It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Rasa sakit di dalam hati itu tiba-tiba saja mengilhamiku untuk merubah langkah. Kebetulan aku berada di rumah Atin, aku akan berakting sesuai dengan prasangka Nicky, bahwa Atin adalah pacarku. Ah, aku tersenyum sendiri. Ide cemerlang. The Second Step adalah menguji apakah Nicky cemburu melihat kedekatanku dengan Atin. Jika ya, maka ada harapan bagiku untuk terus melangkah. Cuman bagaimana caranya ya? Aku berfikir mencari saat yang tepat untuk bisa berdua dengan Atin, di depan Nicky tentunya.
Tepuk tangan meriah memenuhi ruangan utama begitu cincin tersematkan dengan pas di jari manis Titis dan pasangannya. Senyum bahagia nampak di wajah kedua sejoli itu. Keduanya sibuk menerima ucapan selamat dan peluk cium dari orang-orang yang berada di sekitarnya. Aku dan Nicky berdiri agak di belakang mengamati kebahagiaan yang terpancar dari keluarga Atin.
Kemudian protokol acara berkata : “Kita doakan agar pertunangan ini bisa berlanjut pada gerbang pernikahan, dan semoga dalam perjalanan menuju pernikahan terus diberi karunia oleh Tuhan berupa bekal-bekal yang diperlukan untuk mengarungi biduk rumah tangga mereka berdua. Namun sebelum kita berlanjut pada acara berikutnya, ada titipan pertanyaan dari beberapa tamu………………………., kok, putri kedua sudah berani maju ke pertunangan, bagaimana dengan putri pertama? Para tamu ini ingin sekali mengetahui keberadaan putri pertama bersama pasangannya, mungkin yang bersangkutan bisa memperkenalkannya kepada seluruh yang hadir pada saat ini.”
Perkataan itu ditimpali oleh teriakan dari beberapa orang di beberapa sudut ruangan. “Teteh......!! Teteh...........!! Teteh……….!!!” sambil diiringi suara tepukan yang berirama.
Semua mata mengarah pada Atin. Dan aku melihat Atin seperti agak salah tingkah menghadapi suasana yang tidak disangka-sangkanya itu. Ia melototkan matanya ke arah protokol, tapi sang protokol pura-pura tidak melihat, malah menyambung ucapan sebelumnya :”Ya rupanya semua sepakat Teteh harus memperkenalkan calonnya kepada kita semua yang hadir disini. Setuju?!!”
“Setujuuu...!!” teriak semua hadirin serempak, terdengar suara tertawa dan cekikikan dari beberapa orang.
Aku sih sudah menduga bahwa Atin tidak akan kehilangan akal. Dia cerdas, berani, tidak mau kalah dan keras kepala. Penasaran juga apa yang akan dilakukan olehnya, sebab aku tahu sejak putus dari Hendro, Atin belum punya gandengan baru.
Aku tidak menyangka sama sekali ketika Atin dengan anggun melangkah ke arah dimana aku dan Nicky berdiri. Dia meraih tanganku, menarikku ke tengah ruangan dan dengan tenang dia berkata : “Perkenalkan, namanya Andi Ibrahim, asli sunda, satu almamater dengan saya, sekarang sementara bekerja di Bogor.”
Bagiku sebenarnya situasi ini menguntungkan untuk menjalankan rencana untuk Nicky. Hanya saja aku tidak siap kalau harus berakting di depan umum, apalagi di depan keluarganya. Aku seperti kerbau dicucuk hidung, menurut saja ketika Atin menarikku ke tengah ruangan. Tidak mau mempermalukan Atin di depan umum, meskipun jengkel, aku paksakan diri untuk tersenyum sambil menganggukkan kepala memberi hormat beberapa kali kepada para tamu yang terus bertepuk tangan antusias. Lalu aku cepat2 menariknya keluar ruangan, khawatir protokol menyuruh kami melakukan hal lain yang bikin aku tambah malu.
Di luar ruangan, karena kesal aku langsung meninggalkannya begitu saja, aku duduk di salah satu kursi taman yang terletak agak jauh dari keramaian. Ternyata Atin mengikuti di belakangku, kemudian dia duduk di hadapanku.
Aku diam memandangnya, Atin juga diam memandangku. Akhirnya karena dia diam terus, terpaksa aku buka percakapan, “Kok, kamu begitu sih, Tin? Itu namanya menjebak aku. Tau begini, aku tadi ga akan kesini.”
Atin diam tidak menjawab. Dibiarkannya suasana menjadi mengambang. Tapi matanya terus menatap kedua mataku, sehingga aku bingung dengan sikapnya itu. Kemudian sambil matanya tidak lepas menatap kedua mataku, dia berkata dengan tenang :
“Di, aku tau kamu belum punya pacar, iya kan? ………….. Jujur aja lah. Kamu boong kan waktu dulu kamu bilang bahwa kamu sudah punya cewek?” Atin bukannya menjawab pertanyaanku, malah balik menginterogasi aku.
“Dari mana kamu tau?” tanyaku kaget.
“Jelas banget bagi aku. Sampe sekarang kamu belum pernah menunjukkan cewek kamu ke aku. Trus, banyak informasi yang aku dapat. Malah beberapa teman dan keluarga kamu justru mengira kita pacaran................, dan kamu membiarkan mereka mengira seperti itu .............. Nah, kenapa ga sekalian aja. Kita kan sudah lama kenal, aku suka kamu dan aku juga tau kamu suka sama aku. Setaun aku menunggu kabar dari kamu, tapi kamu seperti menghilang begitu saja. Apa lagi sih yang jadi pertimbangan?”
Aku benar-benar tidak bisa memberikan jawaban yang logis. Terasa buntu pikiranku. Sehingga aku hanya menunduk saja sambil menatap ujung sepatuku, sementara telingaku terus mendengarkan kalimat-kalimatnya yang seperti pisau yang ditusuk-tusukkan ke dalam hatiku. Kurasakan keringat dingin keluar dari dahiku.
“Ayo dong, Di, jawab....... tapi kalau jawaban kamu karena sudah ada cewek lain, maka aku ga akan percaya.”
Gawat, pikirku. Aku tidak mengira Atin yang cerdas akan menelusuri informasi seperti itu. Bisa-bisa terbongkar rahasiaku. Aku tidak siap untuk memberikan jawaban apapun saat ini. Aku angkat wajahku menatap wajahnya, dan diapun juga menatap wajahku menunggu jawaban dariku.
“Tin...., ada satu hal yang kamu belum tahu tentang aku, dan aku belum bisa menjelaskan itu sekarang. Perlu waktu untukku sampai bisa menjelaskannya pada kamu. Aku mohon kamu mengerti aku ya, Tin.” Akhirnya aku memberikan jawaban yang mengambang, setelah bingung mencari alasan yang masuk akal.
“Kamu menyiksaku.” Katanya muram. Aku mengerti betul perasaannya saat itu. Mungkin dia memendam rindu kepadaku selama ini. Sementara aku sendiri, jangankan memberi kabar kepadanya, memikirkannyapun sama sekali tidak. Sedih rasanya melihat Atin seperti itu.
Dia berdiri perlahan dan aku pun ikut berdiri.
“Kamu benci aku ya, Di?” tanyanya dengan nada lemah. Kulihat di sudut matanya mengambang air mata yang sudah mau jatuh. Cepat-cepat kuraih kepalanya dan kurapatkan di dadaku. Perlakuanku itu ternyata malah membuat isakannya keluar.
“Ssshhh...., dari dulu aku sayang kamu, kamu tau itu.” Aku mengelus-elus rambutnya yang hitam panjang.
“Tapi beri aku waktu untuk bisa menjelaskan semuanya. Aku berterimakasih sekali pada kamu sudah mencintai aku seperti ini. Ingin sekali aku memberikan cinta yang sama untuk kamu........ tapi aku ga bisa, bener-bener ga bisa........... maafin aku ya Tin.” Aku mengecup ubun-ubunnya. Isakannya terdengar tambah jelas.
“Jangan bikin aku sedih dong, Tin. Aku ga pernah lihat kamu nangis selama ini.............., give me your smile, please!!” bujukku.
Isakannya berhenti. “Kamu yang bikin aku sedih..............” katanya sambil mengusap matanya. “Tapi sebenernya aku yang seharusnya minta maaf, Di, sudah bikin kamu jadi ga enak. Tadi itu bukan aku yang merekayasanya, sepupuku itu memang suka usil sama aku. Sempet bingung aku tadi cari solusinya, tapi pas lihat kamu langsung aja aku tarik kamu. Sory ya, Di.” Atin memelukku. Aku lega dengan pernyataannya, meskipun masih ada rasa sedih di hatiku, karena tidak bisa memenuhi harapan orang yang aku sayangi. Aku balas memeluknya dengan erat.
Suara musik mengalun lembut dari dalam ruangan. Tak terasa kami berpelukan sambil mengayunkan badan perlahan mengikuti alunan musik itu. Atin menyandarkan kepalanya di dadaku. Kalau orang melihat apa yang kami lakukan malam itu, pasti akan mengira kami sedang melampiaskan rasa rindu kami, saling mencurahkan perasaan dengan kata-kata dan pelukan mesra.
Ah, Tuhan, seandainya Engkau memberikan aku rasa tertarik secara fisik kepada Atin, sedikiiiiiiit saja. Maka akan kuterima cintanya, dan akan kuberikan cintaku kepadanya semampuku. Tapi Engkau tahu Tuhan, aku tidak memiliki rasa itu. Jika kuterima cintanya, maka itu akan menyakiti hatinya suatu saat nanti.
“Ehem.., ehem...” terdengar suara seorang perempuan mendehem di belakangku. Aku menoleh ke belakang, kulihat Pipin adik Atin yang ketiga berdiri dengan tangan ditangkupkan di depan.
“ Sory nih ganggu………........ Teteh dipanggil Mamih didalam.”
Atin langsung melepaskan diri dari pelukanku dan tanpa komentar terus berjalan dengan anggun menuju ke dalam. Aku tersenyum pada Pipin yang masih berdiri di dekatku.
“Kang, kenalin dong sama temannya, cakep banget sih.” Kata Pipin berbisik. Matanya menunjukkan keinginannya itu.
“Eh….eh….eh….., bisa-bisanya kamu ngelaba ya............ si Wisnu mau dikemanain tuh?” aku tertawa geli. Pipin ini memang adik Atin yang paling centil dan mudah sekali akrab.
“Ah, biar aja. Aku kan cuman mau kenalan..... masa ngga boleh? kan mubazir ada cowok ganteng sendirian nganggur?” katanya.
“Ya udah, aku kenalin, dimana dia ya?”
“Barusan kulihat dia duduk ngelamun di teras depan.” Pipin menjelaskan. Astaga!!! aku lupa Nicky tuh suka ngambek kalau aku tinggalin sendirian. Ah, tapi biar saja, pikirku, ini kan bisa jadi bagian dari rencanaku.
“ Oh, begitu ya? Dia tuh memang pendiam.” Aku bergegas ke teras depan diikuti oleh Pipin. Aku lihat Nicky sedang duduk diam memandang ke arah jalan Tubagus Ismail, entah apa yang sedang dipikirkannya.
“ Nick, sory aku tadi di taman. Ini kenalin, Pipin, adiknya Atin. Pin, ini Nicky teman kerjaku di Bogor.” Mereka saling bersalaman dan mengangguk, Pipin yang biasanya cerewet tiba-tiba jadi bisu. Nicky yang memang dasarnya pendiam, seperti canggung dengan suasana itu. Aku bisa membaca situasi itu. Kuputuskan untuk membiarkan mereka berdua.
“Aku masuk dulu ya, sekalian mau pamit, udah malem nih.” Kataku sambil meninggalkan mereka berdua di teras.
Kuterobos ruangan demi ruangan di rumah besar itu mencari tuan dan nyonya rumah, dan kudapati mereka sedang berfoto-foto dengan pasangan yang bertunangan. Begitu aku masuk ke ruangan itu, ibunya Atin langsung memanggilku, “Andi, sini sekalian kita ambil foto bareng Atin, mumpung masih di Bandung.” Katanya.
Aku melirik Atin, tapi dia sepertinya sengaja menoleh ke arah lain. “Anu, Bu, saya sudah mau pamit pulang.” Jawabku agak gugup.
“Eh, kok manggil bu bu segala. Mamih atuh, supaya enak. Panggil dia Papih juga,” kata ibunya Atin sambil menunjuk suaminya.
Aku serba salah, dan Atin sama sekali ga menolongku menyelamatkan diri dari situasi itu. Dia diam saja sambil menatapku. Titis tertawa geli melihat kecanggunganku. Akhirnya ayah Atin datang menghampiriku dan memeluk bahuku, “Ayo Di, foto-foto sebentar saja bareng kita, kamu kan jarang juga ke Bandung.”
Terpaksa aku berakting seolah-olah sudah menjadi bagian dari keluarga besar Atin. Ga enak banget perasaanku. Sementara Atin tersenyum terus, sepertinya puas bisa melihat posisiku seperti itu.
Jadi kangen ma Bandung neh!!!
Hebat itulah yang bisa aku katakan buat Aa bunny.blue heheheh
hehe..
tp gw ngerti sih klu saat itu Nicky jauh lebih penting n better buat u..hehe..
"Sering-sering kesini Di.” kata ibunya Atin ketika aku dan Nicky berjalan menuju mobil.
Mereka sekeluarga melepas kepergian kami. Kikuk rasanya jadi perhatian semua orang yang ada di situ, termasuk semua tamu yang masih tinggal. Mereka memandangku dengan tatapan penuh senyum. Terutama keluarga Atin, tampak pada tatapan mereka seperti ada sebuah harapan yang aku sendiri merasa tidak sanggup untuk menerjemahkan makna dari harapan itu. Aku merasa seperti seorang pembohong besar, yang telah menipu mereka semua dengan aksi yang sempurna. Aku merasa kakiku tidak menapak ketika berjalan melintasi halaman rumah Atin.
Sedapat mungkin aku menundukkan pandangan, menghindari tatapan-tatapan orang-orang yang terus-menerus melihat kami. Tidak sanggup rasanya aku mengangkat kepalaku untuk menunjukkan wajahku yang palsu, berpura-pura bahagia sementara hatiku berkata lain.
Atin sendiri mengantarku sampai pintu mobil. Dia berbisik di telingaku : “Sory banget, ya, Di..............., nanti aku jelaskan semuanya sama orangtuaku.”
“Janji loh ya, jangan sampai ngga!” kataku sangat perlahan, dengan nada sangat berharap. Atin mengangguk. “Aku menunggu kabarmu dari perkembangan ini.” Sambungku.
Setelah mengucapkan salam pada keluarga yang hangat itu, aku memundurkan mobil ke jalan raya. Kulambaikan tanganku pada Atin yang berdiri di pintu gerbang.
Setelah itu aku tidak ingat persis apa yang terjadi dalam perjalanan pulang. Kepalaku terasa berat, agak shock memikirkan kejadian yang baru saja terjadi di Rumah Atin.Yang kuingat adalah Nicky tidak berkata apa-apa sepanjang perjalanan itu, tapi aku tidak peduli.
Tuhan tidak akan pernah meridoi sebuah rencana makar. Kusadari bahwa memang langkah-langkahku memiliki tujuan yang tidak baik untuk Nicky jika dipandang dari sudut agama. Aku berfikir bahwa situasi kacau terakhir yang kualami malam itu memang sengaja diperhadapkan oleh Tuhan kepadaku. Semuanya terjadi diluar kendaliku, tak pernah kuperhitungkan sebelumnya. Mungkin itu adalah satu bentuk teguran dari Tuhan, sebuah warning buatku untuk tidak melanjutkan rencanaku. Secara tidak sengaja, aku telah menyakiti hati Atin yang telah begitu tulus memberikan cintanya kepadaku. Dan bukan hanya Atin, betapa keluarga Atin akan kecewa, jika mereka tahu nanti bahwa aku tidak bisa memenuhi harapan mereka untuk menjadi bagian dari keluarganya. Dan aku mengutuki diriku sebagai pembohong besar, yang telah menipu sekian banyak orang yang hadir di resepsi itu. Padahal tadinya aku hanya ingin menguji hati Nicky seorang saja. Peristiwa itu bagaikan multiplier effect, hanya karena setitik niat jelek tumbuh di hatiku, tetapi dampak dari niat itu berlapis-lapis, dan semuanya menyulitkanku.
Sehingga malam itu aku duduk merenung di atas sajadah, setelah selesai qiyamullail. Aku memohon ampun kepada Tuhan dalam setiap sujudku yang lama. Enggan rasanya aku bangun dari sujudku yang terakhir, karena perasaan bersalahku yang begitu besar.
Ya Tuhan,
Di malam yang gelap pekat ini aku datang menghadap-Mu
Dengan hati yang letih dan gundah aku bersimpuh di depan-Mu
Dengan rasa sesal yang begitu dalam aku memohon ampunan-Mu
Tuhanku,
Aku sudah terlalu jauh melangkah
Menembus jalan yang tak pernah kurambah
Menjadi seorang pengembara yang salah arah
Tuhanku,
Hampir seperempat abad Engkau telah memberikan umur kepadaku
Dan Engkau telah selamatkan aku pada masa-masa yang lalu
Memberiku kesabaran untuk terus berada di jalan-Mu
Menganugerahkan karunia-Mu yang tak terhitung kepadaku
Tapi saat ini, Ya Tuhanku
Engkau telah mengujiku dengan kesenanganku
Engkau telah dekatkan aku dengan kecintaanku
Kecintaanku yang sesaat menyisihkan Engkau dari hatiku
Melepaskan selimut kesabaran dari hatiku.
Sebenarnya malam ini aku sangat malu ya Tuhanku
Malu menghadapkan mukaku dihadapan-Mu
Hati kecilku merintih memohon kepada-Mu
Sementara nafsuku terus-menerus mendominasiku
Betapa lemah dan tak berdayanya diriku
Ah, Tuhanku
Bimbangnya hatiku
Aku selalu ingin dekat dengan-Mu
Aku tidak ingin Engkau meninggalkanku
Tapi aku juga tak ingin kehilangan kecintaanku.
Maafkan aku ya Tuhanku.
Atas kemunafikanku dihadapan-Mu.
Atas ketidakberdayaanku melawan nafsuku
Air mataku mengalir deras tidak tertahankan, sehingga kemudian isakan keluar disela-sela nafasku yang terasa sesak. Begitu berat kesedihanku, sehingga aku tak mampu menghentikan tangisanku.Berkali-kali kuusapkan tanganku untuk menghapus air mataku, tapi air mata itu seakan tak mau berhenti mengalir. Hidungku tersumbat dan tenggorokanku terasa sakit. Tak pernah aku mengalami kesedihan seperti itu. Malam itu adalah untuk pertama kalinya aku menangis setelah sholat malamku. Rasa letih mendera tubuhku, membuatku luruh bersimpuh di atas sajadah. Dan tertumpahlah air mataku diatasnya.
Rasa sedihku terus bertambah, karena bayangan ibuku tiba-tiba muncul dalam benakku. Ibu yang telah mengantarku dalam didikan agama yang begitu kuat. Ibu yang meskipun keras tapi tetap bersabar atas kenakalan-kenakalanku. Ibu yang telah melepas kepergianku dengan kebanggaan dan harapan besar. Ibu yang selalu bertanya kepadaku minta didoakan apa setiap kali menelepon. Ibu yang pernah mengatakan secara khusus kepadaku, bahwa dia tidak peduli aku akan menjadi apa, yang penting baginya adalah aku selalu berada di atas jalan yang benar.
Ah, maafkan Aa, Mah, putramu ini tidak bisa memenuhi harapan Mamah. Terlalu berat tantangan hidup yang harus Aa hadapi. Dan Aa ga tahu bagaimana cara menghadapi tantangan itu. Betapa inginnya Aa tidur dipangkuanmu, Mah, mengeluhkan persoalan yang menghimpit dada Aa. Menanyakan kepada Mamah bagaimana jalan keluarnya. Tapi jiwa Aa begitu kecil, Mah. Aa ga sanggup mengatakannya langsung didepan Mamah. Aa ga ingin melihat Mamah sedih atau marah.... Maafkan Aa ya, Mah........ Aa sayang Mamah.
Rasa rindu untuk bertemu ibuku tiba-tiba saja memenuhi hatiku. Membuatku tak bisa mengendalikan air mataku yang malah bertambah deras.
Aku terkejut, karena tiba-tiba saja lampu kamar menyala terang. Sebelum sholat memang sengaja aku matikan lampu, karena kulihat Nicky juga tidur dengan nyenyak. (Nicky tidak terbiasa tidur di kamar yang gelap). Tapi rupanya isakanku membuatnya terbangun.
Aku duduk tertunduk bersila di atas sajadah, menyembunyikan wajahku. Namun aku tak sanggup untuk menghilangkan isakanku yang masih tersisa, meski sudah kutangkupkan kedua telapak tanganku untuk menutup hidung dan mulutku. Kurasakan Nicky duduk di belakangku, merangkulkan tangannya ke pinggangku dan menempelkan wajahnya di belakang kepalaku. Nafasnya yang hangat menghembus di kulit leherku.
“Kenapa A?” Suara basnya memecah kesunyian malam. Tercium sedikit bau mulutnya yang kurang segar.
(Rintihanku saat itu tidak begitu persis, sudah dimodifikasi sehari sesudahnya saat aku mengetik diariku di laptop)
Gw mulai mengetik bagian terakhir setelah selesai sholat tarawih. Dan baru selesai tadi selepas shubuh.
Sama dengan Bang Remy, gw juga pengen melewatkan sepuluh malam terakhir untuk tidak pernah alpa mendekatkan diri pada Tuhan.
Yah, karena gw orang kantoran, jadi hanya bisa ke Mesjid malam hari.
Jadi untuk sementara gw stuck dulu diari gw sampai disini, nanti lanjut setelah lebaran.
Dan meskipun lebaran masih sembilan hari lagi. Gw ucapin duluan deh :
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI
Taqobbalallaahi minna wa minkum
shiyamana wa shiyamakum
Minal a'idzin wal fa'idzin
Kullu aamin wa antum bi khoir
MOHON MAAF LAHIR DAN BATIN
regards
~ART~
I'tikaf ya???
kayaknya kita satu kota nih. gw di oil city juga.
di masjid mana i'tikafnya? siapa tau gw bisa ikutan.
kan enak, i'tikaf sambil diskusi tentang masalah sehati.
gw tertarik banget tulisan u. menggambarkan kedalaman pemikiran dan perenungan. padahal masih muda. tulisan yang terakhir mewakili perasaan gw saat bujangan dulu.
1. Ini warung kedua yg maksa gw begadang baca, pdhal semalam gw dah begadang nungguin yayang yg mau dioperasi td pagi..
2. Bandung.. My 2nd city.. Walo gw ngak kul disini, tp 3 thn belakangan gw cinta bgt sama kota ini coz sebagian kisah cintaku jg tjd disini..
3. Nicky.. Gambaran sifatnya koq mirip gw ya..? Introvert n ada pengalaman traumatis masa kecil.. U've got his heart! But carefull, biasanya akan sgt sensitif sama perubahan sikap pasangannya.. So, please jgn sering2 biarkan dia jd 'obat nyamuk' (atau malah sudah..)
4. Atin.. Duh! Knp ya selalu ada cewe kaya gini? (mbak Vire, please comments!). Agresif mengejar2 cowo, andai dia tau cowo itu gay! Manipulatif, walo didasari oleh cinta yg tulus. Fyi, gw jg pnah tjbak dlm situasi yg loe gambarkan dlm scene 'resepsi'.. Rasanya sgt menyebalkan..(mungkin menyebalkan terlalu kasar. Lebih kearah tdk nyaman krn 'dimanfaatkan'.. Sedikit banyak gambaran loe akurat).
5. Mama.. Duh, bunny, loe knp nyinggung2 ini lg.. kata2 loe menggambarkan perasaan gw yg 'ngak akan pernah bisa lg' terungkap ke nyokap.. Orang paling deket di hati gw.. Orang yg ingin ku buat bangga.. Yg permintaan nya sederhana (sebetulnya, jk gw str8), spy dpt menimang cucu.. Tp justru tdk dpt kupenuhi.. Atau gw justru perlu bersyukur karena mama 'ngak perlu menanggung malu di dunia' karena punya anak gay? Love ur mom as much as you can and as long as she were still here with u..
Tidur ah.. Btw, nice story! 2 thumbs up..!