It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Hahah, ini bang Obi next lagi ‘Permen Gulali Joya’-nya. Obi ingin abang merasakan manisnya gulali Joya sekali lagi. Miniseri yang sengaja Obi buat khusus untuk forum BF tercinta ini. Dan ini adalah chapter terakhir dari miniseri ini bang! Ada dua chapter disana, chapter 8 dan chapter 9.
Yap, seperti biasa sebelum memulai mengikuti chapter miniseri ‘Permen Gulali Joya’, Obi ingin mengenakan tarif buat abang-abang semua (hahah..). Berapa tarifnya? Murah kok, liat rincian di bawah:
1. Baca cerita Obi, bayar dengan 1 ‘Like’ atau 1 ‘LOL’
2. Atau dalam beberapa kasus tertentu, abang bisa membayarnya dengan 1 ‘Kesal’
3. Kasih Obi 1 komentar (wajib).
Yap! Wajib berkomentar, Obi ingin mendengar suara dan tanggapan abang sama temen-temen semua (❀*´ `*). Itu aja deh, selamat mengikuti (❀*´ `*).
❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀❂❁❀✿❂❁❀
Chapter 8. Sebuah Perpisahan
...Mereka yang tersebut namanya...
Bangun pagi, menyiapkan kotak harta karun, mandi...
Sarapan, berdoa, berangkat...
(...entah, apa aku bisa melakukannya lagi esok pagi..)
Sebuah mobil berwarna putih melaju kencang. Menerobos kepadatan lalu-lintas kota yang memuakkan. Kadang melanggar batas jalan. Aku tidak tau. Sudah tidak terhitung lagi mobil ini membunyikan klaksonnya. Memaksa semua yang ada di depannya untuk menyingkir memberinya jalan. Itu terpaksa! Karena jalanan kota ini masih belum diperlebar. Proyek pelebaran dengan kucuran dana sebesar sekian puluh miliar dari pemerintahan pusat, terhenti di tengah jalan. Ahh! Bahkan sebelum proyek ini dimulai! Lalu..., dimana dana yang sudah cair tersebut? Entah sekarang siapa yang menyimpan dana segunung itu. Mungkin petinggi-petinggi lain lah yang menyimpannya. Menyimpannya dengan aman karena takut hilang sepeser. Sampai-sampai media masa kelupaan meliputnya karena rapatnya brangkas penyimpanan itu. Bahkan ‘tikus-tikus’ lain pun merasa kecurian karenanya! Dan itu benar!
Samar-samar terlihat siluet merah yang berkerlap-kerlip. Hidup. Mati. Hidup. Mati. Hidup. Mati. Terus begitu dengan tempo yang sama. Mungkin akan bagus jika terlihat dengan jelas dari dalam sini. Suara bising yang keluar dari mobil ini seakan-akan menyemarakkan lampu merah tadi. Hoo! Lihat dan dengarlah! Lampu dan suara itu kini menjadi sebuah simponi yang konstan. Sebentar? Terlihat bagus? Mungkin juga tidak! Kalau itu terlihat bagus, mengapa tidak ada sorak sorai yang terdengar? Orang-orang itu! Lihatlah mimik muka mereka satu-per-satu! Seakan-akan rasa takut dan ingin tau tercampur menjadi satu. Tergambar jelas pada wajah mereka. Nampak sebuah ketakutan yang teramat sangat. Hei! Sesungguhnya mobil apa ini? Kenapa semua takut melihatnya? Apa ada yang bisa memberinya jawaban? Mengapa semua terlihat ketakutan? Apa karena tanda ‘tambah’ yang ada di samping kanan-kiri mobil ini? Apa karena terdapat tulisan aneh di depan mobil ini? Yang dibaca E C N A L U B M A? Entahlah, mungkin dua anak yang ada di sampingku itu tau mobil apa ini. Hahah! Muka mereka sama saja dengan orang-orang itu! Ada suatu ketakutan disana!
Tunggu! Tapi aku rasa, aku tidak asing dengan mobil ini. Ahh! Ini mobil serupa yang aku naiki enam bulan lalu! Sebuah mobil yang membawaku dan ibuku menuju rumah sakit. Tapi ini sedikit berbeda! Lihatlah! Lengkap sekali peralatannya. Semua ada di samping kanan-kiriku. Patient monitor, defibrillator, brancard, syringe pump, suction unit, high flow CPAP, portable ventilator, emergency suitcase. Ahh, masih banyak peralatan biomedikal di dalam sini. Hei! Aku ingat namanya! Ini adalah sebuah mobil ambulans rupanya. Suara dan kerlap-kerlip lampu itu. Ahh! Itu sirine! Dan aku rasa, aku akan baik-baik saja─mengingat lengkapnya peralatan biomedikal ini.
Sebentar! Baik-baik saja? Aku rasa aku harus berpikir ulang mengenai hal itu. Saat itu juga aku langsung sadar akan sesuatu─”Ugh! Sial! Siapa yang akan mendanai mobil ini?”. Itu gerutuku. Melihat semua peralatan yang ada di dalam sini, tentunya sangat mahal menyewa mobil seperti ini. Aku tidak sanggup membiayainya. Sungguh sial nasibku! Lihatlah! Ditengah kondisiku yang terkapar lemah karena luka tusukan ini, biaya sewa mobil inilah yang pertama aku khawatirkan. Aku lebih memilih jalan menuju rumah sakit. Aku ingin turun! Erghh! Selang-selang ini menggangguku untuk bergerak! Aku juga kesulitan berbicara! Oksigen portable ini membungkam mulutku. Dan apa yang mereka lakukan─dua tenaga medis itu? Apa mereka tengah mengobati lukaku? Sial! Aku juga tidak akan sanggup membayar mereka! Aku ingin turun!
Kucoba meraih semua kesadaran. Kukumpulkan tenaga untuk bangkit. Tapi belum sampai aku bangkit sempurna, ‘anak berwajah lucu’ itu menahanku.
“Hei! Jangan bergerak! Apa kau gila!”
Gila? Hei! Bukan aku yang gila! Apa dia tau jika aku akan kesusahan membayar ini semua? Tarif gila mobil ini?
Aku mencobanya sekali lagi. Tapi sayang, tubuhku seperti kehilangan tenaga. Perutku juga menimbulkan rasa sakit yang tidak tertahankan. Aku mencoba menggerakkan tangan kananku. Meraih tangan adikku yang menangis tidak karuan. Kenapa dia? Aku tidak apa-apa. Kenapa dia menangis seperti itu? Laba yang kita dapat dari hasil penjualan permen gulali tadi bukan main banyaknya. Sudah seharusnya dia merasa senang. Karena aku akan membelikannya lauk ayam sedap untuk malam ini. Sesuai dengan apa yang telah aku janjikan. Kenapa dia menangis? Sungguh, aku tidak apa-apa.
Ahh! Aku pusing. Entah sudah berapa banyak darah yang aku keluarkan. Semua itu memaksaku untuk memejamkan mata.
Aku terjatuh jauh kedalam kegelapan. Gelap. Gelap sekali. Hanya kehangatan tangan adikku yang menemaniku mengarungi kegelapan ini. Terasa nyaman. Mengusir sedikit rasa sakit yang tengah aku derita. Aku menggenggamnya lebih erat.
Tunggu, siapa itu? Ada seorang lagi di dalam mobil ini. Bukan! Aku yakin dia bukan tenaga medis (yang mahal). Seorang paruh baya mengenakan pakaian serba putih. Apa itu jubah? Dia lelaki. Lihatlah rambutnya, tergerai sebatas pundak. Sedikit ikal. Lelaki itu mempunyai jambang. Kulihat rona wajahnya. Ada suatu kehangatan dan kelembutan terpancar disana. Aku seperti melihat sebuah kedamaian dan ketentraman seluas samudera. Aku tidak dapat menjelaskannya. Tapi itu yang aku rasakan. Siapa pria itu? Kenapa dia ikut naik mobil (yang mahal) ini. Apa dia ikut mengantarkanku? Ahh, aku tau! Apa dia yang akan membayar semua biaya sewa mobil dan tenaga medis (yang mahal) ini?
Dan..
Hei! Kenapa dia tersenyum melihatku? Dan kenapa senyumannya begitu mententramkan hatiku? Bahkan dengan seketika juga rasa sakit yang aku tahan hilang begitu aku melihat senyumannya. Siapa dia?
“Bagaimana perasaanmu, Joya?” pria itu tiba-tiba bertanya kepadaku. Dia masih tersenyum.
“A─Ah..., entahlah! Aku hanya khawatir dengan biaya untuk semua ini. Siapa kau?” aku bertanya.
“Lucu sekali. Engkau tidak usah mencemaskan itu. Dia yang akan membayarnya...” pria berbaju putih itu menunjuk ke arah ‘anak berwajah lucu’. Dan anehnya, ‘anak berwajah lucu’ itu sama sekali tidak menengok ke arahnya. Pria berbaju itu kembali tersenyum.
“Apa kau rindu dengan ibumu tercinta?” pria itu bertanya lagi. Dan dia masih tersenyum.
“Tentu saja aku rindu dengan ibuku. Hei! Siapa kau?” aku bertanya sekali lagi.
“Apa kau ingin bertemu dengannya?” pria itu masih bertanya lagi dengan senyumannya.
“Ya! Aku ingin! Siapa kau?” ahh, ada apa dengannya. Kenapa pria itu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku? Aku mulai geram dibuatnya.
Pria itu kembali tersenyum.
“Kenapa kau terus saja tersenyum kepadaku? Sudah enam kali kau melakukannya!” aku mengganti pertanyaanku.
“Dan kau sudah tiga kali bertanya kepadaku─ ‘siapa aku’...” pria itu kembali menjawab dengan senyuman hangatnya.
“Iya itu benar, kenapa kau ikut mengantarku? Siapa kau?” aku mengembalikan pertanyaanku.
“Lihat, kau masih bertanya─ ‘siapa aku’, kan?” kini pria itu tertawa.
“Arrghh..., lupakan saja! Kau hanya meledekku!” aku semakin geram.
Pria itu berhenti tertawa, kembali menatapku dengan tatapan hangatnya.
“Aku hanyalah utusan─Nya, aku adalah kedamaian dan cinta kasih itu sendiri. Dan aku tidak ‘mengantarmu’, melainkan ‘menjemputmu’, Joya”
Ya! Aku berani bersumpah. Hanya itu jawaban yang keluar dari mulutnya. Sulit dijelaskan. Tapi aku sepertinya mengerti. Ahh, tidak semuanya kumengerti. ‘Aku tidak mengantarmu, melainkan menjemputmu’. Itu yang dia katakan. Dan apa maksudnya itu?
“Kau menjemputku? Apa yang kau maksudkan dengan itu?” aku kembali bertanya dengan dahi berkerut. Aku memicingkan mataku.
“Benar, Joya. Aku menjemputmu. Waktumu sudah tiba. Aku datang memastikan agar kau (ruh) tidak tersesat. Ada seseorang yang telah menunggumu di tempat yang agung itu.” pria itu menjawab pertanyaanku. Rancu. Tapi aku mengerti.
“Hei! Apa kau bercanda?! Apa artinya itu aku akan...” aku tertahan untuk mengatakan ‘kata’ itu.
“Ya benar, Joya. Kau tau? Luka yang kau alami cukup parah. Pisau tadi tidak hanya menembus perutmu, melainkan juga merobek ginjal kirimu. Kau mengalami pendarahan hebat disana. Itu semua membuat aliran waktu kehidupan milikmu terpangkas drastis.” Dia kembali menjawab pertanyaanku seolah-olah dia tau semuanya.
Aku hanya bisa terkejut dan menelan ludah mendengarnya. Bagaimana dia bisa tau semuanya? Bahkan dua tenaga medis (yang mahal) itu pun masih kebingungan menghentikan pendarahan pada perutku. Apa mereka tidak mengetahui jika sebelah ginjalku robek?
“Tunggu, bagaimana kau bisa mengetahui semuanya, tuan?” aku bertanya kepadanya.
“Karena semua sudah digariskan untukmu, jalan-Nya, takdirmu.” sekali lagi pria itu menjawab pertanyaanku dengan rancu.
“Jadi..., a─aku akan m─mati, i─itu benar kan?” tanyaku terbata.
“Itu benar adanya, Joya.” Pria itu kembali tersenyum.
Arrghh! Kenapa dia tersenyum diatas ancaman kematianku? Itu sama sekali bukan hal yang pantas untuk disenyumi, bukan?
“Hei! Kau tau? Aku tidak bisa, tuan!” kataku. Berusaha menolak kematian.
“Hoo...? Begitu?” pria tersebut menanggapi ucapanku seadanya. Ia balas memicingkan matanya kepadaku.
“Ya! Aku tidak bisa membiarkan adikku hidup seorang diri! Itu akan terlalu kejam untuknya! Aku harus terus berada disampingnya!” aku bersikeras menolak suatu menakutkan yang disebut dengan kematian. Itu konyol buatku. Jika aku tidak ada, siapa yang akan menjaga dan menghidupi adik terkasihku?
“Itu tidak bisa, Joya. Sang Pengutus telah menuliskan semuanya dalam buku besar. Kau tak bisa mengelak.” Alih-alih memberikan jalan keluar, pria itu malah membuatku semakin takut.
“Tapi..., tapi..., aku benar-benar tidak bisa, tuan...” kataku mengiba.
Pria berjubah itu hanya kembali tersenyum dengan senyumnya yang hangat dan mententramkan. Sekilas aku bisa merasakannya. Sebelum kembali teringat akan waktuku yang semakin menipis.
Mobil ini masih melaju kencang. Menembus perkotaan menuju rumah sakit dengan fasilitas terlengkap. Kini aku semakin khawatir─’Siapa yang akan membayar biaya rumah sakit (yang pasti mahal) ini?’. ‘Anak berwajah lucu’ itu kah?. Bagaimana jika pria tadi berbohong? Ahh! Suara sirine mobil ini semakin meraung-raung. Bahkan sekarang aku mulai berpikiran, orang-orang yang melihat mobil melaju kencang ini pasti bertanya-tanya dalam hati bahwa ‘mungkin yang didalam mobil itu sedang kritis’ atau ‘mungkin nyawa orang yang didalam mobil itu sudah tidak tertolong lagi’. Ahh, sungguh sial nasibku!
“Tuan..., apa aku terlalu berdosa?” aku bertanya kepada pria itu. Mungkin penyebab dari semua ini adalah dosaku yang terlalu besar.
“Mengapa engkau bertanya hal itu, Joya? Perhitungan itu bukan engkau yang menentukan,” pria berjubah itu tersenyum diakhir kalimatnya─seakan-akan dia mengerti apa yang aku coba utarakan..
“Errghh..., kau tau, tuan! Aku terlalu membenci kaum-kaum Cina itu! Kaum mereka yang telah menyebabkan aku kehilangan seorang ibu. Aku mengutuknya. Aku menyebut mereka ‘kaum pemakan babi’. Bahkan beberapa hari yang lalu, salah satu dari kaum mereka menyepakku. Aku juga mengutuknya─’Cina sialan’. Aku rasa aku telah berdosa, tuan.” Aku menyebutkan satu per satu apa yang menurutku merupakan suatu perbuatan dosa.
“Kau membencinya? Kaum-kaum itu?” pria tersebut balas bertanya.
“Ya, aku membencinya tuan. Mereka semua sama saja, tuan. Mereka selalu memandang rendah kami, anak-anak miskin ini.” demikian aku menjawab pertanyaan pria berjubah putih itu.
“Hei! Aku akan menceritakan sesuatu. Kau ingin mendengarnya?” pria itu masih tersenyum (diakhir kalimatnya).
“Apa itu, tuan?” aku penasaran. Apa dia berusaha mengalihkan topik pembicaraan? Atau hanya menunda masa-masa kematianku? Ahh! Entahlah.
“Kau dengar, seorang pria berusia 45 tahun─pria yang kau sebut sebagai ‘kaum-kaum itu’. Saat itu sedang mendapatkan berita buruk. Ibu yang dikasihinya tengah kritis dirumah sakit. Ia terburu-buru karena mendapatkan berita dari rumah sakit bahwa ibunya mengalami kanker cervix akut. Tapi malang. Dalam perjalanannya menuju rumah sakit, ia kecelakaan. Pria itu menabrak seorang perempuan yang berusaha menyelamatkan anaknya dari benturan mobil yang dikendarainya. Ya benar! Ia menabrak ibumu yang berusaha menyelamatkan kau, Joya. Kau tau apa yang terjadi setelahnya? Pria tersebut mendapatkan hukuman sebagai balasannya. Ia meringkuk di penjara. Malang sekali nasibnya. Dihari itu, tidak hanya kau saja yang kehilangan sosok penyayang seorang ibu, pria itu pun sama. Ia kehilangan ibu terkasihnya, bahkan tanpa sempat melihatnya untuk terakhir kalinya.” Pria itu bercerita panjang lebar tanpa terhenti oleh perkataanku. Memang aku hanya bisa terdiam mendengarnya.
“Dan kau masih ingat dengan penjaga toko kelontong yang saat ini sedang mengadakan diskon besar-besaran di tokonya, Joya? Penjaga toko kelontong yang menyepakmu? Kau masih mengingatnya, bukan?” pria itu mencoba bercanda.
“Ya! Tentu saja aku masih mengingatnya! ‘Cina sialan’ itu selalu membenci anak-anak miskin seperti kami. Ada apa dengannya?!” tanyaku ketus.
“Hahah! Janganlah marah, sahabatku! Kau tau mengapa dia berbuat demikian?” tanya pria berjubah putih itu.
“Tentu saja aku tidak mengetahuinya! Aku bukan ‘Cina sialan’ itu, tuan!” kataku.
“Dia memiliki seorang anak laki-laki. Berusia sama sepertimu. Dia anak yang baik, selayaknya kau, Joya. Suatu hari anak itu pergi berjalan keluar rumah karena hendak membeli sesuatu. Tapi sial baginya. Dia dihadang oleh seorang anak berandalan yang sedang berusaha mengambil uang anak itu. Berandalan itu berhasil merampas sejumlah uang. Tidak sedikit jumlah uang itu. Tidak hanya itu, berandalan itu juga memukul kepala anak itu dengan kayu hingga berdarah. Tidak membahayakan nyawanya, tapi cukup membuatnya pingsan di tengah jalan hingga ayahnya menemukannya tak sadarkan diri. Itulah sebabnya mengapa penjaga toko kelontong itu berbuat seperti itu terhadap kau, Joya. Dia terlalu membenci anak berandalan.” sejenak aku terdiam mendengar cerita pria berjubah putih itu.
“Hei! Tunggu tuan! Tapi bukan aku yang melakukannya! Aku tidak pernah merampas milik siapapun! Bisa jadi itu ulah Bocil, tuan! Kenapa aku yang kena sepak oleh ‘Cina sialan’ itu!” protesku.
“Lalu kenapa kau membencinya dengan sangat, kaum kaum yang kau sebut itu? Hanya salah satu dari merekalah yang berbuat demikian terhadapmu. Akan tetapi, mengapa kau membenci semuanya? Tidak semua kaum-kaum yang kau sebut itu pantas untuk kau benci, Joya!” kata pria berjubah putih itu.
Jujur. Aku terhenyak mendengarnya. Ia seperti membalikkan keadaanku.
“Lihatlah anak yang berada disamping kirimu itu! Dia berbeda. Apa kau akan membencinya juga? Dia salah satu dari kaum-kaum yang kau sebut itu. Aku akan memberitahumu suatu rahasia besar. Sesungguhnya, dia adalah kunci dari hidupmu! Hidupmu yang hanya tinggal sedikit ini!” ucapnya.
“A─apa yang kau maksud, tuan?” aku ingin tau.
“Engkau akan melihatnya nanti, dari atas sana─tempat yang layak untukmu, Joya,” jawabnya. Kembali rancu.
Mobil putih dengan lampu kerlap-kerlip merah ini masih meraung-raungkan sirinenya. Mengusir siapa saja yang berada tepat di depannya. Namun ada suatu kesalahan besar siang itu. Suatu kesalahan dimana protokol yang seharusnya ditaaati, dengan seenaknya dilanggar demi suatu hal yang konyol. Siang itu ketika hendak menyeberangi perempatan, mobil ini terpaksa dihentikan karena terdapat rombongan petinggi-petinggi negara yang kebetulan lewat di jalan tersebut. Mereka akan berwisata (yang di media massa, itu diberitakan sebagai ‘kunjungan kedaerahan’). Inilah letak kesalahan tersebut. Sudah seharusnya mobil putih yang tengah membawaku ini di dahulukan! Tapi apa yang terjadi? Mobil yang tengah membawaku ini terpaksa dihentikan di tengah jalan, memberi ruang untuk mobil-mobil petinggi negara itu agar bisa terus melaju. Lihatlah salah satu mobil yang dikawal panser-panser hitam itu. Mobil dengan angka 1 tertulis jelas di platnya. Ya! Itu adalah mobil dari pemimpin bangsa (yang katanya elok) ini. Pemimpin yang dulu di pilih dengan nomor pencoblosan 3. Ahh! Mungkin petinggi-petinggi negara itu tau jika hanya seorang anak miskinlah─yang tengah kebingungan membayar biaya sewa mobil dan tenaga medis (yang mahal), yang berada di dalam mobil putih ini. Sehingga tidak layak untuk didahulukan. Biarkan saja anak miskin ini mati kehabisan darah. Toh anak ini sudah tidak ada gunanya lagi. Pun putus sekolah. ‘Kunjungan kedaerahan’ harus tepat waktu! Mungkin itu yang ada di pikiran mereka.
“Joya, waktumu akan segera tiba.” tiba-tiba pria berjubah putih itu berbicara.
“A─apa maksud tuan? A─apa aku akan mati disini, sebelum sampai di rumah sakit? T─Tuan, beri aku sedikit waktu lagi, tuan. Paling tidak, biarkan dokter-dokter yang berada disana mampu mengobatiku! Aku mohon, tuan!” aku mengiba di depan pria berjubah putih itu. Ia semakin mengembangkan senyumnya. Kali ini aku tidak suka senyumnya. Sekalipun itu penuh dengan kasih sayang.
“T─Tuan! Jangan bilang aku mati diakibatkan mobil ini yang terlambat tiba ke rumah sakit karena harus menunggu rombongan-rombongan petinggi itu lewat! Itu konyol, tuan!” aku mulai protes kepadanya.
“Semua sudah digariskan, Joya,” pria tersebut masih mengembangkan senyumnya.
“Hei, tunggu tuan! Apa ini juga suatu karma buatku? Selama ini aku juga mengutuk mereka─petinggi-petinggi negara itu!?” tanyaku.
“Karma? Mereka? Mereka layak mendapat kutukanmu, Joya.” Jawab pria berjubah putih itu.
“Karena aku pun mengutuknya─mereka-mereka itu,” tambahnya. Senyuman ramah kembali mengembang. Hanya saja kali ini sedikit tersirat rasa dingin pada senyuman itu.
Aku terdiam dibuatnya.
“Aku akan memberi waktu buatmu. Sebentar. Sebentar saja. Kau berpamit dan berwasiatlah kepada mereka. Adik dan sahabat terkasihmu itu. Aku akan menunggumu. Tapi cepat. Waktumu tidaklah lama.” Pria berbaju putih tersebut memberikan tawaran yang aku sendiri tidak bisa menolaknya lagi.
Samar-samar kegelapan di dalam kepalaku tersinari titik terang. Semakin lebar titik terang itu. Aku membuka mataku. Aku kembali merasakan suatu kesakitan yang teramat sangat. Dan benar, mobil putih yang tengah mengantarkanku menuju rumah sakit ini tengah terhenti. Aku tidak mempedulikan lagi biaya sewa mobil dan tenaga medis (yang mahal) ini. Aku juga tidak ada waktu buat mengutuk rombongan-rombongan petinggi-petinggi itu. Sekali pun aku tau ini kesempatan terakhirku untuk mengutuk mereka. Waktuku tidaklah banyak. Dan aku benar merasa begitu.
Aku mengumpulkan tenaga untuk berbicara. Melawan rasa sakit yang menjalar dari unjung kaki sampai kepala. Aku melepas oksigen portable yang membungkam mulutku.
“H─Hei..., k─kau...” aku berusaha berbicara. Ternyata sangat susah untuk mengeluarkan suara ditengah rasa sakit yang aku rasakan ini. Setahuku, aku mampu berbicara lancar kepada pria berbaju putih tadi. Kini susah sekali untuk mengucap. Barang satu-dua patah kata.
“Joya! Joya! Kau sadar? Puji Tuhan! Jangan membuatku khawatir seperti ini! Hei Joya! Joya!” ‘anak berwajah lucu’ itu heboh sekali begitu melihat aku tersadar dan angkat bicara.
Waktuku tidaklah banyak. Aku tidak bisa berbasa-basi membahas masalah persahabatan. Atau untuk mengucapkan selamat tahun baru Cina dalam bahasa hokian mereka.
“K─kau..., s─setelah aku tiada nanti, a─ambillah ginjal sebelah kananku. A─aku sudah tidak membutuhkannya lagi. A─akupun sama sepertimu, s─saat ini ginjal sebelah kiriku robek, i─ia mengalami pendarahan hebat disana... K─kau membutuhkanya, b─bukan?” perlahan dan terbata aku mengucap. Tapi rupanya itu sangat membuat ‘anak berwajah lucu’ dan adik terkasihku itu terkejut. Ahh! Tidak hanya mereka! Dua tenaga medis (yang mahal) itu juga sangat terkejut begitu mengetahui kalau sebelah ginjalku robek dan mengalami pendarahan hebat. Aku membiarkannya. Aku tidak perlu menjelaskannya kepada mereka─bagaimana aku bisa tau kondisi luka ku.
“Bicara apa kau! Jangan banyak bicara dulu! Kau mengigau!” ‘anak berwajah lucu’ itu cemas.
“K─kau diam..., w─waktuku tidaklah banyak...” aku memintanya untuk diam. Ya! Saat ini aku tidak butuh rasa khawatir anak itu. Waktuku tidak banyak lagi. Aku merasakannya. Kedua kakiku mati rasa.
“S─sebagai ganti dari ginjalku, k─kau harus menolongku untuk menjaga adikku ini...” itulah permintaan terakhirku.
Aku belum mengenal begitu dekat dengannya. Bahkan sempat terbesit untuk menjauhinya─’anak berwajah lucu’ itu. Tapi aku tidak mempunyai pilihan lain lagi. Entah datang dari mana firasat ini, tapi aku yakin dia akan mampu melakukannya─menggantikanku (bahkan lebih baik lagi).
“K─kau..., a─adikku..., j─jangan terlalu mencemaskan a─aku, a─abangmu ini..., k─kau a─akan baik-baik saja b─bersamanya...” ucapanku membuat adik semata wayangku menangis tersedu. Tapi aku yakin, melihat kondisiku, ia mampu mengerti. Dia adikku. Aku yakin dia mampu bertahan. Walaupun manja, tapi aku yakin semangat juangnya melebihi siapapun. Ia bagaikan rumput liar, yang jika terinjak berapa kalipun, ia akan terus bangkit dan berkembang. Terus tumbuh menjalar. Sekali pun orang akan risih memandang rumput tersebut.
Kini kedua tanganku mati rasa. Kakiku terasa dingin.
“H─hei..., k─kau..., i─izinkan a─aku u─untuk me─memanggil na─namamu s─se─sekali s─saja...”
‘Anak berwajah lucu’ itu mengangguk. Ia berbicara.
“Kau diam saja dulu! Jangan banyak bicara seperti ini! Kau boleh memanggil namaku ribuan kali! Ahh tidak! Berjuta-juta atau bahkan bermiliar-miliar kali! Asalkan kau tetap disana! Joya!” ‘anak berwajah lucu’ itu menggenggam tangan kiriku. Sekali pun mati rasa, aku mampu merasakannya. Erat sekali genggamannya. Seakan-akan tidak ingin melepasku yang akan pergi jauh untuk selama-lamanya ini.
Aku semakin merasa pusing. Ahh! Tidak! Bukan pusing! Aku merasa mengantuk! Seluruh tubuhku tidak mampu aku gerakkan lagi. Hanya mulut yang setengah terucap ini yang mampu aku kendalikan. Hanya itu satu-satunya yang tersisa.
Aku merasakan suatu sentuhan yang hangat. Hangat sekali. Membuat tangan kananku kembali hidup. Tapi tetap─aku tidak bisa menggerakkanya. Adikku memang sedang menggenggamnya. Tapi bukan! Bukan itu penyebabnya. Itu pria berjubah putih. Dia berjongkok di belakang adikku. Salah satu dari tangannya memegang tanganku. Dari situlah rasa hangat itu berasal.
“Joya. Mari! Waktumu sudah tiba. Setelah menjemputmu disini, aku akan mengantarkan kau untuk bertemu dengan sosok yang telah lama kau rindukan. Dia menunggumu disana. Janganlah kau terlalu khawatir meninggalkan mereka. Mereka memiliki garis kehidupan yang hebat sendiri. Bahkan jauh lebih hebat dari yang kau kira. Bukankah kau berjanji kepada adik semata wayangmu untuk membangun sebuah rumah besar, bukan? Kau berjaji untuk membelikan pakaian bagus untuknya, bukan? Dan kau berjanji untuk menghidangkan makanan hangat dan lezat kepadanya setiap hari, kau masih ingat? Adikmu akan mendapatkan itu semua. Kau tau, kau anak yang baik. Setelah semua peluh yang kau rasakan, kau akan dibalas dengan semua kebaikan dari Sang Pengutus-ku. Sesunguhnya ini jalan terbaik bagimu, dan baginya─adikmu,”
Aku mengerahkan sisa tenaga dan kesadaranku. Mewujudkannya dalam satu kalimat panjang perpisahan. Ucapan perpisahan terakhirku di dunia untuk mereka yang aku kasihi.
“B─baik l─lah..., b─baik l─lah..., a─aku h─harus p─pergi...” kataku terbata. Aku mencoba berpamitan dengan mereka.
“S─selamat ti─tinggal s─sahabatku, s─selamat ti─tinggal a─adikku, O─Obi..., O─Odit...”
“.........”
“......”
“..”
“.”
Aku merasa cahaya yang tampak di mataku mulai memburam perlahan. Dan dengan seketika, semuanya menjadi gelap gulita, seiring dengan seluruh badanku yang kini hilang kendali semua. Aku tidak bisa menggerakkanya. Sekali pun untuk mengucap. Ahh! Masih ada banyak pesan yang ingin aku sampaikan. Tapi apa daya, aku merasa kalau aku telah terbujur kaku. Aku masih bisa merasakan dan mendengar bahwa mereka tidak henti-hentinya meneriaki namaku. Tapi aku tidak mampu menjawab panggilan itu.
“Tersenyumlah, Joya. Kau tidak ingin meninggalkan mereka dengan perangai seperti itu, bukan? Tersenyumlah! Tersenyumlah untuk terakhir kalinya untuk mereka. Aku akan mengangkat (ruh) mu perlahan. Tersenyumlah!” pria berjubah putih itu menarik tanganku dengan lembut. Saat itu juga, selepas aku mengerahkan sisa tenaga terakhirku untuk tersenyum, aku seperti melayang. Ya! Aku melayang.
“Hei..., kau tau? Aku juga menyukainya. Permen gulali dengan bentuk ayam jagomu itu...” pria berjubah putih itu berkata sambil menarikku perlahan. Kita meninggalkan semuanya. Meninggalkan sahabatku. Meninggalkan adikku. Meninggalkan mobil putih dan dua tenaga medis (yang mahal). Meninggalkan tubuhku. Ahh, rupanya aku jauh lebih kecil dari yang aku bayangkan. Aku bisa melihatnya─dibalik kedewasaanku ini.
“Diam lah tuan. Dan cepat antar aku kesana, aku mulai mengantuk...” kataku.
“Joya!! Joya!! Hei!! Kau!! Joya!! Sadarlah!! Hei!! Joya!! Bertahanlah!! Joya!! Joya!!!”
“Abang!! Abang!! Bang!! Abang!! Huaaaaa.....huaaaa.....huaaaaa.....”
“Joya!! Joya!!”
“Joya!!”
“(Joya!!)”
“.....”
“(Joya)”
“.........”
“......”
“..”
“.”
Selamat tinggal adikku. Jaga dirimu baik-baik. Kami akan menunggumu sampai waktumu tiba nanti.
Jangan lapar, jangan menyerah, berjuanglah...
[Bersambung]
Chapter 9. Epilog: ‘Permen Gulali Joya’
Bangun pagi, tidak perlu menyiapkan kotak harta karun, mandi...
Sarapan (bukan sisa makanan semalam, semua sudah terhidang di meja besar), berdoa, berangkat (meraih mimpi)...
Apa itu Joya? Bukan! Itu adiknya. Adik terkasihnya yang sekarang diangkat menjadi..., ahh! Tebak saja sendiri.
Joya memang meninggalkan semua yang dikasihinya. Meninggalkan semuanya begitu saja di mobil putih itu. Selepas kepergian Joya, sang adik tidak henti-hentinya menangisi kepergian abangnya itu. Hanya dia lah satu-satunya keluarga sedarah yang tersisa. Ayahnya? Ahh! Lupakan pria bejat itu. Sudah lama ia tidak menampakkan batang hidungnya. Mungkin sudah membusuk di pinggiran sana karena kelaparan, atau karena penyakit jantung yang sudah lama dideritanya. Tiga hari pertama setelah kematian Joya, adiknya masih saja menangis. Tujuh hari setelahnya, dia masih sering termenung sendiri. Bahkan hingga sebulan, raut kesedihan belum juga sirna dari wajahnya polosnya─sekalipun sekarang dia tinggal di rumah mewah yang pernah ditorehkan oleh mendiang abangnya dalam secarik kertas putih tanpa cela. Semua kesedihan itu menutupi aura keceriaannya sebagai perangai yang manja.
Kita lihat sejenak. Tinggal di rumah mewah itu? Benar. Itu benar sekali. Kalian tidak salah kira. Sesuai dengan apa yang diwasiatkan oleh Joya, Obi─nama ‘anak berwajah lucu’ itu, menerima transplantasi ginjal sebelah kanan milik Joya. Tepat sehari setelah kepergian Joya, ia melakukan operasi cangkok ginjal. Dan setelah sebulan berlalu. Sekarang ia mampu melakukan semua aktifitas rutin selayaknya anak-anak normal pada umumnya. Ia mulai bersekolah di sekolah negeri seperti teman-temannya─meninggalkan home schooling yang membosankan itu. Itu semua berkat kebaikan dan kebesaran hati Joya. Dan sebagai ganti dari harga ginjal itu, Obi─’anak berwajah lucu’ itu, mengangkat Odit sebagai adiknya.
Tidak hanya ia yang bersekolah. Odit─adik angkatnya, sudah mulai bersekolah kembali. Ia mengulang kelas dari yang terakhir kali ia duduki─grade 2. Di umurnya yang baru menginjak 8 tahun itu, ia tidak kesulitan menyesuaikan diri. Ia tidak perlu lagi ikut mendiang abangnya berjualan permen gulali untuk menyambung hidup. Ia tidak perlu lagi tengah malam terbangun untuk menjilat permen gulali sebagai pengganjal perut. Ia tidak perlu lagi menahan rasa lapar. Di rumah mewah itu, semua sudah tersedia. Sebut saja semua. Tempat tidur empuk dan nyaman, kamar yang bersih dan luas, pakaian bagus (mahal pula), sepatu dan jam bermerk, makanan sedap (selalu hangat). Ia tidak kesulitan mendapatkan semuanya. Tidak perlu berpeluh untuk itu semua. Karena dalam satu kedipan mata saja, semua sudah ada di depannya. Tapi tetap, kesedihan masih belum pudar dari wajah anak-anaknya. Kepergian Joya dirasakan begitu dalam. Terlalu dalam malah.
Disuatu sore, tepat tiga bulan setelah kepergian Joya, Odit kembali duduk termenung disebuah bangku semen yang terdapat di halaman luas rumah barunya. Ia selalu melakukannya setelah pulang sekolah. Selalu dijam yang sama. Ia selalu duduk disana, memasang raut muka kesedihan. Ditangan kanannya tergenggam sebuah permen gulali. Bukan. Bukan permen gulali Joya seperti yang biasanya mereka─Odit dan abangnya, jajakan. Ia sudah lama tidak membuatnya. Ia membelinya di sebuah toko permen kecil di dekat sekolah barunya. Baginya, saat-saat yang paling indah adalah saat dimana ia dan Joya membuat permen gulali bersama untuk dijual esok paginya. Itu rutinitasnya yang dulu ia lakukan selepas Joya pulang dari menjajakan isi kotak ajaibnya. Setiap malam. Mereka melakukannya setiap malam. Melakukannya dengan penuh suka cita. Sungguh kenangan yang indah. Kini ia hanya bisa menggenggam permen gulali yang ia beli tersebut. Itu ia lakukan bukan karena ia suka dengan rasa permen yang tengah digenggamnya itu. Permen itu rasanya tidak semanis permen buatan abangnya─Joya. Ia menggenggamnya untuk mengingat saat-saat ketika ia masih bersama dengan abangnya. Seakan-akan ia sedang menggenggam tangan Joya─abang terkasihnya.
Ia teringat akan janji mulia yang abangnya sebutkan disuatu malam sunyi tiga bulan lalu. Abangnya─Joya, menjanjikan akan membuatkannya rumah mewah nan megah kelak. Ia juga akan membelikan pakaian yang bagus-bagus untuknya. Menyewa koki-koki handal untuk menyiapkan hidangan lezat. Semua yang ia pinta, akan Joya penuhi. Ahh, lihat sekarang. Semua itu sudah terwujud. Namun, jika ia boleh memilih, ia lebih suka tinggal dirumah yang dulu. Rumah yang pintunya selalu berdecit ketika Joya pulang dari berpeluh ria. Ia lebih suka mengenakan pakaian alakadarnya yang selalu dijahit Joya jika robek. Ia lebih suka menahan rasa lapar tiap malam. Asalkan abangnya─Joya, ada disampingnya. Ia tidak keberatan membuang semuanya. Menukarnya dengan abangnya.
Ditengah renungannya, terdengar suara langkah kaki mantab menghampirinya. Itu tidak lain adalah abang angkatnya yang selama kepergian Joya memberinya kasih sayang yang tiada tara.
“Hei, kau disini?” Obi─’anak berwajah lucu’ itu, bertanya kepadanya.
Ahh! Apa kalian tau? Mengapa Joya memberinya julukan itu? ‘Anak berwajah lucu’? Entahlah! Tidak ada yang tau selain Joya. Jika boleh mengira, mungkin itu karena wajah Obi─’anak berwajah lucu’ itu, memiliki garis wajah oriental yang lain dari pada yang lain. Perangainya sangatlah berbeda dengan anak-anak ‘kaum itu’ seusianya. Meskipun ia keturunan Cina, ia ramah dan sopan. Pun baik. Mungkin itulah mengapa Joya menyebutnya seperti itu. Karena ada suatu kehangatan yang terkesan lucu pada wajah keturunan orientalnya.
“Apa kau sudah makan? Jangan sampai kau terlambat untuk makan. Itu akan membuatmu jatuh sakit.”
‘Anak berwajah lucu’ itu sangat peduli akan adik angkatnya. Terlepas dari hubungan darah yang tidak saling paut, ia menganggap Odit─anak berusia 8 tahun itu, selayaknya adik kandungnya sendiri.
“Lihat! Kau melakukannya lagi. Termenung sendirian disini. Apa kau tidak bosan?”
Ya! Sudah lebih dari dua bulan Odit seperti itu. Apakah ia tidak bosan?
“Hei! Aku akan menceritakan sesuatu yang menarik. Aku tau kau pasti akan menyukai. Kau cukup diam dan dengarkan apa yang akan aku ceritakan kepadamu,” ujarnya.
“Apa kau tau negara dengan nama Swiss? Itu suatu tempat yang jauh disana. Itu ada di dataran Eropa. Dataran dengan benua yang berbeda dari yang kita pijak sekarang ini. Itu sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya berada di pegunungan Alpen. Sejuk sekali disana. Jika kita disini hanya mempunyai dua musim saja, disana di negara tersebut, mereka mempunyai empat musim! Salju turun disana di musim terakhir. Apa kau pernah bermain salju? Itu sangat menyenangkan. Tapi bukan itu yang istimewa dari negara tersebut. Kau tau kenapa? Negara dengan luas daerah lebih dari 40 km2 itu adalah salah satu negara penghasil cokelat dan permen terbesar di dunia! Woah! Bisa kau bayangkan itu? Bisa kau perkirakan ada berapa macam jenis cokelat dan permen yang bisa kau temukan disana? Jumlahnya ratusan!” kata Obi─’anak berwajah lucu’ itu, dengan antusias.
Hoho! Lihatlah Odit─adik angkatnya. Kini ia mengangkat mukanya. Nampaknya ia tidak kalah antusias dengan cerita yang abang angkatnya ceritakan untuknya. Terlebih ada kata ‘permen’ disana. Raut muka kesedihan sedikit pudar begitu mendengar cerita yang menarik itu. Obi tersenyum melihatnya demikian. Ia menyambung ceritanya.
“Kau pasti tidak mengira. Di dunia ini, banyak sekali berbagai macam jenis permen dengan rasanya. Tentunya manis. Tapi itu berbeda-beda. Dari rasanya. Bentuknya. Ukurannya. Aroma lezatnya. Dan bahkan warnanya. Seakan-akan membuat permen itu tidak terbatas jenisnya.”
Kini Odit─adik angkatnya, terlihat ikut mengembangkan senyuman polos anak-anaknya. Obi─’anak berwajah lucu’ itu, melanjutkan ceritanya.
“Kau tertarik tentang cerita permen? Baiklah, aku akan menceritakannya beberapa untukmu. Kau cukup dengarkan saja,” pintanya
“Aku pernah memakan beberapa macam permen yang kurasa rasanya cukup membuat lidahku dimanja. Kau pernah mendengar permen Nougat? Itu adalah permen yang berasal dari negara Perancis. Itu adalah sebuah permen lezat yang terbuat dari gula, madu, berbagai macam kacang-kacangan dan buah-buahan kering. Hahah! Itu lezat sekali. Kau tahu, ada banyak kacang dan buah yang digunakan untuk membuatnya. Kacang pistachio, almond, halzelnut, ceri dan anggur.” Ia menjelaskan salah satu permen paling terkenal di negara perancis. Odit semakin terpancing dengan ceritanya. Ia semakin tersenyum.
“Tidak hanya itu permen lezat yang pernah aku makan. Aku pernah memakan salah satu permen yang terkenal dari negara Turki. Kau tau namanya? Itu Turkish Delight. Tetapi orang-orang sana lebih senang menyebutnya dengan nama permen Lokum. Permen ini dibuat dari madu dan mollases, air mawar, lemon dan jeruk. Kau tidak akan bisa membayangkan kelezatan rasanya sebelum mencobanya. Teksturnya lembut dan lengket! Permen ini semakin lezat jika ditambah potongan walnut, almond dan diberi taburan gula disekelilingnya. Hahah! Apa kau menjadi lapar karena ceritaku? Jangan beranjak dulu, aku masih ingin menceritakan macam-macam permen lainnya!” katanya dengan antusias. Ia menyambung ceritanya.
“Kau tau permen cokelat yang berbungkus emas yang ada di kamar tamu kita? Kau lihat ada banyak sekali kan disana? Itu adalah permen Ferrero Rocher. Setiap memperingati tahun baru Cina, kita selalu menyiapkannya disana. Kau sudah merasakannya, bukan? Itu permen yang berbentuk bola cokelat yang didalamnya terdapat lapisan wafer renyah dan krim hazelnut. Tidak heran kenapa rasanya lezat dan crunchy, bukan?” sambungnya.
“Apa kau pernah melihat permen kenyal berbentuk Beruang Teddy? Jika pernah, itu adalah salah satu permen terkenal yang berasal dari negara Jerman. Namanya Gummi Bear! Lucu bukan? Permen ini berbentuk beruang kecil seperti yang ada di kamarmu. Permen ini terbuat dari gelatin, gula, dan perasa buah. Kecil sekali bentuknya. Kau akan suka melihat warnanya yang bermacam-macam! Ahh! Aku jadi gemas untuk memakannya lagi!” kata Obi─’anak berwajah lucu’ itu.
“Masih banyak lagi macam-macam permen yang ada di dunia ini, Odit. Kau bisa menemukan permen Godiva di Belgia, itu permen lezat yang terbuat dari perpaduan banyak cokelat. Tidak hanya itu permen cokelat yang terkenal dari negara tersebut. Masih ada Cokelat Sea Shell yang berbentuk kulit kerang lucu. Permen Cokelat Hershey’s dan Permen Cokelat Ghirardelli dari negara Amerika. Permen Cokelat Valrhona, Permen Cokelat Neuhaus, Permen Cokelat Toffee, dan masih banyak lagi, Odit!” katanya.
“Kau tau mimpi terbesarku itu apa? Aku akan membangun pabrik permen dan mendirikan perusahaan untuk pemasarannya. Aku akan memiliki permen sendiri. Permen termanis dan terlezat yang pernah aku cicip. Aku akan menamakan permen itu ‘Permen Gulali Joya’. Aku ingin mengenalkan permen itu kepada dunia. Aku akan mengekspor permen lezat tersebut ke seluruh penjuru bumi pertiwi. Dan bila perlu, aku akan membangun beberapa pabrik di luar negeri agar impianku lekas tercapai. Dan kau akan membantuku mewujudkan itu semua!”
Mendengar itu semua, raut muka Odit menjadi sedikit lebih ceria. Itu lebih baik dari pada keadaan sebelumnya. Nampaknya abang angkatnya benar-benar tau bagaimana cara untuk membujuknya agar keluar dari lingkaran kesedihan. Mimpi yang baru saja terucap dari mulutnya benar-benar mimpi yang luar biasa baginya. Itu adalah sebuah mimpi yang jauh lebih besar dari janji mulia Joya dulu.
Kini Obi─’anak berwajah lucu’ itu, menengadahkan kepalanya. Mengamati pohon kamboja yang berbunga putih. Banyak sekali bunganya berguguran di bawah bangku itu. Indah.
“Kau tau Odit, tidak hanya kau saja yang bersedih atas meninggalnya abangmu. Setiap detik jika aku teringat olehnya, setiap detik pula aku selalu merasa bersalah kepadanya, dan kepadamu. Andai waktu itu aku tidak nekad keluar rumah. Joya pasti tidak akan meninggalkan kita. Kau harus tau aku benar-benar menyesal. Dan sekarang yang bisa aku lakukan hanyalah membalas budinya dengan cara menjagamu. Rasanya hutang budi ini tidak akan pernah habis. Tapi aku tidak menyesal. Aku malah senang. Aku senang karena kau berada di rumah ini untuk menemaniku. Aku berjanji kepadamu untuk mewujudkan apapun keinginanmu. Aku akan membawamu keliling dunia untuk sekedar mencicipi permen-permen lezat yang aku ceritakan kepadamu tadi. Tapi kau juga harus berjanji satu hal kepadaku, adikku. Janganlah engkau terus berlarut-larut dalam kesedihan seperti ini. Karena itu juga akan membuatku sedih. Kesedihanmu tidak akan membuat Joya yang meninggalkan kita merasa tenang disana. Semua yang kau inginkan, kau bisa mendapatkannya di rumah ini. Pergunakanlah keuntungan ini untuk meraih mimpimu, dan mimpi Joya, abang kandungmu. Aku tau jika aku tidak akan pernah bisa menggantikan Joya. Tapi aku akan berusaha agar aku bisa menjadi kakak yang baik buatmu. Hilangkan raut sedihmu itu. Angkat wajahmu. Tersenyumlah. Bukankah Joya melakukannya ketika ia meninggalkan kita?” itulah yang dikatakan Obi─’anak berwajah lucu’ itu untuk adik angkatnya. Kini Odit tenggelam dalam pelukan dan belaian sayang abang angkatnya. Saat itu juga setelah mendengar ucapannya, Odit berjanji untuk belajar lebih giat lagi dan mewujudkan mimpi-mimpinya.
Detik berganti detik. Menit berganti menit. Semuanya berlalu. Hari demi hari dilewati satu persatu. Hari-hari berikutnya adalah hari-hari yang penuh dengan keceriaan. Kini hidup Odit tidak terasa hampa lagi. Pelan-pelan ia mulai bisa merelakan kepergian Joya─abang terkasihnya. Terlebih sekarang ia mempunyai arah tujuan yang baru─mengenalkan ‘Permen Gulali Joya’ kepada dunia.
Odit anak yang cerdas. Sangatlah pantas jika ia menjadi adik Joya yang tidak kenal kata menyerah. Di usianya yang kesepuluh, ia berhasil menuntaskan wajib belajar 6 tahun. Ia memangkas 2 tahun waktunya dengan ikut program akselerasi. Begitu juga sewaktu di SMP dan SMA. Ia menuntaskan semuanya pada usia 15 tahun. Tiga tahun lebih cepat dari pada anak-anak seusianya. Ia melanjutkan jenjang pendidikannya ke strata yang lebih tinggi. Mengingat usianya yang masih teramat sangat muda. Ia bisa disebut sebagai anak yang brilian. Dan dalam waktu dua setengah tahun saja, ia mampu menguasai ilmu manajemen terstruktur.
Ditahun yang sama, tepat setelah ia menuntaskan gelar sarjana mudanya. Ia bersama dengan abang angkatnya mendapatkan modal besar dari ayah mereka. Mereka mulai mewujudkan mimpinya dengan modal tersebut. Mereka membangun sebuah pabrik permen dan perusahaan besar. Cepat sekali bisnis perusahaan itu berkembang. Dalam kurun waktu 5 tahun saja, mereka berhasil mengembalikan modalnya. Dan bahkan melipatgandakannya. Tidak cukup sampai disitu, sesuai dengan angan-angan abang angkatnya dulu, mereka membangun pabrik-pabrik serupa di 5 negara berbeda. Sebuat saja Perancis, Jerman, Inggris, Belgia, dan Swiss! Semua bergerak dalam produk dan tujuan yang sama. Kalian tidak akan menemukan permen lain di dalam pabrik-pabrik itu. Hanya satu permen yang mereka hasilkan─’Permen Gulali Joya’. Dan itu sudah cukup terkenal di dataran Eropa. Kalian akan menemukan permen ini di semua toko permen terbesar di dataran tersebut. Bersanding dengan nama-nama permen lezat terkenal lainnya. Ditata rapi di rak paling atas. Dan yang paling dikenal dan diminati dari permen itu adalah Permen Gulali dengan bentuk ayam jago itu.
Semua pencapaian tersebut membuatnya menjadi pengusaha muda paling sukses ditahun tersebut. Siapa yang tidak mengenal sosok Obi dan Odit. Dua nama tersebut belakangan selalu menghiasi headline majalah bisnis mahal.
Ada ratusan nama permen yang ada di dunia ini. Dengan berbagai bentuk, rasa, warna dan aroma yang beraneka ragam. Permen-permen tersebut sudah memiliki nomornya sendiri. Kalian akan menemukan ‘Permen Gulali Joya’ di urutan terakhirnya─kamus besar permen dunia itu. Itu adalah nama permen yang sudah melanglang buana. Permen tersebut memang sama seperti permen yang menempati urutan nomor 169─Permen Gulali biasa. Lalu apa yang membedakan permen tersebut dengan permen mereka?
Jelas beda!
‘Permen Gulali Joya’ adalah permen yang terbuat dari manisnya cinta Joya kepada adik semata wayangnya. Ia terbuat dari indahnya persahabatan Joya dengan ‘anak berwajah lucu’ itu. Ia terbuat dari semangat dan kerja keras Joya yang tanpa kenal menyerah menafkahi adiknya. Ia terbungkus dalam satu kemasan tulusnya pengorbanan Joya. Dan disajikan dalam satu tusuk apik perjuangan Joya. Serta dijual dalam kepolosan dan keceriaan adiknya.
Itulah yang menjadi bahan dasar ‘Permen Gulali Joya’
Masih ingatkah kalian tentang cerita ‘anak berwajah lucu’ yang selalu memborong permen gulali Joya sebanyak 10 tusuk? Sembilan tusuk itu telah aku ceritakan dalam cerita indah ini. Lalu, dimana tusuk permen terakhir itu berada? Hahah! Itu adalah tugas kalian untuk mencarinya. Lakukanlah perjalanan panjang kalian dalam mencari ‘Permen Gulali Joya’ di dataran Eropa sana. Carilah di rak paling atas toko permen paling terkemuka disana. Aku yakin kalian akan mampu menemukannya...
“Karena─kalianlah tusuk terakhir ‘Permen Gulali Joya’ itu.”
Jangan lapar, jangan menyerah, berjuanglah...
[Tamat]
Abang!
U─uwah! Hahah! Akhirnya Obi bisa menyelesaikan juga miniseri Obi yang berjudul ‘Permen Gulali Joya’ yah bang. Tentunya pencapaian Obi hingga saat ini tidak lepas juga dari doa dan dukungan abang semua. Obi ingin mengucapkan terima kasih untuk abang yang masih setia membaca karya-karya Obi hingga saat ini bang. Benar-benar menyenangkan sekali Obi bisa menyajikan karya tulis ini kepada abang semua. Obi juga ingin meminta maaf jika selama Obi menulis, terdapat banyak kesalahan kata yang mungkin kata tersebut juga kurang berkenan di hati abang selaku pembaca yang Obi cintai. Tidak ada maksud apa-apa dalam tulisan Obi. Miniseri ‘Permen Gulali Joya’ Obi tulis hanya untuk menghibur abang semata.
Untuk karya tulis Obi berikutnya, ada kemungkinan Obi akan melaksanakan Project SKO Season 3 yang selama ini ditunggu-tunggu oleh abang. Tapi mungkin (mungkin lho!) project tersebut tidak akan rilis di BF, Wattpad ataupun Official SKO blog (www.obipopoboo.blogspot.com). Obi akan langsung membukukannya bang! Obi ingin mulai serius berkarir di dunia pernovelan ini bang. Cita-cita yang sudah lama Obi inginkan dari semasa Obi masih duduk di bangku sekolah dasar. Berdoa saja semoga cita-cita Obi lekas tercapai bang! Dan jangan lupa sisihkan sedikit budget untuk membeli novel-novelnya Obi yang akan rilis (Amen)!
Itu ajah bang. Pada intinya Obi hanya akan mengucapkan terima kasih karena abang sudah sudi membaca miniseri ‘Permen Gulali Joya’ sampai chapter terakhir ini. Semoga rasa manis dari permen gulali Joya selalu tercicip oleh ingatan abang. Terima kasih bang!
[Best regards, Obi William Despenta─founder of ‘Sahabat Kecil Obipopobo’ & ‘Permen Gulali Joya’. Project Joya 8-03-2016─30-04-2016. Copyright©2016]
❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀
p.s “Jangan lupa tarif sama komentarnya yah bang (❀ *´ `*)”
great job !!!
great job !!!
Tau2 udah tamat aja XD
Cerita yg bagus bi. Gk nyangka akhirnya kaya gini.
Walau sedikit pusing dengan gaya bahasa yg makin tinggi.
Si tunggu SKO 3 nya bi. Ending nya nikah sama si onoh ya~~ yg meluk di sekolah itu, yg si kevin intipin~
*bawa file PJJ ke rumah ceo PT. Gramedia amos suruh bukakan cerita ini !!!
Mo Nangis maksudnya
Sedih tapi happy ending buat Odit lah.....
Thank you Obi, lagi-lagi cerita yang sangat menyentuh.... Keep up the good work!
Lanjut bi cetita kerin penasan dgn kaindra.