It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Jam 1 dini hari.
Suara lolongan anjing kompleks membuat suasana malam menjadi mencekam. Gelap dan sepi, suasana malam itu. Alif sedang terduduk di pinggiran ranjangnya. Ia tak bisa tidur semalaman akibat terpikir kata – kata orang asing yang baru ia temui tadi.
Benarkah Antoni dibunuh? Tapi siapa yang tega melakukan itu? Apakah alasannya? Mungkinkah kecemburuan? Wajar saja, banyak sekali orang yang mereka kecewakan akibat percintaan yang mereka lakukan. Persahabatan dan keluarga harus mereka korbankan hanya untuk cinta terlarang yang mereka semai.
Namun ia baru sadar, bagaimana perasaan orang – orang yang mereka kecewakan saat Antoni meninggalkannya. Bagaimana keluarga kecewa padanya, sahabat yang sakit hati padanya. Lalu, siapakah yang harus disalahkan? Tuhan? Bukankah ia sudah tidak percaya pada Tuhan?!
Haruskah ia menyalahkan dirinya sendiri? Egoiskah dia kalau sebenarnya ia selama ini tak peduli pada sekitarnya?
Tidak! Seluruh orang lah yang egois pada ia dan Antoni. bahkan jika seandainya memang ada orang yang cemburu akibat sakit hati, toh bukankah itu resiko percintaan? Saat dicintai, bersiaplah juga untuk ditinggalkan?
Alif menghisap rokok yang sudah kesekian kali ia sulut. Kedua jarinya tampak menghitam begitu pula bibirnya akibat terbakar rokok. Ia sudah bisa membiasakan diri dengan asap rokok. Kandungan nikotin dan zat – zat beracun didalamnya lumayan bisa membuat otaknya melayang menghindari depresif yang ia rasakan.
Darah segar masih menetes dilengannya! Kebiasaan baru Alif selain merokok, adalah menyiksa dirinya sendiri! Itu sama saja membuat dirinya sendiri untuk mati pelan – pelan.
Namun Alif tak peduli. Itu yang memang ia inginkan!
Untuk semalaman, ia tak dapat memejamkan matanya. Pikirannya terngiang pada kehadiran orang – orang yang ~ sepertinya~ akan merubah hidupnya. Kartika, Fabian, Elise, Valent dan… Elia…
*****
Dua hari kemudian…
Alif berjalan di koridor sekolah kala itu. Jam terakhir pelajaran sekolah ternyata dipakai para guru untuk melakukan rapat. Jadinya semua kelas dibiarkan luntang – lantung dikelas. Beberapa kelas hanya diberikan tugas dan yang lainnya dibiarkan terbengkalai. Jika hal demikian terjadi, biasanya para murid banyak yang ke kantin atau tidur!
Huh! Alif menggerutu dalam hati. Kalau memang tidak ada yang mengajar, bukankah lebih baik para murid dipulangkan saja? Daripada di tahan di sekolah, membuat para siswa – sisiwi luntang – lantung nggak jelas!
Sudah dua hari ini Alif tidak masuk sekolah. Sekalinya ia masuk, keadaan sekolah menjadi tidak jelas dalam pandangannya! Kalau begitu, lebih baik ia tidak perlu masuk saja. Iya, kan?
“Alif…”
Alif mendengar seseorang memanggilnya dibelakang. Ia menoleh kearah sumber suara. Gadis bermata sendu…
“Kau lagi…” Kata Alif sinis. Gadis itu seperti biasa hanya menunduk gugup.
“Ada apa? Namamu Elia, kan?” kata Alif. Elia mengangguk.
“Kenapa?!” Tanya Alif lagi.
“Mmm… aku… aku…” Elia tampak gugup.
`gadis aneh!` pikir Alif.
“Jika tak ada yang ingin dibicarakan, aku akan pergi!” Kata Alif tegas. Elia masih tertunduk. Sebenarnya Elia ingin bicara banyak dengan pemuda itu. Namun ia tak tahu harus memulainya dari mana.
“Hai Elia.” Sebuah suara mengagetkan mereka berdua. Abim! Ia datang dengan senyum cengengesan.
“Ng… Abim!” Balas Elia. Abim langsung memnggamit pundak Elia. Elia kikuk. Alif menatap mereka dingin.
“Hei, kekantin yuk! Temani aku makan.” Kata Abim beramah tamah. Elia mencoba menolak, namun sepertinya ia memang miskin dengan kata – kata! Elia tampak tak nyaman dengan gamitan lengan Abim di bahunya. Mereka berdua seperti… sejoli! Meskipun Elia tampak tak suka dengan perilaku Abim.
“Nnngg, maaf… aku…” Elia mencoba berkilah. Ia melirik kearah Alif.
“Kau tidak punya janji, kan? Apalagi dengannya!” Abim melirik sinis kearah Alif. Alif menatap dingin meski kupingnya terasa panas!
Kemudian untuk meringankan emosinya yang akhir – akhir ini mulai terpancing, Alif berbalik mencoba untuk meninggalkan Abim dan Elia. Ia membalikkan tubuhnya mencoba masak bodoh!
“Alif tunggu…” Elia memanggil Alif. Alif menoleh sedikit. Elia dengan paksa melepaskan gamitan lengan Abim di bahunya. Ia segera berlari kearah Alif dan langsung dengan sigap menggandeng tangan Alif!
“Maaf Abim, aku sudah ada janji dengan Alif.” Kata Elia. Alif mengernyitkan dahi. Abim diam terpaku. Lalu ada sedikit emosi yang menyelusup kedalam hatinya. Tangannya terkepal seolah ada dendam yang melingkupi ruang hatinya!
`kenapa mesti dia?!` Benak Abim. Untuk sesaat Abim hanya terdiam. Namun Elia tampak tak peduli. Matanya menangkap tatapan heran Alif.
Elia langsung menarik lengan Alif dan mereka berjalan menajauhi Abim tanpa menoleh lagi. Abim tampak cemburu di belakang mereka! X( X( X(
*****
“Lepaskan!!”
Alif mengayunkan tangannya kasar hingga membuat genggaman tangan Elia terlepas! Sesaat mereka telah jauh dari Abim. Elia tampak salah tingkah. Alif tampak kesal dengan tingkah Elia.
“Apa – apaan kau menarikku dengan modus punya janji denganku?!” Kata Alif kesal. Mukanya tampak kerasan. Elia terdiam.
“Maaf, aku hanya ingin menjauh dari Abim.” Kata Elia.
“Tapi tidak harus memanfaatkan keberadaanku, kan?!” Omel Alif. Elia terdiam.
“Maaf.” Kata Elia menunduk. Alif menatap sinis kearah wanita berjaket levis didepannya.
“Huh!” Alif menggerutu. Ia langsung berbalik hendak meninggalkan Elia.
“Alif tunggu!” Elia langsung menarik lengan Alif dan mencegahnya untuk pergi. Alif jadi kesal.
“Apalagi?! Bukankah kau sudah tidak didekati lagi oleh Abim?!” Kata Alif dingin namun dengan ekspresi kesal.
“Iya, tapi bukan berarti kau harus meninggalkanku!” Kata Elia dengan mimik meyakinkan.
“Apa urusanmu denganku?!” Umpat Alif.
“Aku… aku…” Elia tampak bimbang.
“Apa?!”
“Aku hanya ingin dekat denganmu!” Kata Elia akhirnya. ia tampak tertegun dengan kata yang keluar dari mulutnya.
Alif tampak heran. Murid baru ini memang menyimpan banyak kejutan dan penuh misteri. Saat orang – orang yang dekat dengannya malah menjauhinya, wanita itu hadir di hadapannya dan bilang ingin dekat dengannya! Padahal Alif adalah salah satu orang asing baginya. Siapakah gerangan dia?
“Kau akan menyesal jika kenal denganku…” kata Alif dingin.
Elia terdiam.
“Itu takkan terjadi padaku.” Kata Elia yakin. Alif menatap heran Elia.
“Terserah kau saja…” Kata Alif sambil mengibaskan tangannya hingga cengkraman Elia terlepas. Ia kemudian berbalik meninggalkan Elia sendirian.
“Alif tunggu!” Elia langsung mengejar langkah Alif. Alif tak peduli.
“Kau mau kemana?” Tanya Elia.
“Entahlah.” Jawab Alif singkat tanpa melihat Elia.
“Ke kantin yuk!” Ajak Elia. Alif tak acuh.
“Ogah ah!” Kata Alif galak.
KRYYUUK!!
Sebuah suara yang tidak diinginkan terdengar diantara mereka.
Alif dan Elia berhenti dan kemudian saling berpandangan. Alif tampak tengsin meski tetap jaim. Sementara Elia menahan tawa.
“Itu… suara perutmu?” Tanya Elia. Matanya menyipit akibat menahan tawa. Alif hanya diam menahan malu.
“Diam kau…” Gumam Alif jengkel. "> "> ">
“Kekantin yuk! Aku bayarin deh…” Kata Elia akhirnya merasa mendapatkan Alif. Alif tertunduk dan salah tingkah.
“Udah ikut aja! Aku tahu koq kamu lagi kelaperan. Iya, kan?” Kata Elia menang. Ia langsung menggamit lengan Alif. Alif hanya menuruti saja karena memang ia tengah kelaparan.
Mereka berdua berjalan menuju kantin sambil sesekali mengobrol.
“Ada apa dengan lenganmu?” tanya Elia yang melihat lengan Alif penuh dengan luka sayat. Alif tersenyum dingin.
“Bukan apa – apa. Hanya... luka biasa.” Kata Alif. Elia terdiam. Ia tahu Alif tengah berbohong.
“Apa bekas luka didahimu itu juga luka biasa?” tanya Elia. Alif kembali menatap dingin.
“Ya.” Katanya.
Elia tersenyum meremehkan. Alif memang bukan tipe pembohong yang ulung.
Mereka berdua berjalan melewati koridor yang tampak ramai kala itu. Beberapa murid lebih memilih bersenda gurau dan yang lainnya ada yang berdiskusi. Beberapa murid juga sesekali memandang heran kepada mereka berdua. namun untunglah Alif dan Elia adalah tipe orang yang tidak terlalu peduli pada lingkungan sekitar.
“Sudah berapa lama kau di sekolah ini?” tanya Alif membuka percakapan. Elia tersenyum karena Alif yang introvert akhirnya berani membuka sebuah percakapan dengannya.
“Tiga hari.” Kata Elia singkat.
“Aneh. Seolah aku merasa kau tampak tak asing dengan sekolah ini.” kata Alif. Elia hanya tersenyum.
“Kulihat kemarin kau datang ke sebuah gereja bersama seorang pria.” Kata Alif mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu.
“Ya, disana tempat tinggalku. Tepatnya di biara st. Louis. Dan pria yang kau temui, namanya Valent. Dia kakak angkatku yang tertua.” Kata Elia.
“Kau anak adopsi?” tanya Alif.
“Ya.”
“Dan kau seorang kristian.” Tanya Alif.
“Tidak.” Kata Elia singkat. Alif mengernyitkan dahi.
“Apa agamamu?” tanya Alif.
“Aku seorang muslim.” Tegas Elia. Alif tampak bingung.
“Kau seorang muslim, tapi tinggal di biara gereja.” Kata Alif mengutarakan kebingungan.
“Memangnya kenapa? Bukankah toleransi dalam keagamaan masih berlaku di negara ini?!” Kata Elia. Alif tertegun mendengar ucapannya. Untuk sesaat mereka terdiam.
“Kau benar. Toleransi dalam agama memang berlaku. Tetapi tidak untuk toleransi penyimpangan seksual.” Kata Alif sedikit sendu. Elia menatap Alif dalam.
“Maksudmu?” tanya Elia. Alif mengernyitkan dahi.
“Apakah kau memang tak setahu itu tentangku?” tanya Alif. Elia menggeleng.
“Kupikir kau sudah tahu dari Pratama atau Riska. Atau siapapun disekolah ini tentang diriku.” Kata Alif.
“Oh, ayolah. Aku baru tiga hari di sekolah ini.” Kata Elia.
“Memangnya ada apa denganmu.” Kata Elia. Alif terdiam.
“Lebih baik kau tahu sendiri saja nanti.” Kata Alif. Elia terdiam sesaat. Alif memalingkan wajahnya dari tatapan Elia. Berjalan kedepan tanpa menanggapi lagi obrolannya dengan Elia.
“Kabar tentang kau seorang gay, kah?” kata Elia. Alif tertegun dan terhenti sesaat dari langkahnya. Ia menunduk mendengar pernyataan yang dilontarkan dari bibir Elia. Elia menatap iba Alif.
“Ternyata kau juga sudah tahu.” Kata Alif lemah. Elia terdiam.
“Aku sudah tahu, sejak pertamakali aku sekolah disini. Teman – temanmu, membicarakanmu. Dan… menganggapmu menjijikkan!” Kata Elia hati – hati. Alif tersenyum pahit. Untuk sesaat mereka terdiam.
“Apa kau juga akan bersikap seperti mereka?” tanya Alif.
“Maksudmu?” ungkap Elia.
“Apakah kau akan menjauhiku, menggunjingku dan menganggapku menjijikkan seperti yang mereka lakukan?” tanya Alif. Elia terdiam.
“Setiap manusia pasti punya dosa. Dan menjatuhkanmu bukanlah hal benar untuk membantumu keluar dari dosa. Itu kata pastur ditempatku.” Kata Elia. Ada sedikit kelegaan dalam hati Alif. Elia memang orang yang baik. Namun Alif enggan untuk mengungkapkannya lewat kata – kata.
“Kita ngobrol dikantin saja. Sepertinya kau butuh teman cerita untuk mencurahkan semua masalahmu.” Kata Elia sembari tersenyum. Bibirnya yang berwarna pink alami membuatnya tampak berkilau seperti ruby.
Alif tersenyum dengan kata – kata yang dilontarkan Elia. Ia mengikuti Elia yang berjalan lebih dulu ke kantin.
Di kantin mereka memilih tempat yang lebih terisolasi dari keramaian. Elia memesankan Alif sepiring nasi goreng. Alif hanya menunduk malu – malu menyembunyikan wajahnya dari Elia. Elia duduk dihadapan Alif.
“Jadi, bagaimana ceritanya?” tanya Elia menawarkan dirinya untuk menjadi curahan hati Alif. Alif tersenyum hambar.
“kau mungkin akan jijik mendengarnya, dan ceritanya cukup panjang.” Katanya melirik Elia. Elia memperhatikan wajah Alif yang khas melayu sambil tersenyum.
“Sepertinya aku punya banyak waktu untuk itu.” Kata Elia meyakinkan. Alif cukup ragu sesaat sebelum Elia meyakini bahwa ia akan baik-baik saja dan dapat menerima apapun yang akan diceritakannya. Elia memasang wajah serius dan sedikit mendekat kesampingnya untuk mendengarkan kisahnya.
Alif tak punya pilihan selain memceritakannya.
“Kau mungkin akan terkejut dengan cerita bahwa aku adalah seorang gay, dan... aku mempunyai seorang pasangan. di sekolah ini!.
"Namanya adalah Antoni. kau mungkin sudah mendengarnya dari beberapa murid disini karena dia adalah seorang Wakil Ketua OSIS.
“Entah rasa ini benar atau salah, tapi yang jelas aku selalu merasa nyaman saat didekatnya sehingga aku berani mengambil resiko menjadi kekasihnya! Semua dilalui biasa saja hingga kami mencapai hubungan ini telah lebih dari sebulan. Aku merasa sangat beruntung telah memiliki Antoni dalam hidupku.
“Antoni, sosok pria sejati yang membuat hari-hariku terasa manis. Dengan tangannya yang legam dan kasar ia telah mendorongku dan memotivasiku untuk tak peduli pada dunia tentang hubungan ini. Bahkan suatu kali ia pernah melambungkanku ke surga lewat hangat cintanya malam itu.”
Alif menghela nafas berat sebelum melanjutkan ceritanya. Elia memperhatikannya serius.
“Suatu hari, hubungan terlarang ini diketahui oleh banyak pihak. Antoni menciumku didepan banyak orang, namun salahku juga karena membalasnya! Tak disangka, cinta terlarang ini diketahui oleh ayahku! Aku dipaksa untuk memutuskan hubunganku dengannya meski aku tak mau!
"Aku tak dianggap sebagai anaknya jika aku tak berpisah dengan Antoni!
“Ayah hingga harus memukulku berkali-kali untuk merobohkan sikapku yang keras kepala. Tapi atas permohonan lembut ibuku, aku terpaksa harus berbohong kepada perasaanku sendiri! Dengan berat hati akhirnya kuturuti kemauan ayahku karena dorongan ibuku yang memohon kepadaku.
“ Di dermaga tanjung priok yang menjadi saksi akhir kisah cintaku dengan Antoni. Aku membohongi perasaanku sendiri hanya untuk menuruti kemauan orang tuaku. Hatiku miris saat Antoni pergi meninggalkan dermaga dengan airmata yang terus menetes karena kecewa padaku.
“Namun disaat itulah aku menyadari kebodohanku. Aku menentang ayah yang menghalangi perasaanku pada Antoni! aku tak peduli lagi pada larangan ayah dan langsung berlari menembus hujan untuk mengejar Antoni.
“Namun saat sudah sedikit lagi. Saat aku berhasil memanggil nama Antoni, Tuhan... merebutnya! Kecelakaan itu telah merenggut nyawa Antoni sehingga yang tersisa darinya hanyalah sebuah kenangan-kenangan indah yang akan terus terukir dalam memori hatiku.”
Alif meneteskan setitik airmata. Elia termangu mendengarnya. Elia cuma menggenggam erat tangan Alif yang kurus untuk menenangkan tangisannya. Alif melanjutkan ceritanya.
“Itu sebabnya aku tak percaya lagi dengan adanya Tuhan karena aku telah kecewa padaNya! Ia telah merebut orang yang paling berharga dalam hidupku. Kini tak ada lagi yang mewarnai hari-hariku. Hatiku kini kering dan jauh dari Tuhan.
"Duka nestapa yang aku rasakan ini, mungkin akan kubawa hingga aku mati! Aku tak pernah lagi bersosialisasi lagi dengan orang-orang sekitarku karena dalam pandanganku, mereka selalu mencoba memisahkanku dengan Antoni. aku bahkan tidak mengenal keluargaku dan sahabatku lagi. Aku sendirian didunia ini! Hidupku tak lagi memiliki arti dan tujuan!
" Tuhan itu tak ada! selalu kuyakini hatiku bahwa Tuhan itu `mati` sehingga aku tak pernah lagi meminta bantuan padanya! Mungkin aku tersesat jauh, tapi itulah yang kurasakan pada Tuhanku yang telah memisahkanku dengan Antoni.”
Alif mengakhiri ceritanya dengan tatapan nanar. Elia termangu dalam pikirannya. Sejauh inikah kesesatannya? Kenapa ia harus pergi dari Tuhan?
Tak terasa airmata Elia juga ikut meleleh. Elia menggenggam tangan Alif begitu erat. Alif tak bersuara dan hanya menundukkan kepalanya. Ia mencoba menyembunyikan kesedihannya.
“Alif…” panggil Elia lirih. “Maaf aku tak bisa membantumu banyak dalam meringankan beban hidupmu, tapi…” Elia menghentikan sejenak kata-katanya.
“Percayalah. Hanya Tuhan yang dapat menghilangkan luka hatimu! Aku tahu kau marah pada Tuhan dan tidak lagi percaya padaNya, namun menurutku kau perlu meluapkan kesedihan dan mendinginkan amarahmu diatas sajadah dan butiran tasbih. Yah, setidaknya itulah jalan keluar yang diajarkan oleh agama yang kuanut.” Kata Elia tenang namun lirih. Alif tersenyum hambar dan melirik kearahnya.
“Kau mengatakan itu seolah kau mengenali Tuhanmu dengan baik!” Kata Alif sambil tersenyum dingin seolah secara tak langsung ia menilai Elia `sok suci!`. Elia tampak maklum dengan Alif. Ia tahu, masalah seberat ini membuatnya merasa kesal dengan adanya Tuhan.
Dan untuk beberapa saat, mereka berdua terdiam karena pesanan mereka telah datang!
Mereka melupakan masalah yang yang baru saja di ceritakan dan mencoba untuk fokus ke makanan yang telah tersaji diatas meja.
Elia tersenyum. Alif akhirnya mau sedkit membuka hatinya atas kehadiran dirinya. Padahal dari kabar yang ia dengar dari Pratama, Riska, dan Abim, semenjak kejadian itu, Alif menjadi tertutup pada semua orang. Dan untuk beberapa detik, Alif juga mau menceritakan tentang kegundahan hatinya. Yah, anggaplah ini menjadi awal perkenalan mereka.
Alif tampak bernafsu menghabiskan makanannya. Suatu kemajuan kecil bagi Alif yang telah kembali memiliki nafsu makan. Padahal sebelum – sebelumnya, ia selalu tak berselera dalam makan.
Beberapa menit berlalu saat kedua piring diatas meja itu habis tak bersisa. Alif menyeruput es teh nya.
Elia memperhatikan wajah Alif. Begitu dingin dan begitu tirus.
Wajah yang dulu tampan, kini menghitam. Wajah seindah Apollo, kini mulai pudar pesonanya. Elia memejamkan matanya, untuk sesaat mencoba merasapi duka yang dirasakan orang didepannya.
“Ngomong – ngomong…” Alif bergumam. Elia menatap kata – kata yang akan dikeluarkan Alif. Untuk beberapa saat, keduanya terdiam.
“Aku belum mengenal latar belakangmu…” Kata Alif. Elia terdiam. Dan untuk sesaat sebuah guratan senyum misterius terkembang di bibirnya.
“Suatu saat kau akan tahu…” Kata Elia.
*****
mmmm.... anda terlalu cepat berkomentar bung.... sudah saya kirim tuh... part 22....
)
Husss bukan lah udh dr awal baca nya..
Haha ia td kan mention nya kecepetan *ngeles.
Astaga alif bermasalah lagi dengan si abim. Sepertinya ini bakal jadi cerita yang panjang kalo saya liat. Ayo semangat keeo writing ya. Jangan putus di tengah jalan.
Klo boleh, panjangin dkit setiap partnya, supaya aku dan yg lainnya lebih menikmati cerita yg menarik ini.
Sbnrnya w gak terlalu suka cerita yg blm selesai. Tp waktu liat judulnya jd makin penasaran. lalu jd ketagihan.
Ibarat uda kecanduan narkoba.
Bagussss bangatttt ceritanya.
Awalnya w kira dgn judul begitu pasti suasannya kyk cerita kuno. Rupanya engakk.
kerennn bangat ceritanya.
tolong dimention ya klo uda update.
Tp jgn lama2 ya. Bisa2 mati penasaran kerena kencanduan cerita ini.
Setelah bc cerita ini jd kebayang2 trussssssssss.
:-bd
Di kantor polisi, di ruang penyelidikan.
Kartika sedang duduk bertopang dagu. Didepannya terdapat Jaka, kepala polisinya yang juga ikut memfokuskan pikiran dengan laporan yang diberikan Kartika. Komputer dibiarkan menyala. Dan didepannya terpampang tumpukan file hasil dari laporan forensik.
Disudut lain ruangan, Fabian sedang memeriksa beberapa lembar laporan medis dan psikologis. Sesekali ia mengetik sebuah referensi di laptopnya untuk bahan makalah kuliahannya. Matanya tampak serius dibalik kacamata bacanya.
“Jadi, ada empat orang yang menjadi calon tersangka kita?” Gumam Jaka serius.
“Ya. Dari hasil yang ku selidiki, sepertinya memang ada empat orang yang menjadi calon tersangka pembunuhan Antoni Hendrawan.” Kata Kartika sambil menyentuhkan jemarinya diatas file – file catatan tersangka. File itu dilengkapi dengan lembaran foto.
“Siapa saja? Apa alibimu karena menuduhkan status tersangka kepada mereka?” Tanya Jaka. Kartika tersenyum berwibawa.
“Baiklah. Dengarkan…!” Kata Kartika. Kartika mengambil salah satu file yang berisi lembaran foto seorang pria paruh baya yang wajahnya kerasan.
“Yang pertama, ayah Alif sendiri! Tuan Rahman.” Kata Kartika.
“Pemilik perusahaan ArRahman itu?” Tanya Jaka.
“Ya.”
“Lalu?”
“Dari laporan yang kuterima, sesaat sebelum Alif dan Antoni bertemu di jalan pada waktu itu, Alif bertengkar dengan ayahnya. Ayahnya menginginkan Alif untuk menjauhi Antoni karena ayahnya sangat malu mempunyai anak seorang gay. Sementara Alif, dengan ngototnya, lebih memilih Antoni ketimbang ayah kandungnya sendiri.
Dengan ini kusimpulkan, bahwa ayah Alif kemungkinan merasa marah dengan anaknya dan tak mau menanggung malu! Apalagi, kudapati bahwa ayah Alif memiliki sedikit kecenderungan untuk menjadi psycho!”
Kata Kartika. Namun wajah Jaka masih tampak tak yakin.
“Berikutnya, dia…” Kartika mengambil file dengan foto seorang pria berwajah sedikit sangar.
“Abimanyu…” Kata Kartika.
“Satu sekolah SMA 18 tahu bahwa Abim sangat membenci Alif. Apalagi masalah mereka adalah masalah wanita. Huh! Dasar lelaki!” Gumam Kartika disela – sela pembicaraannya.
Jaka dan Fabian hanya tersenyum mendengar ocehan Kartika.
“Beberapa hari sebelum Alif ketahuan gay, Abim mengungkapkan rasa sukanya kepada Riska, wanita yang menjadi biang masalah di antara mereka! Namun ternyata, Riska lebih memilih Alif ketimbang Abim. Yah, meskipun Alif tidak pernah sekalipun membalas perasaan Riska. Mungkin modus ini mendasar dari rasa cemburu. Dasar ana remaja, ck ck ck. [-( [-( [-(
“Tapi, yang namanya soal perasaan, Abim masih mencintai Riska meskipun Riska menolaknya. Dan saat Alif ketahuan berpacaran dengan pria, Riska sakit hati sehingga kemungkinan Abim membalaskan sakit hati Riska dengan mencoba membunuh Alif di jalanan pada waktu itu!” Kata Kartika.
Jaka tampak mengangguk.
“Lalu…” Kartika menunjukkan seorang pria yang sedang memegang gitar.
“Raditya Pratama! Sahabat baik Antoni!” Kata Kartika. Jaka mengernyitkan dahi.
“Sahabat? Kenapa dia…” Jaka tampak tak mengerti.
“Dengarkan penjelasanku!” Kata Kartika tegas.
“Kenapa aku mengambil calon tersangka kepada Pratama? Sahabat Antoni sendiri? Karena kemungkinan Pratama tak ingin sahabatnya menjadi seorang gay! Yah, sahabat mana yang menginginkan temannya seorang gay? Apalagi Pratama disini adalah seorang anak band, yang notabene kehidupannya hanyalah kehidupan yang `nakal` dan `normal` yang biasa dilakukan anak laki – laki diusianya.”
Kata Kartika. Jaka terdiam.
“Dan yang terakhir…” Kartika mengambil selembar foto wanita. Jaka tampak sedikit terbelalak!
“Raisa Maharani. Atau yang biasa dipanggil… Rani.” Kata Kartika. Jaka terdiam.
“Beberapa hari sebelum kematian Antoni, Antoni mengungkapkan sisi gay nya pada wanita yang mencintainya; Rani. Mungkin Rani bisa memaafkan Antoni, orang yang dikaguminya! Namun setelah ia tahu siapa yang waktu itu menjadi pasangan Antoni yang ternyata Alif, mungkin dia malah menjadi sangat dendam kepada Alif!
Ditambah lagi, sesaat sebelum Antoni mati, korban bertemu dengan Rani dengan keadaan patah hati. Rasa cemburu dan pembelaan terhadap kekaguman, membuat Rani harus memilih jalan untuk menghabisi nyawa Alif, yang sebelumnya telah membuat Antoni sakit hati kala itu!” Kata Kartika.
Jaka terdiam. Seolah ada sesuatu yang ia ketahui dari balik matanya.
“Kau tahu apa yang kudapat dari hasil laporanmu?” tanya Fabian yang sedari tadi diam. Kartika menoleh pada Fabian.
“Apa?”
“Aku tak terlalu yakin dengan pencalonan tersangka tuan Rahman dan Pratama.” Kata Fabian.
“Kenapa?”
“Pertama, jika seandainya tuan Rahman memang tidak menginginkan anaknya menjadi gay, kenapa ia tak membunuh Antoni saja? Bukankan pembunuhan itu ditujukan kepada Alif? Bukan Antoni! iya, kan?
Lalu Pratama, aku tak terlalu yakin dengan alibinya yang tak menginginkan sahabatnya menjadi gay.” Kata Fabian tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.
“Jadi menurutmu, tersangka yang patut dicurigai hanyalah Abimanyu dan Maharani?” Kata Kartika. Fabian terdiam. Matanya tak lepas dari monitor laptop didepannya.
“Aku tak bisa menyimpulkannya langsung. Aku... harus bicara dengan keempat tersangka!” Kata Fabian.
“Untuk?”
“Untuk membaca `psikis` mereka.” Kata Fabian. Kartika terdiam.
“Kau yakin bisa mengejar deadline dengan menanyakan satu – persatu tersangka?” tanya Jaka. Fabian tak terlalu yakin. Untuk sesaat mereka terdiam.
“Biar kubantu kau!” Kata Jaka akhirnya. Fabian menatap Jaka.
“Apa kau bisa `membaca` mereka? hanya orang yang punya kemampuan membaca psikotest yang tidak akan keliru `membaca` seseorang!” Kata Fabian.
“Kau meragukan ku yang sudah puluhan tahun memimpin kantor kepolisian ini?! aku lebih banyak pengalaman dibandingkan denganmu!” Kata Jaka tegas. Fabian terdiam. Lebih tepatnya malas menanggapi. iay tak terlalu menyukai tipe orang yang `itung - itungan` dalam menyebutkan satu persatu kelebihannya.
“Baiklah. Kuserahkan sebagian tugasku padamu! Siapa yang ingin kau tanyai terlebih dahulu?” Tanya Fabian.
“Raisa Maharani.” Kata Jaka antusias. Fabian hanya angkat bahu.
*****
Suara bel sekolah nyaring terdengar. Seluruh murid berkerumun menuju pintu keluar sekolah dengan sisa lelah sehabis belajar dan otak yang sudah letih. Beberapa murid berbincang membicarakan tugas sekolah ataupun hal – hal murahan lainnya. Sebuah drama kehidupan putih abu – abu pastilah menjadi topik pembahasan mereka. ah, remaja…
Alif berjalan seorang diri keluar pintu gerbang. Sebenarnya ia enggan pulang karena malas. Namun karena ia tak punya tempat yang cocok untuk pelariannya, maka ia putuskan setelah ini ia akan mengurung diri di kamar ditemani beberapa sayat pisau dan rokok! hmmm... depresif, atau kecanduan?
“Alif…!”
Alif mendengar seseorang memanggilnya. Seorang laki – laki?!
Ia menoleh kebelakang dan… ia jadi malas dan mencoba untuk pura – pura tidak mendengar panggilan orang dibelakangnya. :-w :-w :-w
“Hei! Alif!” Teriak Fabian. Fabian tampak susah payah mengejar langkah Alif diantara kerumunan para murid. Namun akhirnya, ia berhasil mengejar langkah Alif. Ia menahan langkah Alif dengan menggenggam bahu remaja belasan tahun ini.
“Alif!” Panggil Fabian.
“Mau apa lagi?!” Kata Alif galak. Fabian tampak kalem.
“Aku butuh bicara denganmu!” Kata Fabian.
“Soal kematian Antoni?” Tanya Alif. Fabian mengangguk.
“Oh ayolah! Aku tak punya waktu untuk itu! Sudah kubilang, kan bahwa aku tak mau mengurusi lagi urusan kematian Antoni!” Kata Alif.
“Kalau begitu, aku ingin membahas hubunganmu dengan Antoni.” Kata Fabian.
“Sama saja!”
“Tidak. Aku… mmm… ingin menanyakan tentang seputar dunia homoseksual padamu. Ayolah, hanya sebentar saja!” Kata Fabian. Alif terdiam sejenak.
“Baiklah. Hanya sebentar, kan?” Kata Alif mengiyakan. Fabian hanya tersenyum.
Fabian kemudian mengajak Alif ke mobilnya yang terletak tak jauh dari warung sebelah sekolah. Mobil khas orang – orang beritelegensi. Sesaat setelah Alif masuk di kursi depan mobil Fabian, ia merasa Fabian adalah tipe laki – laki yang simple, menly, dan loyalitas. Terlihat dari beberapa hiasan dashboard mobilnya.
Setelah mereka berdua masuk, mobil itu berjalan membelah kota Jakarta sore hari. Alif nyaris lupa dengan kebiasaannya dikala senja; memandangi sunset! Yah, apapun suasana hatinya, entah duka ataupun suka, siluet matahari tenggelam memang selalu tampak indah dilangit metropolitan ini.
“Kau mau kemana? Café? Restoran? Mall?” tanya Fabian. Alif hanya memadang keluar jendela mobil.
“Aku hanya ingin berkeliling kota Jakarta saja.” Jawab Alif datar. Fabian tersenyum.
“Kalau begitu, kita pergi kekawasan Kota Tua. Bagaimana?” tanya Fabian.
“Terserah.” Jawab Alif lagi. Datar.
“Kau suka musik?” Tanya Fabian berbasa – basi.
“Tidak!”
“Benarkah? Kudengar kau pandai bermain musik instrument?” Tanya Fabian.
“Aku sudah lama melupakan hal itu.” Kata Alif.
“Kenapa?”
“Karena… tak ada yang menginginkannya.” Kata Alif sendu. Fabian tampak maklum. Fabian tahu Alif mendapatkan masalah pengembangan bakat karena ayahnya tak menyetujuinya.
“Kau suka Evanescence?” Tanya Fabian.
“Aku tidak suka musik rock.” Kata Alif malas.
“Band rock yang satu ini sedikit berbeda. Mereka lebih kearah… gothic!” Kata Fabian dengan mimik yang dibuat se - gothic mungkin. namun malah tampak membuatnya lucu.
“Sama saja!”
“Tidak sama. Kau akan terkejut saat mereka memadukan instrument dengan musik rock. Seperti…mmm... aliran mu dengan Pratama.” Kata Fabian. Alif mengernyitkan dahi mendengar nama terakhir disebut.
“Darimana kau tahu soal Pratama?” Tanya Alif. Fabian terdiam. Alif tersenyum meremehkan. Ia akhirnya menyadari bahwa Fabian akhir - akhir ini sering mengawasinya!
“Dasar penguntit!” Ejek Alif.
“Aku hanya membantu tugas kepolisian. Jadi, aku harus tahu seluk beluk relasi korban dengan lingkungannya.” Kata Fabian. Alif hanya tersenyum sinis.
"Alasan!" Gumam Alif tak acuh.
“Baiklah, satu lagu untuk menenangkan hatimu.” Kata Fabian mencoba menetralkan suasana. Alif tak peduli saat Fabian mengambil sekeping DVD dan memaskukannya kedalam DVD player.
Dan, suara instrument berpadu dengan suara wanita yang khas terdengar milik Amy Lee.
=======================================
Evanescence – Lost In Paradise.
~I've been believing in something so distant
As if I was human
And I've been denying this feeling of hopelessness
In me, in me
All the promises I made
Just to let you down
You believed in me, but I'm broken
I have nothing left
And all I feel is this cruel wanting
We've been falling for all this time
And now I'm lost in paradise
As much as I'd like the past not to exist
It still does
And as much as I'd like to feel like I belong here
I'm just as scared as you
I have nothing left
And all I feel is this cruel wanting
We've been falling for all this time
And now I'm lost in paradise
Run away, run away
One day we won't feel this pain anymore
Take it all away
Shadows of you
Cause they won't let me go
Until I have nothing left
And all I feel is this cruel wanting
We've been falling for all this time
And now I'm lost in paradise
Alone, and lost in paradise
=======================================
Alif terdiam dan untuk sesaat membiarkan telinganya dimanjakan oleh instrument yang disajikan oleh band rock – gothic itu. Cukup pas untuk suasana hatinya yang sedang duka dan lingkungannya yang memanjakannya pada pemandangan senja. Duka – senja – Lost in Paradise…
“Sudah kubilangkan tak seperti lagu rock kebanyakan?” Kata Fabian tersenyum membanggakan.
“Baiklah, pemilihan lagumu tepat kali ini.” Kata Alif sedikit memuji meskipun masih ditutupi. Fabian tersenyum.
“Baiklah, apa yang ingin kau bicarakan? Tentang `dunia`ku?” Tanya Alif datar.
“Sebenarnya banyak yang ingin kubicarakan padamu. Tentang, bagaimana caramu menghadapi dunia yang menurut orang umum adalah `berbeda`!” Kata Fabian.
“Mudah saja jika kau menghadapinya dengan pasanganmu!”
“Maksudmu `pasangan` itu… Antoni, kah?”
“Ya.”
“Lalu... saat ia `pergi`, bagaimana kau menghadapinya?” Tanya Fabian. Alif terdiam beberapa saat. Fabian membiarkan suasan itu terjadi. Ia memfokuskan pandangannya ke jalanan yang telah memasuki kawasan Jakarta Pusat. Lagu Lost in Paradise nya Evanescence telah sampai kepada posisi klimaks.
“Aku… tak bisa menghadapinya tanpa dia.” Kata Alif sendu. Fabian terdiam.
“Sebegitu berharganya kah dia dalam hidupmu?” tanya Fabian pelan. Alif terdiam beberapa saat.
“Dia adalah lelaki terindah dalam hidupku.” Kata Alif.
“Aku ingin tahu bagaimana cara kalian bisa memiliki keterikatan satu sama lain. Maksudku, bagaimana caramu bisa masuk kedalam dunia `homoseksual`?” Tanya Fabian.
“Aku tak tahu. Berawal dari sebuah tatapan, rasa penasaran, kenyamanan, dan… berakhir menjadi seperti sekarang.” Kata Alif. Fabian hanya mengangguk.
“Kau memiliki trauma masa kecil atau masalah dalam menemukan cinta. Atau… semacamnya?” Tanya Fabian. Alif menoleh kearah Fabian.
“Maksudmu?” Tanya Alif.
“Yang kutahu, pembelokan yang kau alami, biasanya disebabkan oleh kurangnya kasih sayang ataupun gagal dalam percintaan. Benarkah?” Tanya Fabian. Alif terdiam. Ia kembali menatap senja diluar sana.
“Ya, kau benar. Aku… merindukan belaian kasih sayang ayahku.”Kata Alif.
“Memangnya… ada apa dengan ayahmu?” Tanya Fabian. Alif terdiam.
“Entahlah… dia seperti sudah… `mati`!” Kata Alif tampak murung. Fabian hanya terdiam. Dan untuk sesaat, Alif tersenyum getir.
“Ah… sudahlah… kau jadi membuatku teringat akan beban sakit hatiku.” Kata Alif dengan senyum dinginnya.
“Maaf, aku tak bermaksud…” Kata Fabian. Alif hanya tersenyum.
“Ngomong – ngomong, bagaimana dengan pacarmu? Dia baik – baik saja, kan?” Tanya Alif berbasa – basi. Fabian mengernyitkan dahi.
“Siapa?” tanya Fabian bingung.
“Polisi wanita yang waktu itu.” Kata Alif.
“Oh… maksudmu Kartika?! Dia bukan pacarku.” Kata Fabian mempertegaskan.
“Kenapa? Bukankah dia cantik. Lagipula dia pasangan yang cocok untukmu.” Kata Alif.
“Haha… yah, dia memang cantik. Tapi… keras kepala! Menurutnya anak laki – laki itu payah!” Kata Fabian. Alif tersenyum.
“apa kau menyukainya?” selidik Alif. Fabian hanya tersenyum penuh arti. Untuk sesaat Alif hanya tersenyum melihat tingkah Fabian.
“Ya bisa dikatakan begitu.” Kata Fabian.
“Mengapa kau seolah tampak tak yakin?” tanya Alif. Fabian terdiam.
“Dia… sama sepertimu. Seorang muslim. Yang menghalangiku untuk bisa dengannya adalah, perbedaan agama.” Kata Fabian. Alif mendesah.
“Kenapa selalu agama yang menjadi penghalang!” Tanya Alif sinis. Fabian tampak sepaham apa maksud dari pernyataan Alif.
“Kau tahu, terkadang aku bingung dengan peraturan – peraturan agama yang menurutku terlalu mengekang cinta. Tidak boleh ini, tidak boleh itu, tidak boleh berpacaran dengan ini, itu… dan bla, bla, bla!” Kata Alif kesal. Fabian menanggapinya dengan segurat senyuman.
“Yah, terkadang kau benar juga.” Kata Fabian. Alif terkejut.
“Kenapa?” Tanya Fabian melihat keterkejutan Alif.
“Kau membenarkan bahwa agama mengekang cinta?” tanya Alif. Fabian tersenyum.
“Bukan bagian yang itu! Aku setuju bahwa agama memang `membatasi` cinta.” Kata Fabian. Alif menrungut kesal.
“Apa bedanya?!” kata Alif.
“Jelas beda. Agama memberikan tata peraturan kepada manusia agar manusia tidak bertindak berlebih – lebihan dalam cinta. Dengan kata lain, agama adalah `aturan perundang – undangan` manusia selama hidup di dunia.” Kata Fabian bijak.
“Kenapa tidak gunakan hukum saja? Toh, hukum yang berlaku di negara juga berlaku untuk mengatur manusianya, kan?”
“Tidak! Itu jelas berbeda! Agama mengatur manusia lebih rinci. Dengan kata lain, lebih bersikap kepada normatif dan menyangkut ideologi. Bahkan agama adalah tata peraturan yang diberlakukan untuk umat di penjuru bumi. Sedangkan hukum hanya berlaku untuk sosial, politik, negara, dan perekonomian. Dan batasnya hanya sampai pada penghuni wilayah tertentu.” Kata Fabian menerangkan.
“Tapi jika seandainya agama itu diperuntukkan manusia, maksudku, banyak yang bilang bahwa agama yang kuanut itu untuk kepentingan manusia. Sangat indah dan menjadi juru penyelamat. Tapi… seolah – olah agama malah memenjarakanku dalam `hukum` yang diterapkannya. Yah, seperti cintaku pada Antoni, mengapa `mereka` malah menilai kami bahwa kami `menyimpang`?” tegas Alif.
“Sebenarnya aku tak terlalu tahu dengan agama yang kau anut. Tapi dari pernyataanmu, sepertinya kau lebih mementingkan ke inginanmu daripada kebutuhanmu!
Sementara menurutku, agama memenuhi kebutuhan, bukan keinginan. Percayalah, terkadang apa yang kita inginkan, tak berarti kita membutuhkannya. Dan pilihan yang Tuhan berikan kepada hidupmu, adalah pilihan yang terbaik. Meskipun yang terbaik… tak berarti yang terindah menurutmu.” Kata Fabian.
Untuk sesaat Alif terdiam. Wajahnya masih menyiratkan ketidakpuasan akan jawaban Fabian. Fabian hanya membiarkan suasan hening bergumul diantara mereka.
“ngomong – ngomong, kau muslim, kan?” Tanya Fabian. Alif terdiam.
“Tidak! Aku... atheis.” Kata Alif dingin. Fabian terdiam.
Untuk sesaat kedekatannya dengan Fabian dan Elia dapat membuatnya lupa akan masalah yang sedang dihadapinya saat itu. Dan sedikit membuka hatinya kembali. meskipun, hati itu terbuka tanpa ada yang bisa melihatnya...
*****
Sore yang sama, di gereja st.Louis
Sore itu, Elia berjalan menuju sebuah biara gereja. Ia memasuki bangunan yang terkesan klasik namun eksotis. Sebuah gereja yang terbuat dari batu-batu marmer yang ditumpuk rapi. Di kanan kiri terdapat lukisan-lukisan mahakarya yang gaya lukisnya nyaris mirip dengan gaya lukisan Leonardo da vinci. Seperti lukisan keputusan Solomon, perjamuan terakhir dan kisah penyaliban.
Elia memasuki sebuah ruang yang mirip dengan mihrab. Sebuah ruangan kecil yang seperti rumah pada umumnya. Ya, rumah Agustinus memang sengaja disatukan dengan gereja St.Louis, gereja ini. Sehingga jika ingin masuk rumah Agustinus, ia harus melewati koridor gereja. Lagipula, rumah Agustinus lebih mirip dengan `kamar` dan `lorong`.
Saat Elia memasuki ruangan , ada Ana, seorang biarawati tua yang sedang memasak. Ia menoleh kearah Elia dan tersenyum.
Elia membalas senyumnya. “bagaimana sekolahmu Elia?” Tanya Ana. Ana adalah biarawati yang cukup piawai dalam mengurus anak – anak angkat Agustinus.
“Cukup melelahkan.” Kata Elia singkat sembari tersenyum. Elia langsung beranjak kekamarnya. Ana memperingati agar Elia tidak lupa makan malam nanti. Elia hanya menyahut.
Kamar Elia terletak di lantai dua. Ruangannya cukup luas. Dengan warna krem dan bergaya klasik. Berkesan netral dan nyaman. Sebagian peralatan besar seperti ranjang dan lemari dicat dengan warna merah marun.
Elia melepas lelah dan berbaring di ranjang. Mengingat kejadian hari ini. Tentang bagaimana ia akhirnya bisa dekat dengan Alif. Meskipun, ia merasa sebuah dinding masih berdiri kokoh disana!
Elia bangkit dan duduk sejenak di tepi ranjang. Elia mendekati cermin dan memandangnya. Wajah cantik yang terpantul di cermin seolah membuyarkan lamunannya kalau `itu bukan aku`!. Rambut hitam lebat dan panjang serta tubuh langsing.
Elia cukup cantik dengan penampilannya yang sekarang!
Tidak ada lagi dirinya yang dulu! Yang ada hanya `dirinya` yang cantik dan tirus. Begitu cantik, seolah membuat siapa saja tak menyadari kalau dulu, dia bukanlah `dia`….
Elia menghela nafas. Begitu sulit untuk dapat beradataptasi di lingkungan yang baru saat ia merindukan suasana indah dulu. Namun setidaknya ia diterima di kehidupan barunya.
“Hei, kau sudah pulang?” suara Valent mengejutkan lamunannya. Valent berdiri diambang pintu. Tubuhnya yang tinggi membuatnya harus merendahkan badannya sedikit karena pintu kamar cukup rendah.
“Valent?!” Kata Elia.“Kenapa tidak mengetuk pintu dulu?” kata Elia ramah. Valent hanya tersenyum. Kemudian Elia mempersilakannya masuk. Valent duduk ditepi ranjang dan Elia mengikutinya dan duduk disebelahnya.
“Bagaimana dengan sekolahmu?” tanya Valent. Elia tersenyum
.
“Baik.” Jawab Elia singkat. Valent hanya menganggukkan kepala. Suasana canggung hinggap diantara mereka berdua. Untuk sesaat Valent terdiam. Seolah seperti ada pembicaraan serius yang ingin ia bicarakan!
“Kau tahu, aku… masih penasaran kau darimana? Maksudku… luka dipunggungmu! Itu bukan sebuah luka yang lazim. Tidak seperti dibuat manusia atau binatang buas.” katanya. Elia mengernyit. Ia tahu pasti bahwa ia memang memiliki sebuah luka permanen dibelakang tubuhnya. Entah luka apa itu...
“maksudmu?” tanya Elia balik.
“Ya, kau tahu. Luka itu seperti sebuah cambukan namun sepertinya lebih parah daripada luka cambuk. Aku bertanya-tanya, apakah yang terjadi dengamu sebelum aku menemukanmu di pelataran gereja.” katanya panjang lebar.
Elia menunduk. Mengingat kembali bagaimana saat ia ditemukan terkapar didepan gereja. Dengan sebuah luka tusuk!
“Kau tidak akan percaya dengan apa yang telah aku alami.”
Kata Elia singkat. Valent mengernyitkan dahi.
“Apa?” tanyanya.
“Sesuatu yang disebut dengan, mmm… sulit untuk menjelaskannya. Mmm… reinkarnasi! kelahiran kembali, apapun namanya itu…” kata Elia. Hatinya bimbang apakah harus ia ceritakan semuanya atau tak perlu diceritakan. Sulit untuk membuat seseorang percaya akan apa yang tak lazim di kehidupan. Haruskah Elia menceritakannya?
Valent masih menerka jawaban Elia. Elia tampak was – was. Ia tak berani menatap Valent.
“mungkinkah... Sumpah Hitam?” kata Valent menerka. Elia mengernyitkan dahi. Kali ini ia tampak tak mengerti.
“Maksudnya?” Tanya Elia.
“Entahlah, aku membacanya dari internet untuk bahan kuliahanku. Ini mengenai tentang sebuah sumpah hitam yang dilakukan oleh penduduk dalam suku badui. Konon katanya, mereka bisa menghidupkan orang lagi meski dalam bentuk yang berbeda.
Seseorang yang bangkit dari kubur atau dihidupkan kembali, terkadang saat mereka dihidupkan, luka-luka bekas siksaan menjadi bukti bahwa mereka baru melewati sebuah siksa akhirat. Mereka dihidupkan kembali untuk menebus dosa mereka. Orang-orang Badui menyebutnya sebagai `Sumpah hitam`.
Namun ajian kanuragan ini telah lama diperkenalkan di Mesir dan Yunani. Yaitu sebuah perjanjian yang melebihi sebuah kontrak. Jika seandainya mereka gagal melaksanakan perjanjian itu, jiwa meraka akan diserahkan kepada…mmm... iblis.” Kata Valent. Elia tampak tercengang.
“benarkah begitu ceritanya?” Tanya Elia.
“Entahlah. Aku hanya mendengar cerita itu dari dunia maya. Karena… luka dipunggunmu itu, mengingatkanku pada kisah ‘Sumpah hitam’ itu.” Kata Valent. Elia terdiam. dan untuk sesaat hening kembali menggantung. dan beberapa saat kemudian, Valent tersenyum.
“Tapi bukan berarti aku menakut-nakutimu. Aku hanya penasaran darimana kau dapatkan luka itu. Cukup mencurigakan, melihat seorang gadis telanjang yang berlumuran darah sedang tergeletak mengerikan di depan gereja!” katanya. Elia hanya tersenyum pahit.
“Tapi…” Valent bangkit berdiri hendak pergi. “Itu hanya sebuah mitos urban. Lagipula, aku beruntung telah mendapatkan adik lagi macam dirimu. Yang jelas, dari manapun asalmu, kau akan tetap kuanggap sebagai adikku.”
Kata Valent sambil mengacak – acak rambut panjang Elia.
Elia tampak jengkel dengan tingkah kakak angkatnya yang memang paling dewasa. Valent hanya cengengesan.
*****
Kriiing!!
Sebuah telepon berdering. Kartika buru – buru mengangkat telepon rumahnya itu. Ia sampai harus melupakan acara mandinya dan pergi ke ruang tengah dengan handuk dan tubuh yang masih dalam keadaan basah.
Dengan jengkel, Kartika mencoba mengangkat telepon itu dengan nada yang diramahkan.
“Halo…” Kata Kartika.
“Ha- halo… Kartika?” Jawab seseorang diseberang sana dengan gugup. Wanita!
“Ya saya sendiri. Ini siapa?” Tanya Kartika.
“Ini… mmm… Elia…” Kata wanita itu memperkenalkan dirinya.
“Elia? Elia siapa, ya?” Tanya Kartika lagi.
“Elia… adik angkatnya Fabian…” Kata Elia. Kartika mengingat sejenak.
“Oh Elia! Anak biara kelima itu?” kata Kartika menjuluki Elia. Ia baru mengenal Elia beberapa hari ini karena Elia adalah orang baru yang diangkat oleh pastur St. Louis sebagai anak.
“yah… begitulah…” kata Elia pasrah.
“Ada apa Elia?” Tanya Kartika.
“Hmmm… bisa kita bertemu besok… ada sesuatu yang ingin kubicarakan berdua denganmu…” Kata Elia.
“Besok? membicarakan apa, ya? Bisa kau tentukan tempat dan waktunya?”
“Jam 15.45 WIB. Di Cafetaria, Arion. Ini menyangkut dengan... mmmm... kasus yang kau hadapi!” Kata Elia. Kartika terdiam sejenak. `kasus yang kuhadapi? Pembunuhan Antoni, kah?` tanya Kartika dalam benaknya. Untuk sesaat ia terdiam.
“Halo… Kartika?” Panggil Elia diseberang sana.
“Mmmm… Baiklah, besok kutemui kamu di Cafetaria, Arion. Usahakan tepat waktu.” Kata Kartika.
“No problem.”
“Sampai jumpa besok.”
Tutt…
Hubungan terputus. Kartika masih penasaran dengan apa yang ingin dibicarakan oleh Elia. Namun biarlah, toh, hari esok juga akan tiba tanpa ditunggu.
*****
Evanescence- lost in paradise