Hi gays ... (and girls juga kali yah???)
Baru-baru ini, gua baca salah satu karya sastra klasik “Ramayana”. Wow, indah ternyata ... Walaupun ada adegan perang, tapi ceritanya tetap bikin uplifted dan seru. Sekalian gua ingin mendalami cerita ini, sekalian juga gua share sebagian darinya. Mudah-mudahan menarik dan bermanfaat.
“Ramayana” ditulis oleh pujangga kuno India, Walmiki. Tahunnya tidak diketahui pasti , tapi diperkirakan sekitar 200 – 1500 SM. Dalam versi lengkapnya terdiri dari 7 buku:
- Bala Kanda (pengantar)
- Ayodya Kanda (latar belakang Rama dan Sita hingga mereka terusir)
- Aranya Kanda (dalam pengasingan hingga Sita diculik Rawana)
- Kiskenda Kanda (Rama mencari bantuan untuk membebaskan Sita)
- Sundara Kanda (Hanuman di Alengka)
- Yuda Kanda (serangan Rama ke Alengka hingga kembalinya Sita)
- Uttara Kanda (penutup).
Yang gua tulis di sini adalah “Ramayana” yang diterjemahkan dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Inggris oleh P. Lal dan versi Inggrisnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Djoko Lelono, terbitan Pustaka Jaya.
(yang gua tulis gak sama persis dengan yang di buku ... ada bedanya dikit, tapi isinya tetap dari buku itu dan ... oh yah, latar belakang ceritanya adalah kerajaan Hindu yang punya sistem kasta yang ketat)
BUKU KESATU
BALA KANDA
Di daerah tikungan Sungai Sarayu
Terdapatlah Kerajaan Kosala
Negeri itu makmur, rakyatnya bahagia
Ibukotanya bernama Ayodya, termahsyur di seluruh dunia
Didirikan oleh Manu, salah satu ksatria utama umat manusia
Di tahta Ayodya duduklah Raja Dasarata
Raja yang arif bijaksana, sangat berbakti pada peraturan darma
Selalu berpandangan jauh ke depan, dicintai rakyatnya
Pahlawan di berbagai pertempuran, bersih dan jujur
Para menteri raja yang maha bijaksana ini juga luar biasa
Mereka sangat setia, ahli ilmu jiwa
Terbiasa mengupas persoalan dengan tepat dan cepat
Mereka memerintah dengan penuh kasih dan siasat
Dengan bantuan para menteri, Raja menahan diri
Untuk tidak melakukan sepuluh tindakan kurang baik
Yang terlahir dari hawa nafsu
Berburu, berjudi, tidur di siang hari, memfitnah, bermain wanita
Mabuk, menyanyi, menari, memainkan alat musik, bermalas-malasan
Raja juga menghindari delapan tindakan
Yang terlahir dari amarah
Menjelekkan orang lain, kasar, dengki, iri
Mencari kesalahan orang lain, menaksir kekayaan orang secara tidak adil
Memaki, menggunakan kata-kata kasar
Sayang, raja yang adil dan bijaksana ini tidak mempunyai seorang putra pun
Kemudian terpikirkan olehnya,
“Mengapa tidak kulakukan Persembahan Kuda
Agar aku dikaruniai putra?”
Comments
Untuk memanggil para guru, pendeta serta brahmana
Termasuk Kasapa dan Wasista
Kepada mereka, Dasarata bersabda,
“Sudah bertahun-tahun aku menginginkan putra
Dan keinginanku tak pernah terlaksana
Aku tak bisa lagi berpura-pura bahwa hidupku bahagia
Maka aku memutuskan untuk mengadakan Persembahan Kuda
Seperti yang disebutkan dalam kitab suci kita
Apakah kalian setuju?
Dan kalau ya, bagaimana caranya?”
Wasista dan para brahmana setuju sepenuhnya
“Pemikiran yang bagus!
Pertama-tama, kita pilih tempatnya
Yang paling tepat adalah di tepi Sungai Sarayu.”
Perdana Menteri Sumantra yang juga kusir pribadi Sang Dasarata
Berkata setelah tinggal mereka berdua
“Tuanku, ada cerita yang pernah kudengar
Dan kukira pantas Paduka ketahui
Cerita ini sangat erat kaitannya dengan keluarga Paduka
Serta keturuan Paduka kelak”
“Pendeta suci Sanatkumara adalah yang pertama kali
Menceritakan ini pada kalangan orang suci
Ia meramalkan bahwa Kasapa akan mempunyai seorang putra
Bernama Wibandaka
Wibandaka akan berputrakan Risyaringa
Risyaringa akan dikucilkan dari kehidupan manusia
Tinggal berdua saja bersama ayahnya
Ia harus melakukan brahmacharya ganda:
Mematuhi kata-kata suci ayahnya
Dan melakukan persembahan di depan api suci.”
“Waktu pun berlalu
Suatu ketika karena perbuatan tak senonoh
Sang Raja Romapada di Anga
Negeri itu dilanda bencana kekeringan
Yang menyebabkan bahaya kelaparan
Pada saat bencana sampai pada puncaknya
Sang Raja yang juga sangat menderita
Mengumpulkan para brahmana dan berkata
‘Kalian tahu apa yang telah kulakukan
Kalian paham tata cara kehidupan di dunia ini
Tolonglah aku!
Tunjukkan aku jalan yang benar.’
“Para brahmana yang begitu bijaksana
Dan menguasai isi kitab-kitab Veda berkata,
‘Tuanku, perintahkan agar Risyaringa, putra Wibandaka
Dibawa kemari
Kawinkanlah dia dengan putri tuanku, Dewi Santa.’
(Dewi Santa sebenarnya putri Raja Dasarata
yang diangkat putri oleh Raja Romapada)
‘Tuanku, kami telah menyusun siasat
Untuk memancing Risyaringa kemari
Ini perlu karena Risyaringa tinggal di hutan
Ia tak pernah merasakan kenikmatan badani
Ia tak pernah melihat seorang gadis pun dalam hidupnya
Ia harus dirayu oleh dayang-dayang tercantik dari istana’
‘Raja Romapada bersabda,
‘Lakukanlah siasat kalian itu.’
“Beberapa dayang pilihan dari istana segera dikirim
Ke dekat asrama Risyaringa
Untuk mencoba memikat perhatian pertapa muda itu
Pertapa yang begitu tekun dan patuh bertapa
Dan tak pernah melihat wanita sejak lahir
Bahkan melihat manusia lain selain ayahnya
Belum pernah”
“Risyaringa sangat jarang keluar dari asramanya
Tetapi hari itu ia keluar
Dan dilihatnya tak jauh dari asramanya tinggal
Sekelompok wanita cantik, berpakaian indah
Dan menyanyi merdu.”
“Melihat Risyaringa, mereka mendekat dan berkata,
‘Siapakah engkau? Anak siapa?
Mengapa kau sendirian di hutan?
Apakah kau tersesat?’
“Mereka begitu cantik
Dan Risayaringa belum pernah melihat wanita
Tetapi ada sesuatu pada bentuk tubuh mereka
Yang entah kenapa membuatnya tertarik
Tak terasa ia menjawab:
‘Ayahku Wibandaka
Namaku Risyaringa
Aku sedang bertapa, masuklah ke asramaku
Kalian begitu cantik
Aku ingin memberkati kalian
Dan memberi kalian sajian sekedarnya.’
“Mereka meneriam ajakan itu
Begitu mereka masuk
Risyaringa segera melakukan upacara pemberkatan
‘Ini air suci argya untuk membasuh tangan dan kaki kalian
Dan ini rumput, tunas serta buah-buahan untuk persembahan.’
“Para dayang cantik itu sangat terkesan
Tetapi mereka takut kalau Ayah Risyaringa pulang
Karenanya mereka segera juga berpamitan untuk pulang.
Sebelum pulang mereka berkata
‘Tuan, kami punya beberapa buah lezat untuk Tuan
Harap terima pula persembahan kami.’
Mereka pun memeluk, membelai dan memberi makan
Dengan beberapa buah bundar dan manis
Pendeta muda itu tak pernah merasakan buah seperti itu sebelumnya
Dan berpikir
‘Belum pernah ada pertapa rimba
Menikmati rasa seperti ini.’
Dengan alasan mereka harus melakukan upacara keagamaan
Para dayang itu pun kemudian pergi.”
“Keesokan harinya Risyaringa memberanikan diri
Menemui makhluk-makhluk cantik berpakaian indah-indah
Dan mereka menyambut dia dengan gembira
‘Marilah sahabat, mari masuk ke asrama kami.’
Mereka membujuk dan merayu pertapa muda itu
‘Kami punya akar-akaran dan buah-buahan apa saja
Kami punya banyak permainan untukmu
Ikutlah kami dan akan kami berikan
Berbagai kenikmatan yang takkan pernah ada di sini.’ “
“Kata-kata penuh madu itu
Akhirnya menaklukkan sang brahmana muda
Ia setuju untuk ikut ke asrama mereka
Yang berada di ibukota Raja Romapada
Dayang-dayang pembawa nikmat itu
Membawa sang brahmana suci dengan perahu
Melintasi Sungai Gangga ke Negara Anga.”
“Begitu sang mahatma menginjakkan kaki di bumi Anga
Titik hujan pertama pun turun
Bumi bersuka cita
Sang Raja Anga juga menyaksikan
Betapa hujan sumber kehidupan mulai turun
Bersama datangnya Sang Risyaringa.”
“Sang Raja keluar dari istana menyambut sang brahmana muda
Ia membungkuk begitu rendah hingga menyentuh kaki sang suci
Diletakkan di hadapan Risyaringa persembahan puja berupa buah dan air”
“Diantarnya sang brahmana muda ke dalam istana
Dikawinkanlah dia dengan putrinya, Santa”
Sumantra mengakhiri ceritanya pada sang Dasarata
“Sang Risyaringa hidup bahagia
Dan sangat dihormati di Anga bersama istrinya, Santa
Sang brahmana suci, Sanatkumara, juga meramalkan
Bahwa kelak dari Dasarata
Akan datang seorang raja yang sangat agung dalam hal darma
Lahir dari dinasti Ikswaku
Dan untuk itu akan minta pertolongan pada Romapada.”
Meminta Risyaringa untuk diperkenankan memimpin Persembahan Kuda di Ayodya
“Aku tak punya anak lelaki
Aku ingin minta bantuan suami Santa, Risyaringa,” katanya
Raja Romapada menjawab, “Dengan senang hati!”
Ia berpaling pada Risyaringa dan berkata
“Aku akan sangat gembira sekali
Jika kau dan istrimu, Santa
Ikut sang raja Dasarata ke Ayodya.”
Kedatangan Risyaringa dan istrinya yang cantik
Disambut gembira di istana Ayodya
Sambil menunggu saat yang tepat
Keduanya dimanja bahagia di istana Dasarata
Di suatu usim semi yang indah luar biasa
Raja Dasarata menyentuh kaki Risyaringa dengan kepalanya
Pertapa yang penuh sinar kesucia itu berkata
“Marilah kita menentukan tempat upacara
Yaitu di tepi utara Sungai Sarayu
Lepaskanlah kudanya
Dan kumpulkanlah semua bahan yang diperlukan.”
Dasarata mengikuti semua petunjuk sang pertapa
Dipanggilnya semua brahmana dan para penasehat istana
“Aku telah memutuskan untuk menyelenggarakan Persembahan Kuda
Dengan dipimpin oleh Risyaringa
Aku melakukan itu untuk memenuhi keinginanku
Untuk memperoleh pewaris tahta.”
Mereka menjawab, “Ini adalah laku darma yang terpuji, Tuanku
Tuanku akan memperoleh lebih dari seorang putra
Akan lahir dari Paduka
Empat orang pangeran yang sangat terpuji.”
Tahun berikutnya, tepat di awal musim semi
Dasarata menghadap Wasista
Ia bersembah penuh hormat dan berkata
“Ya, guru yang suci
Engkau selalu melindungiku
Engkau mencintaiku setulus hati
Aku mohon kesediaanmu untuk ikut
Menyelenggarakan upacara persembahan
Seperti yang digariskan kitab suci
Aku mohon segala sesuatu berlangsung sesempurna mungkin
Jangan sampai ada yang kekurangan.”
Wasista menjawab, “ Baiklah. Kehendakmu akan terlaksana.”
Wasista memanggil para tetua dan brahmana berpengalaman
Serta ahli dalam ilmu rancang bangun
Dikumpulkannya para seniman, tukang kayu, ahli perbintangan
Para penyanyi dan penari, ahli matematika, ahli kitab suci
Dan berbagai-bagai ahli lainnya
“Ayo, kita mulai pekerjaan besar ini,” serunya
“Bangunlah gedung
Penuhi dengan berbagai kenyamanan dan makanan yang enak
Yang bisa memuaskan selera para raja dan tamu terhormat
Buat gedung penginapan yang indah
Kandang kuda dan gajah yang luas dan aman
Tempat penginapan untuk para prajurit negara tetangga
Tunjukkan rasa hormat dan keramahtamahan
Sesuai dengan kasta-kasta yang kita hadapi
Jangan ada air muka masam atau marah
Jangan ada yang mempunyai rasa iri
Atau nafsu memiliki barang yang bukan miliknya
Bekerjalah dengan semangat gotong royong
Para ahli, para tukang, seniman dan pekerja kasar
Mari semua bersatu padu menyelesaikan karya raksasa ini.”
Enam pilar besar bilwa
Didirikan enam kadira, enam palasa
Satu slesmataka dan deodar Himalaya
Semuanya berjarak enam kaki antara satu dan lainnya
Dua puluh satu batang pilar berlapis emas
Masing-masing setinggi dua puluh satu kaki
Berkilauan, berhias indah dengan renda warna-warni
Dihias bunga-bunga wangi
Cemerlang bagai tujuh bintang rasi beruang di langit
Ular, burung dan makhluk-makhluk lain
Sesuai dengan petunjuk kitab suci
Diikat pada pilar-pilar tersebut
Ada tiga ratus ekor semuanya
Untuk dijadikan korban persembahan suci
Dan di antara makhluk itu
Tentu yang paling tak ternilai adalah
Kuda Sang Raja Dasarata sendiri
Ratu Kausalya berjalan berputar
Dan mentahbiskan kuda itu
Dengan tiga tebasan pedang pusaka
Putuslah leher sang kuda
Dan demi melaksanakan darma
Sang ratu yang tulus itu
Tidur dengan mayat kuda
Yang dulu biasa lari bagaikan bayu
Kemudian keempat pendeta penuntun upacara
Meminta ketiga istri Dasarata
Kausalya, Sumitra dan Kaikeyi
Untuk mendekat dan membelai jasad kuda itu
Dan Risyaringa dengan penuh pemusatan pikiran
Memasak lemak kuda itu
Dan sang Raja Dasarata
Untuk mencuci segala dosanya
Menghirup semerbak uapnya
Enam belas orang pendeta satu per satu
Melemparkan potongan tubuh sang kuda ke api suci
Dan selesailah
Tiga hari upacara Persembahan Kuda itu
Para pendeta berkata kepada raja
Yang sudah dibersihkan dari dosanya itu
“Tuanku, hanya Tuanku yang dapat melindungi bumi yang luas ini
Kami hanyalah para pengkaji Veda
Hal-hal duniawi tak menarik hati kami
Dan kami tak tahu mengurusnya
Tuanku boleh memberi kami hadiah apa saja
Permata, emas, sapi
Tapi jangan beri kami kekuasaan untuk memerintah bumi.”
Sang raja memberi mereka
Sepuluh ribu ekor sapi, sepuluh guci uang emas
Dan uang perak empat kali lipatnya
Diberikannya semua pada Risyaringa dan Wasista
Yang kemudian membagi-bagikannya kepada yang lebih berhak
Maka selesailah sudah Persembahan Kuda yang begitu sulit
Raja Dasarata berkata kepada Risyaringa
“Wahai pendeta suci
Di tanganmulah terletak kesejahteraan bangsaku.”
Sang brahmana berkata
“Tuanku akan memperoleh empat orang putra
Mereka akan membawa nama keluarga Tuanku ke kejayaan.”
Sang Raja begitu gembira oleh pernyataan itu
Dan menyembahnya dalam-dalam
Menggumamkan mantra-mantra dari Veda
Maka para dewa pun muncul dipimpin oleh Brahma
Saat itu Brahma sedang merenung
“Rawana pernah memohon pada dewata
Agar ia takkan pernah bisa dihancurkan
Oleh gandarwa, dewa, raksasa dan yaksa
Dan permohonan itu telah dikabulkan
Raja angkara murka itu begitu angkuh
Sehingga baginya manusia tak pernah masuk hitungannya
Mungkin inilah cara untuk menghancurkan Rawana!”
Dewa Wisnu muncul
Berpakaian sutra lembut, membawa terompet kerang laut
Membawa cakra dan gada
Bersinar menyilaukan di cahaya matahari
Para dewa memohon padanya
“Wisnu junjungan kami, dengar doa kami
Selamatkan manusia dari kebuasan Rawana!”
Wisnu yang serba tahu itu membalas hormat para dewa dan bertanya
“Bagaimana raja raksasa itu bisa dibunuh?”
Para dewa serentak berkata
“Menitislah menjadi manusia, oh, Dewa Wisnu!
Dan hancurkan Rawana di pertempuran!”
Maka selesailah persembahan Risyaringa
Ia dan Santa diantar sampai batas kota oleh Dasarata
Untuk kembali ke negerinya
(bersambung ... kalo lagi gak males)
and it's really a mesmerizing work of art. And the philosophy behind it is ( well, in my opinion ) similar to the epic poems of ODYSSEY by Homer.
Gw juga sudah nonton play nya di theatre di Broadway ( it was soo..very long, but still an electrifying performance!)
Satunya lagi gw nonton di London berupa wayang kulit, judulnya Ramayana : Malaysian Shadow Puppet. Very good cultural experience.
Mungkin kalau nonton di India or Bali pasti lebih bagus lagi ya.
terusin dunk kayaknya menarik kan dulu dah ada film india yang di dubbing ke bahasa indonesia di awal tahun 1990, kalo mo mengenang nike ardilla kunjungi warung cece di boyzalbum yah
Iyah, ini buku terjemahannya P. Lal yang gua pakai. Gua ingin juga nyari yang versi bahasa Inggrisnya karena yang gua baca versi bahasa Indonesianya. Pasti ada padanan kata-kata yang menarik untuk disimak antara Sansekerta - Inggris - Indonesia.
Dan udah nonton di Broadway??? Wahhh ... Gua yang di candi Prambanan aja belum sempat. Katanya, kalo nonton pas bulan purnama di candi Prambanan ... wah ... kesannya makin gimana gitu ...
Thanks RECTORY ...
OK, masmacho ... ini dilanjutin dikit ...
(sambungan 1)
Enam musim berlalu
Pada bulan keduabelas hari bulan kesembilan dari masa Caitra
Saat bintang Purnawasu sedang di puncaknya
Dan matahari, Mars, Saturnus, Jupiter dan Venus
Masing masing berada di rasi bintang
Aries, Capricorn, Libra, Cancer, Pisces
Dan Jupiter serta bulan
Bersatu di rasi bintang Karka
Istri pertama Dasarata, Kausalya melahirkan Rama
Sang penguasa jagad raya, bintang wangsa Ikswaku
Yang termulia, yang bermata dengan tepi merah
Berlengan panjang, berbibir merah
Dan suara empuk bagaikan genderang besar
Ia berseri menambah keayuan Kausalya
Seperti berserinya Indra mempercantik Dewi Aditi
Istri termuda Dasarata, Kaikeyi, melahirkan Barata
Yang memiliki seperempat keperkasaan Wisnu
Dan seperempat kebijaksanaannya
Istri kedua Dasarata, Sumitra, melahirkan putra kembar
Satrugna dan Laksamana
Keduanya ahli dalam menggunakan senjata
Serta memiliki seperempat keperkasaan Wisnu
Keempat maha putra itu berwajah tampan
Penuh kebijaksanaan dan berseri-seri
Bagaikan bintang-bintang di antariksa
Para gandarwa bernyanyi
Para hapsara menari
Genderang suci berbunyi
Dan bunga-bunga luruh dari langit
Sementara jalan-jalan di ibukota
Penuh seniman dan seniwati
Saat kota berpesta meriah
Semua bahagia semua ceria
Keempat putra itu tumbuh lembut dan rendah hati
Tekun mempelajari kitab-kitab suci
Ahli dalam ulah panah
Sang Dasarata yang penuh darma dan bijaksana
Mulai membicarakan perkawinan mereka
Dengan para tetua dan para menteri
Saat sang Raja merundingkan hal ini
Sang pertapa agung Wiswamitra tiba
Tanpa ada yang menduga dan berkata
“Haturkan pada sang Raja
Bahwa Wiswamitra, putra Gandhi, ada di sini!”
Raja Dasarata bergegas turun dari tahta
Menyambut sang maharesi dan bersembah
“Bagaikan minuman para dewa
Bagai hujan di padang pasir
Bagai lahirnya anak dari istri mulia
Bagi dia yang tanpa putra
Bagai menemukan harta
Yang dikira akan hilang selamanya
Begitulah kedatanganmu, o, sang mahasuci
Kehadiranmu membawa berkat bagiku
Kau telah datang padaku
Dan sempurnalah hidupku!
Kau yang pernah menjadi ksatria
Dan menjadi brahmana karena keteguhan ibadahmu
Kau memberiku kehormatan
Apa yang kau hendaki, o, yang mulia?
Kau bagaikan dewa bagiku
Apa yang bisa kupersembahkan padamu?”
Wiswamitra menjawab
“Tuanku, aku sedang memenuhi kesempurnaan ibadahku
Dan upacaraku ikut dirusak oleh dua orang raksasa
Mereka adalah Marica dan Subahu
Dua orang raksasa sakti
Yang sanggup mengubah bentuk
Menjadi apa saja yang mereka kehendaki
Mereka kuat, mereka kejam
Mereka selalu mengotori meja persembahanku
Dengan bangkai yang berdarah
Aku tak bisa mengutuk mereka
Karena itu akan membuat persembahanku ikut terkutuk
Aku ingin minta pertolongan putramu, Tuanku
Pinjamkanlah padaku Rama
Si pemberani dengan cambang melengkungi kupingnya
Bagaikan sayap gagak
Aku akan melindunginya
Dan ia pasti berhasil membunuh raksasa-raksasa itu
Pinjamkan padaku Rama yang bermata bagaikan teratai
Sepuluh malam saja menjaga persembahanku
Bermurah hatilah, Tuanku
Agar upacaraku bisa terlaksana
Semoga para dewa memberkati Paduka.”
Dasarata gemetar dan hampir saja jatuh pingsan
Dengan memaksa diri ia menyahut
“Ramaku yang bermata bagai teratai
Belum enam belas tahun umurnya
Bagaimana ia bisa berperang melawan raksasa?
Ia masih anak-anak!
Ia belum punya pengalaman dalam pertempuran sebenarnya
Ia belum tahu bagaimana menimbang kekuatan musuh
Paduka tahu, o, pertapa suci
Betapa cerdik licik dan kejamnya raksasa itu
Coba ceritakan
Kuat sekalikah kedua raksasa yang Paduka sebut itu?
Bagaimana kalau aku saja dan pasukanku
Yang menghadapi mereka?”
“Tuanku, sesungguhnya di belakang kedua raksasa itu
Adalah Rawana
Ia keturunan Begawan Pulastya
Satu dari sembilan putra hasil pujaan Brahma
Ia sangat perkasa
Ia putra Wisrawa dan adik tiri Kurewa
Pasukannya sakti dan perkasa
Rawana tak mau ikut campur
Dalam mengganggu upacara kecil
Karena itulah ia hanya mengirimkan
Marica dan Subahu.”
Raja Dasarata pun berkata
“Jika para dewa, gandarwa,yaksa, burung dan binatang melata
Tidak bisa menaklukan Rawana seperti kata Paduka
Bagaimana manusia yang lemah bisa menaklukannya?
Bagaimana aku tega memberikan anakku yang tak punya pengalaman itu?
Apa dayanya melawan raksasa keturunan Sunda dan Upasunda?
Aku terpaksa menolak
Biarlah aku sendiri yang berangkat
Atau keluargaku yang lain
Tetapi jangan anakku.”
Wiswamitra mendengar kekhawatiran ini
Dan amarah pun meluap
“Tuanku melanggar kata-kata Tuanku sendiri!
Tuanku telah berjanji untuk melayani aku!
Apakah begini sikap seorang Ragawa?
Baiklah, aku pulang saja
Kata-kata Tuan tak bernilai sedikitpun
Tak usah dihamburkan lagi
Hiburlah diri Tuan dengan kata-kata itu
Juga seluruh keluarga Tuan!”
Bumi berguncang
Para dewa pun terkejut mendengan amarah Wiswamitra
Wasista yang sabar itu bergegas bersembah pada Dasarata
“Tuanku, Paduka adalah seorang Ikswaku
Paduka adalah penjelmaan darma sendiri
Paduka tak boleh meninggalkan darma Paduka
Paduka telah berjanji, patuhilah janji itu
Biarlah Wiswamitra yang suci membawa Rama
Kalau Wiswamitra mau
Beliau sendiri pun mampu menghancurkan raksasa itu
Tapi beliau ingin membuat nama putra Paduka cemerlang
Karena itulah beliau mengajukan permohonan itu pada Paduka.”
Nasihat Wasista menyadarkan Dasarata
Ia lalu memanggil Rama dan Laksamana
Dipeluknya kedua putra tertuanya itu hangat
Dan diserahkannya pada Wiswamitra
Wiswamitra pun berangkat
Berjalan di depan diikuti Rama dan Laksamana
Must be a MAGNIFICENT experience!! So far I haven't had the luck to see the Ramayana play enacted live in Prambanan. Hopefully in the future I'd have that kind of beautiful experience!
Do you know when the play will be held in Candi Prambanan? Any fixed schedule? Thanks.
gak ada apa-apanya dibanding yang ini: dan dan ini
Itu baru namanya inspirational. Oh.....
Seni indonesia / asia mah, huek cuih, gak ada apa-apanya dibanding contoh2 diatas.
Benar-benar elaborate. Menunjukkan pencapaian artistik yang adiluhung.
Buat putu, thanks infonya. Tarian Timur Tengah juga menarik kok. Cuman, beda aja kali yah. Tarian Timur Tengah itu sifatnya kalo menurut gua lebih kayak line dancingnya Amrik atau poco-poco gitu atau bahkan capoiera, yang sifatnya lebih tarian pergaulan, bukan tarian pertunjukan. Sementara Ramayana itu kan seperti balet, ada cerita selain pertunjukan tari.
(sambungan 2)
Delapanbelas kilometer dari ibukota
Di tepi selatan Sungai Sarayu
Wiswamitra berkata pada Rama
“Minumlah air sungai ini, Anakku
Kita tak punya waktu lagi
Aku akana mengajari kamu dan Laksamana
Mantra Bala dan Atibala
Jika kau ucapkan mantra itu
Kalian tak akan merasakan kelelahan, penyakit ataupun usia tua
Tak akan ada yang menandingin kalian di tiga dunia
Dalam kebijaksanaan, keahlian dan keberuntungan
Kalian tak akan tertandingi!”
Rama dan Laksamana minum air Sarayu
Seperti yang diperintahkan resi agung itu
Dan mereka pun menerima mantra yang dikatakan tadi
Rama semakin berseri dan bersinar cemerlang
Bagaikan matahari musim gugur
Ketiganya tidur di tepi sungai
Kedua pangeran itu tidur beralaskan rumput lembut
Berselimutkan mantra-mantra Wiswamitra
Di malam penuh kedamaian itu
Begitu fajar menyingsing
Kedua bersaudara itu melakukan upacara persembahan
Kemudian melanjutkan perjalan mengikuti Wiswamitra
Menuju Sungai Gangga
Para pertapa di daerah itu mengantarkan mereka
Ke sebuah perahu yang indah
“Cepatlah, naiklah perahu ini
Dan lanjutkan perjalanan suci kalian.”
Wiswamitra dan kedua bersaudara itu
Menghaturkan puja pada mereka dan berangkat
Di tengah sungai
Rama dan Laksamana mendengar
Gelombang berhantam dengan gelombang
Dan ribut sekali
Rama bertanya
“o, Sang Suci, mengapa suaranya ribut sekali?”
Wiswamitra menjawab
“Rama, di Gunung Kailasa adalah Manasa
Danau di mana daya pikir terlahir
Lahir dari rekayasa kaya Sang Brahma
Darinya bersumberlah Serayu
Mengalir melewati Ayodya
Dan di sini bertemu dengan Gangga
Benturan air dari kedua sungai itulah
Yang kini kaudengarkan
Haturkan persembahan di sini, Rama
Dan pujalah sekhusyuk hatimu.”
Kedua bersaudara itu menunduk berdatang sembah
Dan setelah mencapai seberang
Mereka meninggalkan perahu
Dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki
Cepat sekali mereka mencapai hutan rimba belantara
Rama berplaing pada Wiswamitra dan bertanya
“O, Sang Suci
Rimba yang gelap serta seram ini
Di mana cengkerik berisik
Dan binatang buas mengaum beringas
Di mana pemakan bangkai dan burung lain
Menjerit-jerit mengiris langit
Penuh dengan babi hutan, singa, harimau dan gajah
Dan berbagai macam pepohonan
Dhawa, aswakarna, kakuba, bilwa, patala, tindaka, yuyube
Rimba ini begitu mencekam, begitu seram.”
Sang pertapa Wiswamitra menjawab
“Ya, dengarkan anakku
Akan kuceritakan pada kalian tentang rimba ini
Zaman dahulu, ada dua kota di sini
Malada dan Karusa
Dua kota yang kaya dan makmur ciptaan para dewa
Seorang yaksi bernama Tataka lahir di sini
Ia sakti sekali
Dapat mengubah diri menjadi apa saja
Punya kekuatan bagai seribu ekor gajah
Ia kemudian kawin dengan Sunda
Mereka berputra raksasa bernama Marica
Yang bertubuh bagai bukit
Berlengan sangat panjang
Bermulut bagai gua
Tataka juga sangat jahat
Tiap hari, ia selalu mengobrak-abrik Malada dan Karusa
Ia tinggal tak jauh dari tempat ini
Kita harus berhati-hati mulai sekarang
Hari ini engkau harus menghancurkan Tataka dengan tenaga kedua lenganmu
Bebaskan kawasan ini dari Tataka
Itulah perintahku padamu
Selama yaksi ini hidup
Tak akan ada yang berani memasuki hutan ini.”
Rama bertanya lagi
“Yang Mulia, hamba dengar yaksi sebetulnya makhluk lemah
Mengapa yang ini memiliki tenaga seribu ekor gajah?”
Dengan lembut Wiswamitra menjawab
“Begini, Tataka mendapat suatu anugrah
Dahulu, ada yaksa sangat perkasa bernama Suketu
Dia baik hati, tapi tak punya anak
Karenanya iapun bertapa dengan sangat khusyuk
Tapa ini diterima oleh Pitamaha Brahma
Sang Dewa sangat puas dan memberinya anugrah luar biasa
Bukan anak lelaki
Tetapi anak perempuan yang punya kekuatan bagai seribu ekor gajah
Itulah Tataka
Suketu kemudian mengawinkan putrinya yang cantik tiada tara
Dengan Sunda, putra Jamba
Dari pasangan ini, lahirlah Marica
Yang berbadan sebesar bukit itu
Sesungguhnya ia lahir sebagai yaksa
Tetapi karena kutukan Maharesi Agastya
Maka ia menjadi raksasa pemakan daging
Hal ini terjadi karena ketika Agastya mengutuk mati Sunda
Tataka dan putrinya bersumpah akan memakan sang maharesi itu
Agastya melihat keduanya datang menyerbu kemudian menjatuhkan kutukan
‘Jadilah raksasa pemakan daging!’
Kemudian kepada Tataka ia menambahkan
‘Hilanglah semua kecantikanmu!
Jadilah raksasi yang menjijikan!”
Itulah sebabnya kini
Tataka begitu bernafsu menghancurkan semua upacara keagamaan
Di daerah tempat Agastya dulu bertapa
Bunuhlah wanita itu, Rama
Ia sama sekali tak punya darma
Jangan takut
Lupakan semua tata susila melawannya
Adalah tugas utama ksatria untuk melindungi rakyat
Membunuh wanita mungkin berlawanan dengan kata hatimu
Tetapi ingatlah, betapa Indra pun
Pernah membunuh Putri Wirocana, Mantara
Karena ia ingin melahap seluruh dunia
Ingat juga bahwa Wisnu pun
Pernah membunuh istri Brigu, ibu Kawya
Karena ia ingin membunuh Indra
Banyak ksatria suci membunuh wanita yang tak punya darma
Jangan ragu-ragu lagi
Lakukan apa kataku.”
Rama mengangkat busurnya, menggetarkan talinya
Suara getaran tali menggema ke seluruh penjuru dunia
Tataka terpesona dan sangat murka
Bingung dan marah
Tataka menyerbu ke arah suara datang
Rama melihat raksasi wanita
Besar dan menyeramkan
Rama berkata pada Laksamana
“Laksamana, liat betapa menjijikkan rupanya
Orang berhati lemah pasti pingsan melihatnya
Akan kupotong hidung dan telinganya
Memang tidak akan mudah
Ia punya segudang mantra sakti
Tapi aku tak akan membunuhnya
Karena betapapun ia wanita
Aku hanya akan membuatnya tak berdaya
Dan tak mampu berbuat petaka”
Sebelum habis kata-kata Rama
Tataka telah begitu dekat
Dan mengangkat tangan untuk menghantamnya
Wiswamitra cepat melindungi Rama dengan mantranya
“Hun” dan ia berseru, “Jaya Rama!”
Tataka menunjukkan kesaktiannya
Ia menciptakan hujan batu karang
Menghambur ke arah Rama dan Laksamana
Dengan gusar, Rama membuat buyar hujan batu itu
Dan Tataka mengulurkan lengannya
Rama berhasil menebas putus kedua lengan raksasi itu
Saat menggeliat kesakitan
Laksamana memotong hidung dan telinganya
Tataka tak menyerah
Dengan kesaktiannya, ia mengubah diri
Menjadi berbagai makhluk cantik
Untuk meluluhkan hati Rama dan Laksamana
Saat ini pun tak berhasil
Ia membuat dirinya tidak nampak
Sambil terus melemparkan batu pada Rama dan Laksamana
Sesaat membuat kedua kakak beradik ini kebingungan
“Jangan berbelas kasihan lagi, Rama!” Wiswamitra berseru
“Bunuhlah dia, bunuhlah dia sekarang juga
Kalau tidak, mantra saktinya akan membuat dirinya
Dua kali lebih kuat
Sehingga semua usaha kita sia-sia
Lagipula, senja telah tiba
Pada saat senja, raksasa akan makin kuat
Dan akhirnya kebal
O, keturunan Ragu
Jangan uang waktu lagi!”
Rama memililh anak panah khusus
Anak panah yang sangat peka akan suara
Ditembakkannya anak panah itu pada sang raksasi
Tataka mengerahkan segenap kesaktiannya
Mengaum keras
Menyerbu Rama dan Laksamana
Menerjang hujan anak panah itu
Tetapi, sebatang anak panah Rama
Menghunjam tepat di dadanya
Dan ia pun roboh, tewas
Saat itu juga
Indra dan semua para dewa memuji kemenangan Rama
Berseru, “Sadhu! Sadhu! Hebat! Hebat!”
Malam itu mereka beristirahat di rimba
Keesokan harinya Wiswamitra tersenyum memuji Rama
“Aku bahagia mengenalmu Pangeran Perkasa
Semoga hidupmu kelak makmur
Akan kuberikan kepadamu
Senjata-senjata sakti yang sanggup mengalahkan
Dewa, raksasa, gandarwa dan naga
Ini adalah senjata-senjata sakti, Rama
Terimalah!”
Rama menerima senjata-senjata itu
Dan dengan penuh syukur berkata
“Sang Suci Pertapa Teragung
Senjata-senjata ini membuatku tak terkalahkan
Bahkan oleh para dewa sekalipun?
Mohon Paduka sudi mengajariku
Cara menggunakan dan cara memanggil mereka kembali.”
Wiswamitra mengajarkan mantra-mantra
Untuk melepaskan dan memanggil kembali
Senjata-senjata sakti tadi pada kedua bersaudara itu
Namun tak terawat dan ditinggalkan penghuninya
Rama bertanya pada Sang Wiswamitra
“O sumber cahaya,
Mengapa pedepokan indah ini terbengkalai
Dan tak ada yang menempati?
Milik siapakah gerangan?”
Sang pertapa sakti bersuara lembut
Wiswamitra menjawab
“Dengarlah cerita orang suci tiada tara
Yang memiliki pedepokan ini
Dan kemudian mengutuknya
Ini adalah pedepokan milik Resi Gautama
Dewa-dewa pun dulu sering berkunjung kemari
Di sinilah Resi Gautama dan istrinya, Ahalya
Bertapa dengan keras selama bertahun-tahun
Suatu hari saat mengetahui Gautama sedang pergi
Suami Saci, Indra – Sang Mahadewa Bermata Seribu –
Turun ke pedepokan ini
Menyamar sebagai sang Gautama
Dan menemui Ahalya
Ia berkata, ‘Mereka yang mencari kenikmatan
O Sang Rupawan, tak usah menghiraukan masa tiga hari
Setelah saat datang bulan
O Sang Cantik berpinggang ramping
Aku menginginkan dirimu
Aku ingin menikmatimu sekarang juga.’
Ahalya seseungguhnya tahu bahwa
Yang ada di depannya adalah Sang Seribu Mata, Indra
Tetapi wanita ini tergoda oleh keinginannya untuk bisa
Memeluk raja para dewa
Maka ia pun menyerahkan dirinya
Setelah nafsunya terpuaskan
Ia berkata kepada sang raja dewa”
“Ahalya sesungguhnya tahu
Bahwa yang ada di depannya adalah sang seribu mata, Indra
Tetapi wanita ini tergoda oleh keinginan
Untuk bisa memeluk raja para dewa
Maka ia pun menyerahkan dirinya
Setelah nafsunya terpuaskan
Ia berkata kepada sang raja dewa
‘Aku sudah terpuaskan, Tuanku
Cepatlah pergi
Jangan sampai Gautama melihat Paduka!’
Indra tersenyum dan menyahut
‘Duhai wanita berkaki indah
Aku pun merasa sangat puas
Aku akan menyelinap pergi
Tanpa ada yang tahu.’
Setelah menikmati tubuh Ahalya
Indra bergegas keluar gubug ijuk itu
Karena ia sangat takut pada Gautama
Namun, tepat pada saat itu
Muncullah Gautama
Sang Gautama berseri menyilaukan oleh kekuatan tapanya
Saat itu, tak ada makhluk apa pun yang bisa mengalahkannya
Tepergok oleh sang pertapa suci
Yang membawa barang-barang persembahan itu
Indra tertegun dan terdiam malu.”
“Melihat sang seribu mata berdiri
Dengan sikap penuh dosa berpakaian mirip dirinya
Gautama langsung tahu apa yang telah terjadi
Dengan marah ia berkata
‘Sungguh tak bersusila apa yang telah kaulakukan
Muncul di sini menyamar menjadi diriku
Semoga buah zakarmu runtuh
Dan kejantananmu lenyap saat ini juga’
Begitu sang suci mengucapkan kutukannya
Maka buah zakar Indra pun jatuh ke tanah
Setelah mengutuk Indra
Gautama melampiaskan amarahnya pada istrinya
‘Dan kau, kau akan terbaring di pedepokan ini selama seribu tahun
Tanpa makanan, tanpa air, tak tampak oleh makhluk apapun
Sebagai hukuman atas kekeliruanmu
Kelak jika Rama, putra Dasarata menapakkan kaki di hutan ini
Barulah kau akan bebas dari kutukan ini
Kau harus menjamunya dengan tulus
Dan ini akan membersihkan dirimu dari nafsu birahi
Baru setelah itu kau bisa memperoleh bentuk tubuhmu semula.’
Setelah menjatuhkan kutukan mengerikan itu
Gautama meninggalkan pedepokan ini
Pergi ke Himalaya untuk melanjutkan pertapaannya
Di sebuah puncak yang sering dikunjungi kaum Sidda dan Caranna”
“Indra yang kehilangan buah zakarnya
Bergegas menemui para dewa yang dipimpin oleh Agni
‘Aku telah mengganggu tapa sang suci Gautama
Aku berhasil membuatnya marah
Dengan demikian, tapanya gagal
Ini kulakukan demi para dewa
Tetapi sekarang aku kehilangan kejantananku
Dan dia pun mengutuk istrinya, Ahalya
O para dewa
Telah kubantu kalian menggagalkan tapa Gautama
Sekarang bantulah aku memperoleh kejantananku kembali!’
Para dewa iba juga pada Indra
Dengan dipimpin oleh Agni
Mereka menghadap sukma-sukma para kakek moyang semua dewa
Agni berkata
‘Indra kehilangan buah zakarnya
O Pitri, di sin ada seekor domba jantan
Pindahkan zakarnya pada Indra
Domba yang terkebiri itu akan memberimu kesukaan
Mulai saat ini, kalian akan memberi hadiah
Kepada manusia yang mempersembahkan domba terkebiri.’
Para pitri menyetujui permintaan Agni
Mereka memotong kemaluan domba jantan
Dan memasangnya pada tubuh Indra
Dan begitulah, Rama
Sebagai bukti keperkasaan tapa Gautama
Indra memiliki kemaluan domba jantan.”
“Inilah pedepokan milik Gautama itu
Masuklah, Rama dan bebaskan sang maha cantik
Yang bagaikan bidadari, Ahalya.”
Dengan dituntun Wiswamitra
Rama dan Laksamana memasuki pedepokan tersebut
Mereka melihat Ahalya dengan kecantikan
Yang begitu bersinar akibat tapanya
Yang sebelum saat itu
Tak nampak oleh siapapun
Dikutuk oleh Gautama
Ia jadi tawanan mantra sakti
Yang tercipta oleh Sang Pencipta
Bagai lidah api tersembunyikan asap
Bagai bulan tercadarkan awan
Bagai sinar matahari berkedip di sungai
Dan kini ia tampil sempurna
Kembali oleh kedatangan Rama
(bersambung lagi nanti-nanti ...)
Ke arah timur laut sampai mereka tiba
Di tempat pemujaan Raja Janaka
Melihat ini, Rama sangat terpesona
“Betapa agungnya!
Ribuan brahmana dari segala penjuru dunia
Semua menguasai Veda
Ratusan pedati pembawa berbagai barang keperluan
Serta barang-barang untuk kurban
Mari kita istirahat dulu, sang suci
Biar kunikmati semua pemandangan ini.”
Raja Janaka menerima mereka dengan penuh hormat
Sang raja merapatkan tangan dalam bentuk sembah
Dan berkata kepada Wiswamitra
“Tuanku yang suci
Mohon sudi duduk dengan para orang suci
Yang hadir di sini.”
Menjawab permintaan sang raja
Wiswamitra memberi keterangan tentang siapa
Kedua orang pemuda yang dibawanya
Bahwa mereka putra raja Dasarata
Yang melakukan perjalanan yang sangat melelahkan
Dan penuh tantangan
Tinggal di pedepokan Sidda
Menghancurkan raksasa-raksasa perusak
Mengembalikan bentuk asli Ahalya
Dan berkunjung ke Mitila
Untuk melihat busur agung yang terkenal itu
Seusia bercerita
Sang maha pertapa itu kemudian tak berucap lagi
Di antara para hadirin adalah Satananda
Putra tertua Gautama
Yang sangat gembira mendengar kisah perjalanan Rama
“Diberkatilah kiranya kau
Manusia terbaik di dunia!”
Katanya pada Rama
“Sungguh beruntung kami dapat bersama Paduka
Diiringi oleh Wiswamitra, putra sang agung Kusika
Mari kuceritakan padamu tentang Wiswamitra.”
Kemudian beliau bertapa selama seribu tahun
Para dewa sangat terkesan oleh tapanya
Dan berniat memberinya anugrah
Sang Brahma yang luar biasa cemerlang memujinya
‘Semoga kau selalu penuh anugrah!
Semoga kau menjadi resi karena kekuatan tapamu.’
Seusai mengatakan itu
Sang Brahma kembali ke khayangan
Wiswamitra melanjutkan tapanya
Dengan lebih khusyuk lagi
Waktu berlalu dan suatu hari
Bidadari paling canti di kahyangan, Menaka
Mandi di danau Puskara
Wiswamitra melihat sang bidadari ini
Yang kecantikannya begitu menggoda
Bagaikan kilatan petir di antara gumpalan mega hitam
Dengan panah asmara tertancap di dadanya
Wiswamitra pun berkata pada Menaka
‘Selamat datang di pedepokanku, o Apsara
Cintailah aku karena aku sangat mencintaimu.’
Menaka yang cantik jelita itu tinggal di pedepokan Wiswamitra
Keberadaannya di sana sangat mengganggu
Kekuatan tapa sang Wiswamitra
Lima tahun berlalu
Dan lima tahun lagi
Menaka sangat bahagia tinggal di pedepokan Wiswamitra.”
“Tetapi sang maharesi Wiswamitra kian hari kian gelisah
Khawatir dan malu akan hubungannya dengan Menaka
Terus-menerus menggerogoti kekhusyuka tapanya
Setelah sepuluh tahun
Ia sadar bahwa ini adalah siasat para dewa
Untuk menggagalkan kekuatan luar biasa
Yang didapatnya dari bertapa
Ia berpikir, ‘Sepuluh tahun
Sepuluh tahun lewat bagaikan sehari dan semalam saja
Aku menjadi budak hawa nafsuku
Tapaku hancur karenanya.’
Di depannya, Menaka gemetar ketakutan
Dengan tangan tertangkup dalam posisi menyembah
Wiswamitra dengan lembut tapi tegas memintanya pergi
Kembali ke khayangan”
“Wiswamitra memutuskan untuk bertapa lebih keras
Menyucikan dirinya dengan jalan menguasai segala nafsu
Ia pergi ke tepi Sungai Kausiki
Dan melakukan pertapaan yang luar biasa
Menyiksa diri selama seribu tahun
Ini membuat para dewa gempar
Mereka menghadap Sang Brahma, pencipta alam semesta
Mereka memohon, ‘Berikan gelar maharesi pada Wiswamitra!
Wiswamitra perkasa dalam segala ulah tapa
Berdiri sendiri, tangan teracung ke atas
Hidup hanya dengan udara saja selama seribu tahun
Di musim panas ia dikerumuni oleh panas
Dari empat penjuru dunia dan kelima matahari
Di musim dingin ia berendam di air
Sementara hujan mengguyur kepalanya siang dan malam
Ketekunannya kembali menggemparkan para dewa.’
Indra segera memanggil Ramba, seorang apsara
‘Ramba, bantulah para dewa
Hidupkan hawa nafsu dalam diri Wiswamitra
Batalkan tapanya
Tugas mulia ini rasanya hanya kau yang bisa’
Ramba gemetar ketakutan menjawab
‘O raja para dewa, ampunilah hamba
Hamba takut, kutukannya maha hebat
Ampunilah hamba, Tuanku!’
Indra melihat bidadarinya gemetar ketakutan
Kemudian menghiburnya
‘Jangan takut Ramba, kau akan berhasil
Lakukan seperi kataku
Aku akan menjelma menjadi burung bersuara merdu
Aku akan menemanimu saat bunga-bunga mekar
Di musim semi dan saat cinta melanda dunia
Kau begitu menggoda
Tak mungkin Wiswamitra sanggup menolakmu.’
Akhirnya Ramba setuju.”
“Apsara dengan kecantikannya yang luar biasa
Kemudian mendatangi Wiswamitra
Sang pertapa terpukau oleh lagu merdu kukila, jelmaan Indra
Ia terpesona oleh kecantikan sang apsara
Namun kecurigaan muncul di pikirannya
Karena nyanyian burung itu terlalu merdu
Dan wanita itu terlalu cantik
‘Pasti ini siasat Indra lagi,’ pikirnya
Dan dengan murka, ia mengutuk Ramba
‘Ramba, kau tahu aku sedang melawan nafsu dan amarah
Tapi berani-beraninya kau merayuku
Jadilah batu untuk seribu tahun, perempuan tolol!
Sampai sang brahmana Wasista membebaskanmu dari hukuman ini!’
Saat itu juga Wiswamitra menyesali kata-katanya
Ia sadar sekali lagi rasa marah menghapuskan anugrah tapanya selama ini
Ramba menjelma menjadi batu
Sementara Indra terbang melarikan diri
Wiswamitra kemudian berikrar
‘Tidak lagi!
Tidak lagi aku kan kehilangan kendali
Tidak lagi kan kuucapkan kata-kata murka
Aku kan mengikat diri dan menaklukkan diriku
Aku kan mengendalikan nafasku untuk ratusan tahun
Aku akan jadi brahmana
Aku takkan bernafas
Aku takkan makan
Aku akan teguh berdiri
Aku akan teguh
Aku tak mau kakiku runtuh!’ “