It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Kedua tanganku bergetar hebat tapi kucengkeram erat pegangan kursi yang kududuki untuk menyembunyikan kegalauanku. Mbak Ira mungkin berbicara lebih lembut sekarang ketimbang sebelumnya tapi pernyataan yang baru saja keluar dari bibir merahnya membuat hatiku berdesir pilu membuatku tidak bisa bicara.
“Apa Arman bilang kalau dia ingin menikahi Renata?” tanya mbak Ira berhati-hati.
“Belum, tapi saya punya feeling sepertinya iya sebentar lagi,” jawabku lirih.
Mbak Ira membelalakkan matanya tidak percaya, “Feeling?…, hanya karena feeling?” tanyanya setengah berteriak.
Kuanggukkan kepala. Aku tahu sungguh bodoh membuat keputusan berdasarkan ‘feeling’ semata.
Arman bukanlah seseorang yang suka mempermainkan hati. Setiap hubungan yang dijalaninya selalu dia jalani dengan serius, tapi aku bisa melihat betapa berartinya Renata untuk Arman. Setiap kali Arman membicarakan atau bersama Renata aku bisa melihat sinar kebahagiaan terpancar dimatanya. Hanya tinggal masalah waktu saja sampai Arman memilih Renata sebagai pasangan hidupnya. Aku hanya ingin saat itu terjadi sudah ada jarak antara aku dengan Arman, karena aku tahu jika aku masih terus berada disampingnya aku takut masa laluku datang menghantuiku kembali.
Mbak Ira masih menatapku. Kualihkan mataku dari matanya. Rasanya sedetik lebih lama lagi aku menatapnya, aku tidak akan bisa membendung airmata dan aku tidak menginginkannya.
“Hah…, I need to smoke!” gumam mbak Ira. Mbak Ira membuka laci meja kerja dan mengambil satu bungkus rokok beserta pemantiknya.
Kuangkat alis sebelah, “Bukannya mbak sudah berhenti?”
Mbak Ira menyalakan rokoknya lalu menghisapnya dan keluar asap putih tebal dari bibirnya. “I still need one. I had a headache right now.”
‘Sakit kepala? Bagaimana dengan rasa ngilu dipipiku?’ tanyaku dalam hati. Biarpun mbak Ira ini sedikit nyentrik tapi aku tidak bisa membencinya malah aku iri kepadanya. Kepribadian mbak Ira yang tidak takut mengutarakan pendapatnya seperti kejadian pagi ini, keterbukaan dan integritas yang tinggi sangat berbanding terbalik denganku. Membuatku terkadang bertanya patutkah orang seperti aku ini berada dekat dengan seseorang seperti mbak Ira?.
“Kamu…,”ucapnya disela menikmati rokok yang terapit diantara jari rampingnya, “…dan Arman selalu buat saya pusing.”
Kutertawa kecil mendengar perkataan mbak Ira. “Maafkan kami mbak,” mohonku memelas.
“Baik saya setuju mengenai asisten. Saya rasa kamu memang sudah terlalu lama menghandle Arman sendirian. Tapi kalau soal berhenti…, saya maunya kamu terus menjadi manajer Arman dan diantara manajer artis yang lain kamu yang paling bisa diandalkan.”
Lagi aku tertawa kecil, “Lucu yah dulu mbak sangat menolak saya mentah-mentah tapi sekarang mbak memuji saya. Hidup tuh memang penuh kejutan.”
“Ya habis dulu kamu culun banget kurang bisa dipercaya untuk menjadi manajer, eh tahunya kamu pintar beradaptasi dan keserasian antara kamu dengan Arman buat dia jadi gampang diaturnya,” katanya.
Kami sempat terdiam, memandangi satu sama lain dan kemudian tawa kami mengisi seluruh ruangan.
“Tapi kamu serius soal berhenti?” tanyanya lagi
“Kalau sudah saatnya…, pastinya,” jawabku mantap.
“Kenapa sih kamu gak bilang ke Arman mengenai kamu yang sebenarnya? Dan mengenai perasaan kamu kedia? Seperti kamu bilang dia sudah dewasa jadi saya yakin dia bisa menerima kamu apa adanya malah ada kemungkinan dia menerima perasaan kamu.”
Aku terperanjat mendengar perkataan mbak Ira. Inilah kenapa aku sebut mbak Ira nyentrik. Disaat pimpinan management lain melindungi image artisnya justru mbak Ira menyarankan aku untuk melakukan sesuatu yang teramat tabu. Dan malah berandai-andai aku dan Arman…?.
“Ide saya mungkin gila kedengarannya tapi kalau saya harus memilih antara kepentingan perusahaan dan kalian berdua sudah pasti saya memilih kalian berdua. Karena buat saya kalian sudah seperti anak-anak saya sendiri.” ujarnya lirih.
Aku masih terdiam bingung dengan apa yang kudengar dan aku berusaha keras untuk mencerna semua perkataan mbak Ira.
“Namun layaknya seorang anak yang sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan dan bersedia menanggung semua resikonya saya terima keputusan kamu. Tapi janji kepada saya Ryan, dimasa depan kamu harus buat keputusan yang bisa membuat kamu bahagia dan tidak usah peduli apa kata orang karena kamu juga berhak bahagia,” ucapnya sembari tersenyum tulus.
Kurasakan sesuatu membasahi pipiku. Kuhela napas dalam-dalam dan kuseka airmataku. “Terima kasih mbak.”
Setelah itu aku bisa menguasai diriku. Kami sempat mengobrol sesaat sebelum akhirnya aku ijin pamit untuk kembali bekerja. Entah kenapa langkahku terasa ringan dan harapan akan kebahagian berkembang didadaku,
Hah, udah jam sepuluh lebih lagi tidur ah besok pagi masih harus latihanT_T jadi balas komentar besok juga dan mudah-mudahan besok yang komentar lebih banyak [-O<
@adele choco bilang seminggu skali biar diriku nulisny tenang tp klo bisa lancar secepetnya akan update
@grey :P jg xixi
@loafer haha
@chi_lung Thank You >:D<
@chi_lung : hhoho ntar inbox deh yaa..^
“CUT!” pekik bang Deni sutradara Coffee Talk menyudahi sesi terakhir.
Gemuruh tepuk tangan para kru mulai menyeruak mengisi ruangan didalam coffee shop. “Terima kasih semuanya untuk kerjasamanya,” sahut Reysa produser Coffee Talk kepada seluruh kru dan kemudian menyalami Satrio pembawa acara Coffee Talk juga kepada Arman dan Melanie yang menjadi bintang tamunya.
Sedangkan aku mulai membenahi barang-barang milik Arman dan aku dari atas sofa dan meja. “Ah, akhirnya selesai juga,” keluh Arman yang mendatangiku dari belakangku.
Kubalik badan, “mau pulang sekarang?” tanyaku kepada Arman.
“Yup, udah jam tujuh. Tapi aku mau ke toilet dulu.”
“Mau sekalian ganti baju?”
“Hmm…, gak usah,” Arman pun bergegas menuju toilet. Barang-barang Arman sudah rapih didalam tas dan kutaruh tasnya disamping meja.
Kurasakan seseorang menepuk bahu sebelah kiriku, lalu kumenoleh. “Yan, makasih yah atas bantuannya,” senyum lebar Reysa menyambutku.
“Eh, iya sama-sama Cha,” balasku.
“Untung manajernya Arman itu elo kalo enggak? tau deh sampai kapan bisa jadiin dia bintang tamu acara gue,” ujarnya bernapas lega.
Kuterkekeh kecil mengetahui Reysa masih suka lebay, “ha…,ha…, biasa aja lagi Cha. Lagiankan ini cara gue membalas kebaikan elo.” Reysa adalah teman aku sedari masa kuliah dulu hanya kami berbeda jurusan. Kami saling mengenal saat masa ospek dan Reysa banyak membantuku dalam beradaptasi dengan kota Jakarta yang bagaikan labirin besar, penuh perangkap bagiku yang saat itu adalah pendatang dari daerah.
“Ih apaan sih Yan kayak gue udah nyelametin hidup elo aja,” dengus Reysa.
“Tapi benerkan kalo gak ada lo, gak tahu deh nasib gue gimana,” sedikit bergidik mengingat pengalaman sering dipalak sama preman, kena tipu, dan yang paling parah kejebak ditengah-tengah tawuran antar anak SMA.
Tawa Reysa pun membahana keseluruh ruangan, “buahahaha…, iya elo tuh hahaha…, jadi cowok klemar-klemer banget sih hahaha….”
Bisa kubayangkan guratan merah pasi terpulas dipipiku. “Oke gue emang cowok klemar-klemar…,” aku akui kalau aku ini kurus, tidak sixpack, terlalu putih malah hampir pucat dan tidak terlalu tinggi. Well, I’m nerd. “...tapi seenggaknya aku bukan cewek amazon,” diwajahku tersungging senyum kemenangan.
Seketika tawa Reysa pun terhenti. Reysa kirimkan bogem mentah kepundak kiriku. “Sialan lo,” umpat Reysa.
“OUWH…,” kumengaduh keras dan mengusap pundak kiriku. Kulihat Reysa menyilangkan tangannya didepan dadanya dan mengembungkan pipinya sampai bibirnya termonyong-monyong. Melihat Reysa seperti itu ingin rasanya aku tertawa, tapi akan menjadi ide yang sangat buruk kalau aku melepaskan tawaku. “Tapi gak ada loh cewek amazon yang secantik dan seimut Reysa Primutia,” rayuku genit.
“Gombal!” jawab Reysa ketus.
“Ih bener deh, suer tekewer-kewer,” kuangkat dua jari keatas membentuk ‘V’. “Kalau perlu tanya aja sama Dimas Ardiansyah,” kukeluarkan jurus ‘sebut nama mantan pacar Reysa yang jadi TTM-an’.