It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Suara hati Alif…
Aku membuka mataku pelan. Sebuah cahaya menusuk tajam kelopak mataku yang terasa lelah. Untuk sesaat aku mengerjap – ngerjapkan mataku dan merasakan sebuah rasa sakit dikepala dan wajah. Saat kusentuhkan, sebuah perban telah membebat disana!
Aku mendapati diriku terbangun disebuah ruangan yang sangat familiar dalam ingatanku. Tapi ini bukanlah kamarku, kamar ini lebih minimalis dan lebih kecil dari kamarku!
Dikamarku tidak mungkin ada poster bergambar Avenged Sevenfold, Slipknot dan… SNSD! Dan ranjangku, tidak bergambar jersey AC Milan karena aku sendiri penggemar Manchaster United (gak nyambung! -_-)
“Hei, kau sudah sadar?” Sebuah suara mengagetkanku.
Pratama! Ia baru saja masuk kekamarnya dan mendapatiku telah terbangun dari pingsanku. Aku terduduk lemah dan dingin menatapnya. Di belakang Pratama, terdapat seorang perempuan yang sepertinya lebih tua dan dewasa! Ia tersenyum kearahku namun aku enggan membalasnya. Ia membawa peralatan – peralatan kedokteran seperti tensimeter dan perban baru. Perawat, kah?
“Bagaimana keadaanmu?” tanya Pratama.
“Apa yang terjadi?” Tanyaku dingin tanpa memperdulikan pertanyaan Pratama.
“Yah, aku menemuimu tergeletak di pinggir jalan dengan… darah di kepalamu dan... bau alkohol di mulutmu, pastinya. kenapa kau bisa berada di tepi jalan dengan luka menganga?” Tanya Pratama dengan tampang polosnya.
“Abim.” Kataku singkat.
“Kau selalu cari gara – gara dengannya.” Kata Pratama. Aku mendiamkannya. Wanita tadi tampak mendekatiku dan menarik lenganku dengan tensimeter di tangan kirinya. Aku mengibasnya kasar dan menatapnya sinis!
Dia menatapku terkejut.
“Mau apa kau?!” Tanyaku sedikit galak.
“Nng… kenalkan, dia Miranda, kakak kost – ku disini. Dia seorang perawat. Dia hanya akan memeriksa tekanan darahmu karena kau kehilangan banyak darah semalam.” Kata Pratama menjelaskan. Untuk sesaat, Pratama mengangguk menyuruhku untuk membiarkan wanita bernama Miranda itu memeriksaku.
Untuk sesaat, aku hanya menatapnya sinis. namun kemudian, kupasrahkan saja tanganku untuk diperiksa olehnya. Miranda tersenyum dan menggamit lenganku. Ia memasang tensimeter di tangan kiriku dengan cekatan. Untuk sesaat, udara tensimeter itu membuat lenganku terasa sesak dan mengejan.
Dan perlahan, Miranda melepaskan udara dari dalam kantong udaranya secara perlahan dengan memutar benda tumpul yang mirip dengan besi mur kecil.
Sesaat setelah ia memeriksa tekanan darahku. Ia tersenyum dan mengangguk kearah Pratama. Pratama tersenyum membalasnya. Aku menoleh kearah Pratama tak mengerti maksud dari anggukan Miranda.
“Tekanan darahmu normal. Syukurlah, padahal saat itu kau nyaris kehabisan darah terlalu banyak.” Kata Pratama menjelaskan. Miranda tampak membereskan tensimeternya dan dimasukkan kedalam sarungnya. Sesaat ia hendak pergi, ia masih sempat tersenyum kearah Pratama dan aku. Sosok wanita berambut panjang mirip Intan Nuraini itupun menghilang dibalik pintu.
“Dia kak Miranda. Dia yang memasang perban dikepalamu dan mengeluarkan serpihan kaca di wajah dan kepalamu semalam. Untunglah serpihan kaca tidak sampai menembus tengkorak. Jika itu terjadi, mungkin kita harus melakukan operasi. Hehe.” Kata Pratama riang. Aku hanya diam memandang pintu sesaat setelah Miranda pergi.
“Sedari tadi kusadari, ia tak mengatakan satu kata pun.” Gumamku. Pratama tersenyum menanggapi pertanyaanku.
“Dia bisu.” Gumam Pratama singkat. Aku menoleh kearahnya.
“Sudah lama ia kehilangan suaranya semenjak sebuah luka parah mengganggu di kerongkongannya saat ia berusia 12 tahun.
" Ibunya telah lama meninggal dan dia anak tunggal. Ayahnya yang gila sangat membenci keturunannya yang seorang perempuan yang lemah. Sehingga… Miranda sering menjadi pelampiasan kemarahan orang tuanya hingga ia harus kehilangan suaranya!
"Ah. Jika kuceritakan lebih rinci tentangnya, mungkin akan sangat menyedihkan saat bagaimana seorang ayah menyakiti anaknya sendiri!” Kata Pratama yang tampak sendu namun ia tutupi dengan sebuah senyum palsu. Aku menatapnya.
“Bibinya yang tak tahan lagi melihat kelakuan adik iparnya, membawa Miranda bersamanya dan pergi dari ayahnya yang gila! Semenjak peristiwa masa lalunya itu, suara Miranda tidak bisa disembuhkan lagi karena lukanya sudah terlalu parah! Jikapun harus dioperasi, itu hanya akan membantu menyembuhkan lukanya, tapi tak bisa mengembalikan pita suara Miranda. Miranda harus kehilangan suaranya untuk selamanya!
“Namun itu tidak menghentikan langkahnya untuk bercita – cita menjadi penolong untuk orang lain. Dan, dia menjadi perawat di salah satu rumah sakit sampai saat ini.” Kata Pratama tersenyum.
“Kau tahu, kegigihan Miranda untuk membuat orang lain tak sepertinya, sangat menginspirasiku. Aku harap, aku bisa mencontohnya suatu saat nanti. Tapi bukan berarti aku mau mengorbankan suaraku! Jika suaraku hilang, bagaimana nanti aku akan bernyanyi? Hehehe.” Tekad Pratama yakin. Matanya berbinar setelah menceritakan masa lalu Miranda. Orang asing yang baru kukenal hari itu.
Aku terdiam tak berekspresi. Aku tak tahu harus merspon bagaimana. Tapi yang jelas, ada sedikit rasa kagum pada sosok wanita bisu itu. Meskipun, dingin hatiku masih lebih dominan dibandingkan rasa kagum yang telah melelehkannya!
“Ngomong – ngomong, sudah berapa jam aku pingsan?” tanyaku.
“Aku menemukanmu dari jam sebelas malam dan kau baru bangun pukul sembilan. Kira – sepuluh jam.” Kata Pratama sambil cengengesan.
“Sepuluh jam?! Sepuluh jam selama itu serpihan kaca kau biarkan menancap di kepalaku tanpa bantuan medis rumah sakit?! Kenapa aku malah dibawa ke kost – an mu?! Seharusnya kau bawa aku rumah sakit!” Gumamku galak.
“Hei, saat itu aku panik! Mana mungkin aku ingat dengan rumah sakit yang lokasinya jauh dari tempat kau pingsan! Lagipulan aku enggan diperiksa macam – macam oleh pihak rumah sakit mengenai dirimu! Dan… aku juga ogah membawamu kerumah mu langsung karena aku tak ingin berhadapan dengan orang tuamu dan kemudian aku disuruh bertanggung jawab! Yah, meskipun, kutahu itu takkan terjadi!
tapi, tetap saja yang kuingat saat itu hanyalah kost – anku! Setidaknya, hargailah sedikit perjuanganku yang membopongmu di sepeda motor dan menjadi bahan tontonan orang – orang di jalan! Untung saja ada Miranda disini!” Kata Pratama panjang lebar membela dirinya tak mau dituduh macam – macam olehku. Aku menatapnya lama dan menghela nafas panjang.
“Ah, yasudahlah. Lagipula aku selamat. Terima kasih.” Gumamku. Pratama tampak terbelalak.
“Tadi, apa yang kau bilang?” tanya Pratama.
“Terima kasih.” Ulangku dingin.
“Tumben.” Katanya cengengesan. Aku hanya terdiam. Pratama tersenyum dengan mata polos berbinarnya.
“Ngomong – ngomong, kau sudah mengabarkan orang tuaku?” tanyaku.
“Ops, hampir saja terlupa. Pagi ini aku akan mengontak mereka dan menyampaikan kabarmu disini.” Kata Pratama sambil tersenyum.
“Tidak perlu! Biarkan saja mereka tak tahu!” Kataku sinis. Pratama menatapku.
“Tapi, nanti mereka akan mengkhawatirkanmu.” Kata Pratama.
“Biarkan saja! Aku berharap mereka menghilang dari hidupku!” Gumamku galak. Pratama menatapku maklum dan sendu. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sesuatu dari sana!
Sebuah benda mungil berbentuk persegi panjang kecil. Handphone ku!
“Mereka mengontakmu terus – terusan dan ribuan SMS telah mereka kirimkan. Aku hanya khawatir mereka akan berpikiran macam – macam tentangmu dan pikiran itu mempengaruhi kesehatan mereka.” Kata Pratama menatap iba. Pratama menyodorkan HP ku. Aku menatapnya.
“Ada sekitar 25 miscall dan mungkin 40 lebih SMS. Dari orang tuamu. Aku membaca nama pengirimnya. Ibumu! Aku tak berani membalas SMSnya ataupun menelepon balik. Aku takut, ibumu jadi semakin khawatir jika aku yang menjelaskannya. Kurasa, kau yang harus menjelaskannya sendiri padanya.” Kata Pratama. Aku tertegun.
Tiba – tiba saja, HPku kembali berbunyi! ringtone Fur Elise – Beethoven! Panggilan masuk! Nama `IBU` tertera di layar kaca HPnya!
“Sekarang genap 26 panggilan dari ibumu! Kuharap kali ini kau yang mengangkatnya.” Kata Pratama. Aku terdiam dan Pratama pun juga begitu. Ia hanya menyodorkan telepon genggam itu kearahku meskipun aku tak kunjung mengambilnya.
Sesaat kemudian perasaan marah menyelinap dalam benakku! tentang bagaimana akhirnya mereka berhasil memisahkanku dengan Antoni! Tentang bagaimana ayah menyiksaku habis - habisan! semuanya terlintas dan menjadi sebuah kemarahan dan kesal dalam hatiku!
Aku mengambil HP itu dengan kasar dan kemudian kulemparkan kearah tembok dihadapanku!
PRANG!
HP itu sukses menabrak tembok dan pecah hingga panggilan masuk bernada Fur Elise tidak terdengar lagi disana!Hening!
“Lebih baik mereka tak mengetahui keberadaanku!”
Aku meluapkan kemarahanku dengan membanting HP ku.
Untuk apa ibuku menelepon dan menanyai kabarku?! Bukankah dia juga sama kecewanya dengan ayah yang mengutukku karena aku gay! Jika itu yang diharapkannya, maka lebih baik aku mati saja!
Aku menunduk lemah. Rasa kesalku masih tersisa dalam hati namun aku meluapkannya dalam diam. Pratama hanya terdiam, tak berani berkata akan tingkah yang baru saja aku lakukan. Ia mengerti dengan keadaanku meski ia sendiri tahu bahwa tingkahku telah salah!
Aku menjatuhkan kepalaku diatas bantal. Aku menatap langit – langit kamar Pratama dan pikiranku seakan – akan menari disana. Perasaanku campur aduk. Pratama hanya duduk terdiam disana namun aku tak peduli. Siapa yang sebenarnya bersalah akan perasaan ini? aku, atau mereka?
“Sekarang hari apa? Kenapa kau tidak sekolah?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.
“Sekarang minggu.” Jawab Pratama singkat. Dan kembali hening. Kata – kata `sekolah ` mengingatkanku pada Abim.
Bagaimana dia? apakah dia masih dendam kepadaku? Apakah aku akan dituntut olehnya karena aku membuat sebelah matanya buta! Apakah kasus ini pantas disebut kriminalitas sehingga akan dibawa ke ranah hukum?! Ah sudahlah, aku tak peduli dengannya?! Lagipula jika memang aku harus bertanggung jawab atas dirinya, bukankah dia menyerangku lebih dahulu dengan botol bir malam itu?! Jadi wajar saja jika nantinya tindakanku dibilang `pembelaan diri`!
TOK TOK!
Suara pintu mengalihkan pikiranku.
“Masuk!” Suruh si empunya kamar.
Dan disana berdiri seorang pria berkemeja, memakai celana bahan, dan kacamata tampak menghiasi wajah wibawanya. Ia masuk sambil menenteng plastik yang sepertinya isinya makanan. Pria itu tersenyum kearahku dan kubalas dengan tatapan dingin.
“Kau sudah sadar, ya?! Syukurlah.” Kata pria itu. Aku tak menjawab ucapan dari pria yang tampak dewasa itu.
Sesaat, pria itu menoleh kearah Pratama.
“Radit, nih pesenan kamu. Aku beli dua buat temen kamu juga.” Kata Pria itu. Pratama tersenyum cengengesan.
“Makasih kak Ardhi… hehe.” Pratama cengengesan dengan tampang polosnya. Pia yang dipanggil Ardhi tampak gemas dengan Pratama. Ia mengacak – acak rambut Pratama dengan gemas. Pratama merutuk kesal dan dibalas senyuman tanpa dosa dari Ardhi.
“Sudah ah. Aku mau berangkat kerja dulu. Jangan lupa tuh, sarapannya dibagi dua, jangan dimakan sendirian!” Kata Ardhi.
“Sip!” Gumam Pratama sambil mengacungkan jempolnya.
Ardhi sekali lagi tersenyum kearahku dan ia pergi berbalik meninggalkan kami berdua dikamar Pratama. Pratama tampak sibuk melihat isi kantong plastik yang tadi diberikan oleh Ardhi.
“Siapa dia?” Tanyaku penasaran.
“Kepo!” Katanya meremehkan.
“Serius!”
“Hehe, Iya – iya. Namanya Ardhi. Kakak kost – kost an ku juga dan paling tua disini. Sudah bekerja tapi belom menikah. Kenapa emangnya? Naksir?” kata Pratama jahil.
“Maaf, gak level sama om – om!” Kataku ketus. Pratama tertawa.
“Haha. Sudah ah, mending kita sarapan dulu. Lumayan nih dapet bubur ayam.” Kata Pratama. Aku hanya terdiam sambil menahan perutku yang sudah keroncongan.
*****
Suara hati Antoni.
“Leukemia?!”
Gumamku tak percaya mendengar penuturan Aditya. Aditya hanya mengangguk lemah. Saat itu, kami berada di balkon rumahku. Benar – benar rumahku! Membicarakan tentang kabar ibu dan yang pasti dirinya. Meskipun Aditya tak tahu aku adalah Antoni, namun dia membiarkanku untuk menginap dirumahnya malam tadi.
Saat itu, ibu sedang tertidur lelap di kamarnya. Kartika yang juga ikut menginap juga sedang duduk di ruang tengah. Sepertinya menelepon seseorang.
“Ya. Leukemia. Kanker darah.” Gumam Aditya memperjelas.
“Tapi bagaimana bisa? Maksudku, Antoni bahkan tidak menceritakan kalau ibunya terkena penyakit.” Gumamku yang seraya menyembunyikan identitasku dan hati – hati dalam berkata – kata.
“Karena Antoni tak tahu tentang itu.” Kata Aditya.
“Kenapa bisa?” Aku masih penasaran. Selama puluhan tahun baru kali ini aku tahu jika ibuku sedang sekarat dengan penyakit leukemianya! Kenapa aku bisa sampai tak tahu tentang itu?!
“Ibuku menyembunyikan kabar itu dari Antoni.” gumam Aditya. Aku masih tak percaya dengan kabar bahwa ibuku terserang penyakit itu.
“Aku datang ke Jakarta karena aku mendengar kabar kematian kakakku. Saat itu, aku mendapati ibuku seperti orang yang jiwanya terganggu! Seolah ia nyaris mati! Sepertinya karena ia sangat terpukul karena baru saja kehilangan Antoni!
Saat aku membawanya kerumah sakit, rupanya aku baru mengetahui keadaannya saat itu, ibuku mengidap penyakit leukemia! Itu sudah terjadi sekitar empat tahun setelah kematian suami keduanya. Dokter bilang ia takkan bertahan hingga dua tahun, atau bahkan kurang dari itu!
Namun, ia berhasil bertahan hingga empat tahun lamanya untuk bisa menemani Antoni lebih lama!
Yah, setidaknya ia bisa bertahan hingga kemarin, sebelum Antoni meninggal! Kini, rasa depresinya seolah malah membuat penyakit leukimianya semakin parah! Membuat fisiknya semakin lemah dan otaknya terganggu! Setiap malam, ia selalu memimpikan hal – hal buruk tentang Antoni dan seringkali membuatnya mengigau tak jelas. Saat itu aku sadar, betapa Antoni sangat berharga dalam hidupnya. Entah, Antoni menyadari itu atau tidak.” Cerita Aditya memandang cakrawala, menerawang kesana seolah mencari keberadaanku disana.
Aku serasa ditampar! Sampai segitunyakah rasa cinta ibuku padaku? Kenapa aku merasa selama aku masih hidup dulu, aku seolah mengabaikannya. Bahkan terkadang aku membencinya karena ia menjadi pemisah antara aku dengan Aditya! Kenapa aku jarang sekali berada dirumah hanya untuk menemani dirinya disisa masa tuanya. Kenapa aku baru menyadari beban yang ibu tanggung saat aku sudah tiada disisinya?!
Teringat kembali memori kenangan saat ibu susah payah tersenyum ketika aku selalu datang kerumah. Ibu yang sabar meskipun aku selalu cuek dengannya. Ibu yang selalu mengobatiku ketika aku terluka. Ibu yang selalu menyanyikan lagu – lagu pengantar tidur saat aku masih dalam buaiannya. Ibu yang seorang orang tua tunggal, dan rela menjadi kepala keluarga demi menghidupi ku, anak satu – satunya. Ibu yang selalu menyebutku dalam setiap doanya. Dan ibu yang mengenalkanku pada Tuhan…
Seketika aku merasakan airmataku menetes saat mengenang pengorbanan ibu yang baru aku sadari. Dibalik senyumnya, ternyata ia menanggung sebuah beban yang sangat berat bagi seorang wanita tua sepertinya.
“Kenapa ia tak dioperasi saja?” gumamku.
“setelah suami keduanya meninggal, ia menjadi tulang punggung keluarga saat itu. Ia nyaris memulai semua bisnis suaminya dari awal kembali. Ia lebih mementingkan uang itu untuk masa depan Antoni daripada memikirkan dirinya sendiri! Dan jikapun harus di operasi saat ini, sepertinya itu mustahil. Kanker nya sudah sampai stadium yang fatal dan kini sulit untuk disembuhkan. Jikapun operasi benar – benar dilakukan, resikonya adalah taruhan nyawa! Bisa dibilang perbandingan untuk sembuh adalah satu banding seribu!” Kata Aditya menjelaskan. Aku terdiam. Seterlambat itu kah aku sekarang?
“Oh iya, ngomong – ngomong, kenapa ibuku bisa menganggapmu Antoni? apakah kau dekat dengan almarhum kakakku?” tanya Aditya.
“Aku sangat dekat dengannya lebih dari yang kau bayangkan.” Gumamku sendu.
“Oh iya? Pacar kah?” tanyanya iseng. Untuk sesaat aku terdiam. Dan kemudian menunduk. Mungkinkah harus kuberi tahu?
“Antoni seorang… gay!” Gumamku hati – hati. Aditya tampak terbelalak dan terkejut. Apakah aku dimata Aditya menjadi sosok yang dibencinya setelah ia tahu bahwa aku adalah gay?
“Benarkah?!” katanya menyakinkan. Aku hanya mengangguk.
Untuk sesaat ia terdiam. Kembali menatap cakrawala biru dilangit Jakarta. Dan untuk beberapa saat, sudut bibirnya menarik. Tersenyum.
“Aku tak peduli jadi apa dia saat ini. jika dia masih hidup, dia tetap menjadi kakak yang kusayangi selamanya. Meskipun dia dianggap hina sekalipun. Namun, dia adalah orang termulia di mataku.” Kata Aditya enteng. Aku tersenyum. Aditya, kau memang adik yang sangat kusayangi!
`terima kasih` gumamku dalam hati.
“Bagaimana kehidupanmu sekarang? Antoni sering sekali menyebut – nyebut nama adiknya.” Kataku mencoba menanyakan kabarnya. Ia tersenyum.
Setelah sekian lama berpisah, kini aku melihat Aditya menjadi pemuda yang lumayan tampan. Tubuhnya tinggi namun agak kurus daripada tubuhku. Wajah kami mirip, hanya saja aku ditumbuhi jenggot sementara Aditya dengan sedikit kumis. Kulit Aditya sama legamnya denganku. Dan mungkin sekarang ia duduk di kelas satu SMA.
“Setelah perceraian ibu dan ayah, aku dan ayah pindah ke Pandeglang, Banten. Sejujurnya kami sangat dekat dengan Jakarta. Hanya saja, ayah masih sangat malu dengan penodaan cintanya terhadap ibu dengan berselingkuh didepannya! Yah bisa dibilang, ia masih takut menemui ibu. Itu sebabnya kami tak pernah mengontak Antoni dan ibu di Jakarta.
“Kini, ayah menjadi seorang pengajar TPA disalah satu surau didesa itu. Mungkin itu pelampiasan atas taubatnya karena telah menduakan cinta ibu!
“Tapi seandainya aku datang ke Jakarta lebih awal, mungkin sampai saat ini Antoni masih hidup dan ibu masih sehat. Dan kuharap, kami menjadi keluarga yang utuh lagi.” Kata Aditya. Aku tertegun mendengarnya.
“Sesuatu tidak bisa dipaksakan untuk terlaksana sesuai kemauan kita. Semuanya, sudah diatur oleh Tuhan. Dan yakinlah semuanya akan indah pada waktunya.” Gumamku sendu. Aditya tampak menyetujuinya dalam diam. untuk sesaat, kami terdiam.
“Anto… mmm… maksudku Elia.”
Suara seorang wanita berada dibelakang kami. Kami menoleh. Kartika.
“Kartika! Ada apa?” tanyaku.
“Maaf mengganggu, tapi Fabian ingin bicara denganmu.” Kata Kartika sambil menyodorkan HPnya kearahku. Aku mengambilnya dari tangan Kartika. Fabian masih aktif disana.
“Fabian?”
“Elia?”
“Ya, ini aku.”
“Kemana saja kau semalaman. Sudah ku telepon nggak diangkat, di SMS juga nggak dibalas!” gumam Fabian diseberang sana dengan nada jengkel.
“Oops, maaf. Aku nyaris lupa untuk mengabarimu. Hehe. Dan maaf, HPku low bat.” Kataku.
“Huh dasar! Dimana kau? Bersama Kartika, ya? Kami khawatir disini, tahu!”
“Maaf – maaf. Sekali lagi aku minta maaf. Iya aku bersama Kartika, sedang berada dirumah… mmm… temanku. Nanti sore aku balik koq. Kalian nggak perlu khawatir.” Kataku menenangkan kejengkelan Fabian.
“Hffh, yasudahlah. Yang penting kau baik – baik saja disana. Nanti sore mau pulang ke biara, kan? Mau kususul?” tanyanya.
“Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri, koq!” Jawabku.
“Hmm… baiklah kalau begitu. Jangan nakal disana!” Kata Fabian mengakhiri pembicaraan.
TUUUTTT
Aku menyerahkan kembali HP itu ke Kartika. Kartika menerimanya.
“Oh iya, aku juga ingin pamit dulu.” Gumam Kartika.
“Kau mau kemana?” tanyaku.
“Aku ada tugas di markas. Dan, aku harus memeriksa laporan pembunuhan yang aku tangani. Kuharap ada laporan terbaru.” Gumam Kartika sambil mengedipkan sebelah matanya kearahku. Aku tersenyum.
“Baiklah kalau begitu.” Kataku.
“Kau tidak ingin kujemput nanti sore?” tanyanya.
“Tidak perlu. Terima kasih atas bantuanmu.”
“Baiklah. Nanti kita ketemuan lagi ya. Banyak yang harus kubicarakan denganmu.”
“Atur aja atur.” Kataku sambil tersenyum.
Kemudian, Kartika pamit padaku dan Aditya. Setelah ia mengucapkan `lekas sembuh` untuk ibuku, ia pun melangkah pergi meninggalkan pekarangan rumahku.
“Dia polisi?” Tanya Aditya sesaat setelah Kartika pergi.
“Begitulah.” Gumamku.
“Apa hubunganmu dengannya?” tanyanya.
“Dia menangani kasus pembunuhan Antoni.” jawabku. Aditya terbelalak.
“Antoni dibunuh?!” Gumam Aditya tak percaya.
"AKKHH!!!"
Sebelum aku sempat menjawabnya, tiba – tiba sebuah suara mengerang mengejutkan kami! Suara itu juga memanggil sebuah nama! Ibuku!
Kami bergegas kekamar ibu. Disana, ibu sedang mengigau dengan mata terpejam dan keringat dingin. Mimpi burukkah?!
“Antoni! Pulanglah nak!” Gumam igauan ibu. Aku dan Aditya bergegas mendekati ibuku!
Aku segera mengguncang – guncang tubuh ibuku agar terbangun dari mimpi buruknya!
“Ibu, bangun. aku disini!” gumamku.
Sesaat, mata ibu terbuka dan mendapatiku dihadapannya.
Sontak ia langsung memeluk erat tubuhku seolah ia tahu bahwa aku adalah Antoni!
“Antoni! jangan tinggalkan ibu lagi, nak! Ibu mohon padamu!” mohon ibuku sambil memelukku erat seolah tak mau kehilanganku.
Aku membalas pelukannya. Menangis di pundaknya.
“Aku takkan meninggalkan ibu lagi…”
*****
“Terimakasih Pratama, telah memberikan kabar Alif.” Kata Widia di gagang telepon.
“Sama – sama bu. Maaf, tak bisa membujuk Alif untuk pulang.” Kata suara Pratama diseberang sana.
“Tak apa. Mengetahui kabar Alif juga sudah membuat ibu senang.”
“Baiklah bu. maaf, saya diam – diam memberitahukan Alif kepada orang tuanya. Jadi saya rasa kita tak bisa berlama – lama di pesawat telepon.”
“Baiklah. Untuk sementara waktu, ibu titip Alif padamu.” Kata Widia.
“Baik bu.”
TUUUTTT!!!
Hening. Widia menutup gagang teleponnya dengan sendu. Ia masih tak percaya, Alif sepertinya memang sudah sangat membenci orang tuanya! Sudah sangat juah kah anaknya dari dirinya dan suaminya?
Di sudut lain, tuan Rahman yang juga ikut mendengar percakapan antara istrinya dengan Pratama, hanya terdiam menunduk. Ia sepertinya juga tak menyangka anaknya juga akan membencni dirinya. Ia tak percaya, anaknya yang dulu sangat ia banggakan, kini malah menjauhinya dan tidak menganggap dia orang tuanya. Apakah dia telah salah mengasuh Alif selama ini?
Untuk sesaat, Widia menteskan airmatanya mendengar kabar anaknya. Ia merasa kesal dengan dirinya, disaat anaknya sedang terluka, ia malah tak bisa menemaninya!
Ia menoleh kearah Tuan Rahman yang sedang duduk membelakanginya. Ada sedikit rasa marah pada suaminya! Ia menatap suaminya nanar. Ia tahu, permulaan Alif menjadi seorang anak yang nakal itu bermulan dari pertikaian ia dengan ayahnya! Widia membiarkan airmatanya menetes.
“Meskipun dia seorang gay sekalipun…” gumam Widia yang ditujukan kearah suaminya. “Dia tetap anakku… dan aku mencintainya!”
Gumam Widia. Ia kemudian bangkit berdiri. Meninggalkan suaminya yang menyembunyikan wajahnya dengan ekspresinya yang dingin.
Seorang ayah yang sifat dinginnya akhirnya runtuh! Namun semua terlambat, cinta yang kini ingin diberikannya, semuanya dicampakkan begitu saja!
Lanjutkan trus cerita nya.
Keren bangaettt.
Gak perduli umur ts berapa yg penting w uda menjadi salah satu pengagum cerita u.
Thanks.
walau bagaimanapun marahnya orang tua tetap akan menyayangi anaknya sampai kapanpun
huuufff....luar biasa crita yg sangat mengharukan..
Holic yg jenius 1 kata buat karya kamu...SEMPURNA
jangan lupa mantion Gw ya..
Smangat bro..lanjoottt!!!
Masi lg sibuk ya.
#masih menanti
ayookk semangat! @holicmerahputih
Lama dah kngen berattttt ama @holicmerahputih