It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
~~~~~~
Sambil turun menuju parkiran, aku mencoba menghubungi Anggri. Dia kenal Rio, meskipun tidak seakrab aku. Dia tahu bagaimana persahabatanku dgn Rio dulu, bagaimana aku menerima kekurangannya, dan bagaimana dia mencoba menjerumuskanku ke jalan yg sama dengannya. Dia menerimaku tanpa peduli mungkin saja aku telah sedikit terkontaminasi pengaruh Rio.
"Halo...," dia menjawab panggilanku.
"Menurutmu, lebih baik aku lanjut atau stop di sini?" tanyaku to the point. Anggri tahu aku sedang menguntit Rio, dan aku yakin dia tau apa maksudku. Anggri termenung agak lama. Kemudian terdengar suaranya menghela nafas.
"Secara logika, apa yg kamu lakukan salah. Kamu sendiri yg memutuskan pertemanan dgn dia. Dan sekarang apa yg kamu lakukan? Ingin tahu urusan dia? Kamu mau ikut campur dgn jalan hidup dia? Untuk apa? Memangnya apa yg akan kamu lakukan dgn kebenaran itu? Kamu mau tiba-tiba datang kembali dan bilang 'Yo yg kamu lakukan sekarang tu gak bener', gitu? Kamu yakin dia bakal dengerin nasehat kamu?"
Aku termenung, bingung dgn semua pertanyaan Anggri. Bingung karena tidak tahu harus menjawab apa. Semua pertanyaan Anggri itu memang layak ditujukan untukku. Dan sayangnya aku tidak punya jawaban yg tepat utk semua pertanyaan itu.
"Itu kalau dari sudut pandangku ya. Kalau dari sudut pandangmu... Ya, dia sahabatmu. Dulu ataupun sekarang. Mungkin cuma kamu yg kenal betul seluk beluk dia. Meskipun apa yg kamu lakukan saat ini diluar logika orang-orang, kamu punya hak utk melewati batas logika orang lain. Yg penting, apapun keputusanmu nantinya, aku sih dukung!"
"I love you," ungkapku langsung. Dia tertawa lepas.
"Aku emang punya sejuta alasan untuk membuat orang cinta padaku!"
"Sayang..."
"Ya?"
"Maaf." kudengar Anggri menghela nafas lagi.
"Gak papa."
tak kusadari aku sudah sampai di samping motorku. Mungkin Anggri sadar kalau aku sudah tidak berjalan lagi.
"Terus gimana ceritanya, sekarang Rio dimana?" Anggri bertanya lagi.
"I dunno. Kayaknya cabut ama pelanggannya. Aku nggak mau ribet-ribet nyari yg mana mobilnya. Jadi mending aku pulang aja."
"Yakin?"
"Iya"
"Ya udah, ati-ati ya!"
"Oke!"
Aku mematikan panggilan telepon. Ya mending aku pulang saja. Aku capek. Padahal cuma jalan-jalan. Kepalaku sedikit nyut-nyutan, mungkin masuk angin. Nggak papa lah, sampe rumah mau langsung istirahat.
~~~~~~
Sambil turun menuju parkiran, aku mencoba menghubungi Anggri. Dia kenal Rio, meskipun tidak seakrab aku. Dia tahu bagaimana persahabatanku dgn Rio dulu, bagaimana aku menerima kekurangannya, dan bagaimana dia mencoba menjerumuskanku ke jalan yg sama dengannya. Dia menerimaku tanpa peduli mungkin saja aku telah sedikit terkontaminasi pengaruh Rio.
"Halo...," dia menjawab panggilanku.
"Menurutmu, lebih baik aku lanjut atau stop di sini?" tanyaku to the point. Anggri tahu aku sedang menguntit Rio, dan aku yakin dia tau apa maksudku. Anggri termenung agak lama. Kemudian terdengar suaranya menghela nafas.
"Secara logika, apa yg kamu lakukan salah. Kamu sendiri yg memutuskan pertemanan dgn dia. Dan sekarang apa yg kamu lakukan? Ingin tahu urusan dia? Kamu mau ikut campur dgn jalan hidup dia? Untuk apa? Memangnya apa yg akan kamu lakukan dgn kebenaran itu? Kamu mau tiba-tiba datang kembali dan bilang 'Yo yg kamu lakukan sekarang tu gak bener', gitu? Kamu yakin dia bakal dengerin nasehat kamu?"
Aku termenung, bingung dgn semua pertanyaan Anggri. Bingung karena tidak tahu harus menjawab apa. Semua pertanyaan Anggri itu memang layak ditujukan untukku. Dan sayangnya aku tidak punya jawaban yg tepat utk semua pertanyaan itu.
"Itu kalau dari sudut pandangku ya. Kalau dari sudut pandangmu... Ya, dia sahabatmu. Dulu ataupun sekarang. Mungkin cuma kamu yg kenal betul seluk beluk dia. Meskipun apa yg kamu lakukan saat ini diluar logika orang-orang, kamu punya hak utk melewati batas logika orang lain. Yg penting, apapun keputusanmu nantinya, aku sih dukung!"
"I love you," ungkapku langsung. Dia tertawa lepas.
"Aku emang punya sejuta alasan untuk membuat orang cinta padaku!"
"Sayang..."
"Ya?"
"Maaf." kudengar Anggri menghela nafas lagi.
"Gak papa."
tak kusadari aku sudah sampai di samping motorku. Mungkin Anggri sadar kalau aku sudah tidak berjalan lagi.
"Terus gimana ceritanya, sekarang Rio dimana?" Anggri bertanya lagi.
"I dunno. Kayaknya cabut ama pelanggannya. Aku nggak mau ribet-ribet nyari yg mana mobilnya. Jadi mending aku pulang aja."
"Yakin?"
"Iya"
"Ya udah, ati-ati ya!"
"Oke!"
Aku mematikan panggilan telepon. Ya mending aku pulang saja. Aku capek. Padahal cuma jalan-jalan. Kepalaku sedikit nyut-nyutan, mungkin masuk angin. Nggak papa lah, sampe rumah mau langsung istirahat.
@Riyand sudah diupdate
@KangBajay dikit-dikit gitu, sampe senewen lho mikirin lanjutannya
@lulu_75 kenapa nggak ada yg penasaran ama Arka sih.
Dari sekolahnya Anggri, aku meluncur ke sebuah kafe. Kedai es krim. Aku menemukan kedai ini waktu dalam misi mata-mata kemarin. Anggri tersenyum begitu aku menurunkannya di sini. Sedari tadi di jalan dia terus bertanya mau dibawa kemana. Tempat ini memang sedikit jauh, dan biasanya aku selalu bilang dulu kalau mau main jauh. Nggak pake ba-bi-bu aku dan Anggri memasuki gerbang kayu di depan kedai. Tempatnya cukup luas. Di depan cafe, ada bangku-bangku dan sofa untuk pengunjung, pas bgt buat yg bukber. Di dalam bangku standart, dgn meja bulat. Agak belakang lagi, ada semacam bale-bale, ada beberapa. Tempatnya pun outdoor, jadi nggak mungkin kepanasan. Begitu melihat di belakang ada spot nyaman, Anggri segera menyeretku. Dan seperti biasa, kami menarik perhatian orang. Dua remaja, masih pakai seragam sekolah, dgn antusias memilih bale-bale yg ada di pojokan dari sekian banyak pilihan, pasti ujung-ujungnya mesum. Tapi terserah lah apa kata orang, toh aku dan Anggri tidak berbuat yg aneh-aneh. Aku terlalu menyayangi dia, dan aku gak mau menghancurkan masa depannya. Meskipun aku berharap dialah yg akan mendampingiku hingga nanti, tapi jodoh siapa yg tau?
"Sayang, pesenin gih ke kasir," pintaku sambil langsung duduk selonjoran. Anggri batal duduk, mulutnya cemberut.
"Harusnya lu..."
"Udah... Kamu aja, biar kamu bisa milih sendiri yg kamu mau."
"Trus, lu mau apa?"
"Apa aja, yg penting es krim. Sama cemilan apa kek. Kamu laper? Mau makan berat?"
"Nggak ah, yg ringan aja. Tadi di rumah masak enak."
"Apaan?"
"Bekicot masak kecap. Enak. Pedes!" jawab Anggri antusias. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Heran dgn seleranya yg aneh.
"Ya udah, kamu pesen apa aja terserah kamu. Nih...," aku mengeluarkan 2 lembar uang seratusribuan padanya.
"Banyak amat? Harganya di sini mahal-mahal?"
"Nggak tau, udah deh buruan. Panas nih..."
"Iya-iya" Begitu Anggri pergi, aku langsung merebahkan badan. Nggak peduli meskipun pengunjung lagi banyak. Tempatnya nyaman, santai, dan fresh. Ada begitu banyak pot bunga warna-warni di sini, jadi bikin adem.
@Yirly sudah diupdate
@lulu_75 Arka nggak tau ya, si Rio gigolo beneran atau bukan. Mood dia masih melayang-layang utk mata-matain Rio lagi
~~~
Aku tidak tahu harus bilang apa. Ini benar-benar momen yg pas yg kucari-cari dari kemarin. Dan entah apa yg sebenarnya Tuhan inginkan, kenapa Dia meletakkanku di posisi ini tepat di saat aku berniat tidak melanjutkan misi konyolku. Ini semua gara-gara Reza. Kuda Nil itu secara tdk sengaja membuatku berada di tempat ini. Well, sebenarnya Reza tidak tau apa-apa. Aku saja yg ingin mencari kambing hitam.
Begini ceritanya, aku main dengan Reza tadi. Ketika perjalanan pulang aku mampir di sebuah pom bensin. Karena antreannya cukup panjang, jadi aku memutuskan mampir dulu ke toilet pom. Kebetulan juga sudah ada mobil yg menepi di dekat toilet. Parkirnya nggak begitu dekat, sekitar 8 meter-an. Waktu aku mengintip ke toilet, banyak yg sudah mengantre di depan kedua bilik toilet. Sekilas lihat sih segerombolan cowok-cowok kuliahan, eh tapi ada juga yg pakai pakaian kayak karyawan tuh. Penumpang mobil yg tadi kayaknya. Alhasil aku cuma berdiri menunggu di depan pintu keluar sambil sok mainan HP. Awalnya aku tdk peduli dgn ocehan gerombolan di dalam, tapi begitu salah satu dari mereka mengucapkan 'brondong bayaran', aku langsung fokus nguping pembicaraan mereka.
"Menurut lo gimana tadi tu bocah?"
"Sip lah servisnya... untuk ukuran brondong SMA!"
"Sekolah mana sih tu anak?"
"Kalo gak salah adek kelasnya Dewo tuh!"
"Eh, nggak kenal ya gue! Lagian gue udah lulus dari sana 7th yg lalu!"
"Tetep aja dia adek kelas lo!"
"Asem!"
"Sok-sokan misuh-misuh lu, padahal tadi yg maennya semangat banget..."
"Hahaha... Iya! Rio sayang, Rio sayang... I'm coming! Wahahaha!"
"Njiirr! Vangke lu pada!"
Asli aku shock. Barusan mereka bilang apa? Rio? Rio yg itu bukan?
@lulu_75 Mungkin nggak siap menerima kenyataan kalo si Rio jadi 'kucing' beneran?