It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
ayo" berjuanh
“Liat aja nanti…” kata Kiven sambil menuju ke samping tempat tidur.
Kiven membaringkan tubuhnya menghadap kearah jendela yang kini terbuka lebar membuat dinginnya angin malam berhembus kedalam kamar. Kiven mengambil bantal yang satunya dan di letakkannya disamping kepalanya. Kiven memandangku.
“Hil… sini” katanya sambil menepuk bantal yang disampingnya.
Aku terbengong. Apa yang ingin dilakukannya? Aku menghampirinya dan membaringkan tubuhku disampingnya menghadap jendela kamar itu. Kiven terlihat meraih saklar lampu kamar dan dimatikannya.
“Lho,… kenapa dimatiin?” tanyaku.
“Sttt.. diam aja… gue mau buat sulapan…” kata Kiven.
Aku tertawa kecil. Namun Kiven diam saja membuatku menghentikan tawaku. Kiven menggenggam tanganku. Aku merasa nyaman dalam genggamannya.
“Tutup mata lo…..” katanya lagi.
Aku memejamkan mataku dengan penuh tanda tanya. Kini hanya terdengar tarikan napas lembut Kiven disampingku dan debaran di dadaku menantikan apa yang akan terjadi.
“Sejak gue kecil, pingin banget bisa terbang kayak superman… kata mama, pernah gue cidera ketika melompat dari jendela saking pingin terbang….. tapi kemudian kakek gue nunjukin ini…. Coba buka mata lo, Hil…”
Aku membuka mataku.
“Ahhh…..” seruku.
Sebuah pemandangan indah terpampang didepanku. Layar raksaksa itu terbentang luas memperlihatkan gugusan bintang-bintang yang bertebaran indah membuatku serasa berada diantara mereka. Aku menggenggam erat tangan Kiven takut terjatuh. Terasa terbang disamping Kiven yang juga sementara meresapi pemandangan indah ini. Aku memalingkan wajahku memandangi Kiven yang begitu begitu tampan terlihat disinari cahaya bintang. Kamulah pesulap sejati, Kiv….. kamulah yang memperlihatkan keajaiban terbesar dalam hidupku.
“Hoy… Hil…” kata Kiven yang membuyarkan lamunanku.
“Eh.. iya…” sahutku.
“Bagus kan sulapan gue?”
Aku mengangguk sambil memendang kembali kearah gugusan bintang-bintang itu. Tapi kenapa dulu nggak pernah kamu lakukan hal ini, Kiv? Kenapa bisa aku melewatkan kejadian indah ini sebelumnya? Aku kembali memalingkan wajahku kearahnya. Deg!! Kiven sedang memandangku. Tubuhnya miring kearahku. Aku nggak bisa memalingkan lagi wajahku menghindarinya. Matanya yang tajam itu memperhatikan aku. Tangannya masih menggenggam tanganku. Kurasakan napasnya berhembus menerpa daguku. Kiven kini menarik bahuku menghadapnya. Aku mengikutinya. Jantungku berdetak tak karuan. Napasku tersendat ketika wajahnya didekatkan kewajahku. Bibirnya yang indah itu kurasakan menyentuh hidungku. Bibirku kini yang bergetar. Kini dengan diiringi harum napasnya aku bisa merasakan bibirnya menutupi bibirku yang merekah basah. Aku merengkuh lehernya. Kiven memelukku erat seakan tak mau melepaskan aku… napasku bertambah sesak.
“Hil…. Gue sayang lo…. Maafin gue…” kata Kiven sesaat yang kemudian melumat bibirku lagi.
“gue juga… Kiv… gue sayang lo juga… maafin gue…” kataku sesaat ketika Kiven melepaskan bibirku.
Kiven menindihku. Kini pandanganku kearah bintang-bintang terhalang oleh tubuhnya yang terhampar diatas tubuhku. Aku memeluknya. Mengelus punggungnya yang padat itu. Kakinya yang melilit diantara kedua kakiku menggelinjang indah ketika aku memasukkan jari-jari tanganku diantara celana pendeknya. Kiven membuka kaosnya kemudian tangannya bergerak membuka kaosku juga. Kini aku bisa merasakan sentuhan kulit tubuhnya dan kehangatannya diatasku. Perutnya yang padat berisi itu bergerak keatas bergesekan dengan perutku.
“Ahhkk… “ aku mendesah.
Kiven terlihat membuka celana pendeknya dengan tergesa. Aku menahan tangannya dan menariknya tangannya kearah samping kiri dan kanan tubuhku. Aku memasukkan kedua telapak tanganku kedalam celana pendeknya. Mengelus dua bongkahan padat berisi itu yang masih terbungkus celana dalam. Aku kemudian mendorong celana pendeknya kebawah dan ku tarik keluar dengan menggunakan jari kakiku. Kini aku kembali memasukkan kedua telapak tanganku kearah bongkahan padat itu kembali. Kali ini tanpa halangan apa-apa. Kiven menggelinjang ketika aku mengelusnya dan bergerak kearah depan tubuhnya. Kiven memundurkan tubuhnya kebelakang menghindari tanganku yang bergerak perlahan itu. Tapi kini aku seakan diberi kesempatan merasakan benda keras dan padat itu dengan kedua tanganku. Terasa juga bulu halus tersentuh tanganku disekitar benda itu.
“Uhhhh…” desahnya.
Aku menurunkan pakaian terakhir yang menutupi tubuhnya dengan tanganku dan dibantu dengan kakiku. Kini benda keras padat itu tanpa halangan menyentuh perutku yang terbuka. Ada denyutan liar menekan selangkanganku. Aku menurunkan celana pendekku dan diikuti celana dalamku. Kembali Kiven melumat bibirku. Aku membalasnya dengan tergesa. Lidahnya mencari-cari lidahku. Kakinya bergerak-gerak mengikuti pinggulnya yang menggesek naik turun membuatku bergetar setiap kali benda yang keras itu dengan kuat mengais-ngais selangkanganku. Napasku memburu begitu juga dengan Kiven. Bintang-bintang itu memandang kearah tubuh kami yang telanjang. Dinginnya angin malam itu tak mampu memisahkan tubuh kami yang mulai menyatu…
“Hil… gue ke tempat kerja lo, yah…” kata Kiven di telpon ketika aku pulang dari kuliah siang itu.
“Oke deh… kutunggu…” kataku ceria.
27 januari… ini hari ulangtahunku… lengkap sudah umurku menjadi 20. Apa Kiven juga mengetahui kalo hari ini ulangtahunku? Pikirku… setahuku… Kiven bakal memberikan hadiah kejutan untukku… aku harus pura-pura tidak tahu…
Aku membungkuk memungut bola yang biasanya lancar tanpa jatuh kumainkan dengan kedua tanganku. Tapi entah kenapa atraksi bola itu selalu tidak berhasil kulakukan hari ini. Anak-anak yang melihatku jadi menertawakanku. Untunglah kostum mickey mouse melindungi wajahku dari kemerahan karena malu…
“Lo knapa sih, Hil…? Kurang sehat ya?” tanya Anto temanku yang menggunakan kostum beruang.
Aku hanya menggeleng pelan. Kenapa Kiven belum datang? Kenapa dia belum membawa hadiah kejutan itu untukku? Apa yang terjadi? Aku mencoba memikirkan kembali kejadian yang lalu. Dan tiba-tiba aku ingat sesuatu….. Kiven akan kesini meski terlambat… tapi dia bakalan sedih dan menyalahkan dirinya sendiri sampai-sampai aku sendiri tak bisa menghiburnya…Ayahnya tertabrak mobil ketika memarkir mobilnya di pinggir jalan di depan kantornya… ayahnya bakalan mengalami koma selama 2 minggu… dan akhirnya harus berada di kursi roda…
Aku jadi gemetaran…Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus membantu ayahnya? Mencegah hal itu terjadi?
“Ya Tuhan….” Aku mendesah.
Aku mengusap peluhku setelah kubuka kostum yang kupakai di ruang ganti. Terdengar bunyi handphoneku.. itu dari Kiven..
“Hay Hil…. Ntar lagi gue nyampe disana… tunggu gue yah….” Katanya dengan ceria.
Aku senang mendengar nada cerianya. Dan aku gak mau nada ceria itu hilang darinya. Aku harus mencegahnya…. Aku gak mau Kiven sedih… walupun sesaat…
Aku berlari keluar dari arena bermain itu dan menuju ke pangkalan ojek yang segera membawaku ke kantor ayahnya Kiven. Ayahnya mengenal aku karena sudah beberapa kali kerumahnya. Mereka begitu ramah kepadaku.
Aku menunggu di depan kantornya. Belum terlihat mobilnya disana. Aku mengusap dadaku yang berdebar kencang sekali…
Dan terlihat mobil ayahnya Kiven berhenti dipinggir jalan itu. Aku berlari menemuinya…
“Siang, Oom….” Sapaku dengan sedikit gugup.
“Siang… eh, nak Hildy…. Kok ada disini?” tanya ayahnya Kiven.
“Eh.. gini Oom… aku lagi nyari rumah dosenku. Katanya disekitar sini deh… tapi aku masih bingung dengan jalan disini…”
Ayah Kiven melangkah kearahku. Melihat alamat ditanganku. Aku berjalan agar supaya diikuti ayahnya.. dan ayahnya mengikutiku.
“Kayaknya disana deh Hil….”
Brakkkk!!!!! terdengar dentuman keras suara tabrakan. Mobil ayah Kiven hancur ditabrak mobil yang melaju dari arah depan.
“Akhhh…. “ aku berteriak mundur. Ayah kiven berlari menjauh.
Benar saja… aku berhasil… aku berhasil menyelamatkan ayahmu, Kiv… kamu gak perlu bersedih…
Aku melihat mobil Kiven di parkir didepan rumah tanteku. Aku tahu dia marah padaku karena aku gak ada ketika dia ke tempat kerjaku. Kulihat dia didalam mobil menatapku tajam. Aku hanya berdiri di samping mobilnya…. Tiba-tiba pintu yang disampingnya terbuka. Aku masuk kedalam… Kiven kulihat hanya memandang lurus kedepan…
“Maafin gue, Kiv…” kataku pelan.
Kiven hanya terdiam.
“kadang… lo bikin gue takut, Hil…” akhirnya terdengar suaranya yang indah itu.
“Lo tuh kupikir adalah seorang malaikat dari langit….. yang dikirimkan Tuhan buat gue….”
Aku jadi terhenyak. Apa ayahnya sudah menceritakan kejadian tadi?
“yang gue takutin…. Suatu saat lo akan kembali ke langit ninggalin gue….” Terdengar suaranya tegetar.
Aku meletakkan tanganku diatas tangannya diatas setir mobil.
“itu cuman kebetulan aja, Kiv….” Kataku.
Kiven memandangku. Pandangan matanya menembus relung hatiku yang paling dalam…
“sesaat yang lalu lo ada di taman… sesaat kemudian lo udah nyelamatin ayahku dari tabrakan…. Itu bukan kebetulan, Hil….”
Aku kini tak bisa membela diri.
“Lo nyelamatin gue juga dari pemuda-pemuda berandalan itu, Hil….”
“Kiven…. Udah gue bilang kalo itu hanya kebetulan aja… kalo lo gak percaya ya udah….” Kataku lagi dengan ketus.
Kini Kiven terdiam. Aku juga tak bicara. Tiba-tiba Kiven memegang tanganku. Mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Tadinya gue bawa es krim segede drum lho…” kata Kiven dengan lucunya.
“Tapi karena udah mencair… jadi udah gak ada lagi..”
Kiven mengeluarkan sebuah cincin. Aku terkaget melihatnya. Kiven memasangkannya dijariku. Oh,…. Kejadian ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Kiven tidak pernah memberikan cincin ini sebelumnya…
“Happy Birthday, Hil….” Katanya dengan lembut sambil mendaratkan ciuman di dahiku.
“Makasih, Kiv…. Makasih…”
Aku memeluknya…
“satu kali lagi bisa kucegah airmata dari matamu, Kiv…. Bisa kucegah kepedihan dari hatimu…. Karna aku udah janji… “ bisikku dalam hati.
lnjtin dunk. . . .
lnjtin dunk. . . .
lnjtin dunk. . . .
I'll wait ur next part. Keep ur ideas to write this nice story. .
Aku menggeleng. Perasaanku nggak enak hari ini… sejak bangun pagi seluruh tubuhku seakan enggan untuk bergerak.. aku nggak tau kenapa..
“Lo sakit ya, Hil….?” Tanya Kiven lagi.
Aku menghadapnya sambil tersenyum. Matanya yang bening membuatku sejuk di hari yang panas itu. Matahari siang itu begitu terik menyinari terminal bus siang itu. Busnya belum ada yang nongol untuk kerumah Neneknya.
“Kita jalan keliling terminal yuk…..” ajak Kiven.
Aku berdiri sambil mengambil tasku. Es krim yang enak itu masih terasa hambar kurasakan. Kiven mengambil topi biru yang dipakainya dan memakaikannya ke kepalaku.
“Lo aja yang pake, Kiv….” Kataku.
“Nggak apa-apa, kok…. Lo pake aja.. kan panas banget..” kata Kiven.
“Ntar lo yang mimisan lagi…” candaku.
“Hahaha… enak aja… mana pernah gue mimisan…” kata Kiven berkilah.
“Katanya… lo sering mimisan waktu SMA…” candaku lagi.
“Eit… jangan salah… itu dulu…tapi, kok tau dari mana lo Hil?” tanya Kiven bingung.
“Pesulap…..” jawabku.
“Itu mah bukan pesulap….. itu namanya peramal….”
“Mama lo yang bilang ke gue….” Kataku mengaku.
“Yahhhhh… mama….” Terlihat wajah merajuk Kiven.
“Copeeeeetttttttt……..!!!!!!!”
terdengar teriakan seseorang dari jauh. Aku menarik Kiven menjauh dari jalanan. Jantungku berdebar aneh. Kulihat orang-orang berlarian menjauh. Aneh,… kenapa mereka nggak menghadang copet itu? Kok malah menjauh, pikirku..
“Ntar Hil…. Copet kok dibiarin…” kata Kiven.
Kulihat Kiven berbalik menghadang kearah pencopet itu.
“Udah nggak usah Kiv…… biarin aja polisi yang….” Kataku terhenti ketika kulihat pencopet yang tangan kirinya memegang tas yang di copetnya dan tangan kanannya memegang sesuatu dibalik jaketnya. Orang-orang berteriak menjauh.
“Kiv… kesini…!!!” teriakku.
Aku menyadari sesuatu. Instingku mengatakan orang itu membawa…Oh tuhan… pantasan orang-orang pada menjauh bukannya menghadang copet itu…
Aku berlari kearah Kiven yang semakin dekat dengan pencopet itu. Dengan gaya hendak menghadang orang itu, Kiven terlihat tegang. Orang itu mengeluarkan sesuatu dari balik jaketnya. Aku berhasil menarik tangan Kiven dengan keras… tetap tubuhku malah limbung kearah depan Kiven.. dan kudengar suara itu…
DOR!!!!!!
Aku dan Kiven tersungkur berpelukan di tanah. Terdengar teriakan dan jeritan dari orang-orang disekitar terminal itu. Aku melihat Kiven yang pucat pasi disampingku. Dia tidak apa-apa… Terima kasih Tuhan,… gumamku. Aku sudah menduga kalo orang tadi membawa senjata yang diselipkan di balik jaketnya..
“Hil…. Lo mimisan….” Kata kiven pelan. Suaranya terputus-putus karena peristiwa tadi yang begitu menakutkan.
Mimisan? Setahuku aku nggak pernah mimisan seumur hidupku. Aku mengusap hidungku… darah kental terlihat di tanganku. Tanganku gemetar…
Lnjut y bang.. Pliss..
-xxx-
“Hil…!!!!” teriakkan keras Kiven kudengar.
Kiven duduk sambil memeluk kepalaku. Kiven mengusap darah yang keluar dari hidung dan mulutku dengan kaosnya berkali-kali. Bibirnya bergerak-gerak tanpa mengeluarkan suara. Aku berusaha bangun tapi tubuhku terasa lemah. Aku menopang tanganku ke tanah untuk berdiri, tapi sia-sia… punggunggku terasa kaku tak bisa kurasakan lagi. Kiven menarik tubuhku terbalik. Orang-orang yang tadinya berkerumun berteriak histeris…
“Panggil ambulance…..!!” teriak seseorang.
Kiven hanya terdiam. Kurasakan pelukannya ke tubuhku semakin kencang dan gemetaran.
“Kiv… gue kena tembakan tadi, ya?” kataku pelan.
Kiven menutup matanya dengan telapak tangan kirinya. Kiven hanya mengangguk. Bahunya bergetar. Aku tau dia menangis…. Akhirnya gue bikin lo nangis Kiv… maafin gue..
“Udah Kiv… jangan gitu…”
“Gue yang bikin lo gini…. gue selalu aja gak pernah dengerin lo, Hil….” Kata Kiven denga suara bergetar.
“Sttt…. Udah… yang penting lo gak apa-apa…” kataku pelan.
“Hil..!!!” bentak Kiven.
“Udah cukup lo lakuin semuanya buat gue…..”
terdengar suara Ambulance yang mendekat. Orang-orang terlihat menjauh.
Kiven menundukkan kepalanya hingga pipinya menyentuh pipiku. Kurasakan dinginnya air bening yang jatuh mengenai pipiku.
“Kalo sampe Tuhan ngambil lo dari gue……. Gak akan pernah gue maafin diri gue…” kata Kiven dengan tegas.
Tubuhku bergetar hebat. Aku tak bisa menahan getaran itu. Pandanganku mulai mengabur…. Bibirku terasa kering… begitu haus…
“Hil…..” teriak Kiven. Kiven menggoyang-goyang tubuhku.
Aku hanya bisa mendengar suaranya. Tubuhku terasa diangkat beberapa pasang tangan.
Aku melihat awan putih berarak begitu indah. Perlahan tubuhku terangkat keatas. Masih kudengar suara Kiven memanggilku. Aku melihat kebawah. Kiven melambai-lambaikan tangannya kearahku. Tuhan…. Aku gak mau pisah ama dia…. Biarkan aku kembali…