It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
“… Jadi anak – anak, dalam firmannya, Allah telah mengajarkan bahwa manusia diciptakan kebumi dan telah ditakdirkan untuk berpasang – pasangan seperti yang telah dicontohkan oleh Adam dan Hawa, dua pasangan yang pertamakali menginjakkan kaki di muka bumi…”
Suara Pak Hambali tampak serak saat sedang menerangkan mata pelajaran agama Islam didepan kelas. Semua murid tampak acuh tak acuh kepadanya. Karena, selain pak Hambali bukanlah salah satu tipe killer, beliau juga termasuk dalam kategori guru yang sudah berumur tua. Jadi, wajar jika saat itu para murid tidak terlalu mempedulikan guru yang sudah senior mengajar itu.
“… Dalam beberapa hadist, Allah pernah mengabarkan tentang berita banjir besar kepada kaum nabi Nuh AS untuk membawa dua pasang jenis hewan yang berbeda – beda kedalam bahteranya untuk diselamatkan. Ini membuktikan betapa adilnya Allah yang telah memasang – masangkan setiap makhluk hidup dimuka bumi dan darinyalah keturunannya dapat terus bertahan hingga hari akhir…
“… Namun, jika seandainya ada yang mencoba untuk merubah takdir yang telah ditentukan lafazNya, maka tunggulah azab yang diturunkan olehnya. Seperti yang dialami oleh kaum Sadum, kaum Nabi Nuh AS. Mereka mengkhianati agama Allah dengan melakukan dosa terbesar yang pernah dilakukan oleh umat manusia di muka bumi, yakni perkawinan sejenis!...
“… Maka dari itu, Allah menimpakan bencana dahsyat, yakni ia mengutus malaikatNya untuk membalikkan tanah kaum Sadum hingga masyarakatnya terkubur didalamnya. Betapa mengerikannya azab yang diberikan oleh Allah SWT yang telah dilaknat olehNya…”
“Sekali lagi, ini membuktikan betapa adilnya Allah!”
BRUAK!!!
Sebuah suara mengagetkan seisi kelas, begitu pula pak Hambali. Hening. Semua mata tertuju pada asal suara yang berasal dari salah satu murid yang duduk paling belakang.
Murid itu memandang tajam, marah, dan dingin kepada pak Hambali. Pak Hambali tertegun mendapati salah satu muridnya berdiri sambil menggebrak meja sekerasnya!
“Alif… ada apa?” Tanya pada pak Hambali kepada muridnya yang menggebrak meja itu. Alif tak bergeming. Semuanya terdiam, hening. Atmosfir ketegangan terasa menyesakkan udara di ruangan itu.
“Alif…?” panggil pak Hambali lagi.
“Allah tidak adil!” Gumam Alif. Semua mata tercengang memandang Alif yang berdiri tampak marah!
“Alif…” pak Hambali tampak terlihat kaget.
“Allah… TIDAK ADA!!!” Kata Alif tegas.
PLTARR! Seolah disambar petir yang menyuarakan kutukan mengerikan, kata – kata itu keluar dari bibir Alif. Dengan keyakinan berat, dingin, tanpa kebimbangan, kata – kata terlarang itu keluar dari bibirnya yang tipis.
“Alif… kau…” pak Hambali tercengang.
“TUHAN TIDAK PERNAH ADA!!! DIA PUNAH!! DI HILANG!! DIA TIDAK PERNAH TERCIPTA!!” kata Alif. Semuanya tercengang dan terbelalak. Kata – kata yang mengandung atheisme, yang sulit untuk dipercaya oleh seisi kelas, dilontarkan oleh seseorang yang saat ini menjadi bahan perbincangan sekolah.
"TUHAN TIDAK ADA!!"
“Cukup Alif!! Apa yang membuatmu seperti itu?! Jika ini ada sangkut pautnya dengan masalah pribadimu, jangan memasukan masalah pribadimu kedalam masalah keyakinan agamamu!” Pak Hambali memcecar Alif. Dan untuk pertamakalinya, di pelajaran guru terboring, suasana kelas hening dan mendengarkan masalah secara serius!
Alif tersenyum simpul dan meremehkan! Untuk sesaat, setetes airmatanya menetes kekulit wajahnya yang pucat dan tampak sakit! Hanya setetes.
“Jika Tuhan itu benar – benar ada…” Gumam Alif.
“JIKA TUHAN ITU MEMANG ADA, MAKA `DIA`LAH YANG HARUS DISALAHKAN ATAS SEMUA INI!!! `DIA` TELAH MENGAMBIL ORANG TERPENTING DALAM HIDUPKU!! DAN KINI… `DIA` MEMBIARKANKU DALAM KESENDIRIAN INI!!!....
APA YANG DIINGINKAN `NYA`?!! MENGHANCURKAN HIDUPKU?!! TIDAKKAH IBADAHKU CUKUP PADA`NYA`?! TIDAKKAH IMANKU CUKUP PADA`NYA`?!` DIA` TELAH MEREBUT KEBAHAGIAANKU!!!!!” Kata Alif. Airmata tampak mengucur dari kedua kelopak matanya. Bukan airmata kesedihan, bukan airmata kebahagiaan, tapi… airmata penuh kemarahan!
Pak Hambali, dan semua murid yang mengenal Alif, seperti Pratama, Riska, Rani, Abim, tampak tercengang dengan ekspresi yang disampaikan oleh Alif lewat emosinya!
Semuanya hening. Melihat tangisan Alif didepan teman – teman dan gurunya.
Alif kemudian menggamit tas sangkilnya. Hendak pergi begitu saja!
Ia melangkahkan kaki sedikit berlari menuju pintu kelasnya tanpa melihat seisi kelasnya atau menoleh kebelakang.
“Alif… kau mau kemana?” tanya pak Hambali sedikit gusar.
Alif menghentikan langkah kakinya di depan pintu dan menoleh kebelakang dan memandang remeh.
“Aku tak perlu lagi belajar tentang agama. Karena… semua teori tentang Tuhan, tidak pernah ada!” kata Alif untuk terakhir kalinya.
Kakinya langsung memangmbil langkah cepat dan berlari kecil sambil meneteskan airmatanya. Dalam hatinya, ia menyimpan sebuah kebencian dan kemarahan yang teramat dalam kepada Sang Maha Cipta. Tiadakah lagi ruang dihatinya untuk sang Maha Cinta? Mungkinkah hatinya telah membeku dan membatu?
“Alif!” Suara pak Hambali dibelakang sana tidak dihiraukan.
Alif terus saja berlari di sepanjang koridor sekolahnya yang dalam pandangannya terlihat suram. Ia tidak memedulikan beberapa murid yang menatapnya aneh! Ia tak peduli lagi pada semua manusia disekelilingnya! Mereka hanya menjadi dinding yang dulu memisahkannya dengan sang Hyakinthos!
Alif berjalan cepat disebuah tikungan koridor dengan beban pikiran yang menggelayut di otaknya. Pandangannya sedikit tidak terfokus karena banyak beban berat yang mengisi sukmanya.
BUG!
“Aduh…!”
Saking terburu-burunya, Alif tak melihat bahwa dari arah yang berlawanan ada seseorang yang ia tabrak! Hingga membuat mereka terjerembab dan jatuh terduduk kesakitan!
“Hati-hati dong kalo jalan!” Kata Alif mengomeli seorang… wanita!
Wanita itu menringis kesakitan. Sesaat matanya menangkap Alif dan terkejut, seolah baru menemui seseorang yang pernah dilihatnya!
Ada sedikit `de javu` yang dirasakan Alif. Ia menangkap sinar mata sendu yang dipancarkan oleh wanita cantik berambut panjang kemerahan itu. Wanita itu terdiam. Tak bergeming menatap fokus ke Alif.
Mendapat tatapan dari murid asing, Alif menjadi salah tingkah. Ia buru – buru berdiri dari jatuhnya dan membetulkan seragamnya. Wanita itu, masih menatap Alif.
“Ngapain lu liat – liat?!” Tanya Alif galak dan kesal karena dia sedikit risih dilihat oleh orang asing. Wanita itu menjadi tersadar dari kekhilafannya, ia menunduk sesaat.
“Ma… maaf…” gumam wanita itu tertunduk dan sedikit terlihat takut. Untuk sesaat mereka terdiam.
“Elia! Sedang apa kau disini?!”
Seorang wanita berambut pendek yang tampak dewasa dan sedikit tomboy, berteriak dibelakang wanita itu. Alif menoleh kearah wanita berambut pendek yang sedang berjalan kearahnya. Dan, dia tidak sendirian! Ada dua orang asing lainnya yang berjalan dibelakangnya dan juga ada pak Ridwan?!
“Ssst! Elise, jangan berteriak keras – keras! Inikan sekolahan!” Kata seorang wanita berambut panjang yang tampak lebih anggun dan lebih modis.
Wanita berambut pendek yang dipanggil Elise tak memerdulikan kekesalan wanita berambut panjang di sebelahnya. Ia menggamit lengan wanita yang dipanggil Elia, dan membantunya berdiri.
Kini, Alif dapat melihat seutuhnya tubuh wanita didepannya.
Dengan rambut agak ikal dan lebat. Serta memakai seragam sekolahan yang ditutup jaket levis. Sedikit tomboy, tapi… cantik!
Dia mengenakan seragam sekolah? apakah dia murid baru?
“Kau tidak apa – apa, Elia?” Tanya wanita berambut panjang yang tampak anggun. Wajahnya mengguratkan kecemasan seorang kakak.
“Aku tidak apa – apa.” Kata seorang wanita yang dipanggil Elia itu.
“Kau yakin?” Tanya wanita anggun lagi.
“Ya, Janetta. Terima kasih.” Kata Elia lagi. Untuk sesaat, Elia kembali menatap Alif dengan tatapan sendunya. Alif memalingkan wajahnya dengan angkuh.
“Sedang apa kau disini?” Tanya seorang pria yang tampaknya paling dewasa.
“Aku… hanya sedang meencari toilet.” Kata Elia.
“Lain kali bilang dulu kepadaku! Kupikir kau tersesa!. Aku kan jadi khawatir mencarimu.” Kata pria itu lagi.
“Maaf, Valent.” Kata Elia merasa bersalah. Valent hanya mengangguk.
“Siapa dia?” bisik Elise menatap Alif.
“Mmm… dia…” Elia hendak menjawab namun tampak bingung.
“Alif!” Pak Ridwan menyebut nama pria yang menjadi bahan bisikan Elise dan Elia.
“Sedang apa kau disini?” tanya pak Ridwan dengan suara khas guru BP. Alif tak menjawab. Dia hanya menatap dingin kearah pak Ridwan.
“Alif…” panggil pak Ridwan lagi.
Tanpa menjawab. Alif hanya berbalik dan berlalu. Tidak peduli pada sekumpulan orang – orang yang berada dibelakangnya dan menatap kepergiannya!
Pak Ridwan menghela nafas panjang dan menggelengkan kepala lemah.
“Anak itu, sekarang mulai berubah.” Kata Pak Ridwan. Janetta, Elia, Elise dan Valent menoleh kearah guru BP yang sudah puluhan tahun mengajar di sekolah itu.
“Memangnya, dia siapa?” tanya Janetta ingin tahu. Pak Ridwan menatap keempat remaja itu.
“Namanya Alif Rahman. Bisa dibilang, dia dari kalangan keluarga yang bonafit. Ayahnya seorang pimpinan perusahaan.
Sebagai seorang guru BP, saya tahu bahwa Alif memiliki sifat yang… mmm… introvert. Dia lumayan berbakat dalam permainan orkestra meskipun… jarang sekali ia mengembangkan bakatnya. Dan… setelah sebuah kasus menimpanya beberapa waktu lalu, sepertinya ia menjadi pribadi yang lebih… `nakal`.” Kata Pak Ridwan menatap prihatin.
“Sayang sekali. Padahal dia tampan.” Kata Janetta.
“Hussh, dasar ganjen. Inget umur dong! Masa doyannya sama berondong!” Kata Valent iseng. Janetta merungut kesal.
“Kayak de javu.” Komentar Elise. Ia merasa pernah melihat pria itu… dalam pikirannya.
“Ah, sudah – sudah, jadi pada ngerumpi disini. Ngomong – ngomong, kita harus segera pergi kekelas. Elia harus sudah mulai belajar hari ini. iya, kan?” kata Pak Ridwan.
“Yup benar! Tolong jaga adik kami yang satu ini ya pak.” Kata Valent ambil mengacak – acak rambut panjang Elia. Elia tampak merungut kesal karena ia tak suka dengan perilaku abang angkatnya yang memanjakannya.
"Jangan lakukan itu lagi Valent!! atau aku akan membunuhmu!!" Ancam Elia. yang lain hanya tertawa menanggapinya.
“Haha,, ya sudah. Tunggu apa lagi. Ayo!” ajak pa Ridwan.
Pak Ridwan dan keempat remaja itu pun berjalan meninggalkan koridor. Untuk sesaat, Elia menoleh kebelakang, seolah berharap dapat melihat lagi pemuda berwajah dingin yang tadi menabraknya.
Ia berharap, bisa menatapnya lagi, walaupun hanya sekedar bayang – bayang nya saja.
*****
Hari yang sama di Café Batavia, kawasan Kota Tua.
Kartika berjalan anggun memasuki pintu café. Pagi itu, café tampak ramai dengan beberapa orang – orang yang berbincang mengenai pikirannya masing – masing. Sebagian kecil dari pengunjung tersebut adalah para turis asing.
Kartika berjalan menuju sebuah meja yang tak jauh dari pintu masuk dan dekat dengan jendela. Ia telah memiliki janji dengan seseorang untuk bertemu dengannya di café yang lumayan terkenal itu. Dan ia tak perlu mencari lagi, orang yang diajaknya bertemu itu sedang duduk sambil memainkan laptop dihadapannya. Kartika tersenyum simpul dan mendekati pemuda tersebut.
“Hai Fabian.” Sapa Kartika. Fabian mendongakkan kepalanya dan tersenyum simpul.
“Kartika! Cantik seperti biasanya.” Balas Fabian. Ia menyilakan Kartika untuk duduk di kursi dihadapannya.
“Jangan memujiku Fabian, kau akan terlihat bodoh jika begitu.” Kata Kartika mencibir. Fabian tersenyum memaklumi.
“Pribadimu tak pernah berubah. Selalu enggan dipuji meskipun oleh lelaki.” Kata Fabian sedikit menggoda.
“Aku tak perlu menerima pujian dari laki – laki. Apalagi jika laki – lakinya itu seperti kau!” kata Kartika.
“Pedas!” kata Fabian mengomentari ucapan Kartika. Kartika tersenyum.
“Oke, sekarang sudah cukup `say hello` nya. Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Fabian. Kartika tersenyum.
“Aku butuh bantuanmu.” Kata Kartika tanpa basa – basi.
“Untuk?”
“Sebuah kasus pembunuhan.” Kata Kartika. Fabian terdiam sesaat dan mencoba membaca gelagat Kartika. sebagai seorang psikologis, menurutnya, Kartika adalah tipe flamboyan. yakni tipe manusia yang wataknya sulit untuk dibaca dari gerakannya.
“Aku belajar di bidang psikolog, Kartika. Bukan di bidang hukum.” Gumam Fabian.
“Aku tahu itu. Itu sebabnya aku butuh bantuanmu.” Kata Kartika. Fabian mengernyitkan dahi.
“Pembunuhan ini, melibatkan masalah percintaan sesama jenis. Aku tidak tahu apa modus dibalik pembunuhan ini. Tapi dari masalah yang kudapat dari berbagai asumsi, ada kemungkinan masalah ini berakibat dari kecemburuaan dan dendam!” kata Kartika.
“Hei, kau tidak memiliki bukti kuat tentang pembunuhan yang kau tangani. Jangan sembarangan berasumsi!” Tegur Fabian.
“Aku mengandalkan insting kepolisianku. Kau tahu kan bahwa instingku sangat tajam.” Kata Kartika sedikit menyombongkan diri.
Fabian hanya menghela nafas, mengakuinya.
“Lagipula, bukankah ini berguna untuk laporan makalahmu. Kau membuat skripsi tentang penyimpangan seksual yang terjadi di kota besar, kan?” tanya Kartika mempertanyakan tentang makalah kuliahan Fabian. Fabian berpikir sejenak.
“Oke, kau benar! Aku memang sedang mengumpulkan referensi dan narasumber yang cocok untuk skripsiku. Jadi maksudmu, aku memanfaatkan kasus pembunuhan ini untuk kujadikan sumber referensiku. Begitu?” tanya Fabian.
“Kenapa tidak? Toh, kita berdua sama – sama diuntungkan bukan atas kasus ini? kau mendapatkan sumber referensi dari pengidap homoseksual, sementara aku dapat memecahkan kasus pembunuhan ini.” Kata Kartika sambil tersenyum penuh arti. Fabian menatap Kartika yang tampak yakin. Untuk sesaaat hening.
“Tak kusangka pimpinan kasus pembunuhan ini di percayakan kepada seorang wanita.
Oke, kalau begitu aku ikut denganmu.” Kata Fabian pada akhirnya. Kartika tersenyum simpul dan menang.
“Kapan kau dan aku mulai bertugas?” tanya Fabian.
“Hari ini.”
“Hari ini ?!”
“Ya. Sudah lama aku mengikuti salah satu kekasih korban yang tampaknya sangat dekat dengan korban. Dan, mungkin saat ini dia sedang berada di sebuah tempat yang berbau alkohol dan penuh dengan penari stripis atau semacamnya.” Kata Kartika.
“Oh, jangan bilang kita harus pergi ke clubbing?!” Sergah Fabian.
“Memang.” Kata Kartika. Fabian merutuk.
“Oh, ampunilah aku Bapa.” Kata Fabian menatap keatas seolah berdoa. Kartika menatap tingkah Fabian.
Kau tahu, aku beruntung berpartner denganmu. Kau Kristen yang taat.” Kata Kartika. Fabian tersenyum simpul.
"Aku dibesarkan di lingkungan biara." Gumam Fabian sambil tersenyum.
*****
maksud `typonya` iu apa....???
:-/ :-/
why??? [-( [-(
Amiinnn...
O:-) O:-)
ok....
) >-
blognya akan diperbaharui.... -_- -_-
alif seburuk apapun yg terjadi jangan menyalahkan Tuhan semua sudah menjadi sebab dan akibat dari ulah manusia sendiri
Tuhan maha adil dan maha penyayang
Alif brani blg Tuhan gk ada...
#typo thu kayak kesalahan ketik gitu...
Semua mata menatapnya. Para pria menatap kehadirannya dengan pandangan takjub sedangkan murid wanita melihat kagum. Makhluk cantik seperti bidadari yang turun ke ruang kelas itu berjalan agak malu – malu dan sedari tadi menundukkan wajahnya. Siapapun tahu, tak ada make – up ataupun lipstick yang mencoret wajahnya. Namun kecantikannya melebih para wanita yang berdandan. Itu berarti, kecantikannya sangat alami!
Ia masuk ke sebuah ruangan yang tampak tak asing. Matanya melirik beberapa penghuninya yang juga menatap kagum kepada parasnya. Ia menatap Riska yang dengan wajah judesnya, Rani dengat tampang cueknya, Abim yang ~sepertinya~ jatuh cinta pada pandangan pertama padanya, Pratama dengan wajah polosnya. Kelas yang penuh dengan warna!
“Bapak perkenalkan teman kalian yang baru! apa kau mau mengenalkan dirimu sendiri?” Tanya pak Ridwan untuk memberinya kesempatan mengenalkan dirinya. Ia mengangguk.
“Baiklah, siapa namamu?” kata pak Ridwan sesopan mungkin.
“Namaku mmm… Elia.” Katanya malu – malu.
“Elia, nama yang bagus…” kata Pak Ridwan memuji. Elia tersenyum.
“Kau mempunyai nama belakang?” tanya salah seorang murid.
“Tidak! Hanya… Elia. Aku, anak adopsi.” Kata Elia.
“Aku tinggal di sebuah biara disebelah gereja Santa Louis di daerah Jakarta pusat. Hobiku melukis dan bersajak. Aku senang berorganisasi dan sedikit mengerti tentang olahraga. Aku bisa bermain basket dan beladiri.” katanya panjang lebar.
“apa kau seorang non-muslim?” Tanya salah satu murid lagi.
“bukan, aku masih seorang muslim. Aku hanya `menumpang` tinggal di biara. Pastur Agustinus, seseorang yang kuanggap ayahku mengangkatku menjadi anaknya. Namun ia membebaskan jalanku, dan keyakinan apa yang kupilih.” katanya.
Semua berdecak kagum dan beberapa mungkin memandangnya aneh. Seorang wanita muslim yang tinggal di lingkungan gereja. Betapa lingkungannya sangat menjunjung tinggi toleransi agama.
Setelah sesi perkenalan, pak Ridwan mempersilahkan Elia untuk duduk. Elia berjalan ke sebuah kursi kosong yang bersebelahan dengan pemuda berwajah polos. Ia menaruh tasnya di atas meja dan membuka jaket levisnya.
“Hai!” Sapa pemuda berwajah polos disebelahnya. Elia memberikan seulas senyum.
“Hai juga.” Kata Elia. Pemuda itu mengulurkan tangannya sebagai tanda perkenalan.
“Namaku Raditya Pratama. Kau bisa memanggilku Radit. Tapi orang – orang lebih sering memanggilku Pratama.” Kata Pratama memperkenalkan diri.
“Baik, aku lebih suka memanggilmu Pratama.” Kata Elia.
Dan untuk sesaat, obrolan mereka terhenti karena pelajaran agama dilanjutkan kembali oleh pak Hambali setelah sesi pengenalan murid baru.
*****
Kriiing…
Suara bel tanda istirahat berbunyi menandakan pelajaran agama telah berakhir. Elia hanya duduk – duduk santai karena ia malas pergi ke kantin. Beberapa murid juga sepertinya lebih banyak yang berdiam diri di kelas.
“Kau pindahan dari mana?” tanya Pratama membuka percakapan yang tadi sempat terhenti.
“Aku pindahan dari… mmm… Bogor.” kata Elia kikuk. Pratama tersenyum melihat tingkah cewek disebelahnya yang anti – dandan tapi tetap cantik.
“Jangan ge-er ya, tapi… sepertinya aku pernah bertemu denganmu.” Kata Pratama sambil tersenyum dan menatap lekat wajah Elia.
“Masak, sih? Tapi kayaknya aku juga pernah bertemu denganmu. Hehehe.” Kata Elia membalikkan. Tatapan polos Pratama membesar. Wajahnya bikin gemas.
“Oiya? Dimana?” Tanya Pratama.
“Entah, disuatu tempat. Mungkin hanya perasaanku saja, tapi wajahmu mirip dengan sahabatku dulu. Wajahnya mirip denganmu, tingkah lakunya juga. Dia sahabat sejatiku.” Kata Elia sambil tersenyum.
“Oiya? Terimakasih. Lalu bagaimana selanjutnya kisah antara kau dengan sahabatmu itu?” tanya Pratama penasaran
“Entahlah. Aku tidak yakin. Tapi, sepertinya dia marah padaku.”
“Marah, kenapa?” tanyanya.
“Entahlah, mungkin karena dia tidak menerima sisi keburukanku.” Kata Elia. Sesaat pikiran Elia terkenang kepada kejadian masa lalu. Pratama dapat melihat sinar mata kegundahan dari mata Elia.
“Maaf bukan maksud menggurui, namun jika dia sahabat terbaikmu dan dia juga menganggapmu demikian. Bukankah harusnya kalian bisa saling menerima apa adanya? Jika seandainya saja dia tidak begitu, maka kusarankan sebaiknya kau mencari sahabat yang lain, oke?” kata Pratama tersenyum yang membuat Elia mengulum tawa. Elia sedikit terhibur akan kata-kata Pratama.
“Bagaimana denganmu? Kau punya sahabat?” kata Elia menayakannya balik. Seketika senyum Pratama berubah hambar dan tampak murung!
“Ya, dulu…” katanya. Elia tertegun. Seolah ia menangkap nada kecewa dalam suara Pratama.
“kenapa?” tanya Elia mendapati nada yang aneh dari suaranya.
“Aku pernah punya masalah dan terkejut begitu mengetahui siapa dia sebenarnya.
" Namun aku tak peduli, toh dialah yang telah menganggap keberadaanku selama ini. Namun saat aku telah memaafkannya, Tuhan mengambilnya dari kehidupan! Padahal aku masih ingin tertawa bersamanya.” Kata Pratama sedih. Elia tertegun. Mungkinkah orang yang Pratama maksud…
“Siapa nama sahabatmu yang beruntung itu?” Tanya Elia.
“Antoni. Antoni Hendrawan.” Kata Pratama. Elia terdiam. Cukup lama ia menatap lekat wajah murung Pratama.
“Apa kau tahu? Ada sebuah ungkapan bahwa, `seseorang yang mempunyai sahabat yang dicintainya akan pergi dengan tenang dan sahabat yang ditinggalkannya akan merasa kehilangan`?” Kata Elia mencoba menghibur Pratama dengan sebuah pertanyaan. Pratama menggeleng. “Aku tahu itu dari seorang biarawati yang juga tinggal di biara.” Kata Elia melanjutkan.
“Seorang sahabat tidak akan disebut sahabat sejati sebelum ia ditinggal oleh sahabatnya. Itu adalah cara Tuhan agar kau menjadi dewasa. Mungkin Ia telah menyiapkan sahabat yang lebih baik dari sebelumnya. Dari caramu mengenangnya, aku tahu kau sangat akrab dan dekat dengan sahabatmu itu. Sepertinya dia akan bahagia disana, aku yakin itu.” Kata Elia. Matanya sedikit berkaca-kaca dengan kata-katanya sendiri.
Pratama tersenyum seakan ia sedang mengenang kisahnya dengan Antoni dulu. Elia juga tersenyum. Mungkin hanya dia seorang yang mau mengenang sahabatnya hingga begitu dalam.
“Hei Elia!” Suara cempreng itu mampir diantara keharuan Pratama dan Elia. Siapa lagi kalau bukan; Riska!
Riska langsung menyerobot duduk di kursi didepan Elia yang masih kosong. Senyumnya tampak ceria. Namun Elia dan Pratama menganggapnya aneh.
“Oiya, kenalkan! Nama gue…”
“Riska Apriliani!” Sahut Pratama memotong perkenalan diri Riska. Riska memandang sinis ke Pratama.
“Yup, itulah nama gue. Gue salah satu ketua anggota cheers di sekolah ini. ngomong – ngomong, apa lo tertarik untuk masuk kedalam klub pemandu sorak? Dilihat dari proporsi tubuh dan paras lo, lo lumayan cocok buat masuk kedalam ekskul itu.” Kata Riska berpromosi ria memakai bahasa pergaulan.
“Dan kenalkan, gue Raditya Pratama, kordinator ekskul band.” Kata Pratama yang sebenarnya ingin menyindir Riska yang secara tiba – tiba muncul dan langsung berpromosi ria. Riska lagi – lagi menatap sinis Pratama. Elia tersenyum melihat tingkah mereka berdua.
“Terima kasih sudah menawarkanku. Tapi… aku tidak tertarik.” Kata Elia.
“Syukurlah!” Pratama menyindir terang – terangan. Riska kali ini menatap galak Pratama.
“Oke no problem. Tapi gue ingatin aja sama lo, mendingan lu bergaul dengan orang yang lebih beradab!” Kata Riska menyindir Pratama dengan sindiran yang lebih pedas. Pratama tampak acuh saja.
“Lo pindahan sekolah dari mana?” tanya Riska beramah tamah.
“Aku pindahan dari… mmm… Depok.” Kata Elia santai. Riska manggut – manggut.
“Lho, tadi kamu bilang kamu pindahan dari Bogor?!” Pratama tampak terkejut. Elia kaget akan kekhilafannya. Riska mengernyitkan dahi.
“Benarkah?” Tanya Riska.
“Mmm… Maksudku… SMP ku di Bogor, dan saat aku masuk SMA kelas satu, aku pindah ke Depok.” Kata Elia gugup.
“Tunggu, tunggu! Pas sesi perkenalan tadi, lu bilang lu di adopsi sama seorang pastur. Tapi, kenapa lu berpindah – pindah tempat?” Tanya Riska. Pratama juga ikut terheran – heran.
“Itu… mmm… orang tuaku meninggal belum lama ini. karena aku sebatang kara, jadinya aku diadopsi oleh pastur gereja. Sebelum ini, aku punya kehidupan koq!” Kata Elia memberi alasan. Pratama dan Riska saling pandang. Alasan yang diberikan Elia masih terlalu rancu untuk dicerna.
“Hai Elia!” Sapa seorang pria besar dan jangkung. Wajahnya mirip Boy Hamzah, hanya saja yang ini lebih sangar.
Elia, Pratama dan Riska menoleh kearah suara.
“Abimanyu…” Gumam Pratama datar.
“Hai…” Balas Elia sopan.
Abim langsung duduk dikursi kosong disebelah Riska. Dan otomatis, posisi duduk mereka menjadi berhadap – hadapan.
Pratama duduk sambil menyender malas didekat tembok. Didepannya, Abim yang sedang menatap lekat kearah Elia. Sementara Elia, hanya tertunduk dan Riska menjadi ogah – ogahan karena disitu ada Pratama dan Abim.
Dan… suasana kikuk pun terjadi. Sedikit tegang tapi… lucu!
“Kau cantik… :x :x ” Puji Abim kepada Elia tanpa basa - basi. Pratama jadi kesal karena belangnya Abim keluar. Riska kepengen muntah. Sementara Elia hanya tersenyum.
“Dasar hidung belang!” Sindir Riska. Abim menatap Riska yang mengerut kesal.
“Kenapa lu? Cemburu?!” Kata Abim sinis.
“ Cemburu? Sama lu gituh? Idih! Helloo, is not good…” kata Riska dengan logat yang sedikit mirip dengan Cinta Laura, `Mana ujwan, ga da ojwek, becwek, becwek…!!`
“Hayo, hayo! Dulu maen suka – sukaan. Sekarang maen benci – bencian…” cibir Pratama. Yah, dulu Abim memang suka sama Riska, tapi sepertinya sekarang Abim malah terlihat sinis sama Riska. Entahlah, mungkin karena Riska menolak cinta Abim! </3 =(( =((
“Eitss, sorry the morry the sixty kewer – kewer! Gue kagak pernah suka sama makhluk Manyun disebelah gue ini, ya!” Kata Riska.
“Jiah! Gue juga sekarang ogah sama lu!” balas Abim.
“Oh, its so good. Well, siapa korban pelet lu yang baru!” Cibir Riska.
“Weee, emang dukun pake pelet – peletan segala! Gua santet lu lama – lama!” kata Abim mengejek.
“Pengen banget emang?!”
“Kagak!”
“O! :-O”
“Ye.. >_<”
Dan merekapun mencoba untuk saling tidak menatap dan membuang muka. Huh!
“Woi, kalo pengen ribut jangan pada disini! Noh, lapangan lega!” Pratama mulai kesal dengan ocehan mereka berdua.
“Tuh Si manyun duluan yang ngajak ribut!!” Bela Riska.
“Yeee, lo tuh yang nyolot duluan!!” kata Abim.
"Eh, apaan lo ngelempar keslahan lo sendiri!"
"Maling mana ada yg mau ngaku kesalahannya sih!"
"Lho, koq lu jadi ngatain gua maling sih...!"
BRAK!!
Semua kaget dan langsung diem. Pratama menggedor mejanya. Abim dan Riska jadi mingkem. %-( :-t
“Berisik tau gak!! Bisa diem kan?!” Omel Pratama galak. Abim dan Riska mengangguk – angguk takut. X(
“Bagus…”gumam Pratama kembali nyantai. Ia pun duduk kembali dengan gaya seorang ketua DPR yang professional dalam memimpin rapat.
“Sekarang, gua pengen tanya… ngapain Abim kesini?” Tanya Pratama sok menatap tajam.
Abim langsung cengengesan dengan wajah tengilnya.
“Cuman pengen ngobrol sama Elia…hehe…” Kata Abim cengengesan. Elia kikuk. Riska menepuk jidatnya dan Pratama nyaris tersedak!
“Tampang lo bloon kalo lagi jatuh cinta!!” Kata Pratama. Abim mesam – mesem.
“Whats! Abim falling in love sama Elia?!” Tanya Riska tak percaya.
“Bukan cuma `falling in love`, tapi falling in love in the first looking…” kata Abim menatap Elia. Elia menundukkan wajah. Ia ogah melihat wajah Abim yang mesum. Wajah Elia menyiratkan kata `iyuwh…!!`
“Dari tadi kemana aja bu!! Emangnya gak bisa baca suasana, ya? Gua aja jijik sama kefrontalannya Abim.” Kata Pratama.
Abim masa bodoh sedangkan Riska merasa jijik!
“Elia pindahan dari mana?” tanya Abim sok imut.
“Depok!” Kata Riska malas.
“Bogor…” Kata Pratama kesal.
Elia tak dapat giliran untuk menjawab pertanyaan Abim. Abim salah tingkah dengan Riska dan Pratama.
“Lho, aku kan nanyanya ke Elia…” Kata Abim.
“Sok –sok an pake `aku-kamu`, biasanya juga pake `lo – gue`…!!” Kata Riska ketus.
Abim memasang wajah acuh saja.
Elia hanya tersenyum melihat tingkah teman – teman barunya itu.
dan percakapan mereka berlangsung dalam suasana yang lucu...!!
*****
Jakarta, sore hari.
Kartika dan Fabian berjalan memasuki diskotik Melania di pinggiran Jakarta. Bau alkohol dan musik jazz murahan menggaungi setiap indera penciuman dan pendengaran mereka. beberapa muda mudi sedang berasyik masyuk mencicipi dosa yang mungkin dapat merusak tubuh mereka! namun siapa peduli?
“Seumur hidup aku baru pertamakali memasuki tempat ini.” Kata Fabian.
“Aku sering memasuki tempat ini. hanya untuk penggrebekan!” komentar Kartika.
“Memangnya siapa orang yang ingin kita temui?” Tanya Fabian.
“Seorang remaja. Kuawasi akhir – akhir ini, dia sering nongkrong disini. Biasanya sih, dia sudah mabuk di bar cafenya…” Kata Kartika.
Dan sosok yang ingin mereka temui itu ternyata memang sedang mabuk di bar café! Mereka mendekati sosok teler tersebut yang tampak memakai seragam sekolah!
Didepannya, terdapat belasan gelas kosong bekas alkohol.
“Alif…” panggil Kartika menyentuhkan tangannya ke bahu remaja tersebut. Alif menggeliat. Matanya terbuka samar – samar dan berkunang –kunang. Kepalanya pening dan rasa mual menghinggapi ususnya.
“Siapa?” Tanya Alif dengan sisa – sisa kesadaran.
“Kenalkan, aku Kartika!” Kata Kartika tegas.
“Nggak kenal…” kata Alif masa bodoh.
“Kau mengajak orang mabuk untuk berkenalan?” tanya Fabian.
“Mau bagaimana lagi. Anak ini sedang depresi.” Kata Kartika.
Alif tampak sempoyongan dan menjatuhkan kepalanya diatas meja bar. Beberapa botol minuman keras telah habis ia tenggak.
"Dia teler.." Komentar Fabian.
"Aku tahu itu!" Kartika sedikit kesal dengan ocehan Fabian yang nggak mutu itu!
“Kita bawa dia ke mobilku. Untuk sementara kita pindahkan ke st. Louis. Gerejamu...” Kata Kartika.
“Apa? kenapa harus ke Biara ku?” Fabian tampak tak setuju.
“Kita tak mungkin menginterogasinya disini! lagipula, kau ingin bertanggung jawab atas kondisinya yang sedang mabuk jika kita membawanya pulang kerumahnya? bisa - bisa orang tuanya menuduh kita yang tidak - tidak!” kata Kartika melakukan pembelaan sambil memandang sekitar. Fabian tampak berpikir sejenak.
“Baiklah, siapa yang akan menggendongnya?” tanya Fabian.
“Tentu saja kau!” kata Kartika.
“Kenapa harus aku?”
“Aku yang membayar minumannya, kau yang menggendongnya ke mobil! Atau kita lalukan sebaliknya?” tawar Kartika. Fabian tampak menggeleng mengingat uang yang ia punya di dompetnya.
“Kalau begitu, gendong dia!” kata Kartika langsung mempertegas ucapannya. Mau tak mau, Fabian langsung menuruti titah Kartika. Ia dengan perlahan mengalungkan lengan Alif ke tengkuknya dan membantunya untuk berdiri.
“Hei, jangan mencoba untuk memperkosaku! Cowok genit!” Alif bergumam tak sadar. semua mata langsung memandang Fabian dan Alif heran! Fabian salah tingkah dan merutuk Alif.
“Ops…” Kartika nyaris tertawa mendengar ucapan yang dilontarakan Alif.
“Aku tidak bernafsu denganmu!” Bisik Fabian kejam.
“Sudahlah, jangan memikirkan kata – kata orang mabuk!” Kata Kartika. Fabian merasa jengkel. Ia langsung membopong Alif keluar dari diskotik murahan itu.
PLOK!
“Hei, jangan memegang – megang bokongku, brengsek!” Fabian geram karena Alif memegang bokong Fabian. Ingin saat itu juga ia melemparkan Alif ke jalanan dan membiarkan dirinya dilindas mobil!
*****
Jam tujuh malam di Biara st. Louis
Alif membuka matanya yang terasa berat. Kepalanya terasa pusing dan pening. Tubuhnya terasa bau keringat. Ia dapat mencium bau alkohol di nafasnya. Ia mendapati dirinya di tempat yang asing.
“Kau sudah sadar?!”
“Ahhhkk!!” Alif memekik kaget.
Seorang wanita mungil yang bertampang imut berdiri tepat didepan wajahnya. Wanita itu memberikan senyumnya yang polos. Alif mengatur nafasnya serasa jantungnya copot!
“Si - siapa kau?” tanya Alif heran.
“Elise.” Kata wanita itu girang. Elise langsung menjauh dari Alif dan langsung beranjak dari ranjang yang ditiduri Alif.
“Dimana ini?” Tanya Alif dengan sisa kesadaran yang belum pulih betul.
“Biara st. Louis.” Kata Elise singkat.
“St. Louis? Gereja, kah?” tanya Alif.
“Yup, tapi ini hanyalah biaranya saja. Kau tahu biara? Tempat tinggalnya pastur dan suster gereja yang mengurusi gereja tua ini.” kata Elise dengan senyum terkembang. Alif masih bingung dengan suasana.
“Untuk apa aku disini?” tanya Alif.
“Kau mabuk!”
Sebuah suara wanita mengalihkan pandangan Alif. Wanita itu cukup jenjang, berdandan rapih dan tampak tegas. Wanita rapih itu berdiri di dekat pintu kamar sambil tersenyum sedikit angkuh namun membuatnya elegan. Kartika.
“Elise, kau bisa biarkan kami berdua saja?” suruh Kartika.
“Okidokki Kartika!” Kata Elise riang. Ia kemudian langsung keluar kamar membiarkan Kartika dan Alif berdua.
Alif masih merasa pusing di kepalanya.
“Kau mabuk dari sore tadi. Wajar jika rasa pusing dan mual itu belum hilang karena kau masih lelah dalam mabuk!” Kata Kartika. Ia mendekati Alif. Alif tak terlalu peduli dengan wanita itu.
“Siapa kau?” tanya Alif.
“Panggil saja aku Kartika. Aku seorang polisi dan aku membutuhkanmu.” Kata Kartika. Alif tampak tak acuh.
“untuk apa aku dibawa ke biara ini?” tanya Alif lagi.
“Jika kau kami antar pulang, orang tuamu pasti akan menuduh kamilah yang harus bertanggung jawab karena kau tengah mabuk.” Kartika menjelaskan.
Kartika memandang lekat remaja belasan tahun dihapannya itu. Alif menunduk dan enggan menatap Kartika. Kartika tersenyum.
“Ternyata kau memiliki kesamaan dengannya.” Gumam Kartika. Alif mengernyitkan dahinya.
“Dengannya? Siapa?” Tanya Alif. Kartika tersenyum.
“Antoni Hendrawan.” Gumam Kartika. Seketika ada sesuatu yang menghujam kembali hati Alif. Rasa panas dimatanya seolah membuncah ketika nama itu disebut.
“Kalian berdua sama – sama tampan dan sempurna di mataku.” Gumam Kartika. Alif terdiam.
“Apa yang kau ketahui tentang Antoni?” tanya Alif berat. Kartika terdiam sesaat.
“Aku polisi, yang menangani kasusnya…” Kata Kartika.
“Huh, kasus apa? Penyimpangan seksualnya?” Cibir Alif pedas. Kartika tampak maklum.
“Bukan! Aku hanya ingin tahu apakah Antoni mati karena dibunuh atau apapun itu…”
“Pembunuhan?! Kau mengatakan kekasihku dibunuh?!” Kata Alif tak terima. Kartika terdiam.
“Kau orang asing yang tiba – tiba datang ke hidupku, tapi seolah – olah merasa sok tahu dengan hubunganku dengan Antoni!” Kata Alif kasar.
“Alif, aku tahu kau masih depresif atas kejadian itu. Tapi, percayalah, ada modus pembunuhan dibalik kecelakaannya.” Kata Kartika meyakinkan. Alif mencoba berkilah.
“Sudah cukup! Jangan memperpanjang kasus kematian Antoni! memangnya siapa yang tega membunuh Antoni! apa modus dibalik pembunuhannya?! Tak ada bukti yang menguatkan itu!” Kata Alif. Suaranya serak akibat efek dari minuman keras. Kartika hanya diam. wajah tampan itu terlihat kerasan di matanya. Kulitnya seperti vampir hidup yang sangat pucat bagi seorang remaja diusianya.
“Bukan Antoni yang diincar. Tapi… kau!” Sebuah suara membuat Alif terkejut. Ia menoleh kearah suara dibelakangnya. Seorang pria muda. Tapi lebih tua darinya.
“Fabian.” Gumam Kartika menyapa Fabian. Fabian berjalan mendekati mereka berdua.
“Siapa kau? Apa maksud dari ucapanmu?” tanya Alif.
“Aku Fabian Aldiano. Mahasiswa yang ahli di bidang psikologi. Aku juga ikut menangani kasus kematian Antoni. Maksud dari ucapanku adalah, kaulah yang sebenarnya menjadi incaran pembunuhan!” Kata Fabian mendorong alibinya untuk lebih jelas.
“Aku masih belum mengerti!” Kata Alif.
“Apa yang masih tak kau pahami? Bukankah kau yang diselamatkan oleh almarhum Antoni di detik – detik terakhirnya ketika kecelakaan itu terjadi?” Tanya Kartika. Alif terdiam. Ia mengingat kembali bagaimana dengan heroiknya Antoni menyelamatkannya di detik – detik terakhirnya.
Untuk sesaat mereka bertiga terdiam.
“Kami membutuhkanmu, Alif. Kami membutuhkanmu untuk menuntun kami dalam menemukan dalang dibalik pembunuhan ini.” Gumam Kartika.
“Dan jika seandainya memang benar pembunuhnya memang mengincarmu, kami harus melindungimu. Karena bagaimanapun, jika dia tahu kau masih hidup, dia akan tetap mengincar nyawamu untuk membungkammu.” Kata Fabian menimpali. Hening kembali mengawan.
untuk beberapa saat, Alif kembali hening dalam lamunannya. ia membiarkan pikirannya bemain - main dalam angannya. tentang Antoni, tentang cinta, tentang keluarga, tentang sakit hati, haruskah ia membuka kembali luka lama? jikapun Antoni memang dibunuh, apa untungnya baginya membuka kedok itu.
kepala Alif terasa pusing dan pening akibat alkohol dan beban pikiran.
“Maaf, aku... tak bisa.” Kata Alif getir. Ia menundukkan wajahnya. Kartika ingin menyanggah namun dicegah oleh Fabian.
“Kenapa?” tanya Fabian datar.
“Mengingat kejadian itu saja sudah membuatku sakit. Apalagi jika aku juga ikut membantu kalian dalam menemukan pelakunya jika itu benar – benar pembunuhan. Jujur saja, aku masih belum percaya jika Antoni dibunuh.” Kata Alif kali ini lebih santai.
“Aku mengerti.” Kata Fabian. Alif terdiam.
“Aku ingin pulang saja. Sepertinya aku butuh istirahat. Dan tolong, jangan usik hidupku dan Antoni lagi.” Kata Alif. Ia kemudian bangkit berdiri dengan sedikit sempoyongan.
“Mau kuantar?” Tawar Fabian.
“Tak perlu.” Kata Alif singkat.
Alif berjalan keluar kamar.
Untuk sesaat pikirannya terasa berat dan pusing. Susah payah ia melupakan Romeo sejatinya. Kini bayangan itu hadir kembali dalam sebuah kasus urban. Ia tidak terlalu memikirkan apakah Antoni dibunuh atau tidak. Ia tidak terlalu peduli apakah memang benar ia menjadi incaran pembunuhan yang sesungguhnya atau tidak. Yang jelas, itupun tidak akan membuat Antoni kembali lagi!
Ia berharap semuanya hanyalah mimpi sehingga ia tak perlu merasakan rasanya mimpi buruk kehilangan. Namun apalah daya, biji yang dulu ia tanam dengan kasih dan kepercayaan cinta, kini harus ia rasakan sakitnya saat akar – akar bayangan menusuk hingga kedalam relung hatinya. Oh cinta, mengapa harus sakit begini?
Alif berjalan keluar biara lewat pintu gerbang gereja. Beberapa biarawati dan pastur melewatinya dan tersenyum ramah. Alif tak peduli. Hingga…
“Alif?”suara seorang wanita membuatnya harus mendongak dari wajahnya yang sedari tadi menunduk.
Seorang wanita cantik yang tak asing tapi tak ia kenal.
“Siapa, ya?” Alif tampak lupa dengannya.
“Ada apa Elia?”
Seorang pria yang cukup matang berdiri di belakangnya. Ia berdandan rapih dan beradab. Pria itu berdiri di samping Elia. Untuk sesaat pria itu menatap Alif.
“Siapa dia?” tanyanya.
“Mmm… dia ini teman sekolahku, Valent.” Kata Elia. Alif terdiam sesaat.
“Bukankah kau tadi yang di koridor?” tanya Alif.
“Ya…” Kata Elia. Valent tersenyum.
“Kau tidak bilang kalau temanmu ada yang ingin mampir kesini.” Bisik Valent kepada Elia. Elia tampak bingung.
“Aku tak mengundangnya.” Kata Elia.
“Maaf, sepertinya aku hanya kesasar. Lagipula aku hendak pergi.” Kata Alif dingin.
“Kau tidak ingin mampir dulu?” tawar Valent ramah.
“Tak perlu.” Jawab Alif singkat. Valent tak berkata – kata lagi.
Alif langsung menyerobot pergi tanpa bilang pamit lagi pada Elia ataupun Valent. jalannya tampak sempoyongan.
“Tampan. Tapi… sepertinya `hancur`! Anak muda jaman sekarang. Tidakkah kau mencium bau alkohol di nafasnya?” Komentar Valent. Elia hanya terdiam sambil memandang punggung Alif yang mulai menjauh.
~Sebuah tatapan penuh misteri…~
contohnya??? (lumayan untuk perbaikanku.... ^_^)