It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Jangan bang @LostFaro (❀ *´ `*) , Obinya engga bisa tidur nanti bang (❀ *´ `*) *ini serius!
Haih abang @dwippa (❀ *´ `*) , Obi engga sebulan yah delaynya (❀ *´ `*) . *jadi seperti ini rasanya pas dikatain sebulan belom next...
Makanya buat line ! Di post nih~
Huwaa..., bang @LostFaro mengancam Obi (❀ *´ `*) , jangan bang engga baik (❀ *´ `*)
Xixixiixix
Kaborrrrrr
Iya gak vin ?
#nanyakevinygnyengirkuda
Kzl dechhh
Hahah, ini bang Obi next lagi ‘Permen Gulali Joya’-nya. Obi ingin abang merasakan manisnya gulali Joya sekali lagi. Miniseri yang sengaja Obi buat khusus untuk forum BF tercinta ini.
Yap, seperti biasa sebelum memulai mengikuti chapter miniseri ‘Permen Gulali Joya’, Obi ingin mengenakan tarif buat abang-abang semua (hahah..). Berapa tarifnya? Murah kok, liat rincian di bawah:
1. Baca cerita Obi, bayar dengan 1 ‘Like’ atau 1 ‘LOL’
2. Atau dalam beberapa kasus tertentu, abang bisa membayarnya dengan 1 ‘Kesal’
3. Kasih Obi 1 komentar (wajib).
Yap! Wajib berkomentar, Obi ingin mendengar suara dan tanggapan abang sama temen-temen semua (❀*´ `*). Itu aja deh, selamat mengikuti (❀*´ `*).
❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀❂❁❀✿❂❁❀
Chapter 4. Bocil Si Pencopet
...janganlah menilai orang dari harta maupun penampilan, melainkan dari hatinya...
Langit bersih tak tersaput awan. Membias kaca mall-mall perkotaan. Benderang tersinari teriknya mentari. Burung-burung pipit jarang menampakkan rona nya dilangit-langit kota. Tergantikan dengan kepulan asap-asap hitam kuda besi yang mampu mengangkut puluhan penumpang. Membumbung tinggi. Polusi lokal. Deru mesin bising menusuk telinga. Suasana kota metropolitan yang membuat peluh. Penat. Letih. Kala itu: siang hari!
Seorang anak berjalan mantab penuh percaya diri. Tegap. Terlihat gagah seusianya. Di kedua bahunya terpikul cita-cita mulia. Dia mencoba merajut asa. Mengubah keadaan. Paling tidak, keadaan untuk hari ini saja.
“Permen gulali..., siapa mau beli?”
Berjalan pelan. Joya menjajakan dagangannya. Suara kecilnya memecah hiruk pikuk keramaian. Lumayan. Semenjak tadi pagi ia berjualan, Sang Penguasa bumi berbaik hati membantunya. Tiga belas tusuk permen gulali berhasil ia jual. Entahlah. Setelah berhasil menjual tiga tusuk, ada seorang pembeli yang memborong 10 tusuk permen gulalinya. Itu cukup untuk membeli makan. Bahkan lebih. Mereka berdua─Joya dan adiknya, tidak akan kelaparan malam ini.
Puluhan lembar buku tulis pelajaran telah diloakkan. Murah sekali harga yang diberikan pengepul itu. Tidak sebanding dengan isi buku-buku pelajaran tersebut. Buku-buku yang menjadi jendela dunia. Pustaka pengetahuan. Berisi banyak wawasan ilmu pasti. Kini hanya menjelma menjadi selembaran sepuluh ribuan. Miris! Biarlah. Itu semua akan impas ketika Joya melihat adik semata wayangnya tidur dengan nyenyak tanpa merasa kelaparan.
Joya─anak 12 tahun itu, berhenti sejenak. Duduk bersandar di tembok megah mall. Tidak mau lagi ia melepas penat di depan toko kelontong kemarin. Cina itu pasti akan menyepaknya lagi. Menyepak laksana mengusir anjing kampung yang dianggap merusak pemandangan. Bangsat! Tak apalah. Hari ini suasana hatinya sedang diatas awan. Ia mengeluarkan hasil pendapatannya hari ini. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Pertanda baik? Tentu saja. Hari ini dagangan laku banyak. Pun ditambah uang dari meloakkan buku-buku. Rasa-rasanya menu nasi kucing akan sangat membosankan. Mungkin nasi padang pinggiran sana akan menjadi pilihan menu makan malam yang menarik. Nasi ayam lengkap dengan sayurnya? Terdengar sedap memang. Kapan terakhir mereka─Joya dan adiknya merasakan lembutnya daging ayam? Ohh! Itu saat perayaan natal tahun lalu. Tidak ada salahnya jika mencicipnya sedikit, bukan?
Suasana masih sama. Panas. Hiruk pikuk pengunjung terdengar dari seluruh penjuru emperan mall. Riuh. Berisik. Entah apa yang mereka bicarakan. Semburat mentari datang dari tengah lingkar bumi. Menyinari semua yang ada di bawahnya.
“Hoi boy!”
Terdengar sebuah panggilan dari seorang anak kecil. Tidak terlalu lusuh. Tapi masih terlihat compang-camping. Ia mengenakan kaos putih dan celana jeans pendek. Sedikit kumal memang. Tapi tidak lusuh. Mungkin terlalu sering dikenakan. Hanya dicuci sekali seminggu. Hemat air. Hemat sabun cuci. Hemat tenaga. Ahh, entahlah. Mungkin dia hanya malas mencuci saja. Buat apa tampil bersih? Tidak akan ada yang melarangnya.toh ia sama seperti Joya─tidak mempunyai orang tua lagi. Usia? Usia anak tersebut sebaya dengan Joya. Joya menoleh. Ia sudah tidak asing dengan sosok anak tersebut. Perangainya selalu ceria. Sekalipun Joya tau bahwa hidupnya tidak berbeda dengannya. Joya tersenyum tipis. Ia mengangkat tangannya tanda menyapa.
“Ayo! Sini!”
Anak itu meminta Joya mengikutinya. Tanpa membuang waktu lagi, Joya beranjak dari tempatnya. Mereka berdua berjalan menuju suatu tempat yang agak sepi. Terbebas dari hiruk pikuk kota─belakang pasar. Mereka duduk di sebuah anak tangga menuju lantai dua pasar tradisional yang terdapat di tengah-tengah perkotaan ramai. Beruntung pemerintah setempat masih melestarikan pasar ini. Pasar dimana semua harganya berbanding terbalik dengan barang dagangan mall-mall megah tadi. Tempat yang tepat bagi masyarakat yang mencari pakaian dengan harga miring. Fashion masa kini. Anak tersebut mengeluarkan sebuah bungkusan dari kertas koran. Sebuah roti yang berukuran agak panjang. Ia membaginya menjadi dua potongan yang sama panjang. Mengulurkannya satu kepada Joya.
“Ayo! Makan! Ambil saja! Jangan ragu!” anak tersebut menawarkan.
“Tidak, aku tidak lapar! Kau saja!” tolak Joya halus.
“Hei! Jangan bohong! Mata sayumu menggambarkan semuanya! Ayolah! Ini bukan hasil mencuri!” anak tersebut kembali memaksa.
Agak ragu memang. Joya menerima roti tersebut. Memakannya pelan. Anak tersebut tersenyum tipis.
Siapa anak tersebut? Seorang teman? Sebut saja begitu. Namanya Ical. Pedagang asongan. Anak-anak sini lebih senang menyebutnya dengan panggilan Bocil karena perawakannya yang kecil (Bocah Cilik). Semua anak-anak yang mendagang asongan kenal dengan anak tersebut. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Kenapa? Suruh Bocil berjalan 5 menit disamping orang kaya, maka dompet sudah berpindah tangan ke saku celananya dengan aman. Ia seorang pencopet ulung! Jangan sekali-kali meremehkan kemampuan mencopetnya. Sejak ia belajar mencopet 3 tahun lalu, tidak pernah sekali pun ia tertangkap basah! Ia rajanya pencopet cilik di wilayah ini. Lalu..., apa dia anak yang jahat? Entahlah! Saat ini Joya tengah memakan roti lezat pemberiannya.
“Ahh, aku lupa! Akan aku sisakan seperempat potong. Kau bawa ini untuk adikmu!”
Bocil memberikan sebuah bungkusan kertas koran.
“Tidak, kau lebih membutuhkan. Bagaimana kabar mereka? Adik-adik asuhmu?” Joya bertanya.
Sedikit kisah untuk diceritakan. Sejak umur 3 tahun, Bocil sudah ditinggalkan oleh kedua orang tuanya. Ahh..., bukan ditinggalkan! Ia dibuang! Ia ditemukan oleh warga sekitar di sebuah tempat sampah belakangan mall. Malang sekali nasib Bocil. Entah apa yang dipikirkan oleh mereka─kedua orang tua Bocil itu. Orang tua yang telah melahirkannya. Orang tua yang harusnya melindunginya. Mereka malah ringan tangan membuang Bocil begitu saja. Sejak saat itulah Bocil dititipkan disebuah rumah singgah binaan warga sekitar. Rumah singgah yang isinya kebanyakan adalah remaja-remaja tunawisma dan tunakarya. Tapi sayang. Menginjak usianya ke-9 tahun, ia salah pergaulan. Kontaminasi sosial yang buruk menjadikannya pencopet ulung di usianya saat itu. Paling ulung malah. Ia mendapatkan pendidikan khusus dalam mencopet. Bos mereka sendiri yang mengajarkannya. Bocil tidak sendiri. Ada dua puluh anak lainnya dalam berbagai macam usia dan latar belakang yang mempunyai profesi yang sama─mencopet. Bagi mereka, mencopet bukan saja bicara tentang uang uang dan uang. Tapi mencopet adalah sebuah seni. Entah mereka mendapatkan pemahaman itu dari mana. Bos mereka sendiri─Gun Jack, adalah mantan pencopet yang tidak kalah piawai. Mantan? Ya! Ia sudah berhenti mencopet, berganti ke pekerjaan yang lebih menjanjikan─tukang pukul dengan gaji tetap.
Ada keunikan sendiri mengenai Bocil. Ia hanya menyasar dompet dari Cina kaya! Tidak mau yang lain! Kenapa? Ho ho!! Baginya, dompet mereka selalu lebih tebal dari pribumi-pribumi lokal. Ya! Bagaimana tidak tebal? Segala sektor bisnis niaga berada dalam jangkauan kekuasaan cukong-cukong itu. Menggurita disana-sini. Menyepak mundur pesaing-pesaing lokal yang tidak mampu menandingi bisnis mereka. Memaksanya beralih ke pekerjaan rendahan. Pekerjaan yang sama sekali aman dari lirikan tajam mata bisnis mereka. Aman dari persaingan. Sayangnya hasil yang didapat tidak seberapa. Kemiskinan pun semakin meningkat. Itulah kenapa Bocil selalu mencuri sebagian dari mereka─cukong-cukong itu. Hasilnya? Masuk ke perut sendiri kah? Tidak! Hanya beberapa peser saja yang ia pakai untuk membasahi tenggorokan dan mengisi perut, bekal tenaga mencari dompet si kaya lainnya. Sisanya? Ia menyumbangkannya ke rumah singgah tempat ia beratap. Menyumbangkannya untuk keperluan hidup sehari-hari adik-adiknya yang satu nasib dan seatap dengannya. Sungguh mulia? Entahlah! Itu hasil copet.
Masih ingatkah kalian tentang legenda Robin Hood ? Atau Zorro si perampok bertopeng? Itu adalah cerita legenda yang ditorehkan oleh negara tetangga. Kita mempunyai ‘Bocil Si Pencopet’ disini. Dialah legenda cilik kita!
“Sudahlah, jatah mereka ada sendiri. Ambillah!”
Bocil memasukkan bungkusan roti tadi kedalam kotak harta karun Joya. Joya terdiam sejenak. Mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
“Bagaimana, apa hari ini dapat hasil?”
Joya kembali membuka percakapan. ‘Hasil’. Penekanan pada kata itu. Apalagi kalo bukan hasil copetan.
“Hahah! Babi kau!”
Bocil tertawa renyah. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak asongannya. Tiga buah dompet kulit asli. Bermerk. Harganya sudah pasti mahal. Mungkin cukup untuk menghidupi Joya dan adik semata wayangnya selama dua minggu. Ahh tidak, satu bulan malah.
“Aku berhasil mencuri dua dompet ini. Isinya lumayan.” Bocil membanggakan diri.
“Dua?” Joya bingung.
“Entahlah, mungkin Dewa Copet sedang berbaik hati padaku. Setelah aku berhasil mencuri dua dompet ini dari saku Cina kaya, aku menemukan dompet ketiga ini tergeletak begitu saja di pinggiran jalan.” Bocil mengembangkan senyumnya.
“Banyak?” Joya penasaran.
“Entahlah, aku belum membukanya,”
Bocil membuka dompet ketiga tersebut. Menjamahi setiap kantungnya. Kebanyakan isinya adalah kartu identitas si pemilik dompet. Ia mengeluarkan semua isinya.
“Ahh boy! Sial sekali! Rupanya Dewa Copet sedang ingin bercanda denganku,”
Bocil merengut sambil melambai-lambaikan lembaran dua puluh ribuan.
“Ck! Aku tidak akan mengambil recehan!”
Bocil berdecak sambil meletakkan dompet ketiga itu.
“Hahah! Setidaknya kau masih mempunyai dua dompet itu! Berapa isinya? Sepertinya memang lebih banyak!”
Joya tertawa ingin tahu.
“Hoo, boy! Lihai sekali mata kau! Benar! Dompet ini isinya lebih banyak!”
“Lihatlah!” katanya bangga.
Joya menelan ludah. Lima lembar uang seratusan ribu melambai-lambai di depannya. Bocil mengeluarkannya dari dua dompet tadi. Baginya, uang dalam jumlah nominal itu teramat sangan banyak. Belum pernah satu kali pun ia dan adik kesayangannya melihat uang sebanyak itu. Bahkan memegangpun tidak!
“Banyak kan?! Apa kau mau? Aku tidak keberatan memberikannya selembar!”
Bocil menawarkan dengan senyuman nakalnya. Joya kembali menelan ludah. Bagi Bocil, tawaran ini adalah tawaran menggoda. Ia hanya ingin menggoda Joya saja. Ia tau bahwa Joya tidak akan pernah mau menerima uang hasil curian. Joya pernah menolaknya. Ahh! Bukan pernah! Selalu! Joya selalu menolak uang pemberiannya. Bahkan jika uang tersebut sudah di konversi menjadi makanan lezat sekalipun! Tapi ia tidak tersinggung. Ia malah bangga dengan kekukuhan hati Joya. Baginya, Joya tidak lain adalah sahabat karibnya yang mau menerima dengan baik profesinya. Ia tidak merendahkan. Bahkan mencibir atau mengejek sekalipun. Karena mereka sama-sama tau, dunia di luar pintu rumahnya adalah dunia ganas yang kejam. Makan atau dimakan! Hukum rimba kuno yang masih berlaku secara tidak langsung di kota metropolitan ini. Cukong-cukong tadi contohnya! Oleh sebab itu, apapun profesi mereka, selama mereka masih bisa tersenyum bersama: Mereka akan baik-baik saja!
Dihatinya, Joya tau bahwa Bocil anak yang baik. Terlebih lagi, mendiang ibunya pernah berkata bahwa─ “...janganlah menilai orang dari harta maupun penampilan, melainkan dari hatinya...”
“Tidak. Aku tidak boleh menerimanya. Sudahlah. Berhenti menggodaku! Aku tidak tertarik!”
Joya memalingkan muka. Bocil tertawa iseng.
“Hahah! Kau tidak pernah berubah, boy! Aku salut, boy!”
Joya melempar pandangan ke arah dompet ketiga yang nampaknya sama sekali diabaikan. Bagus! Setelah dompet itu ditelanjangi, sekarang dompet tersebut dilecehkan dan dibuang begitu saja.
“Mau kau apakan dompet ini?”
Joya bertanya. Tepat setelah ia menelan ludahnya sendiri.
“Aku sudah mengatakannya, aku tidak membutuhkan recehan. Jika kau ingin mengambilnya, ambil saja! Kalau kau tidak mau, aku akan membuangnya! Hahah!” Bocil kembali tertawa nakal.
“Aku akan ambil.”
Bocil tercekat. Seakan tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar.
“Apa boy? Kau serius?” kali ini tawanya terhenti.
Joya tidak menanggapi pertanyaan sahabatnya yang kini menampakkan muka terkejut seakan tidak percaya. Ia dengan tenang merapikan kembali isi dompet yang dikeluarkan oleh si pencopet ulung tadi. Lalu, apa Joya akan menyimpannya? Atau bahkan memakai selembaran dua puluh ribuan tadi yang kini kembali berada di dalamnya? Bukan!
“Aku akan mengembalikannya....”
Ya! Joya akan mengembalikan dompet tersebut. Mengembalikannya ke ‘Anak Berwajah Lucu’-itu. [Bersambung]
❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀✿❂❁❀
p.s “Jangan lupa tarif sama komentarnya yah bang (❀ *´ `*)”
@pokemon
@lulu_75
@dwippa
@LostFaro
@akina_kenji
@Aurora_69
@liezfujoshi
@Lebes
@Revel_AS
@soratanz
@ikkiriordan
@akumisteri1
@Adrian69
@boyszki
@andi_andee
@abupelangi
@naraputra28
@adambowie
@AHH
@Septra_Kisaran
Bantai Obi bang!! Bantai Obi!! o(≧∇≦o)