tenggorokannya tercekat. Joya terbungkuk ditengah tusukannya. Darah mulai keluar sedikit. Mengalir dari asal tusukan pisau yang masih tertanam kuat di perutnya. Membasahi tangan preman bajingan itu! Tidak sampai lima detik, darah mulai merembes banyak. Membasahi baju anak berusia dua belasan tahun itu. Menetes. Warna merah dimana-mana!
Nampaknya adik semata wayangnya yang tadi melihat abangnya, berlari kalap menyusulnya. Ia melihat semua kejadian itu. Dan tepat ketika abangnya tertusuk pisau, kedua mata mereka saling temu. Pandangan cemas tidak hanya datang dari Joya, melainkan dari adik semata wayangnya yang melihat wajah abangnya menahan sakit karena tusukan benda tajam itu. Ia melihat mulut kecil Joya sedikit ternganga tanpa mengeluarkan sepatah kata satu pun.
Adik semata wayangnya berteriak meminta tolong. Pengunjung yang tadi berada di warung kecil mendengarnya. Tidak memerlukan waktu lama untuk sebuah penjelasan. Hanya dalam 4 detik saja, mereka tau apa yang sedang terjadi ketika melihat Joya tengah tertusuk sebuah pisau. Mereka langsung meneriaki preman tersebut yang membuat preman tersebut menarik kembali pisaunya yang bersemayam dari perut Joya─anak berusia dua belasan tahun itu.
“Huuugh!!” Joya memekik kesakitan tepat setelah pisaunya dengan kasar dicabut preman itu. Kini ia bisa mengaduh. Namun...
Joya roboh.
Preman tersebut melarikan diri. Pengunjung warung tadi yang berjumlah sepuluhan orang mengejarnya dengan beringas. Sebagian lagi menolong Joya.
Lihat Joya! Pandangan matanya seketika mulai buram. Darah yang keluar terlalu banyak. Joya merasa pusing. Samar-samar Joya melihat adik semata wayangnya memandangnya dengan pipi yang basah. Begitu pula dengan ‘anak berwajah lucu’ tersebut yang tengah bersimpuh memangku kepalanya.
“Abang..., abang...”
Joya masih bisa mendengarkan suara adiknya yang tengah menangisinya.
“Hei! Joya! Bertahanlah!”
‘Anak berwajah lucu’ tadi kini wajahnya semakin pucat. Melebihi saat ia sedang dipalak tadi. Hahah! Lucu sekali wajahnya. Joya ingin bertanya─”Kenapa kau memasang ekspresi seperti itu terhadapku?”. Tapi rasa sakit di perut yang semakin menjadi membuatnya mengurungkan niatnya untuk bertanya.
Kerumunan mulai ramai. Cepat sekali terdengar berita heboh tentang seorang anak yang baru menginjak usia belasan terbujur dengan bekas tusukan di perut. Hiruk pikuk mulai terdengar dari segala penjuru. Sampai-sampai gaungnya menggema mengalahkan deru mesin-mesin tua bus perkotaan. Entahlah! Ada yang meminta bantuan. Ada yang bertanya-tanya mengenai kronologis kejadian. Ada yang bertanya siapa yang tertusuk. Puluhan suara bercampur aduk. Terdengar bagai bayi yang sedang meracau. Tapi hanya dua suara yang bisa didengar jelas oleh Joya. Suara adik terkasihnya, dan juga ‘anak berwajah lucu’ tadi yang kini ikut menekan perut Joya yang tertembus oleh tusukan pisau preman biadab tadi.
Hahah! Lihatlah sekali lagi mukanya─’anak berwajah lucu’ itu! Kini semakin merah seperti tomat! Ada apakah gerangan? Kenapa ia memerah seperti itu? Apakah ada gadis cantik yang ikutan menonton Joya? Atau, karena sekarang tangannya ikutan terkena lumuran darah yang kian merembes banyak dari luka tusukan di perut Joya tadi? Sungguh, Joya ingin tertawa...
Hahahah...
Hahaha...
Hahah...
Haha...
Hah...
Ha...
a...
“Lalu..., siapa yang akan melindungi adikku..., bukankah aku sudah berjanji kepada ibu?”. [Bersambung]
❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀
p.s “Jangan lupa tarif sama komentarnya yah bang (❀ *´ `*)”
@Obipopobo - Moga anak berwajah lucu itu ngebantuin Joya ya?
Entah ini perasaan atau emang tulisan obi semakin berkembang. Makin berat banget kata2nya XD yaampun. Perkembangan yg pesat..
Btw abang udah gk main vk loh~
MUKAKAKAKKAKAKAKA
apa skarang standar tulisan amatir itu udah harus sebagus ini? (yaelah, ak udah lama banget ga ol jadi ga tau perkembangan jaman)
duh, ada yg inget ga anak bf yg kerja di publishing trus cari2 naskah gitu buat diterbitin, kayaknya dia harus baca juga deh