It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“Anda mengatakan memilih warna merah, gambar hati, dan angka 7…. “Kataku dengan gaya pro.
Penonton kelihatan menahan napas.
“Sekarang keluarkan kartunya dan perlihatkan ke penonton terlebih dahulu….. ingat… bukan aku yang menebaknya…”
Orang itu mengeluarkan kartunya dari sakunya dan diperlihatkan ke penonton. Tiba-tiba…
“Haaaahhhh…” terdengar suara riuh penonton yang penasaran. Orang yang memegang kartu itu juga melongo dengan apa yang dilihatnya.
Akupun menunduk memberi hormat mengakhiri atraksiku. Penonton yang terdiri dari anak-anak sampai dewasa itu beranjak meninggalkan ruangan sulap dengan bercakap-cakap penasaran. Tetapi ada seseorang yang nggak beranjak dari situ. Dia hanya memancarkan senyumnya kepadaku. Aku mendekatinya.
“Sori… atraksinya udah selesai… besok aja kembali…”
“Kalo gue bayar pesulapnya… bisa diulang gak atraksinya?” tanyanya.
“Tergantung…” jawabku singkat.
“Tergantung apanya?”
“Yah… tergantung berapa bayarannya, siapa yang meminta, dan apa keuntungannya buat gue?”
“Hmmmm… gimana kalo makan siang bersama sebagai bayarannya?” tawarnya
“Hmmm… kayaknya kurang deh….”
“Nambah…. I buah es krim..” tawarnya lagi
“plus… nonton bioskop…” kataku sambil menatap wajahnya.
Kiven melirikku sambil tersenyum. Menggandeng pundakku.
“Dasar… tukang sulap aneh…” katanya ditelingaku.
Kamipun berjalan menuju café. Perutku udah sebel dengan tingkahku kayaknya dia udah bunyi “Grrrrrr…..” dari tadi. Aku memesan nasi goreng kesukaannku. Kiven memesan gado-gado kesukaannya.
“Eh… mbak… sendoknya kok kurang?” tanyaku pada pelayannya. Diberikannya sendok yang baru.
Kamipun melahap makanan yang dipesan dengan lahap. Tetapi tiba-tiba masuk segerombolan pemuda. Mereka dengan entengnya memesan makanan dengan gaya ugal-ugalan. Duduknya pun tak beraturan. Kiven memandang mereka dengan wajah kurang enak. Aku jadi teringat sesuatu… sesuatu yang berbahaya seperti ini harus aku hindarkan dari Kiven…
“Oh, Tuhan… jangan sampai terjadi..” aku berdo’a dalam hati.
“Psssttt….” Panggilku.
Kiven memandangku. Aku menggeleng melarangnya melihat mereka. Kayaknya Kiven mengerti. Tetapi kembali Kiven terganggu dengan teriakan dan tawa mereka yang memekakkan telinga. Aku gak bisa diam, pikirku.
“Hey…” panggilku ke Kiven.
Aku memegang sendok makanku ke depan wajah Kiven. Kini Kiven beralih memandangku. Aku menggoyang-goyangkan sendokku perlahan. Kini sendok itu perlahan terlihat membengkok dengan sendirinya. Kiven ternganga. Aku melepaskan kembali sendoknya ke piring. Sendok itu telah kembali lurus seperti semula. Aku mengajak Kiven berlalu dari tempat itu setelah membayar makanannya.
“Ahhhhhh…. Leganya..” kataku tanpa sadar.
“Kok lega?” tanya Kiven.
“Nggak apa-apa…” kataku.
“Gue sebel banget sama pemuda-pemuda tadi….” kata Kiven kemudian.
“Udah… gue juga sebel.. tapi mau bikin apa lagi? emang gaya mereka gitu…” kataku menghibur.
Kiven terdiam meresapi perkataanku.
Kami berdua memasuki bioskop. Kiven memang paling suka nonton film horor… Tapi aku tau dia tuh penakut banget kalo ngeliat adegan yang ada hantunya. Makanya waktu aku ngajak dia nonton film horor dia setuju aja. Tetapi saat film diputar..
“Hil… popcornnya mana?” tanya Kiven yang sengaja menghindari adegan yang menegangkan itu. Aku mengulurkan popcorn kearahnya.
“Hil… mana pepsinya?” tanya Kiven lagi saat adegannya menegangkan lagi.
“Ada di tangan kamu, kan?” jawabku.
“Oh, iya….” Jawabnya singkat.
Dasar… pengalih suasana aja.
“Hil… pepsiku abis… minta dong…”
“Lho… abis? Lalu pepsi siapa yang kupegang ini? Pepsi siapa yang lo minum tadi?” tanyaku.
Kulihat Kiven gelisah. Membisikkan sesuatu kepadaku. Hampir tersembur minuman dalam mulutku mendengarnya.
“hahaha…” aku tertawa tertahan.
“jangan ketawa, ah…. Jadi malu…” katanya.
Aku melongok kearah orang yang disebelah Kiven. Kelihatan banget orang itu mencari –cari sesuatu. Kini kulihat Kiven memandangi kearah film yang kini pada adegan hantunya, tapi kali ini dia tidak merasa takut, karena rasa malunya telah mengalahkan rasa takutnya.. Kiven.. Kiven…
duh jd inget pas nntn bioskop jg hahaha... aduh mak mkin seru neh...
“Napa, sih….? Senyum aja dari tadi…” tanyanya pura-pura gak ngerti.
Kulihat dia tersenyum malu. Kejadian tadi masih menggangguku. Kiven meninju lenganku.
“Aduh…” seruku.
“Iya deh… ampun… lagian kan udah telanjur minum… hahaha…”
Aku berjalan menjauh darinya. Kiven mengejarku yang kini menuju ke parkiran.
“Hey… sini lo!!” hardik seseorang.
Kulihat pemuda-pemuda berandalan tadi mendekati Kiven. Seseorang mencengkram lehernya. Oh, Tuhan… apa peristiwa itu harus terjadi lagi? peristiwa yang membuat Kiven masuk rumah sakit selama sebulan? Berikan aku cara, Tuhan… agar bisa mencegahnya…
Aku mendekati mereka.
“Napa sih, kalian?...” aku menarik orang yang mencengkram Kiven dari belakang.
Aku berhasil mengambil sesuatu darinya dengan kecepatan tanganku.
Tapi mereka banyak sekali jumlahnya. Bagaimana ini? Kulihat orang itu kembali mencengkram Kiven setelah tadi sempat kulerai. Pemuda-pemuda yang lain menghalangiku. Kiven berusaha melepaskan cengkraman orang yang berbadan besar itu tapi tidak bisa. Kini orang yang mencengkaram Kiven mencari-cari sesuatu di pinggangnya.
“ Lo nyari ini?” tanyaku sambil memainkan pisau itu…
Aku pernah belajar atraksi pisau dari johny, temanku yang dari sirkus. Aku bisa melayangkan pisau ke udara dan menangkapnya kembali dengan tanganku. Aku bisa memutar-mutar pisau itu diantara jari-jariku. Kini dengan keahlianku itu sedikit membuat mereka ciut. Cengkraman Kiven dilepaskan… tetap saja… jika dikeroyok, aku dan Kiven gak bisa hadapin mereka semuanya… aku harus memikirkan cara lain..
“Lo kira gue takut ama kalian yang banyak jumlahnya? Takut ama pisau kalian ini?” kataku tajam sambil masih bermain-main dengan pisaunya.
Mereka memandangku dengan pandangan ragu. Aku memegang gagang pisau dan ujungnya perlahan kutusukkan ke telapak tanganku. Terlihat kengerian diwajah mereka. Itu belum seberapa…. Aku menarik gagang pisau itu kebawah menyayat perlahan telapak tanganku. Darahku mulai menyembur… Kulihat mereka menjauh perlahan…. Lalu mereka berlalu dengan wajah penuh kengerian..
Aku masih dengan posisi itu…. Tak bisa menggerakkan tanganku sesaat. Akhirnya…. Akhirnya aku bisa menghindarkan Kiven dari malapetaka itu… aku berhasil Kiv…
“Hebat banget atraksinya tadi, Hil…. Lo emang pesulap nomer satu….” Katanya Kiven dengan nada kekaguman.
Aku mengangkat wajahku sambil tersenyum kearahnya. Aku melepaskan pisaunya dan mengambil tisue di saku dan kutempelkan ke telapak tanganku.
“Shh…..”
Aku meringis… sakit banget, Kiv…. Tapi masih bisa kutahan… asal kamu gak apa-apa..
“Hil….”
Kiven memandang tanganku. Memandang wajahku yang kini meringis menahan sakit. Aku menyembunyikan tanganku di belakangku. Kiven menarik tanganku dan membuka tisue yang kututupin ke luka sobekan pisau tadi… kulihat wajah kekagetan dan kekuatiran Kiven.
“Lo Gila, Hil..!!! Kenapa lo lakuin ini….?” Kulihat kemarahan diwajahnya.
“Gak apa-apa, kok….” Kataku.
“Lo lakuin ini untuk ngelindungi gue? Iya, kan?” tanyanya dengan nada yang masih sama.
Aku masih terdiam.
“Bodoh amat lo Hil….” Katanya lagi.
“Iya Kiv, gue emang bodoh…. Maafin gue yah…” kataku dengan nada mengaku.
“emang gak selamanya sulapan itu mesti boongan Kiv… “
Aku kemudian terdiam lagi. Kiven memandangku dengan pandangan penuh arti. Kiven kemudian merengkuh tubuhku…. Tuhan… dia memelukku…. Aku bisa mencium aroma tubuhnya lagi… merasakan lagi kehangatan tubuhnya lagi… ssshhhh…. Sungguh, Demi Tuhan,… aku gak bisa melihatmu terluka….
wah" mantep"........
BRB melotot nungguin lanjutanna :shock: :shock: :shock:
duh mata g da kelilipan neh... ><
brb melotot lg.... ( moga" cpt kluar >< )
:shock: :shock: :shock: :shock:
berasa PREMONITION ...
kenapa aku bikin cerita gak pernah bisa selesai sih T____T
kk lanjutin plsss... nda sabar neh.... :oops: :oops: :oops:
“Hil….” Panggilnya.
“Hm…” jawabku dengan malas sambil menyandar di kursi.
“Kalo gajah tuh.. apanya yang paling besar?” Tanyanya dengan bertubi.
“Kandangnya…”
“Kok Tau…?” tanyanya heran.
“Itu mah… anak kecil juga tau teka tekinya… cari yang lebih sulit…”
Kiven terlihat mikir lagi.
“Kenapa cicak nggak ada alisnya…?”
“Karena… kalo dia punya alis nantinya lebih cakep dari lo…..”
“Kok tau lagi…” katanya.
“Bola apa warnanya hitam?”
“Bolanga…..(belanga)” jawabku dengan cepat.
“Yah tau lagi…”
“Kalo bola warna putih?”
“Yah… bolanga baru…(belanga yg masih baru)”
“Udah ah… lo tau semuanya….” Terdengar nada putus asa Kiven.
Kulihat Kiven menyandar di kursi. Semangatnya kini tidak ada lagi. aku jadi kasihan…
Aku mengambil kertas dan menulis angka “15” tanpa memperlihatkan padanya. Aku menaruhnya di saku celananya. Kiven memandangku dengan tatapan aneh.
“Kiv…. Kalo lo disuruh milih angka 1-10 atau angka 11-20?” tanyaku.
“Hmmm… pasti sulapan lagi nih.. oke, gue milih 1-10…”
“Selain 1-10 kan sisanya 11-20? Kalo disuruh milih lagi angka 11-15 atau 16-20?”
“gue milih 11-15”
“gue bagi lagi 11-13 atau 14-15?”
“Gue milih 11-13”
“Selain 11-13 sisanya ada 14-15 kan? Kalo disuruh milih lagi… 14 atau 15?” tanyaku dengan cepat.
“Gue milih 15…” Kata Kiven.
“Emang lo milih 15…. Itu kan tanggal ulang tahun lo….”
Kiven mengambil kertas di saku celananya. Mulutnya ternganga lagi…. pikirannya melayang… Kiv… hati-hati pada tanggal itu… karena sesuatu akan terjadi… tapi aku gak akan membiarkan hal itu terjadi… gak akan pernah..
Deg*
deg*
hahay*
gag sabar lanjutannya.....
“Iya nek…..” teriak Kiven dan aku hampir bersamaan.
Aku dan Kiven menuju ke pekarangan belakang rumah Nenek Kiven.
“Kesini kalian….. nenek ajarin nanam singkong…”
Kiven memandangku sambil tersenyum.
“Potong batangnya kira-kira sepangjang ini nih…..” kata Nenek Kiven mulai menjelaskan.
Aku sih udah tau nanam singkong. Tapi pura-pura aja memperhatikan nenek menjelaskan.
“Ambil dua batang trus ditanam kayak gini nih….” Kata nenek menjelaskan lagi.
“Ohh… gitu yah nek…” kata Kiven termangut-mangut.
“Kok harus dua batang nek?” tanya Kiven.
Aku kaget. Emang dari dulu kalo aku nanam singkong harus dua batang untuk ditanam tapi tak pernah terbersit pertanyaan kayak itu. Dasar Kiven…
“Seperti manusia juga didunia ini diciptakan berpasangan….. kalo singkong ditanam cuman 1 batang aja… sangat sulit untuk tumbuh…. Ada yang tumbuh sih, tapi singkongnya kecil-kecil dan ada yang gak ada singkongnya…” kata Nenek lagi.
Aku mengerti sekarang. Kiven juga terlihat termangut-mangut.
“Tapi nek… arah batangnya salah tuh… harusnya menghadap keatas kan?” kataku.
Nenek memandangku dengan tajam. Matanya melotot. Berjalan kearah batang-batang singkong yang ditanamnya sejak tadi sambil memperhatikan. Kemudian berjalan lagi kearahku dan Kiven. Nenek menarik telingaku…
“Adadahh…aduduh..… “ teriakku kesakitan.
“Kenapa baru bilang sekarang?” kata nenek sambil menarik telinga Kiven juga.
“Addoohhh… nek…” teriak Kiven.
“cepat kalian cabut lagi tuh batang-batang singkong… lalu tanam lagi terbalik….” Kata nenek dengan wajahnya yang masih terlihat angker.
“Nenek kamu angker… Kiv…” bisikku.
Kiven hanya mengangguk. Dengan cepat aku mencabut dan menanam kembali singkongnya.
“Hildy… darimana kamu belajar nanam Singkong….?” Tanya Nenek.
Akhirnya ketahuan juga… pikirku. Aku dan Kiven mendekati Nenek setelah menanam kembali singkongnya. Aku menutup telingaku diikuti Kiven.
“Aku tinggal di kampung juga Nek… sering nanam singkong… juga sering jualan singkong di pasar…”
Kiven memandangiku. Nenek terlihat termangut-mangut.
“Hebat juga kamu, Kiv… bisa memilih teman sesederhana dan sejujur Hildy… nenek senang..”
“Ah.. nenek…” kataku malu.
“ya udah kalian mandi sana… trus masuk kamar nunggu makan malam…. Jangan sampe keluyuran… kalo nggak mau kujewer lagi…”
“I-iya Nek… “ kata Kiven.
Aku hanya mengangguk. Mengikuti arah Kiven menuju kamar. Aku memandangi Kiven yang kini membuka kaosnya membelakangiku. Oh,… aku merindukan kehangatan tubuhnya… apa dia mengerti juga? Kiven kini membuka celana pendeknya sehingga aku bisa melihatnya hanya dengan celana dalamnya. Kiven yang tak menyadari bahwa aku memandangi keindahan tubuh kekarnya dari belakang akhirnya menanggalkan pakaian yang tersisa di tubuhnya sehingga tak ada lagi sesuatu yang menghalangi pandanganku ke tubuhnya yang tanpa cacat itu. Tetapi Kiven kemudian menutupi tubuhnya dengan handuk dan berbalik menghadapku.
“Hil… mau mandi duluan? Atau aku duluan?” tanya Kiven.
“Mandi bareng aja…” kataku dengan nada bercanda.
Kiven kemudian menarik tanganku. Aku terkesima…. Kok bisa… aku tak bergeming dari tempat tidur. Deg-degan….
“Lho.. katanya mau mandi bareng…. Yuk…” kata Kiven.
Aku menggeleng. Nggak boleh keburu, Hil… ntar Kiven malah lari… batinku. Masih banyak kesempatan…. Selama aku bisa menjaganya…
Lnjtin dunk. . . .