It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Duh! yang satu, story nya pengen diposting... yang satu lagi bilangnya jangan... NTAR AH!! gue pertimbangkan dulu untung-ruginya... kira-kira bisa nambah saldo di rekening gue apa kagak nih... wkwkwkwkwkwk....
ditunggu...
weww,,,jangan gt donk mah...
pikirin jg perasaan anak2....
masih ga ngerti
linguini
remy
linguini
remy
:shock:
huh?
linguini ---> pake kursi roda berjilbab ? :? :? :?
"satunya lagi" gimana maksud lo....???
Tenang... ane cuma satu orang kok! tapi berkepribadian ganda...
wkwkwkwkwkwk...
HEART STATION
Satu
Kedai Pizza Hut 28 Oktober...
Sebenarnya aku sangat-sangat ingin menolak saat Bang Rey lebih memilih untuk duduk di ruangan area boleh merokok. Saat itu aku sedang berada di restoran Pizza Hut setelah satu hari sebelumnya aku meminta untuk mengatur pertemuan dengannya. Bang Rey menyalakan rokok Marlboro nya, mungkin membunuh waktu sambil menunggu pizza yang kami pesan datang tujuh belas menit kemudian seperti yang dibilang oleh pelayan kedai yang melayani meja kami.
Usia bang Rey sebenarnya hanya terpaut satu tahun lebih tua dariku. Namun perawakannya yang tinggi besar dan rambutnya yang dicepak habis, serta gaya pakaiannya yang sangat formal membuatnya terlihat lebih dewasa dari umurnya. Bang Rey adalah anak komisaris utama perusahaan tempatku dulu bekerja sebelum aku pindah ke Jakarta awal tahun ini. Ayahnya yang mungkin merasa sudah waktunya membiarkan salah satu anaknya mengurus perusahaan, melimpahkan segala kewenangan pada Bang Rey untuk ikut menjalankan perusahaan. Entahlah, tetapi aku tidak merasakan Bang Rey bersungguh-sungguh dalam mengelola perusahaan ayahnya. Dulu sebelum aku memutuskan hengkang dari perusahaan lama, aku sempat mengamati tingkah polah Bang Rey di kantor. Dia hanya datang beberapa kali dalam satu bulan, itu pun hanya memeriksa laporan keuangan seadanya saja dan berbincang-bincang dengan direktur utama perusahaan sekaligus Pamannya sendiri. Aku merasa, jiwanya yang lebih ke arah seni karena Bang Rey ingin sekali menjadi seorang fotografer profesional, tidak sesuai dengan perusahaan keuangan yang di'waris'kan ayahnya.
Walau bagaimanapun, Bang Rey secara legal adalah seorang pimpinan di perusahaan yang memiliki wewenang khusus, oleh sebab itu orang pertama yang kuhubungi untuk membicarakan masalahku adalah dia.
"Yang saya masih belum mengerti Rem, kamu enggak pernah secara jelas ngasih alasan keluar dari perusahaan sama saya dan sama pakcik... euh, maksudnya pak Harlan..." katanya sambil meralat sebutan untuk direktur utama yang juga pamannya kerena dia terbiasa memanggilnya pakcik.
"Iya, saya sudah pernah jelaskan sama Pak Harlan, tapi beliau tidak pernah menyetujui kepindahan saya Bang..." kataku.
"Terus terang Rem, saya mengerti kalau kamu ingin jabatan dan gaji yang lebih tinggi. Kita sama-sama muda dan selalu ingin yang terbaik. Tapi Pak Harlan enggak berpikir begitu..." Bang Rey berkata kemudian mengisap batang rokoknya dan melanjutkan, "...dia hanya berpikir kamu udah diberi beasiswa dari perusahaan untuk melanjutkan S-1 dan berharap kamu bisa mengabdi setidaknya untuk empat tahun ke depan."
Aku menunduk sedikit sambil mendengarkan semua yang dikatakan oleh Bang Rey, baru saja aku hendak mengeluarkan sebuah kalimat, si pelayan cewek cantik itu datang dan menyuguhkan terlebih dahulu satu pitcher minuman leci-lemon sehingga kata-kataku tertahan.
Setelah pelayan itu pergi, barulah aku bisa melanjutkan, "jadi gimana Bang? ada kemungkinan saya bisa kembali lagi kerja di perusahaan? kembali ke Bogor?" tanyaku.
Bang Rey tidak menjawab. Masih sambil mengisap rokoknya dia malah menatap mataku dalam-dalam dengan kedua alisnya yang nyaris bertaut.
Tiba-tiba aku teringat bagaimana diriku sampai tahun lalu di perusahaan lama. Sebagai orang yang bertanggungjawab dengan operasional perusahaan, aku mewajibkan diriku sendiri tiba lebih awal dan pulang paling akhir dari karyawan lain karena maintain komputer sever kantor adalah tanggungjawabku sepenuhnya. Kadangkala tak cukup hanya itu, apabila ada trouble, aku siap bekerja hingga larut. Untunglah aku saat itu masih tinggal di mess kantor yang letaknya tidak seberapa jauh, sehingga aku bisa menyelesaikan tugas harian tanpa terbebani pikiran untuk pulang ke rumah. Bahkan aku bisa seenaknya mandi dan makan terlebih dahulu sebelum kembali ke kantor. Tapi semua itu tidak sehat! aku merasa terlalu menuntut diriku tanpa memedulikan kondisi fisik yang sudah menegurku untuk lebih bersantai. Akhirnya ketika ada tawaran kerja di Jakarta, dengan jabatan dan gaji yang lebih tinggi, aku memutuskan untuk meninggalkan segala rutinitas yang kukerjakan di kantor lama selama lebih dari tujuh tahun dengan segala resiko yang harus aku ambil.
Akhirnya, sepuluh bulan kemudian sejak kepindahanku, aku di sini meminta (kalau tidak mau disebut memohon) agar aku mendapatkan pekerjaan lamaku kembali...
*****
Dua minggu sebelumnya...
Terkena penyakit buntu menulis itu memang tidak menyenangkan. Bayangkan saja, kamu sudah siap dengan apa yang akan kamu tulis seakan-akan semuanya sudah ada di dalam otak kamu untuk ditumpahkan. Namun begitu kamu sudah berada di depan komputer, tiba-tiba semua kosong, blank! konsentrasi buyar dan tak ada satu kalimatpun bisa kamu selesaikan hanya untuk mengungkapkan sebuah ide.
Penyakit ini memang kadang-kadang menyerangku. Terlebih lagi kalau aku sedang dirundung masalah. Akhirnya aku hanya bisa mengetik seadanya, poin-poin yang bisa kutuangkan dalam setiap narasi cerita tidak dapat aku muntahkan seluruhnya sehingga aku merasa tidak puas dengan postingan terakhir ceritaku sendiri. Tapi aku tidak pernah mengubah apapun, karena aku merasa, apa yang kutulis mencerminkan perasaanku saat itu.
Salah satu penyebab buntu menulis adalah karena Iqbal. Suatu pagi di hari kerja dia tiba-tiba melontarkan ide untuk "memutuskan hubungan" denganku. Aku yang sedang membaca novel Ring karangan Koji Suzuki hanya meliriknya sekilas. Memang dari tadi Iqbal kelihatan gelisah dan tak banyak bicara. Matanya kebanyakan lama menatap pemandangan di luar kereta. Tingkahnya pasti akan semakin menyebalkan kalau dia sudah mulai mengunyah permen karetnya sebagai pengganti rokok, namun pagi itu dia tidak melakukannya, entah sengaja atau memang banyak pikiran.Sebenarnya masalah itu memang sudah muncul sejak hari pertama kami bertemu setelah libur lebaran. Saat itu entah kenapa kami seperi kehilangan selera. Awalnya kami menyangka karena kami masih sama-sama keletihan dan belum sempat menyesuaikan diri.
"Begitu aja?" tanyaku sambil terus menatap halaman novel, namun tak ada satu katapun yang masuk ke dalam otak.
Iqbal mengangguk.
Aku tidak tahan karena sudah tidak bisa berkonsentrasi membaca. Kemudian aku menghela nafas dan memasukkan novel itu ke dalam tas.
"Gue yakin bang, ini sih cuma masalah waktu aja." kataku meyakinkan.
"Kok bisa seyakin itu?" tanya Iqbal.
"Kurang pembangkit, itu aja. soalnya kayaknya sejak bulan puasa emang kita terbiasa enggak mengumbar nafsu kali ya? jadinya dingin..." ujarku mencoba mencari penjelasan.
Kemudian kami sepakat untuk mencoba membangkitkan percikan api asmara (halah!) dengan cara saling mengirimkan sms nakal dan sedikit berbau porno dan menahan diri untuk tidak bertemu selama beberapa hari. Cara itu lumayan berhasil, seharian aku bisa menjadi mupeng dan ingin cepat-cepat bertemu Iqbal. Demikian pula dengan Iqbal, dia mengaku menjadi sulit berkonsentrasi kerja akibat sms-sms yang kukirimkan padanya.
Ketika sore hari tiba sepulang kerja, Iqbal menempuh resiko berbohong kepada istrinya dengan alasan yang kurang masuk akal untuk datang ke rumahku. Dalam perjalan ke rumahku, aku meninggalkan motorku di tempat penitipan motor di stasiun dan membonceng pada motor Iqbal. Iqbal memacu motornya dengan kecepatan lebih dari biasanya, sedangkan aku tanpa sungkan memeluk pinggang Iqbal erat-erat sambil sesekali menggelitik perutnya.
Setibanya dirumahku, kami berdua cepat-cepat masuk, Iqbal merangkulku sambil bertanya, "elu beneran mau ngelakuin seperti yang elu kirim di sms?"
"Yang mana nih? perasaan ada tiga..." kataku sambil mencoba mengecup pipinya.
"Mmm.. yang nomor satu." kata Iqbal.
Aku mengangguk-angguk sambil tersenyum nakal lalu berkata, "tiga-tiganya juga boleh... kalo ente sanggup..."
"Beneran?" tanya Iqbal tak percaya.
Aku mengangguk lagi.
"Trus... pas gue ntar 'keluar'... elu juga beneran mau ngelakuin itu?" tanyanya lagi masih mencoba meyakinkan sambil mengetatkan pelukannya.
"Hmm... iya..." kataku sambil menggigit bibirku sendiri masih tersenyum sementara tanganku mengusap-usap punggungya kemudian melanjutkan, "tapi sebelumnya... gue mau ngelakuin...."
Kalimatku langsung terpotong saat Iqbal tiba-tiba menciumku dengan bernafsu dan semakin mengencangkan pelukannya. Kemudian dia langsung menuntunku ke kamar.
*****
Masih dua minggu sebelumnya...
Aku mendengus kesal memerhatikan tanda biru legam tepat di lengan atasku. Saat selesai mandi aku baru memerhatikan dan merasakan dengan jelas rasa sakit yang ditimbulkan dari bilur-bilur bekas benturan akibat aktivitasku semalam bersama Iqbal yang kelewat bersemangat. Semalam benar-benar tidak dirasakan aku membentur apa, tapi yang jelas kini badanku pegal-pegal semua dan selain bilur di lengan atasku, aku menemukannya lagi di kakiku dan ditambah dengan luka gores tepat di siku kananku. Untungnya Iqbal tahu kalau aku tidak suka di "cupang" karena bekasnya akan sangat lama hilang dan aku harus bersusah payah menyembunyikannya.
Aku tidak menyangka kalau efeknya akan seheboh itu untuk Iqbal saat kami berdua memutuskan untuk melakukan flirting seksual melalui SMS. Bahkan efek itu berlanjut saat sudah di kereta pagi itu. Aku mengawasinya sesekali saat aku melanjutkan membaca Novel, dia duduk di sebelahku dengan tangan terlipat di dada sambil tersenyum-senyum sementara mulutnya sibuk mengunyah permen karet.
"Kenapa senyum-senyum? suka ya udah bikin badan gue sakit-sakit?" sindirku tanpa melepas pandangan dari halaman novel.
Iqbal tertawa kecil sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, aku mendecak pura-pura kesal namun akhirnya tidak bisa menyembunyikan senyumanku sendiri.
Ketika kereta sudah berhenti di stasiun kota Iqbal berkata padaku, "gue sekarang pengen banget nyium elu Rem, cuma enggak bisa..."
Aku tersenyum kecil.
"yuk turun!" kata Iqbal sambil menepuk pahaku dua kali lalu bangun dari duduknya. Aku mengikutinya bangun dan berjalan dibelakangnya menuju pintu gerbong sambil tersenyum.
Dalam pikiranku saat itu, aku membandingkan Iqbal dengan performa Mas Ricky malam itu. Lalu aku menarik kesimpulan, 'Mas Ricky? lewat....!'
*****
'Lewat dah!'
23 Oktober...
"Nih!" kata Iqbal sambil menyodorkan sebuah bungkusan plastik kecil berwarna putih dari balik lipatan koran yang dia pegang.
"Apa nih?" tanyaku ragu-ragu menerima bungkusan itu.
"CD yang pengen lu beli waktu itu... baru ketemu." Ujar Iqbal sambil buru-buru membuang muka dan melihat ke sekeliling gerbong seolah-olah perbuatannya memberi sesuatu padaku adalah sebuah kejahatan.
Kemudian aku melihat bungkusan itu. Di depannya tertulis nama sebuah toko musik yang cukup terkenal. Dari dalamnya aku mengeluarkan sebuah kotak CD album Utada Hikaru terbaru: Heart Station.
"Dapat di mana?" tanyaku antusias.
"Waktu hari minggu kemarin, jalan di mal. Penasaran juga kalo enggak ketemu, Rem."
Aku ingat saat sebelum libur lebaran, aku dan Iqbal sama-sama berangkat ke mal untuk mencari baju koko yang sama untuk kami kenakan saat lebaran. Kemudian kami berdua mendatangi sebuah toko musik untuk mencari CD Utada Hikaru tersebut yang aku yakin betul seminggu sebelumnya masih ada satu kopi di toko itu, karena aku melihatnya namun masih berpikir untuk membelinya.
Saat aku tidak menemukan CD itu, seorang karyawatinya aku bikin repot dengan menyuruhnya mencari stok yang lain kalau ada. Ternyata setelah diobrak-abrik, tetap tidak ketemu sampai-sampai Iqbal menjadi sangat kesal. Saat mencari di toko yang lain, ternyata hanya tersedia dalam bentuk kaset. Ternyata diam-diam Iqbal membeli CD Peterpan terbaru yang merupakan their greatest hits album dan memberikannya padaku. Bukannya aku tidak menghargai pemberiannya, hanya saja saat itu aku sedang kesal karena tidak mendapatkan apa yang aku mau sehingga aku agak marah pada Iqbal.
"Sori ya, waktu itu gue malah beliin CD Peterpan..." kata Iqbal.
"Eh, gue yang harus minta maaf lagi, soalnya enggak ngehargain orang yang udah beliin." ujarku sambil meneliti CD itu dengan bersemangat.
"Lagu-lagunya enggak enak!" ucapnya tiba-tiba.
Setelah dia mengatakannya aku baru sadar segel CD itu sudah terbuka dan tak lagi dibungkus plastik.
"Ih! gak sopan! ngasih barang dicobain dulu." kataku.
Iqbal tertawa lalu berkata,"Rem, gue gak ngerti bahasa Jepang, tapi elu beli CD itu gara-gara sering naik kereta ya? heart station?"
Aku tersenyum lebar. "Bukan Bang! lagunya tuh ceritanya tentang stasiun radio... bukan kereta.."
Iqbal manggut-manggut, tapi sepertinya dia memang tidak paham penjelasanku.
"Oiya Rem, pulang kerja jadi kerumah ortu lu?" tanya Iqbal
"Iya... dari stasiun langsung ke rumah ortu bawa motor, soalnya mau dipake sama adik." jawabku.
"Mmm... Jadi hari Jumat-sabtu enggak di rumah?" tanyanya lagi.
Aku nyengir lalu menjawab, "iya.. kenapa emang Bang? masih kepengen ya? sabar yaa..."
Mendengar candaanku, Iqbal menggeleng-geleng kesal.
****
Malamnya aku memutuskan untuk pulang ke rumah orangtuaku. Aku tidak bisa tidur sampai larut malam, Kuaktifkan mode repet all pada CD player di ruang tamu dengan penerangan yang kubiarkan redup dengan hanya menghidupkan lampu meja kecil berbentuk kubus sambil mendengarkan lagu-lagu dalam CD itu. Aku merasa, setiap lagu terasa lebih indah didengar. Apa mungkin karena CD ini pemberian Iqbal sehingga terasa lebih bermakna?
...Can the radio waves of my heart reach you?
Heart Station of the lovers
Tonight, I'm also putting in a request
I love you
Can you hear my voice?
Heart Station at 1 AM
Right now, we are connected by
The secret frequency...
Akhirnya aku terlelap diatas sofa dengan hati sangat gembira hingga keesokan harinya, tanpa aku sadari bahwa beberapa hari lagi aku akan bertemu dengan orang itu... yang akan membuatku mengubah keputusanku...
****
Ckckck... jadi perang batin nih ane...... :roll: :roll: