It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
katanya lg ga semangat nulis...
waduh...
dia yg susah,
kita juga yg repot.
(repot penasaran lanjutan ceritanya...lol)
Gw kemana aja yak baru baca cerita2 bagus ini,..
ayooo aa remy lanjutin!
dimana2 ngejunk!!!!!!!!
emang uda hobinya abx...
gue masih kagak ngarti... :? :? :?
Ho-oh gw jg masih blm ngerti
Ho-oh gw jg masih blm ngerti
Memang malamnya Mbak Dini, Istrinya Iqbal, meneleponku dan mengajakku ikut ke kebun raya.
"Kok mendadak sih mbak?" tanyaku berpura-pura.
"Iya. Aku pikir Bang Iqbal dah ngasih tau Remy tadi pas ke rumah... Tadi ada bisnis jual tanah ya? buang-buang waktu aja deh!" gerutu Mbak Dini di ujung sana.
"Iya sih kayaknya... tadi soalnya dia ngobrolnya sama tetangga..."
"Ikut ya Rem! bantuin mbak Foto-in Kayla! dia pertama kalinya nih ke Kebun Raya, apalagi udah berapa hari ini enggak turun hujan, mbak pengen liat dia main bebas."
"Mmmm... iya deh mbak! Oke... ntar aku tunggu deh di pintu gerbang."
Kemudian aku menutup teleponku.
Paginya aku menunggu di Gerbang masuk utama Kebun Raya Bogor. Aku duduk menunggu yang lain datang di deretan anak tangga yang menjulang dimana ujung paling atasnya terdapat patung singa. Sambil menunggu aku melihat sekeliling. Tidak ada yang berubah di sini sejak terakhir kali aku datang libur lebaran tahun lalu. Perbedaannya hanyalah harga tiket yang sudah naik. Tadi pagi aku berangkat sendiri. Sepertinya Fauzi langsung berangkat dari Mess soalnya kulihat rumahnya kosong sejak malam minggu. Aku berangkat menggunakan Bus umum karena aku tidak mau repot-repot mencari tempat parkir motor.
Pada kemana sih? Kok belum ada yang datang? pikirku. Saat aku mencari-cari sosok yang kukenal diantara pengunjung yang mulai ramai berdatangan, HP ku berbunyi. Aku melihat nomor yang tak terdaftar dalam memori teleponku. Aku mengangkatnya namun tidak ada jawaban.
"Halo?"
Yang terdengar hanya tarikan nafas seseorang. Aku memberi kesempatan cukup lama pada orang yang meneleponku itu untuk bicara sampai akhirnya kuputuskan sambungan karena orang itu sama sekali tidak berkata apa-apa.
Rupanya saat itu aku sedang tidak bersemangat berkelahi. Biasanya kalau ada telepon atau sms tidak jelas begitu, langsung aku maki-maki.
Lima menit kemudian aku melihat Iqbal dan Mbak Dini Istrinya tengah menuntun Kayla diantara mereka. Aku melambai pada mereka. Mbak Dini menunjuk ke arahku memberi tahu Kayla sehingga anak itu dengan riang berlari ke arahku. Aku berlari kecil menuruni anak tangga menyongsong Kayla yang datang ke arahku kemudian kugendong dia.
"Maaf ya Rem, kita telat. Abisnya kita nyari-nyari dulu kamera digital soalnya Mbak lupa naruhnya dimana..." Kata Mbak Dini.
"Gapapa kok Mbak..." Kataku. Kayla yang sedang kugendong menepuk-nepuk pipiku gemas dan aku kemudian mencium pipinya sehingga anak kecil itu tertawa geli. Iqbal diam saja, dia saat itu sedang merokok.
Tak lama kemudian yang lain ikut datang. Pertama Fauzi datang bersama Lis. Mereka juga datang dengan angkutan umum. Saat aku menyapa mereka, Lis memberiku senyum yang dipaksakan. Sebagai teman Yuli mungkin dia merasa berempati pada gagalnya perjodohan antara kami berdua. Kemudian Nuzul datang, dia diantar Fifi adiknya dengan Xenia Putih miliknya dan kemudian mobil itu pergi.
"Loh.. Fifi enggak ikut sekalian?" tanyaku pada Nuzul.
"Dia mau ke rumah temannya.." Nuzul menjelaskan.
Akhirnya kukenalkan semua orang yang baru pertama kali berjumpa di tempat ini. Orang-orang yang masing-masing menyimpan rahasia dan persoalannya sendiri. Canggung? tentu saja! Iqbal dan aku menyimpan rahasia terhadap Mbak Dini, Iqbal memandang Nuzul dengan tatapan menyelidik seakan-akan mencari sesuatu pada diri orang yang kuakui telah menciumku. Nuzul mungkin masih berharap sesuatu dari ciuman yang dia berikan padaku, Lis yang masih menyimpan amarah padaku karena tidak menggubris perjodohan dengan temannya-bahkan dia merasa berdosa terhadapnya juga karena dia bisa bersenang-senang piknik di sini sedangkan temannya tidak, dan Fauzi yang mungkin terheran-heran mencoba menduga seperti apa bentuk hubungan di antara kami.
"Hmm.. gimana dengan bekal makan siang? ada yang bawa?" tanyaku di tengah kecanggungan. Kami semua saling berpandangan seakan-akan kehilangan sesuatu yang sangat penting.
"Wah... enggak ada yang mikir buat bawa bekal ya?" Kataku sambil sedikit meringis.
Semua berebutan mengajukan usul. Aku menolak halus ide Iqbal yang mengusulkan agar kita semua makan siang di Cafe Dedaunan yang letaknya di dalam Kebun Raya, karena aku yakin tidak semua orang yang datang ke sini dapat berkompromi dengan harga makanan di cafe itu. Akhirnya aku mengusulkan untuk pergi ke restoran fastfood ayam goreng yang letaknya berada di Bogor Trade Mall tidak jauh dari pintu masuk kebun raya.
"Ya udah, ane yang ke sana beli." Kata aku.
"Loh, kan gak ada motor, mas?" tanya Fauzi.
"Deket kok, jalan juga bisa." Ujarku sambil tersenyum.
"Eh.. gua ikut mas! nanti takut berat bawanya..." Tiba-tiba Nuzul mengajukan diri untuk menemaniku. Aku melirik ke arah Iqbal, dia tidak bereaksi namun matanya menatapku aneh. Sesaat aku ragu, namun akhirnya kuterima juga tawaran Nuzul.
"Ng.. iya deh... thanks ya Zul."
Di sepanjang trotoar menuju mall tempat restoran fastfood itu aku berfikir keras mencoba mengartikan tatapan aneh Iqbal. Sampai-sampai aku tidak memedulikan Nuzul yang berjalan di sampingku.
"Mas? mas? ngelamunin apaan sih?"
"Eh.. oh.. enggak Zul.. enggak apa-apa..." Kataku pelan tanpa mau menatapnya.
Nuzul kemudian terdiam sementara kami masih terus berjalan menyusuri trotoar. Kemudian Nuzul berkata, "Mas, marah sama gua ya? gara-gara gua cium waktu itu?"
"Marah? enggak. Kalo ane marah ngapain ane ngajak ente piknik begini?" Aku balik bertanya.
Nuzul tiba-tiba tersenyum senang nyaris tertawa. Aku memandangnya dengan dahi berkerut, "Ente kenapa?" tanyaku.
"Berarti gua ada harapan dong?" kata Nuzul.
"Harapan?" tanyaku khawatir dan berharap ini tidak seperti yang aku takutkan.
"Iya.. eh! mas, kita nyebrang dulu!" Kata Nuzul sambil tiba-tiba melangkah melintasi jalan raya menuju seberang. Aku buru-buru menyusulnya.
Aku tidak bisa bertanya lebih lanjut maksud perkataan Nuzul karena kita sudah masuk ke dalam mall dan dia terus berjalan menuju restoran fastfood itu. Aku juga tidak bisa bertanya karena banyak orang di sekitar kami. Akhirnya setelah mengantri di kasir dan menunggu di meja karena pesanan kami cukup banyak, aku bisa bertanya kembali pada Nuzul.
"Harapan apa maksud ente?" kataku sambil merendahkan suara. Di meja sebelah kami duduk dua orang cewek ABG yang sedang makan.
"Yah, mas tahu sendiri, gua belum punya pengalaman punya.. ng..(dia melirik ke meja sebelah) ...pacar!"
"Jangan bilang lo berharap sesuatu dari ane... ane gak bisa." kataku.
"Mas! gua enggak pernah bisa seterbuka ini... gua merasa udah nemuin orang yang tepat buat bisa berbagi..." Kata Nuzul. Dia memain-mainkan plastik bertuliskan nomor meja yang tadi diberikan si kasir.
"Tapi bukan berarti ente siap berhubungan dengan orang pertama yang tahu kalo... (giliran aku melirik ke meja sebelah) ...tahu kondisi ente sebenernya..." aku berbicara nyaris berbisik.
"Mas gimana sih? gua yakin kalo waktu itu mas juga ngebales... waktu gua cium."
Aku baru mau menjawab ketika si cowok pelayan restoran mengantarkan pesanan kami. Lalu Nuzul mengambil salah satu dari dua bungkusan plastik besar dan langsung beranjak ke luar. Aku menghela nafas dan menyusul Nuzul keluar.
"Zul! tunggu!" Kataku mengejar Nuzul yang berjalan cepat di trotoar. Nuzul tidak melambatkan jalannya hingga aku harus setengah berlari agar dapat menyusulnya.
"Siapa sih Mas? pasti si tentara itu ya? Fauzi?" Tanya Nuzul tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya hingga Aku nyaris menabraknya.
"Atau Pak Iqbal itu?" cecarnya lagi tanpa memberi kesempatan padaku menjawab. "Kalau memang bener salah satu dari mereka, Mas sakit!!"
"Sakit? maksud ente apaan?" kataku mulai tak sabar.
"Iya! mas sakit! ngapain sengaja bikin acara ketemuan kayak gini? apa enggak mikirin perasaan ceweknya mereka mas?" Kata Nuzul.
Aku tertegun mendengar perkataannya. Lalu aku mencoba meyakinkannya "Enggak ada satupun Zul! enggak ada..."
Nuzul menatapku ragu.
Gw sependapat si sama si Nuzul...
Si Iqbal kan udah punya istri, jangan ngerusak hubungan mereka dengan bermain api di belakang istrinya...apalagi si iqbal udah lo bikin jadi bengkok deh...
Lama2 bangkai pasti kecium juga...
Aku benar-benar tidak menyukai suasana seperti ini. Setelah makan siang yang penuh kecanggungan dan obrolan yang berisi basa-basi dan percakapan tak penting, (sampai-sampai kulihat Mbak Dini sesekali kebingungan melihat kami yang seperti sedang main diam-diaman) kami beristirahat di sebuah lapangan. Aku menemani sambil mengambil foto Kayla yang sedang bermain bola di lapangan.
Aku mengejarnya kesana kemari sambil terus menerus membujuknya agar melihat ke arah kamera digital yang kupegang. Mbak Dini berteduh di salah satu pohon besar yang berjejer di pinggir lapangan, dia duduk di atas tikar plastik yang banyak dijual sambil memerhatikan aku dan Kayla
yang sedang bermain di lapangan. Iqbal duduk bersandar agak jauh dari istrinya itu sambil terus merokok, Kulihat Fauzi dan Lis sedang mojok dan asyik mengobrol di sebuah pohon yang letaknya lebih jauh dari tempat Mbak Dini. Sedang aku melihat Nuzul duduk di samping Mbak Dini sambil
membaca sebuah novel. Nuzul memasang wajah masam, sesekali dia melirik ke arahku, kemudian dia melihat ke jam tangan neonnya, kelihatannya dia tidak sabar ingin segera pergi dari tempat ini.
Setelah hampir setengah jam, Mbak Dini memanggil Kayla. Gadis kecil itu berlari ke arah ibunya itu sambil membawa bola di tangannya. Aku menyusul Kayla dan duduk di samping Mbak Dini, kemudian aku mengelap dahiku yang berkeringat dengan sapu tangan.
"Waduh... Kayla enggak ada capeknya mbak..." Kataku.
"Gimana Rem? banyak fotonya?" tanya Mbak Dini. Aku menyerahkan kamera digital padanya dan Mbak Dini mulai melihat hasil jepretanku pada layarnya.
"Banyak yang bagus kok Mbak, pilih aja.."
"Oya Rem, Mbak pernah ke Rumah kaca khusus tanaman anggrek di sini, tapi Bang Iqbal belum pernah tuh, bisa tolong ajak ke sana gak? Mbak agak malas nemenin..." pinta Mbak Dini.
Aku melirik ke arah Iqbal, dia tidak bereaksi. Sepertinya dia juga malas kalau hanya berdua ke sana.
"Ng.. iya mbak.. kalo Bang Iqbal nya mau sih..." kataku sambil melihat reaksinya, "...apalagi aku penasaran, koleksi Anthurium di situ udah nambah belom ya?"
Rupanya pancinganku soal Anthurium mengena. Iqbal sekilas walau masih terlihat gengsi, membuang rokoknya dan berdiri. Kemudian tanpa memedulikan aku dia mulai berjalan.
"Zul, mau ikut?"
Nuzul menggeleng tanpa melepaskan perhatiannya pada buku yang dia baca. Aku tidak memaksanya.
"Bawa nih Rem, fotoin buat Mbak anggrek yang bagus ya?" pinta Mbak Dini sambil menyerahkan kamera digitalnya.
"Oke mbak!" aku menerima kamera itu dan segera menyusul Iqbal.
Aku berjalan dibelakang Iqbal, kami berdua tidak berbicara apapun. Sampai tiba di persimpangan Iqbal sesaat kebingungan memilih jalan kemudian memutuskan mengambil jalan yang berlawanan arah
menuju rumah anggrek.
"Jalannya ke sini.." kataku. Iqbal menoleh dan mengikutiku.
Akhirnya kami sampai di rumah kaca khusus tanaman anggrek itu. Bangunan itu memanjang dengan pintu masuk tepat berada ditengah-tengah. Letaknya yang tertutup taman dan lebih rendah dari tanah sekitarnya membuat tempat ini jarang dikunjungi orang-orang yang datang ke kebun raya.
Sebelum masuk, kami berdua harus membayar tiket masuk terlebih dahulu. Di lantai dasar terdapat pot-pot bibit anggrek yang akan di jual. Ruangan bergaya kolonial itu dihiasi pula gambar-gambar anggrek. Di salah satu sudutnya terdapat foto-foto dengan masing-masing piguranya
yang merupakan foto kepala Kebun Raya dari mulai jaman Belanda hingga saat ini. Dan beberapa pot berisi tanaman yang sedang populer saat ini yaitu Anthurium atau pohon gelombang cinta. Yang paling menarik perhatian adalah sebuah pot berisi anthurium besar dengan
daun-daunya yang lebar dan menjulang tinggi. Cukup lama Iqbal memandang tumbuhan itu sambil terkagum-kagum sampai akhirnya dia berkata, "Berapa kira-kira harganya ya?"
Aku menoleh ke arah Iqbal dengan takjub. Dia yang merasa aneh kutatap seperti itu, akhirnya bertanya "Kenapa?"
"Enggak... kirain dari tadi lagi sariawan..." kataku.
Kemudian Iqbal mengajakku ke ruangan di sayap kiri bangunan. Kami disambut dengan udara hangat dan lembab dengan siraman butir-butir air halus yang keluar dari pipa-pipa besi bermoncong seperti shower yang tergantung di atas langit-langit. Ruangan sayap kiri ini terdiri dari
tanaman epifit sejenis anggrek yang tidak berbunga. Kami tidak berlama-lama di ruangan itu dan langsung menuju ke ruangan di sayap kanan bangunan.
Ruangan sebelah kanan ini penuh dihiasi berbagai macam anggrek yang bunganya berwarna-warni. Sama seperti ruangan sebelah kiri, ruangan sebelah kanan ini pun terasa lembab dan hangat. Aku terkagum-kagum dengan indahnya bunga anggrek yang bergelantungan di potnya dan sesekali mengambil fotonya. Iqbal berdiri memandangi sebuah kolam tepat di ujung ruangan dengan hiasan bebatuan yang ditanami berbagai macam pohon anggrek, semburan air di situ lebih kencang ditambah dengan adanya pancuran membuat lantai disekitarnya sangat basah. Aku menghampiri Iqbal dan berdiri di sampingnya, kemudian aku mengantungi kamera digital milik mbak dini karena khawatir rusak terkena siraman air.
"Ente bener soal Nuzul.."
Iqbal menoleh ke arahku.
"Anak itu emang mengaharap sesuatu yang lebih sejak kejadian di cafe itu..." lanjutku.
Iqbal masih diam.
"Trus dia tanya sebenernya ane sudah ada hubungan dengan siapa..."
"Elu jawab apaan?" tanya Iqbal akhirnya.
"Ane enggak ngaku..."
"Kenapa elu enggak jujur aja sih bilang sama dia? Itu kan sama aja elu masih ngasih harapan" protes Iqbal.
Aku tidak menjawab. Kemudian Iqbal mengajakku naik ke lantai dua. "Di sini basah banget, kita lihat dari atas yuk?" Iqbal memerhatikan kemejanya yang kini mulai kelihatan lembab.
Lantai dua rumah kaca ini terdiri dari ruangan yang lebih luas dengan dinding yang hanya dihiasi oleh beberapa foto anggrek. Di kanan kiri pintu terdapat balkon yang menjorok dengan dikelilingi pagar dari besi, sehingga pengunjung dapat melihat tanaman anggrek dari atas masing-masing ruangan.
Di atas balkon ini rupanya siraman butiran air lebih terasa. Aku bersandar dan melihat ke bawah. Di bawah tidak ada siapapun. Aku tersenyum memikirkan sesuatu hingga Iqbal bertanya. "Kenapa senyum-senyum?"
"Udah pernah ngerasain wet kiss belum?" godaku.
"Wet kiss?" tanya Iqbal.
"Iya... kita ciuman ditengah kabut basah kayak gini... kan wet kiss tuh..." kataku geli.
Iqbal menoleh ke kanan dan ke kiri lalu bertanya padaku, "Di sini?"
Aku mengangguk. Kemudian aku mendekati Iqbal dan mencium bibirnya tepat dibawah siraman butiran butiran air halus. Cukup lama kami berciuman di atas balkon itu sampai terdengar suara benturan di pagar besi balkon. Aku terkejut dan menoleh ke arah pintu dan sekilas kulihat sosok Nuzul dari belakang terburu-buru pergi menuruni tangga.
"Eh... itu Nuzul kan?" tanyaku tak yakin. Aku beranjak hendak pergi menyusulnya, namun Iqbal menahan lenganku. "Jangan dikejar... biarin aja..." katanya.
"Tapi..." kataku bimbang.
"Ngapain elu ngejar dia? ngasih penjelasan? kan yang dia lihat juga udah cukup jelas..." Kata Iqbal.
Aku melepaskan tanganku yang dipegangi oleh Iqbal dan buru-buru pergi menuju pintu.
"Kalo elu masih ngejar dia... kita berdua selesai sampai di sini..." Kata Iqbal tajam.
Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke arahnya.