It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
alif kayaknya belum bisa memahami arti kehidupan yg sesungguhnya....
semoga fabian akan bisa membantun memahami hati dan ketidakpuasan alif pada Tuhan meski dari sudut pandang fabian
itulah indahnya kebersamaan dalam persaudaraan meski berbeda keyakinan....
Mantapp.
Cuman kehilangan antoni seolah2 ada yg kurang gt.
Rasanya peran antoni sangatt sedikit.
;-(
Tapi yg aku bingung smp skrng, yang uke siapa? Terus seme nya siapa? Antoni diimajinasi aku jadi seme nya, tapi liat tingkah alif yang mukul pantat fabian aku jadi mikir kalo alif itu seme nya.. '-'
Tapi yg aku bingung smp skrng, yang uke siapa? Terus seme nya siapa? Antoni diimajinasi aku jadi seme nya, tapi liat tingkah alif yang mukul pantat fabian aku jadi mikir kalo alif itu seme nya.. '-'
Antoni emang cocok berpasangan dengan Alif, ya??.... hmmm...
why??
huhuhuhu.... mgkin beberapa orang akan bosan dgn cerita ini karna beberapa ada yg udh tahu akhirnya (maklum! saat itu masih lugu-lugnya membuat cerita. jadi asal ceplas ceplos deh..)
saya nggak bergantung sama konsep `seme maupun uke`. jadi siapapun yang jadi `seme `maupun `uke` ya.... tidak pasti..... -____-.
pssst, hey hey.... Pratama (Aslinya!! ~beneran!~)
in my `profil picture`..... kyahahaha.....
The real name of Raditya Pratama is: Syahrul Pratama (Orang yang memberikan inspirasi kepada tokoh Pratama di RBV. dan dia.... mmm.... my secret admirer... hehehe.... )
Mantapp.
Cuman kehilangan antoni seolah2 ada yg kurang gt.
Rasanya peran antoni sangatt sedikit.
;-(
Suara hati Alif…
Sabtu, akhir pekan.
“Halo… Pratama?”
“Halo, ya dengan Pratama. Ini siapa?” Tanya seseorang di seberang sana.
“Alif…” jawabku singkat.
“Alif! ada apa? pertama kalinya kau meneleponku.” Kata Pratama heran.
“Apa kau sibuk? Mau mengantarku?” kataku dingin dan datar tanpa menjawab pertanyaan Pratama.
“Tidak, aku tidak sibuk. Mengantarmu kemana?” katanya di seberang telepon.
“ke makam Antoni. Aku… kangen sama dia. Sekalian ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu.” kataku datar. Hening sejenak, sepertinya Pratama sedang berpikir tentang sesuatu disana.
“mmm, baiklah… kutunggu di depan gerbang kost-ku.” Katanya akhirnya mengiyakan ajakanku. Memang, semenjak aku mengenal Pratama lewat Antoni, baru kali ini aku menghubungi dirinya.
Pratama orang asing bagiku, namun dialah yang menurutku bisa kujadikan teman untuk saat ini. Aku menutup telepon dan terdiam sejenak di tepi tempat tidur. Aku menatap langit-langit kamarku dengan dingin. Bayang-bayang Antoni masih menghantuiku. Tak bisa kupercaya ia telah pergi. Hati ini masih sakit namun tak ada gunanya aku menangis lagi. Toh, Antoni tak akan mendengar suara tangisanku!
Aku bangkit dan bergegas keluar. Aku berjalan kosong menuju motorku.
Setelah ku-starter motorku, aku langsung melaju perlahan dalam perjalanan.
Tak sampai beberapa menit aku sudah sampai di depan kost Pratama. Ia berdiri didepan pagar. Didalam pagar tampak ibu kost yang sepertinya tiap hari pekerjaannya hanya menyirami tanaman.
“Kupikir kau tidak akan datang.” katanya sambil menopang lengan di dada. Aku tak mengacuhkan pertanyaannya dan dengan santainya aku turun dari motor.
“dari sini, kita naik angkutan saja. Boleh aku titip motorku didalam?” tanyaku kepada Pratama. Ia mengangguk.
Setelah kumasukkan motor kedalam halaman kostnya (Dan otomatis harus beramah tamah dengan ibu kost bersuara mezosofran), kami langsung berjalan kaki ke trotoar untuk menaiki angkutan umum.
Beberapa menit kemudian kami sudah duduk di dalam angkutan umum yang saat itu cukup kosong. Aku bersandar di bagian kursi paling belakang. Tak ada kata yang terlintas dari mulut kami. Hening menyeruak diantara kami.
“ada apa? Kenapa kau mengajakku?” Tanya Pratama akhirnya.
“aku hanya…butuh teman.” Kataku singkat. Kami terdiam kembali.
“Apa ‘sesuatu’ yang ingin kau ceritakan denganku?” katanya menanyakan pernyataanku di telepon tadi.
“Nanti saja aku ceritakan. Sekarang belum tepat.” kataku malas. Suasana senggang lagi-lagi terjadi.
“Kau tahu gadis bernama Elia? Menurutku, dia mirip dengan…mmm… Antoni.” Kata Pratama hati-hati. Aku langsung menoleh kepadanya.
“benarkah? Aku tak terlalu memperhatikannya.” Kataku mengaku.
“Ya ampun, kalian sekelas, bukan?! Masak nggak saling kenal, sih?!” tanyanya sedikit histeris.
“Ya, dan aku tak peduli!” Kataku malas. Kuakui memang gadis bermata sendu itu agak mirip dengan Antoni. Namun aku mencoba menyanggahnya.
Akhirnya kami sampai di sebuah pemakaman umum. Setelah memberikan ongkos kepada si supir, kami langsung berjalan ke gerbang pemakaman yang bercat hitam dan besar.
Wangi kamboja meniupkan hawa dingin yang begitu mencekam. Kami berjalan menuju unit islam yang terletak ditengah – tengah pemakamanan sehingga kami harus melewati beberapa jalanan setapak di tengah area pemakaman.
Aku dan Pratama berjalan mendekati salah satu pusara putih. Aku menatap lurus kesana. Pratama tampak berdoa dengan menundukkan wajah polosnya. Di nisannya tertulis nama:
R.I.P
ANTONI HENDRAWAN
7 maret 1994 – 4 November 2012
Aku menatap nanar kesana. `Hai Antoni, apa kabar? Tahukah kau aku rindu padamu?. Hingga kini, rasa cinta itu takkan pernah hilang. Dan hati ini masih sakit karena kau meninggalkanku untuk waktu yang lama. Maksudku, selamanya`.
Kubiarkan hembusan angin berbau kamboja menerpa tubuhku. Aku terdiam begitu juga Pratama. Aku menaruh setangkai mawar yang telah aku siapkan sebelumnya.
Kuletakkan di sebelah nisan Antoni. Entah kenapa tiba-tiba airmataku menetes perlahan. Aku bangkit mencoba untuk tegar! menghapus airmata.
“Kau tahu Pratama, selama ini aku merasa Antoni… ada di dekatku! Disekitar kita!” Kataku pelan menatap langit.
Pratama hanya terdiam tertunduk. “Kurasakan dia, ada diantara bisikan angin. Seolah memberi `peringatan` kepadaku!” Kataku pelan. Aku menoleh kearah Pratama.
“Tentang sesuatu yang ingin kusampaikan, apakah menurutmu Elia adalah…mmm… Antoni?” kataku bertanya, lebih tepatnya, mengigau. Pratama menatapku aneh.
“Kenapa kau… berpikir seperti itu?” Tanya Pratama heran. Aku terdiam.
“Saat kemarin aku berbincang dengannya, seolah… Antoni `dikirim` lagi lewat dirinya!” Kataku. Pratama terdiam.
“Yah, sepertinya kau hanya merasa rindu dengannya.” Kata Pratama menyimpulkan. Aku terdiam.
Dan untuk sesaat, aku mengulum senyum menanggapi kebodohanku sendiri.
“Tapi… sepertinya konyol. Aku nyaris menganggapnya demikian! Namun menurutku, mustahil Elia… adalah Antoni.” kataku tersenyum kecut. Dia menatapku heran.
“Tapi…” Pratama hendak membuka suara.
“Sudahlah Pratama. Aku kan hanya menganggap demikian! Mungkin kau benar, aku terlalu mengenang Antoni hingga aku tak bisa membedakan mana Elia dan mana Antoni. Mereka berdua, sama – sama bisa menghibur kesedihanku.” Kataku pahit namun aku tetap tersenyum.
Pratama terdiam. Di wajahnya masih terlihat Ragu.
“ Sudahlah, ayo kita kembali. Aku jadi ingin menangis jika harus berlama-lama disini.” Kataku mengalihkan perhatian dan langsung memutar badan untuk pergi.
*****
Suara hati Pratama…
Aku menatap punggung Alif saat dia berjalan santai menuju gerbang pemakaman untuk pergi. Aku masih ragu akan jawabannya, seolah ia masih menyembunyikan sesuatu.
Tentang Antoni, ya aku merasa… Elia adalah Antoni! tapi, mustahil!. Dari percakapanku dengan Elia (Bersama Riska dan Abim) tempo hari, aku sedikit curiga ada sesuatu yang disembunyikan oleh Elia. Tapi belum tentu ada hubungannya dengan Antoni! Aku menghela nafas panjang, kisah ini sepertinya akan panjang…
Aku menatap pusara Antoni dan tersenyum. Aku mengucapkan salam pada sahabatku yang ada disana sebelum aku pergi mengejar Alif.
Di Angkutan umum.
Suasana hening lagi-lagi tercipta. Aku merasa canggung akan kediaman ini. Mulutku bisu tak tahu apa yang harus aku bicarakan. Alif masih saja melamun. Semenjak kematian Antoni, Alif menjadi pribadi yang tertutup.
“Alif, apa hanya itu sesuatu yang ingin kau bicarakan padaku?” Tanyaku untuk menghilangkan kecanggungan ini.
“Sebenarnya…tidak!” katanya dingin tanpa melihatku.
“Lalu apa lagi?” tanyaku mendesak. Untuk beberapa saat ia terdiam. Aku hanya menunggu dengan tidak sabar. Hingga ia menoleh kearahku.
“Kenapa kau…masih mau mendekatiku setelah kau tahu aku adalah seorang gay? Apalagi, aku telah memacari sahabatmu!” katanya serius. Aku terdiam sambil menatap matanya.
“Karena… aku melihat kebaikan Antoni pada dirimu. Maksudku, aku melihat Antoni ada dalam sukmamu.
“Yah, aku tahu aku sangat kecewa saat sahabatku sendiri ternyata seorang gay. Tapi…melihatmu, sepertinya kalian memang memiliki cinta yang murni melebihi Romeo dan Juliet.” Kataku tulus. Untuk beberapa saat, kami saling pandang.
“Jadi… maksudmu kau menyukai Antoni?” Tanya Alif serius.
“Ya…eh! maksudku…tidak, tidak sama sekali!!. Aku bukan seorang pria yang seperti `itu`!” kataku kikuk. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal karena aku canggung dengan pertanyaan Alif.
Sedetik kemudian Alif tertawa melihat tingkah polosku.
“Tenang saja. Aku tahu kau ini jenis pria apa. Antoni sering cerita tentangmu. Sepertinya kalian memang sahabatan.” Katanya santai seolah melihat bahwa aku sedikit jengah dengan pertanyaannya. Seolah menuduhku bahwa aku ini penyuka sesama jenis!
Aku membalas tawanya dengan seringai, meski tampak terlihat tertawa, ada nada dingin dari setiap suara tawa pada diri Alif!
Angkutan sejenak berhenti dengan menaikkan seorang gadis berbandana yang langsung duduk di sebelahku. Untuk sesaat matanya melirik-lirik mencuri pandang kearahku dan Alif.
Mmm, sepertinya dia cukup terpesona dengan kehadiran dua pangeran charming di Angkot. Meski pangeran itu adalah pria Gay dan pria yang tak menyukai gadis tipe ‘lirik kanan-lirik kiri’. (Dasar Cewek!!)
“Alif, jadi, apa kau akan mencari pengganti Antoni? Sepertinya kau butuh seorang penghibur lagi.” kataku spontan untuk menghindari kesengangan dan lirikan wanita berbandana. Alif menoleh menatapku lekat.
“Entahlah, seandainya memang ada yang bisa menggantikan Antoni di hatiku.
Namun sepertinya sulit, ia takkan pernah tergantikan.” katanya datar. Pandangannya menerawang ke jendela. Jauh menembus langit. Aku mencoba untuk mengikuti arah pandangannya kesana. Sesaat kami terdiam.
“Ya kau benar, sulit bagi kita untuk melupakan seseorang yang paling berharga dalam hidup.” kataku mencoba memahami perasaan Alif. Alif tak membalas ucapanku. Ia masih menatap langit diluar sana.
Angkutan berhenti karena lampu lalu lintas menyala merah. Saat mobil-mobil berhenti di lampu merah, orang-orang berlalu lalang menyeberangi jalan di zebra cross di depan kendaraan yang sedang berhenti.
Tiba-tiba mataku tertuju pada seseorang yang berada di dalam antrian orang-orang yang sedang menyeberang. Seorang wanita berambut hitam panjang dan bermata sendu sedang lewat didepan kami!
“bukankah itu…Elia?” kataku pada Alif sambil menunjuk kearah Elia yang sedang berjalan menyeberangi jalan. Alif langsung mendongak dan menoleh kearah yang kutunjuk.
Sesaat setelah itu, tampak seorang pria dengan gaya rambut yang disisir ke belakang berjalan beriringan disebelahnya.
“Dan…Abim?!” kataku terkejut. “sejak kapan mereka dekat?” kataku kemudian. Alif terdiam sesaat memperhatikan mereka berdua yang mulai berjalan menjauh.
“lantas apa peduliku?” katanya tak peduli. Ia langsung membuang muka ke jendela mobil disebelahnya. Aku tak berkata apapun. Aku hanya menatap Alif namun lidahku beku.
Dan suasana hening tercipta lagi.
Pikiranku masih bertanya dengan kedekatan Elia dan Abim si preman yang terkenal sangar itu!. Angkutan kembali melaju dengan tenang saat lampu lalulintas kembali hijau.
*****
Beberapa saat sebelumnya.
Di tempat lain.
Udara siang kota Jakarta memang teramat panas. Orang – orang malas biasanya lebih memilih menghabiskan waktunya didalam rumah sambil menyalakan AC dan menyeruput jus jeruk sambil menonton film kesukaan.
Namun, tidak bagi Elia. Ia sudah punya janji untuk menemui Kartika kala itu. Ia berangkat lebih awal agar… ia bisa menemui janji di hari yang sama saat itu selain janjinya dengan Kartika!.
Yah, Abim mengajaknya jalan – jalan. Entah untuk apa, yang jelas pilihan waktu yang dipilih Abim memang tidak pas untuk pembenci siang bolong! Namun, Elia menghargai ajakan Abim (itupun dengan paksaan!). Abim mengajaknya ke sebuah Solaria didaerah Semanggi. Yah, tumben sekali pria preman pasaran itu mengajak jalan seorang cewek cantik ke restoran mall.
Saat itu, Elia sedang duduk di salah satu kursi sambil meminum jus pesanannya. Dan untuk beberapa saat, ia hanya bermain – main dalam pikirannya sambil menunggu Abim yang tak kunjung datang.
“Hei… maaf membuatmu lama menunggu.” Suara seseorang mengagetkan Elia. Suara serak khas laki – laki. Abim!
Laki – laki berbadan tinggi kekar itu berdiri dengan keringat yang mengucur di dahinya seperti habis lomba lari marathon. Ia mengenakan celan jeans belel dan kaos merah yang ketat dan memperlihatkan tiap senti tubuhnya. Elia tampak terkesima melihat Abim yang tampak menly jika melepas seragam sekolahnya.
Abim langsung mengambil posisi duduk di hadapan Elia dan segera meminta pesanan.
“Maaf ya… macet!” Kata Abim sekali lagi meminta maaf. Elia tersenyum ramah.
“Gak apa – apa.” Kata Elia. Abim tersenyum manis. Elia mengakui ternyata Abim cukup manis saat tersenyum karena ia memiliki lesung pipi di pipi sebelah kanan. Tapi seandainya Abim mau melepas predikat `preman sekolah`, pasti dia bakal jadi `idola sekolah`. Meskipun… otaknya rada cetek sih… -_-
“Kita mau kemana nih?” tanya Abim. Elia mengernyitkan dahi.]
“Lho, kan kamu yang ngajakin aku jalan.” Kata Elia. Abim tersenyum.
“Aku kan cuma ngajakin jalan – jalan. Untuk tujuannya, aku serahin ke kamu deh.” Kata Abim tanpa menanggalkan senyumnya. Elia memutar bola matanya.
“Hmmm… bisa gitu ya… -_-? Tapi yaudahlah, kita ke toko kaset aja yuk!” Ajak Elia. Abim mengernyitkan dahi.
“Ngapain?” tanyanya.
“Lho, kan aku yang nentuin tujuannya!” Tegas Elia.
“Oh, iya, ya.” Kata Abim cengengesan. Pria yang satu ini memang sedikit lalalolo.
Alhasil, mereka berdua pun beranjak meninggalkan Solaria dan berjalan menuju toko kaset yang tak jauh letaknya dari situ. Abim menggandeng tangan Elia. Elia tampak risih dengan perlakuan Abim yang tampak seperti kekasihnya. Namun biarlah, toh ia tak ingin berprasangka pada Abim.
Di toko kaset.
Mereka berdua berjalan melihat – lihat kaset VCD ataupun DVD. Elia lebih memilih melihat – lihat rak kaset berisi musik – musik original. Sementara Abim… lebih milih ngikutin Elia kemanapun Elia pergi... (?)
“Suka rock?” tanya Abim berbasa – basi saat mereka berada di rak musik bergenre `rock`.
“Nggak terlalu.” Kata Elia.
“Oh ya? `nggak terlalu`?. Berarti 20% kemungkinan kamu suka musik rock dong.” Kata Abim sok tahu.
Elia menoleh heran.
“Kenapa?” tanya Abim.
“Tumben omongan kamu pake presentasi – presentasi segala. Biasanya kamu paling anti sama yang namanya angka. Terutama matematika.” Komentar Elia.
“Kalo didekat kamu, otakku jadi encer.” Kata Abim cengengesan.
“Mesum!” Pekik Elia. Abim melongo.
“Lho, koq mesum?” tanya Abim.
“Otakmu jadi jalan kalo deket aku! Berarti otakmu mikir `macem – macem` tentang aku dong!” Sergah Elia. Abim salting.
“Ya, nggak gitu juga…” Kata Abim kikuk. Untuk beberapa saat Elia tertawa.
“Becanda koq…” Kata Elia sambil mengangkat jari tengah dan telunjuknya. Peace.
“Dasar…” omel Abim manja. Elia terkikik.
Untuk sesaat mereka mendekati sebuah rak mini yang disisinya terpampang poster seorang wanita gothic dengan matanya yang khas menggunaka eyeshadow. Elia mendekati rak kaset dan melihat – lihat cover VCD nya.
“Suka Evanescence?” Tanya Abim melihat cover VCD ditangan Elia. Elia menggeleng.
“Kakak – kakakku yang suka Evanescence. Terutama Fabian. Yah, menurutku lagu mereka lumayan… darkness!” Kata Elia mengomentari.
“Terus kamu sendiri sukanya apa?” tanya Abim.
“Avenged Sevenfold. Jika kau menanyakan genre rock yang ku suka.” Kata Elia.
“Wow! Kau gadis metal!” Komentar Abim Elia hanya tersenyum.
“Tapi, aku lebih suka Avril Lavigne. Kau tahu yang lagunya `innocence`, menurutku itu salah satu lagu terbaiknya.” Kata Elia ramah. Abim hanya tersenyum, terlihat dari wajahnya bahwa ia tak tahu menahu soal Avril Lavigne.
“Kau sendiri?” Tanya Elia kepada Abim. Abim kikuk. untuk sesaat ia tak tahu harus menjawab apa. sebenarnya, ia tak tahu menahu soal musik luar negeri. palingan musik luar yang ia tahu cuman Siti Nurhaliza.
Namun karena ia tak ingin dibilang kuper, akhirnya ia memilih salah satu orang yang ia ingat namanya selintas.
“Mmmm... Lady Gaga.” Gumam Abim. Elia mengernyitkan dahi.
“Kenapa dia? memangnya lagu – lagunya enak?” tanya Elia lagi. Abim terdiam.
“Mmmm… tidak!” Abim kikuk. ia tidak tahu Lady gaga itu yang mana. bahkan, ia tidak bisa membedakan mana Britney Spears, mana Julia Perez.
“Lalu?”
“Aku suka dandanannya. Dan dia… cantik. kau tahu, dia terdaftar sebagai artis berlibido tinggi.” Kata Abim santai. padahal ia tak tahu menahu soal `libido` nya Lady gaga. iyuwh.
Elia menatap Abim untuk sesaat. Dan beberapa saat kemudian, ia tersenyum meremehkan.
“Huh, laki – laki. Selalu melihat wanita dari fisiknya saja!” Umpat Elia. Abim menyadari kesalahannya dalam berbicara. Elia tampak merungut kesal dan seketika pandangannya terhadap Abim berubah.
“Mmmm… bukan maksudku untuk mengatakan hal itu. Maaf Elia... a... aku... tidak sengaja.” Kata Abim gugup, tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana. Elia memutar bola matanya. Whatever.
Bagus Abim! jangan pernah sok tahu dengan musik luar negeri lagi! ok?!
Untuk sesaat sepi menyeruak antara mereka. Abim kikuk. Ia menggaruk – garuk kepalanya yang memang tidak gatal. Sekedar untuk menyembunyikan kegamangannya.
“Mmm… Elia…” Panggil Abim. Elia tak menjawab. Ia pura – pura tak medengar omongan Abim. Abim semakin salah tingkah.
“Sebenarnya… ada hal lain yang ingin kubicarakan.” Kata Abim gugup. Elia menoleh heran.
“Apa?” tanya Elia.
“Ini menyangkut masalah… mmmm… pe – perasaan…” Entah mengapa, tiba – tiba Abim menjadi kikuk akan ucapannya. ]
`mengapa harus sekarang?!` Benak Abim. Ia akui ia terlalu terburu – buru dalam mengambil kepastian untuk… menembak Elia hari ini!
Yah, padahal sebelumnya Abim sudah berencana untuk menembak Elia setelah pulang dari Semanggi hari ini. Namun karena Elia keburu bête dan Abim malah jadi mati kutu, akhirnya ya… keceplosan deh.
“Nng… a…aku…” Abim gugup. Elia mengernyitkan dahi.
“Kenapa denganmu?” tanya Elia.
“A… aku…”
“Ya?”
“A…”
“Iya he-eh!”
“Ku…”
“…”
“A… ku… su..”
“…” Elia mulai bête.
“Ngg…”
“Abim! Please, waktuku tidak hanya habis untuk menunggu ucapan yang aka keluar dari bibirmu!!” Pekik Elia kesal. Abim tengsin.
“Iya. Sori – sori.” Abim meminta maaf. Ia mencoba menetralkan debar jantungnya saat itu. Elia menunggu lagi.
“Kamu kenapa?” Elia mempertanyakan lagi ucapan yang akan diucapkan Abim. Dan lagi-lagi, Abim gugup.
“Se…sebenernya… a…aku…” Abim jadi deg-deg an.
“Ya, kenapa?” tany Elia.
“A…aku…”
“Ya?”
“Su…”
“Ng?”
“Su…”
“…”
“Su…”
“…”
“Ka…”
“Udah ah Bim! Capek nunnguin kamu ngomong. Aku balik aja, ya…” Kata Elia tampak bête dengan tingkah Abim. Abim kikuk. Elia tiba-tiba berbalik dan hendak meninggalkan Abim begitu saja. Abim buru-buru hendak mencegat Elia.
“Elia! Maukah kamu jadi pacarku!”
Ziing…
Hening…
Elia berdiri membelakangi Abim dan menghentikan langkahnya untuk pergi. Kata-kata yang keluar dari bibir Abim begitu nyata jelas terdengar meskipun mereka berdiri diantara keramaian. Dan untuk sesaat, mereka terdiam.
Oops!
Abim menutup mulutnya. Ia baru saja keceplosan berbicara soal perasaannya. Keringat dingin mulai mengucur deras di tubuhnya dan membasahi kaosnya. Untuk sesaat, jantungnya berdebar-debar keras. Ia hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi beberapa detik kemudian.
Elia menoleh dan… tatapannya sama saja. Ia memandang datar ke arah Abim. O-ow, alarm gawat darurat! Hati – hati dengan ancaman tamparan dan penolakan akibat kelancangan berbicara!
Abim menahan nafas menunggu jawaban Elia. Elia menghela nafasnya sesaat sebelum memulai kata pertamanya.
“Abim… terima kasih kau telah mengagumiku. Aku merasa kagum dengan keberanianmu mengungkapkan perasaanmu.
Meskipun menurutku ini terlalu terburu-buru karena kita baru kenal, tetapi… kau pria yang hebat karena telah membuktikan rasa sukamu padaku.” Kata Elia sambil tersenyum manis. Ada sedikit kelegaan dalam hati Abim mendengar ucapan dan melihat senyum Elia.
“Tapi…”
O-ow!
“Maaf! Aku tak bisa menerima cintamu karena… aku tak bisa memaksakan perasaanku yang bahkan hanya menganggapmu sebagai teman. Aku… mmm… ada orang lain yang telah mengisi hatiku…” Kata Elia.
Kata – kata terakhir Elia terasa membuat Abim tertampar hebat. Untuk sesaat, harapannya untuk memiliki Elia runtuh seketika. Lututnya terasa lemas namun ia masih mampu menopang beban tubuhnya. Cintanya… baru saja ditolak! Dengan alasan… orang ketiga?!
Untuk sesaat pikiran Abim teringat dengan satu nama orang yang selalu membuatnya geram! Seketika tangannya terkepal dan rahangnya menekan kuat. Gejolak amarah terlintas di matanya!
Elia melihat sikap perubahan Abim. Tampak sebuah kilatan dendam melintas diantara kedua bola matanya!
“Abim! Kau… baik – baik saja, kan?” tanya Elia. Abim tak menjawab.
“Abim?”
“Apa ini semua karena… kau menyukai Alif?!” Tanya Abim tampak geram. Elia tersenyum dan sesaat menggeleng.
“Ng… ini semua tak ada hubungannya dengan dia!” Kata Elia meyakinkan! Namun Abim tak percaya dengan perkataan Elia.
“Apa lebihnya dia dariku?! Kenapa selalu dia yang selalu merebut harapanku untuk memiliki cinta?!” Gumam Abim geram.
“Abim, sudah kubilang ini tak ada hubungannya dengan dia! orang yang telah mengisi hatiku, bukan Alif!’ Kata Elia menyakinkan.
BRUAKKKK!!
Dengan sekali kibasan, Abim mengacak – acak barisan VCD player di rak dengan tangannya. VCD player itu sukses membuat suara gaduh sehingga beberapa orang yang ada disitu tampak menoleh heran kepada Abim dan Elia. Abim tampak tak peduli, sementara Elia terdiam dan ada sedikit rasa takut dalam dirinya. Abim masih dirundung amarah.
Sifatnya yang temperamental dan emosi yang sulit dikendalikan!
“Kenapa?! Kenapa selalu dia?!” Umpat Abim geram. Elia terdiam.
“Kenapa?! KENAPA SELALU SI BRENGSEK HOMO ITU YANG MENANG?!”
PLAKK!!!
Sebuah tamparan melayang di pipi Abim. Tamparan dari Elia. Elia tampak kesal dan menatap dingin Abim. Abim memejamkan matanya! Membuktikan kekebalannya sebagai seorang laki – laki yang di lecehkan oleh wanita.
Elia terengah – engah. Meluapkan emosinya lewat deru nafas. Diantara kerumunan, adegan `perkelahian` dingin mereka menjadi tontonan massa. Bahkan seorang petugas yang hendak membereskan VCD player yang berserakan didepan Abim pun mengurungkan niatnya untuk sesaat. Hening kembali menyeruak diantara mereka.
“Hati – hati kalau kau biacara!” Omel Elia dingin. Abim hanya menunduk, memegangi pipinya yang baru saja ditampar. Dan beberapa saat kemudian, dia tersenyum dan tertawa seperti seorang psikopat! Elia tampak geram seolah dia dilecehkan dan di tertawakan oleh pria didepannya.
“Tamparanmu…” gumam Abim disela – sela tawanya.
“Tamparanmu membuktikan bahwa… kau punya perasaan dengannya!” Tegas Abim di sisa – sisa tawanya. Elia tampak kerasan. Untuk membiarkan emosinya surut, ia mencoba untuk meninggalkan Abim.
“Terima kasih Abimanyu, atas semua jalan – jalannya. Semoga kita bertemu besok, saat kau sudah tak dikuasai oleh emosi kecewamu!” Gumam Elia. Ia pun berbalik hendak meninggalkan Abim.
“Tunggu!” Sergah Abim sambil menahan lengan kanan Elia yang berbalik. Elia menghentikan langkahnya namun wajahnya masih tampak angkuh untuk menoleh kepada Abim yang kali ini tampak mengiba.
“Aku tak ingin harga diri laki – lakiku tampak buruk dimatamu! Untuk itu, meskipun aku ditolak, biarkan aku mengantarmu pergi!” gumam Abim. Untuk sesaat mereka terdiam. Dan beberepa menit menunggu, Elia akhirnya mengangguk pelan.
Tanpa menoleh lagi, Elia langsung beranjan dari toko VCD player yang sudah menjadi panggung tragedi bagi mereka berdua dimana para penontonnya hanya bisa terdiam dan membisu. Dan Abim mengikutinya dari belakang dalam diam. meninggalkan sisa emosinya pada beberapa keping VCD yang berserakan disana.
Tak adakah yang tahu, ada dendam yang tersulut dalam sanubari terdalamnya akibat telah dikecewakan dua kali?
*****
Siang menjelang sore di Cafetaria, Arion, Jakarta Timur.
Kartika hari itu tampak kasual dikala melepaskan seragam tugasnya. Rambutnya yang memang indah di kuncir kuda sehingga memperlihatkan lehernya yang jenjang. Ia sedang duduk disalah satu kursi didekat kaca besar disebelah kanannya. Ia sengaja datang lebih awal agar ia tak dinilai ngaret soal waktu.
Ia melihat jam mungil di tangan kirinya, jam 15.40 WIB. Tinggal 5 menit lagi sampai waktu janjian mereka tiba. Sebenarnya, Kartika tak mengenal Elia lebih dekat seperti kedekatannya dengan Fabian. Namun, berhubung Elia adalah salah satu keluarga Fabian, jadi untuk menghormatinya, Kartika menyempatkan waktu untuk dapat bertemu dengan gadis yang katanya satu – satunya muslim di dalam biara st.Louis itu.
Lagipula, ia cukup tertarik dikala Elia bilang, obrolannya akan ada sangkut pautnya dengan kasus yang sedang ditanganinya. Kematian Antoni, kah? Apakah Elia tahu siapa pelaku yang berada dibalik pembunuhannya?
Waktu berjalan 2 menit semenjak terakhir kalinya Kartika melihat jam. Sekonyong – konyong, di balik kaca disebelah kursi Kartika, Kartika menatap seorang wanita berjalan dingin dengan seorang pria kerasan disebelahnya. Wanita itu memakai jaket levis yang menutupi baju birunya sementara sang pria memakai kaos merah ketat.
Wanita itu…Elia! Tapi… siapa pria disebelahnya?! Kartika menatap mereka berdua. Elia dan pria itu tampak seperti dirundung masalah. Saat mereka sudah sampai didepan pelataran mall, Elia berbalik memandang pria itu. Tampak sekali mulut Elia bergerak, mereka sedang bercakap. Namun pria itu hanya memandang datar Elia.
Dan untuk beberapa saat, Elia berbalik meninggalkan pria itu di pelataran. Elia berjalan menuju pintu mall yang sepertinya jaraknya cukup jauh dari jendela Cafetaria tempat Kartika duduk. Sementara pria itu, tampak terdiam ditempatnya berdiri. Menatap kepergian Elia yang sepertinya sudah menjauh. Beberapa detik, Kartika mendapati pria tersebut sedang mengepalkan tangannya seolah menahan geram.
Dan untuk beberapa saat, si pria hendak berbalik pergi.
Sebelum tatapan matanya bertemu dengan tatapan mata Kartika yang tengah mengawasinya! Namun sepertinya pria tersebut tidak terlalu perduli dengan tatapan orang asing. Ia seolah menganggap tatapan Kartika hanyalah angin lalu biasa.
Pria itu berbalik dan berjalan pergi meninggalkan pelataran mall yang cukup ramai saat itu. Tubuhnya hilang dari pandangan Kartika seolah ditelan keramaian.
“Hei… sudah lama menunggu?” tanya seseorang mengejutkan lamunan Kartika. Kartika tersadar dan pandangannya keluar Cafetaria pun teralihkan.
“Hei Elia.” Sambut Kartika ramah. Elia tersenyum ramah dan duduk didepan Kartika.
“Tepat waktu.” Gumam Kartika sambil melihat jam. Elia tersenyum.
“Aku telah berusaha.” Kata Elia.
“Dan kau berhasil.” Puji Kartika.
“Ngomong – ngomong aku tadi melihatmu dengan seorang pria saat datang kesini.” Kata Kartika. Elia sedikit terkejut.
“Oh, ya? Kau tahu darimana?” tanya Elia.
“Jendela ini cukup luas untuk melihat drama kehidupan diluar.” Gumam Kartika sambil menyindir halus Elia. Elia menyadari bahwa sedari tadi saat ia datang ke mall, Kartika telah melihatnya dari balik jendela Cafetaria.
“Oops, maaf! Kuharap kau tidak terganggu dengan `drama`ku tadi.” Kata Elia. Kartika tersenyum.
“Siapa dia? pacarmu, kah?” tanya Kartika jahil. Elia hanya tersenyum.
“Nyaris.” Gumam Elia.
“Nyaris?”
“Yah, barusan dia menembakku! Dan… aku menolaknya!” Kata Elia tersenyum seolah menganggap pengungkapan perasaan Abim adalah sesuatu yang… biasa saja! Kartika tersenyum.
“Kau jahat!” Ejek Kartika jahil. Elia hanya tersenyum.
“Siapa namanya? Kalau boleh kutahu.” Tanya Kartika.
“Abim. Abimanyu.” Gumam Elia. Untuk sesaat Kartika tampak familiar dengan nama itu. Mungkinkah itu calon tersangka pembunuh Antoni yang kemarin ia bicarakan bersama Jaka dan Fabian. Wajahnya tampak… menyiratkan dendam!
Untuk sesaat Kartika terdiam.
“Halo, Kartika! Kau…tidak apa – apa, kan?” tanya Elia melihat Kartika yang tampak melamun. Kartika kembali ke dunia nyata.
“Tidak, tidak apa – apa. Aku hanya, merasa mengenal orang itu.” Kata Kartika. Elia mengernyitkan dahi.
“Oh, ya? Dimana?” tanya Elia.
“Ah, sudahlah! Lupakan.” Kata Kartika akhirnya. Elia tak melanjutkan pertanyaannya lagi.
“Ngomong – ngomong apa sesuatu yang ingin kaubicarakan kepadaku? Mengenai… kasusku?” tanya Kartika memulai membicaraka topik pembahasan. Untuk sesaat Elia terdiam. Kartika menunggu.
“Aku banyak tahu tentang dirimu dari Fabian. Katanya, kau adalah polisi yang menangani kasus pembunuhan seorang…gay.” Gumam Elia. Kartika mengangguk. Elia menghela nafas sebelum melanjutkan obrolannya.
“Aku berteman dengan salah satu pria yang diduga kuat menjadi orang yang diincar oleh si pelaku pembunuh dalam kasusmu. Alif Rahman. Kalau tidak salah, dia kan yang saat ini sedang di wanti – wanti kemungkinannya untuk menjadi korban yang sesungguhnya?
Mendengar cerita tentang Alif dari Fabian, aku menjadi penasaran dengannya dan mencoba untuk bisa bergaul dengannya. Ternyata dia adalah anak yang introvert! Semenjak kekasih gay nya mati, ia menjadi pribadi yang tidak sehat!
Bahkan, menurut beberapa orang, ia pernah mengakui bahwa dirinya tak percaya lagi dengan adanya Tuhan! Yang aku sayang kan, pesona yang menurut orang lebih indah dari Romeo dalam wajahnya, kini pudar!” Elia menunduk.
“Kartika, aku hanya ingin memohon kepadamu untuk bisa mengubah sifatnya selama kau dalam masa penyelidikan terhadapnya. Aku… tak ingin dia menjadi hancur seperti ini.” Kata Elia. Kartika terdiam.
“Kenapa harus aku?” Tanya Kartika datar.
“Menurutku, hanya kau yang bisa membantunya berubah dan… dapat melupakan kekasihnya!” Kata Elia. Kartika menatap Elia dingin.
“Kau…jatuh cinta padanya?” tanya Kartika. Elia terkejut.
“Mengapa kau bisa berpikir seperti itu?!” Kata Elia. Kartika tersenyum meremehkan.
“Jujur saja, dari caramu ingin merubah sifatnya, dari caramu ingin dia melupakan masa lalunya, membuktikan bahwa kau ada rasa dengan dia!” Kata Kartika. Skak!. Elia terdiam. Dua orang yang telah mengatakan bahwa Elia menyukai Alif! `senyata itukah perhatiannya sehingga orang bisa membaca perasaannya?` batin Elia.
Untuk sesaat Elia terdiam. Kartika membiarkan kesunyian mengawan diantara mereka.
“Tak apa Elia. Rasa suka itu manusiawi.” Gumam Kartika. Elia menunduk.
“Sebenarnya… aku tak ingin membuatnya menderita! Dia kehilangan sahabat keluarga dan sahabat dalam hidupnya. Bahkan kehilangan Tuhan semenjak Antoni tiada! Aku… hanya tak ingin dia menjadi lebih depresif lagi dari ini. karena… menjadi gay saja sudah menjadi sebuah malapetaka bagi kehidupannya, apalagi jika dia mengakui ketiadaan Tuhan dalam dunia ini!
Aku… hanya ingin dia kembali seperti… dulu!” Gumam Elia dalam tundukannya. Kartika mengernyitkan dahi. Seolah ada kejanggalan dari kata – kata Elia. Untuk sesaat, ia membiarkan diam kembali mengawan.
“Elia… siapa sebenarnya dirimu?” Tanya Kartika mempertanyakan kejanggalan hatinya. Elia mengernyitkan dahi, mengangkat wajahnya dan memandang Kartika dengan mimik aneh. Pertanyaan Kartika belum masuk di akal nalarnya.
“Apa maksudmu?” tanya Elia.
“Akui saja, aku banyak belajar membaca orang dari caranya berbicara lewat Fabian. Yang kudengar, kau banyak terlalu berharap, seolah kau membandingkan anatara masa sekarang dengan masa lalu yang lebih baik. Dan yang menjadi objek disini adalah… Alif Rahman yang menurutku seharusnya masih sangat asing denganmu. Tapi seolah… kau sudah mengenalnya lama. Bahkan seolah, kau sudah mengenal masa lalunya!” Kata Kartika sedikit tegas. Elia terdiam.
“Elia… jujur saja padaku! Siapa kau sebenarnya? Kau gadis biara muslim yang masih baru menjadi anak adopsinya pastur Agustinus, bukan?! Tapi, seolah kau sudah mengenal dekat Alif dan beberapa relasinya. Dan bahkan, kau menyebut – nyebut topik tentang pembunuhan Antoni. aku tidak tahu apa yang kau dapat dari Fabian soal pembunuhan Antoni, tapi menurutku, kau tahu lebih banyak soal pembunuhan itu ketimbang dariku atau Fabian!” Kata Kartika semakin memperjelaskan alibinya untuk memojokan Elia. Elia terdiam dan tak berani menatap Kartika.
`Elia, kau gadis asing yang misterius!` batin Kartika.
“Elia, akui saja, jangan menganggap bahwa aku mudah untuk dibohongi. Jujur saja padaku… siapa sebenarnya kau?” tanya Kartika lagi. Elia terdiam. Ia tahu ia tak bisa berbohong lagi.
Tak ada gunanya ia berbohong. Namun, apakah Kartika akan mempercayai semua yang akan dikatakan secara jujur olehnya? Bahkan, keempat saudara angkatnya yang sudah lebih kenal dengannya, tak percaya dengan kejujuran yang ia kemukakan!
Untuk beberapa saat, Elia terdiam. Wajahnya tampak tak yakin.
“Elia?” panggil Kartika.
“Apa kau akan mempercayai apa yang akan aku katakan?” tanya Elia.
“Jika itu sebuah kejujuran, mengapa tidak?” Kata Kartika. Untuk beberapa saat Elia kembali terdiam.
“Baiklah, mungkin ini akan terdengar sangat… aneh dan mustahil!” Gumam Elia serius. Kartika menjadi penasaran. Ia memasang telinganya lekat – lekat untuk mendengar penuturan Elia.
“Apa kau… tahu… siapa kekasih Alif Rahman?” tanya Elia yang sebenarnya Kartika tahu jawabannya.
“Antoni Hendrawan…” gumam Kartika. Elia tersenyum namun tampak ragu. Membuat Kartika tampak penasaran.
“Bagaimana jika kukatan kalau… aku adalah…
dia...” Gumam Elia mantap. Kartika tampak terbelalak sekaligus tak yakin.
Kebenaran, akan terungkap.....