It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
noh.. @eldurion lagi nyari 'Dira'nya..
Ini Dira. Akhir-akhir ini aku… bukan, bukan hanya aku, tapi hampir semua orang di jurusanku sibuk sekali mempersiapkan festival tahunan. Dua minggu sudah sejak aku terakhir diberi kerjaan oleh Ray, kampus yang tadinya suram dan membosankan telah disulap menjadi tempat yang meriah, bagus, dan ornamen-ornamen khas Jepang dimana-mana. Umbul-umbul berjejer di sepanjang jalan menuju gedung jurusan dan di tepi lapangan, batang pohon dicat warna-warni, lampion mengantung melintang dari satu pohon ke pohon lain, juga hiasan-hiasan origami lainnya yang berukuran super gede. Selain dekorasi yang cukup wah, orang-orang berpakaian dari yang normal, berpakaian tradisional Jepang, modis sampe yang aneh dan berdandan cukup menarik bahkan menyeramkan datang tumplek mendadak di area festival jurusan kami.
Aku menunggu di gerbang masuk gedung jurusan. Aku sudah mengenakan hakama yang dulu dibeli Regi untuk dikenakan bersama hari ini. Berpakaian seperti ini, sungguh di luar kebiasaanku. Biasanya aku hanya berpakaian seperti biasa saja. Kalau tidak karena Regi aku tidak akan memakainya. Panas, ribet, dan… walaupun aku suka pakaian seperti ini, aku malu menggunakannya. Kita kan mau menikmati festival. Bukan mau ikutan cosplay atau jadi patung selamat datang.
Sesekali kutengok arloji di pergelangan lengan kiriku. Lima belas menit Regi telat dari janji untuk datang pukul empat sore. Yah, kami sengaja janjian untuk bertemu di sore hari karena acaranya semakin malam akan semakin meriah, jadi kami tidak perlu menunggu lama sampai di puncak acara.
Tidak berapa lama, Regi datang dengan agak tergesa-gesa menghampiriku. Hakama yang berwarna dan bercorak sama dikenakannya sesuai janji.
“Maaf. Dua puluh dua menit tiga puluh sembilan detik telat” Sambil menunjukkan jam di lengan kirinya. Keningnya berkeringat.
“Huh… Tau kan? Pake baju kayak gini ribet? Keringetmu dimana-mana tuh” Kataku.
Regi mengaitkan lengannya di bahuku dan mengajakku masuk ke area festival. Sangat ramai di sini. Kami berjalan dan berkunjung dari satu stand ke stand lainnya mencicipi makanan dan permainan yang ada di sana. Tak terasa kami telah menghabiskan tiga porsi takoyaki dan masing-masing dua gelas jus (Kami memilih jus yang sama: rasa jeruk). Kami memutuskan untuk duduk-duduk di sekitaran panggung utama.
“Hei! Itu kan Ferdi” Kata Regi sambil menunjuk Ferdi yang berada di bagian bazaar membagi-bagikan brosur. Berkat keramahan dan kegantengan yang dia bangga-banggakan, banyak orang yang mengerubuni dan tertarik untuk melihat-lihat dan berbelanja di bazaar.
“Hahaha… Iya” Kataku sambil melihat ke arah Ferdi.
“Aku cemburu” kata Regi tiba-tiba.
“Kenapa?” Tanyaku.
“Kamu menatap Ferdi seperti itu mana mungkin aku tidak cemburu” Katanya.
“Ah! Kamu. Kayak yang gak kenal Ferdi aja. Dia kan emang ganteng. Baik lagi. Udah gitu kita emang temen deket juga. So, ngapain cemburu?” Kataku sambil bercanda.
“Udah ya… ganteng dan baiknya kayaknya gak perlu disebut deh…” Katanya sambil menekan-nekan kepalaku dengan telapak tangannya.
“Lagian… Gak penting banget sih cemburunya…” Kataku.
Sore sampai malam ini kami hanya berdua bersenang-senang menikmati serunya festival. Pada keadaan seperti ini sangat sulit untuk mengajak ngobrol dan berkumpul dengan anak-anak. Ferdi yang sibuk di backstage panggung utama tidak mungkin, kulihat Ray sedang sibuk kesana kemari mengecek kelengkapan acara dan terus berkoordinasi dengan dosen, Tommy sedang berkumpul dengan teman-teman bandnya. Yah, bandnya Tommy nanti malam akan menjadi bintang tamu di acara festival ini. Dimas, aku tidak sempat melihat Dimas hari ini. Tumben sekali, biasanya Dimas menjadi pemandu atau penerjemah untuk tamu-tamu dari Jepang yang datang ke festival. Tapi kali ini Prita dan Johan yang sibuk menemani mereka.
“Dimas mana ya, Gi?” Tanyaku penasaran karena belum melihatnya seharian ini.
“Eh, kita ke sana! Ada rumah hantu di sana” Kata Regi sambil menarik tanganku tanpa menghiraukan apa yang aku katakan tadi. Aku hanya mengikutinya.
Setiba di depan rumah hantu, tanpa meminta persetujuanku Regi langsung membeli tiket untuk dua orang. Terpaksa aku pun mau-mau saja ketika diajak masuk ke dalam ruma hantu. Jujur, aku sudah tahu trik-trik apa saja yang akan dilakukan oleh panitia dalam mengerjai pengunjung rumah hantu ini. Aku sudah dua kali menjadi panitia dan hantu di rumah hantu festival jurusan ini.
“Indri! Kamu kurang serem tuh… Masa jalannya ngangkang begitu!” Kataku saat sesosok hantu perempuan mendekat.
“Bro, Don! Udah ketinju berapa kali hari ini?” Kataku pada seorang hantu kakek tua botak.
“Yat! Itu kelelawar terbangnya gak bener tuh” kataku sambil mengetuk dinding lorong kayu.
Aku mengomentari setiap hantu yang menghampiri kami.
“Eh! Elu gak asih ah!! Pura-pura gak tau kek! Takut kek!” Protes Indri padaku di dalam area rumah hantu.
“Hahaha… Iya nyantai aja… Aku gak bakal bilang-bilang ke yang lain kok. Kan rahasia perusahaan” Kataku. Regi hanya terbengong-bengong melihat apa yang telah terjadi.
“Jadi… Kamu udah dua kali ikutan jadi hantu-hantuan di festival ini?” Tanya dia setelah keluar dari rumah hantu aku ceritakan tentang pengalamanku membantu tim panitia rumah hantu ini. “Yah… Gak seru dong yah, padahal tadi aku ngarep kamu takut dan meluk aku” Katanya.
“Gombal ah! Kayak yang pernah aku peluk aja” Kataku sambil mendorong bahunya.
Malam semakin larut, bandnya Tommy tampil dengan memukau. Tepukan tangan penonton menggemuruh dan tidak sedikit sorak setelah menyelesaikan penampilannya. Acara dilanjutkan dengan Bon Odori. Semua orang melingkar dan menari-nari mengikuti gerakan panitia di tengah lingkaran. Sungguh sangat menyenangkan berputar dan menari-nari bersama dengan ratusan orang di lapangan tengah jurusan sastra yang biasanya penuh dengan mobil yang parkir. Ketika acara bon odori hampir selesai, aku menarik Regi masuk ke dalam dan langsung menaiki tangga menuju lantai lima langsung menuju atap gedung jurusan. Tidak ada orang di sini, jadi sangat leluasa kalau melihat kembang api di sini.
“Sebentar lagi kembang api dinyalakan. Kalau lihat dari sini pasti lebih keren” Kataku. Aku merangkul bahu Regi dari samping.
“Gi, aku senang hari ini” kataku.
“Iya. Aku juga” katanya.
SYUUUUUTT…………….DOORRR!!
Kembang api pertama telah dilepaskan. Warna-warna indah menghiasi langit di atas gedung jurusan sastra ini. Rentetan kembang api berikutnya saling menyambut satu persatu membuat perasaan ini menjadi sangat menyenangkan.
“Gi, aku sayang kamu” kataku
“Ng..” Katanya singkat dan sebuah ciuman telah mendarat di bibirku.
Langit sastra malam ini yang dihiasi dengan indahnya kembang api di atas kami, sepertinya ini adalah momen yang paling indah buat kami. Aku membalas dengan lembut ciumannya.
Pada saat ini, kurasakan kalau aku mungkin tidak sanggup lagi jika harus melepasnya seperti ketika aku dengan rela melepas mantanku. Regi, aku sudah terlanjur sangat sangat mencintaimu. Akupun memeluk erat tubuhnya yang lebih hangat dibandingkan udara malam di atap gedung jurusan sastra ini.
Tidak terasa, waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Aku dan Regi pamitan kepada Ray yang masih sibuk mengkoordinasikan anak-anak himpunan setelah acara selesai, Ferdi sepertinya sudah pulang duluan dengan Tommy. Sampai berakhirnya acara, aku benar-benar tidak melihat Dimas dimanapun.
Aku mencoba berpikir positif kalau Dimas sebenarnya datang ke festival ini, namun memang sayang kita tidak bertemu hari ini. Mengenai tidak menjadi penerjemah, mungkin dia memberikan kesempatan kepada Yohan yang memang kemampuan bahasa Jepangnya cukup lumayan, walaupun sebenarnya masih kalah dibanding Dimas. Tapi, walaupun mencoba berpikir positif tentang Dimas saat ini, justru aku semakin mencemaskannya. Jika diingat-ingat ke beberapa waktu terakhir, Ini adalah yang ke beberapa kalinya Dimas menghilang tiba-tiba, bahkan tidak satupun dari Ray, Ferdi, maupun Tommy mengetahui dimana dia berada.
Selamat Siang
@AkselEE @LockerA @gr3yboy @bibay007 @AwanSiwon @dimasera @Touch @CoffeeBean @kiki_h_n @AoiSora @Aji_dharma @mybiside @Adam08 @johnacme @masAngga @adinu @rulli arto @lembuswana @Just_PJ @the_angel_of_hell @dheeotherside @CHE
Kasian dimas (author jahat nih (aku doang yg bae, hehehe))...
haha.. tau aja.. gw sampe mikir apa itu dorizzaru-kun.. kalo takumi mah tau..heuheu
dan ini.. sepertinya bagian terakhir happy-happy-an.. yuk mari ke bagian selanjutnya.. (lagi dibaca ulang lagi)
@coffeebean
maafkan aku.. dan jangan kaget buat bagian selanjutnya...TT.TT
@drizzle lu bikin nasib jomblo gw terasa mengenaskan wkwkwkkwkw 8-}
BAGIAN 16
Tiga hari setelah festival di akhir pekan yang sangat meriah, akhirnya kampus kembali dengan suasana yang membosankan dengan aktivitas yang monoton, khususnya bagi kami para mahasiswa tingkat atas yang sebenarnya tidak ada alasan kuat untuk ke kampus selain untuk revisi dan ngumpul-ngumpul dengan teman-teman.
Aku Dira. Siang ini aku dan teman-teman memutuskan untuk melakukan kembali kegiatan yang beberapa waktu terganggu oleh aktivitas masing-masing yaitu bertemu dan makan siang bersama di kantin fakultas.
“Eh, Gi! Kok akhir-akhir ini maneh sering banget ke kostan yak?!” Tanya Ferdi penasaran saat sedang makan bersama di kantin fakultas bersama aku, Regi, Ray dan Dimas. Lagi-lagi Tommy tidak ada dalam perkumpulan ini. Sepertinya, sudah tampak natural kalau Regi sering berkumpul dengan kami dan Tommy jarang untuk bisa berkumpul dengan kami.
“Emang kenapa? Gak boleh ya gua nengokin dan main sama lo di kostan?” Regi bertanya balik kepada Ferdi.
“Lah… maneh sih… Bilang nengokin gua, tapi tiap kali ke kost-an, ujung-ujungnya menclok di kamar si Dira. Sampe sering nginep segala. Gak pernah gitu maen ke kamar gua” Protes Ferdi. Aku hanya tersenyum kecil di balik segelas teh manis dingin yang kuteguk saat mendengarnya. Mengenai hubunganku dengan Regi, tidak ada yang mengetahuinya.
“Iya… Iya… nanti gua tengokin kamar lo. Tapi beresin yak. Gua gak mau ada kecoa lewat pas gua maen ke kamar lo” Seloroh Regi. Yah, banyak perubahan pada diri Regi. Dia semakin percaya diri, lebih suka mengobrol dan bercanda.
“Eits, jangan salah. Kamar gua lebih rapi dibandingin kamar Dira” Kata Ferdi.
“Wajar dong! Kamar lo siapa yang datengin? Sekali diberesin awet setahun rapinya. Kamar gua kan banyak pengunjungnya. Apalagi si cenayang ini yang dateng tiga kali sehari kayak obat. Kamar lo? Paling Tommy lagi yang dateng. Hahaha…” Aku tertawa sambil diikuti tawa yang lainnya yang menyetujui ucapanku.
“Eh, Mas, lo kok dari tadi diem aja” Tanya Ray menyadari kalau Dimas seperti berada di alam lain, tidak memperhatikan dan bergabung dalam obrolan seperti biasa.
“Gak apa-apa” kata Dimas. Matanya menerawang ke luar jendela kantin. Sepertinya, akhir-akhir ini keadaan Regi dan Dimas berbalik. Regi menjadi lebih bersahabat dan Dimas menjadi pendiam dan cenderung menghindar. Selain itu, Dimas juga menjadi sangat sulit ditemukan di kampus, bahkan di perpustakaan yang sebelumnya sudah menjadi iconnya. Ditambah, keabsenannya di festival kampus membuat semua orang kebingungan.
“Tidak ada masalah kan? Aku gak lihat kamu pas di festival. Sampai-sampai pak ketua jurusan nyari-nyari kamu buat jadi penerjemah orang Jepang seperti biasa. Karena gak nemu kamu, akhirnya dengan ragu-ragu pak ketua jurusan memanggil Yohan buat menggantikanmu menemani Prita” Kata Ray dengan anda penasaran.
“Mm.. Lupa” Kata Dimas asal-asalan masih menerawang ke luar kantin.
Tidak lucu dan tidak biasa! Ini bukan Dimas yang aku kenal.
"Em... Gua duluan ya" Kata Dimas dingin sambil berlalu.
Aku merasa kalau makan siang bersama belakangan ini terasa sangat hambar. Terkadang, pikiranku yang merasa bersalah atas perubahan sikap Dimas belakangan ini menguasaiku. Aku tahu, ini karenaku juga. Dimas lebih sering menghindari kami, khususnya aku. Sesekali, Dimas memalingkan wajah dariku ketika mata kami bertemu satu sama lain, mengambil jalan lain bila kami perpapasan di jalan, atau pura-pura tidak mendengar atau mengobrol dengan yang lainnya saat aku hendak menyapanya. Perubahan lainnya juga terlihat sekali, seperti akhir-akhir ini Dimas lebih sering bolos kuliah (semester ini Dimas masih mengejar ketertinggalannya mengambil mata kuliah karena harus ke Jepang beberapa kali), gonta-ganti nomor handphone sehingga sulit untuk dihubungi, dan lebih sering dipanggil dosen karena tidak mengerjakan beberapa tugas.
Sudah kuputuskan. Untuk memastikan apa yang sedang terjadi, sore ini aku akan bertemu dengan Dimas untuk menyelesaikan masalah yang belum selesai ini baik-baik. Aku tidak tahu nomor handphonenya yang sekarang dan aku yakin dia tidak akan mau bertemu denganku. Oleh karena itu, aku mencarinya sendiri. Tempat yang pertama aku datangi adalah perpustakaan, tempat biasa dia menghabiskan waktunya seharian. Namun, tidak ada. Aku heran, dimana lagi dia berada. Setahuku, tidak ada tempat lain yang menjadi tongkrongan lainnya selain di perpustakaan. Oh iya, perlu diketahui, walaupun sering diam di perpustakaan, Dimas bukan tipe kutu buku yang kurang pergaulan.
Hampir semua tempat di fakultas sastra sudah aku cari, namun Dimas belum juga kutemukan. Apakah separah ini? Kalau memang separah ini perubahannya, kemana dia akan pergi? Apa akan mengahabiskan waktu di toilet hanya untuk menahan kekesalannya? Atau gabung dengan berandal kampus? Pergi ke Jepang tanpa memberitahu kami kah? Atau… Seperti di film-film Jepang yang kalau depresi suka loncat dari atas atap gedung sekolah? Ah! Orang-orang yang depresi biasanya suka menghidari interaksi dengan orang lain dan menjadi pendiam. Jangan-jangan… Atap gedung Jurusan! Satu satunya tempat yang belum aku datangi di jurusan ini.
Aku pun berlari ke sana. Atap gedung jurusan adalah tepat yang sangat sangat jarang dikunjungi orang lain jadi wajar kalau terlupakan. Telepon dari Regi tak kuhiraukan. Nanti saja aku balas teleponnya. Sekarang, yang paling penting adalah menemukan Dimas. Entah itu alasan merasa bersalah, kasihan, atau apapun itu aku menjadi cemas terhadap Dimas.
BRAK!!
Pintu menuju atap gedung kubuka.
“Mas! Dimas!” Aku memanggil-manggil namanya berharap Dimas ada di sini.
“Apa sih ni mahluk ribut-ribut!” Kata Dimas yang berdiri di dekat pagar pembatas menghadap ke lapangan luas di belakang gedung jurusan dengan nada kesal.
“Pergi lo..!” Perintahnya. Nada bicara ini bukan nada bicara Dimas yang biasa aku kenal.
“Mas, kenapa…” Aku terdiam “Mas, lo ngerokok? Bukannya kamu gak tahan asep rokok ya?” Tanyaku ketika melihat beberapa puntung rokok berserakan dan satu batang rokok yang masih menyala di sela-sela jarinya.
“Apa peduli lo, Nyet!” Ternyata, umpatan dari seseorang yang tidak biasa mengumpat lebih menyakitkan daripada yang biasa mengumpat. Apalagi aku tahu, seorang Dimas tidak akan mau mengumpat seperti itu. Setidaknya ketika dalam keadaan normal, tanpa masalah seperti ini.
“Mas…” Aku memanggilnya dengan nada iba.
“Apa lo!” Dimas menghampiriku.
“Lo…” Dia memukul ringan dadaku dengan kepalan tangannya. “Lo gak nanggepin gua dan malah jauhin gua yang temen deket lo ini!” Dimas melakukan pukulan ringan di dadaku diantara kata-kata yang diucapkannya.
“Dan! Lo…” Katanya terdiam. Matanya seakan menusuk mataku “Gua tahu lo jadian sama Regi!” Katanya sambil menggeretakkan giginya.
Aku terdiam tak berkata. Aku tidak bisa menyangkal, karena itu benar adanya.
“Mas, sori. Aku ngaku salah sama kamu…” Aku memberanikan diri dan tetap berbahasa aku-kamu seperti biasa aku berbicara dengan Dimas.
“Maaf, kalau misalnya kamu merasa aku sudah mempermainkan perasaanmu. Bukan maksudku seperti itu… Aku mau bilang sama kamu kalau aku sudah jadian sama Regi, tapi aku gak tahu harus bagaimana ngomong ke kamu nya. Aku bingung… kalau aku ngomong sama kamu, aku tahu hati kamu bakal sakit… bisa jadi hubungan kita lebih parah dari ini… aku gak mau kamu sakit. Aku sayang kamu juga, Mas..! Kamu…”
“Sudah! Gua gak mau denger lagi! Asal lo tau aja. Gua lebih sakit nyari tahu kenyataannya sendiri dibanding kalau lo yang ngomong sama gua!” Bentaknya. Dilemparnya puntung rokok yang masih menyala ke arahku. Aku menghindar. Dia pun berlalu menuju tangga dan membanting pintu.
Kejadian ini bener-bener diluar perkiraanku. Dimas yang periang dan kalem yang selalu memberikan ketenangan kepada orang-orang disekitarnya berubah menjadi seperti ini. Tak terasa, air mata mengalir dari pipiku. Perih. Selain perih hati ini, ternyata puntung rokok tadi memberikan bekas luka bakar di tanganku. Aku duduk di pipa besi di sekitar situ. Sambil kutatap luka bakar ini, mataku tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Dira bodoh. Jangan menangis.
@AkselEE @LockerA @gr3yboy @bibay007 @AwanSiwon @dimasera @Touch @CoffeeBean @kiki_h_n @AoiSora @Aji_dharma @mybiside @Adam08 @johnacme @masAngga @adinu @rulli arto @lembuswana @Just_PJ @the_angel_of_hell @dheeotherside @CHE
biarlah pembaca berimajinasi bikin konflik trasa lbh nyelekit sambil mengezar ts yg lari ngejar setoran.
sugoku ii hanashi desu.
gw liad beberapa hal yang gw alamin :-t #upsss curcol
yg mana yang lo alamin? *ngorek curcolan lebih dalem*
lanjut dong makin demen sama ni cerita :P