It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
wah... jangan panggil mas... masih 19th nih.... aku juga suka bgt you are my rainbow bagus bgt tata bahasanya, jd minder aku
makasih :">
siip
oke... tengkyu
oops sorry
(wuiih berondong jiwa tante girang mode: on )
wkwkwk tante girang? emang umurnya berapa?
Padahal hari ini sudah hari Jum’at tapi masih saja macet. Sempat aku khawatir dengan kondisi jalan yang tersendat-sendat, tapi setelah taksi yang kutumpangi akhirnya bisa keluar dari jalan arteri aku bisa bernapas dengan lega. Waktu di jam tanganku menunjukkan pukul sembilan kurang lima. Untung saja tadi aku memilih naik taksi kalau naik bis tidak tahu kapan sampainya.
*Ping*
*Ping*
Blackberryku berkicau. Jari-jariku pun menari dengan lincah diatas tombol kepypad Blackberryku.
*Ping*
>Leo: pagi princess :x
Ini orang sudah berapa kali sih kuperingati jangan panggil aku princess, tapi aku malas kalau harus berdebat dibb.
>Ryan: pagi.
>Leo: I miss you.
>Ryan: ….
>Leo: ouch, that’s hurt.
>Ryan: …
>Leo: I love this trait of you.
>Ryan: …
>Leo: sudah sarapan princess?.
>Ryan: sudah.
>Leo: bagus, kamu harus makan yang banyak princess belakangan ini kamu semakin kurus.
>Ryan: kalau gak suka cari aja yang lain buat kamu itu soal yang gampangkan?.
>Leo: naw…, naw…, princess don’t so feisty in the morning it would just add more wrinkle on your lovely face.
>Leo: yang lain buat aku hanya snack saja, tapi kamu adalah appetizer, main course and dessert.
>Ryan: oh wow, gak ketemu beberapa hari tapi gombalan kamu makin bertambah saja yah(note: sarcasm).
>Leo: haha, I took that as a compliment.
>Leo: untuk bisa mencairkan hati ice princess, I would do anything.
Aku terdiam. Tidak mungkinkan kalau Leo…?, kepadaku…?, dia…?. Tidak-tidak yang aku bicarakan ini adalah Leo seorang Casanova sejati jadi tidak mungkin dia serius. ‘Yup, tidak mungkin’ kuyakinkan diriku.
*Ping*
>Leo: princess, nanti sore jadikan aku jemput?
>Ryan: iya, tapi tunggu telepon dari aku.
>Leo: oke, I can’t wait for meeting you my princess.
“Mas, sudah sampai,” pak supir memberitahuku. Taksi berhenti tepat didepan gedung berlantai tiga, berarsitektur minimalis modern. Dari lantai bawah hingga lantai atas dipenuhi dengan jendela kaca tinggi berbentuk persegi panjang dan diselingi dengan pembatas berwarna merah yang sedikit menjorok kedepan. Ditengah-tengahnya terdapat signature “MQ MANAGEMENT”(Model Quarter Managment, Red: bohongan).
“Ah iya,” jawabku sambil melirik argometer. Kukeluarkan dompetku dari saku belakang jeansku, lalu kuambil satu lembar seratus ribu dari dalam dompet dan kusodorkan kepada pak supir, “Nih pak, ambil kembaliannya.”
“Oh iya mas makasih,” ucapnya sembari mengambil uang. Dengan cepat kumasukkan dompetku kedalam saku, lalu keluar dari taksi. Kupercepat langkahku menuju pintu masuk. Sebelum masuk kusempatkan melirik kearah parkiran motor dan sepeda. ‘Belum datang’ pikirku, tapi bisa saja aku salah.
Langkah kakiku kupanjangkan kearah front office. “Lia…,” panggilku kepada seorang perempuan berambut panjang dan lurus yang sedang membelakangiku.
“Eh, mas Ryan,” sapanya renyah.
“Si boss udah datang?” tanyaku tersengal-sengal.
“Belum,” jawabnya sembari tersenyum manis.
‘Untung deh’ seruku dalam hati. Kudongakkan kepala mencoba menghirup banyak udara supaya mengisi paru-paruku.
“Hehe, takut kena semprot yah mas?” tanyanya meledekku.
Kuhanya bisa menjawabnya dengan anggukan saja.
“Oh iya mas ada beberapa surat untuk mas Ryan dan paket buat Arman,” katanya sembari membungkuk kebawah mejanya.
“Ah i—,” jawabanku terhenti saat seorang perempuan muda dengan blazer hitam, rok pensil pendek hitam, rambut bob pendek, berkulit putih dan lumayan tinggi keluar dari lift kemudian berlari terburu-buru langsung menuju pintu masuk lobi.
Mataku mengikuti gerakan perempuan muda itu dan kalau kulihat wajahnya tampak pucat. Sesampainya dipintu masuk langkah perempuan muda itu terhenti.
Di pintu masuk telah berdiri sesosok perempuan memakai kaos jersey berlengan pendek dengan warna merah yang sangat dominan, celana folker hitam dan sepatu nike. Kemudian perempuan berkaos jersey itu melepaskan helm dan kacamata hitamnya dan menyerahkannya kepada perempuan muda tadi.
Seketika semua orang yang berada dilobi terkesiap begitu juga aku. Perempuan itu melayangkan pandangannya keseluruh ruangan. Tatapannya terhenti kepada satu arah yaitu aku. Kubalas tatapannya dengan senyuman, tapi tatapannya malah semakin tajam.
Kakinya mulai digerakkan. Orang-orang disekitar menyapanya tapi perempuan itu sama sekali tidak menggubrisnya. Langkahnya mantap kearahku. Kuhanya bisa terdiam, menelan ludah dan tersenyum kecut.
Satu langkah…, dua langkah…, bola matanya yang memang sudah hitam tiap detiknya semakin menghitam. Tiga langkah…, empat langkah…, dan lima—…,
*Plak*. Telapak tangan perempuan itu mendarat tepat dipipi kiriku.
Tamparannya memang tidak kencang tapi tetap saja rasanya seperti menggigit kulitku. Kuhanya bisa tersenyum menahan rasa sakit.
Puas dengan yang dilakukannya perempuan berkaos jersey itu pun berlalu. Dibelakangnya perempuan muda tadi mengikutinya sambil menatapku iba. Kubalik menatapnya dan tersenyum tanda aku tidak apa-apa. Mereka masuk kelift dan menghilang.
Kuhanya bisa menghela napas dalam-dalam dan mengusap pipiku yang sepertinya akan dihiasi rona merah nanti. Orang-orang dilobi terdiam mematung. Tatapan mereka penuh tanda tanya, kasihan dan horor. Harus kuakui perempuan itu memang tidak ada duanya.
“M-mas Ryan gak apa-apa?” tanya Lia dibelakangku memecahkan keheningan.
Kuberbalik, “Gak apa-apa,” jawabku enteng.
“K-kenapa mas Ryan ditampar?” tanya Lia khawatir. Mukanya pucat pasi.
“Lagi datang bulan kali,” gurauku sambil mengangkat bahu.
Lia mengkerutkan dahinya.
“Saya masuk dulu yah Lia,” ucapku, “Surat-suratnya biar suruh OB saja yang bawakan ke meja saya,” lanjutku.
Lia hanya menganggukkan kepalanya.
Orang-orang masih saja melihatiku tapi tak kuhiraukan. Kuberjalan kearah lift tapi langkahku terasa lemas. Kutekan tombol lift berharap bisa secepatnya menyingkir dari sini.
“Kenapa tuh pipi?” tanya Helmi heran kepadaku.
Kutarik kursi disebelah Helmi lalu mendudukinya. “Digigit tawon,” jawabku sekenanya.
“Huh?” gumamnya bingung.
“Udah ah gue gak mau ngebahas lagi,” gerutuku kesal. “Gimana soal LS? Mereka udah konfirmasi belum soal tanggal syutingnya?” tanyaku cepat.
“Belum,” jawab Helmi.
“Bilang sama mereka kita tunggu sampai hari selasa besok,” ucapku tegas.
Helmi kembali fokus pada pekerjaannya, sedangkan aku meletakkan tas kerjaku diatas meja kerja dan mengeluarkan laptopku kemudian menyalakannya. Rasanya bibir dan tenggorokan kering. Kulihat Didi “OB” lewat didepan mejaku dengan nampan berisi 3 gelas. “Di, buatin saya teh manis?” pintaku pada Didi.
“Ok bos, sebentar,” jawab Didi.
*Kring*
Telepon dimeja Helmi berbunyi dan dia pun mengangkatnya. “Halo,” sapa Helmi. Helmi diam sejenak dan tidak lama kemudian melirik kearahku. “Iya Cin,” jawabnya kepada seseorang diseberang telepon. Helmi pun menutup teleponnya dan dia mengerutkan dahi seraya berkata, “ Yan, kamu dipanggil bos.”
“Ok,”jawabku singkat. Tanpa ba-bi-bu lagi kumelangkah menuju lift.
“Pagi Cindy,” sapaku ramah pada perempuan muda berambut bob pendek.
“Pagi mas,” balasnya tersengal-sengal. Pendingin ruangan padahal sudah menyala dengan kencangnya tapi masih saja ada tetesan keringat diwajah putih nan mulus Cindy.
“Kayaknya lagi sibuk nih?” tanyaku pada Cindy.
“Haha…, you have no idea,” jawabnya kecut.
“Mm…, tadi saya di—,”
“Iya, bu Iranya masih diruang ganti tapi katanya mas disuruh tunggu didalam,” kata Cindy memotong pertanyaanku.
“Ok, thanks,” jawabku dan kusegera berjalan menuju pintu kantor si bos.
“O ya mas Ryan soal yang tadi…,” Cindy memanggilku, “… bu Ira belakangan ini moodnya emang lagi gak bersahabat jadi maklumin aja mas,” lanjutnya sambil tersenyum.
“Hahaha gak apa-apa, udah biasa,” jawabku lemah. Rasanya aku tahu kenapa si bos seperti itu karenanya aku bisa menerima rasa ngilu di pipi kiriku.
Kumasuk kedalam ruangan berinterior design minimalis serba putih, tapi dengan sedikit sentuhan cat berwarna oranye dipinggiran jendela tepat dibelakang meja kerja. Kursi yang berada didepan meja kerja kutarik dan mendudukinya. Setiap kali aku masuk kedalam kantor ini selalu kukagumi betapa kesempurnaan sangat terpancar di tiap detailnya.
*Brak*
Suara bantingan pintu membuatku berdiri secara otomatis.
Didekat pintu berdiri seorang perempuan dewasa, cantik khas wanita Jawa, berpostur tinggi, berkulit sawo matang dan berambut hitam pendek. Perempuan itu dibalut baju terusan hitam polos, berlengan panjang seperempat, tanpa kerah memperlihatkan bahu dan lehernya yang indah.
Tubuhnya yang berlekuk dan padat sangat jelas terlihat dengan ditambah sabuk kulit berwarna perak melingkar dipinggangnya. Kakinya yang jenjang dihiasi oleh sepasang sepatu berhak tinggi yang juga berwarna hitam.
Semua pria normal pasti sudah akan menerkam perempuan ini bila mereka diposisiku, tapi sayang aku tidak normal dan melihat penampilannya yang begitu sempurna membuatku ingin berteriak ‘WHY CAN’T I BE BORN AS HER?’. Batinku tertawa lirih.
“Kenapa kamu ingin berhenti?” tanya perempuan itu tajam.
“Huh?” tanyaku bingung.
“Sudah jawab saja kenapa kamu kirim email pengunduran diri?” tanyanya geram.
“Ah…, Pagi mbak? Gimana liburannya kemarin? Bagaimana kalau kita diskusinya sambil duduk?” usulku cepat.
Masih dengan wajah yang kesal dia berjalan ke meja kerjanya. Aku menunggu sampai dia duduk dikursinya.
“Saya tidak menulis dalam email kalau saya berhenti,” kataku membuka pembicaraan. “Saya cuma mau cari asisten untuk saya.”
“Iya, tapi kamu juga menulis asisten yang nantinya bisa menggantikan kamu, nah itukan artinya kamu mau berhenti,” cerocosnya kesal.
“Maksud saya asisten yang sudah punya pengalaman jadi kalau saya berhenti dia bisa menggantikan saya,” jelasku tenang.
“Udah deh jangan main kata-kata sama saya. Saya tahu kamu Ryan, gak mungkin kamu melakukan sesuatu untuk alasan yang setengah-setengah seperti itu.”
“Saya rasa alasan yang tadi saya utarakan bukan alasan setengah-setengah. Saya sangat butuh asisten karena tawaran kontrak untuk Arman belakangan ini semakin banyak, memang saya punya Helmi tapi dia tidak bisa mobile saya butuh asisten yang bisa kesana kemari. Lagipula soal saya berhenti atau tidaknya saya rasa itu hak saya, mbak dan saya sendiri punya perjanjian mengenai inikan?”
“Tapi Ryan kalau kamu berhenti sekarang ditengah-tengak puncak karirnya Arman akan membuat karir dia hancur dan bagaimana nasib MQ? Saya gak mau kejadian yang dulu terulang lagi Ryan,” ujarnya memelas.
Aku mengerti kenapa mbak Ira bersikap seperti ini. Di MQ Arman adalah
talent/model nomor satu. Kesuksesan Arman mampu membuat nama MQ disegani didunia management artis.
“Aku gak pernah bilang akan berhenti sekarang. Aku bilang nanti, lagipula saya sudah pernah berdiskusi mengenai kemungkinan saya akan berhenti dengan Arman dan dia menjawab saya bisa berhenti kalau dia sudah bisa mandiri, bertanggung jawab dan tidak ketergantungan saya lagi.”
“Tapi apa kamu bisa memberi jaminan kalau Arman gak akan bereaksi seperti dulu lagi?”
“Bisa, menurut evaluasi saya sebagai manajernya bukan sahabatnya, Arman sudah bisa mengatur emosinya lebih baik dan dia sudah lebih dewasa. Saya secara pribadi juga yang akan memastikan Arman siap lepas dari saya,” jawabku tegas.
Mbak Ira mengerutkan dahinya masih tidak percaya, “Arman tahu mengenai ini?”
“Tahu, tapi perihal saya berhenti belum. Toh seperti sudah saya bilang sebelumnya, saya belum berencana berhenti dalam waktu dekat ini jadi menurut hemat saya belum perlu membahasnya dengan Arman.”
Mbak Ira melepas napas lega. Punggungnya dia rebahkan disandaran kursinya dan menatap mataku lekat seperti mencari sebuah jawaban. Ingin aku mengalihkan pandanganku tapi kutahu aku tidak bisa menghindarinya.
“Ok, saya pegang janji kamu. Tapi…,” Mbak Ira merapatkan tubuhnya ke meja, “…tolong jujur kepada saya. Memang sesuai kontrak kerja, kamu punya hak penuh untuk berhenti kapan saja tapi untuk perjanjian yang kita buat secara pribadi menekankan kalau kamu akan berhenti bila Arman sudah menemukan pasangan hidupnya”
@chi_lung : cilung tuh bukannya aci di gulung yahh.. hheuheu