It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
tell me why did you need to go,
tell me why do we need to part,
why don't you tell it to my face so i can see,
why do i have to see you're gone...
Tell me again i want to hear,
why you had gone i'm now alone,
for i adore you and do love you with my soul,
remember our time was short....
Chorus:
i'll let you go, i'll let you fly,
why do i keep on asking why,
i'll let you go now that i found,
more than a broken vow...
Tell me the words i never said,
show me the tears you never shed,
give me the touch that once you promised to be mine,
or has it vanished for all time...
Chorus
i close my eyes,
and dream of you and i and realize,
there's more tho life than only bitterness and lies...
I close my eyes,
i'd give away my soul to hold you once again,
and never let this promised end....
Chorus...
@holicmerahputih, semoga berkenan
Kyaaa..... saya PHP lagiiii....... -_- #DigamparPembaca >_<. huhhu. gamonesai, selama bulan puasa kemaren rada - rada break dulu soalnya udah mulai sibuk PKL masuk malem sampe bulan november nanti.... #tralalalalalalala.....
BTW, ini akun baru ku. kalo misalnya mau kirim keselan dan lempar sendal #PoorTS ke sini. soalnya yang @holicmerahputih udah nggak bisa dibuka. au napah.... -_-
BTW reader, jgn pernah nyesel yanh nungguin nih cerita. TS udah pernah janji, kan kalo bakalan nyelesein nih cerita. yaaah, mungkin udah mulai nggak seru soalnya kalian lama nunggunya... -_- #dudududu.
Kala itu, malam cukup pekat untuk bisa dilihat oleh mata telanjang. Hanya kilauan – kilauan lampu yang sayup – sayup tertangkap penglihatan yang seolah menjadi titik – titik bintang dalam kegelapan. Adakah yang bisa menerka kegundahan hati seorang manusia yang masih terjaga meskipun malam telah merengkuhnya?
Tiupan angin maha sejuk pun tak mampu membuat matanya sayu apalagi menjadikannya kantuk.
Malam itu, Antoni berdiri diberanda rumah. Benar – benar rumahnya!. Inilah yang mungkin ia lakukan setiap tiga kali dalam seminggu. Menginap dirumah aslinya yang juga dihuni oleh adik dan mamanya seperti yang biasa ia lakukan di malam – malam sebelumnya. Seperti halnya seorang anak yang selalu khawatir pada mamanya, Antoni seolah mencoba untuk bisa tetap ada disamping mamanya malam itu. Ia tak peduli apapun kata tetangga mengenai gunjingan – gunjingan `wanita murahan` yang dilontarkan padanya mengenai tempat tinggalnya bersama Aditya setiap malam. Toh, pada dasarnya ia hanya ingin bersama dengan mama dan adiknya, kan?
Malam kian menunjukkan kepekatannya. Waktu kini menunjukkan setengah dua belas malam. Antoni masih enggan pergi dari balkon lantai dua tempatnya berdiri. Kata – kata Kartika di biara beberapa hari yang lalu seolah – olah masih terngiang – ngiang ditelinganya. Saat mereka hendak melaksanakan sholat maghrib ditengah – tengah acara supper di gereja.
Saat itu Antoni menanyakan apa gerangan yang membuat Kartika mengumpulkan relasinya. Apakah sekedar untuk mengundang acara makan malam, atau ada alasan lain?
Ya, ada alasan lain yang disembunyikan Kartika saat itu yang sudah diduga – duga oleh Antoni sejak awal. Yakni mengorek informasi tentang orang – orang terdekat korban yang tak lain adalah Antoni sendiri.
Antoni menghela nafas. Ia mengingat kembali bagaimana Kartika tampak tak yakin bahwa rencananya untuk membantu Antoni bisa berjalan mulus. Semua berlatar belakang tentang Alif yang memang tak suka diusik urusannya dengan Antoni. Ditambah lagi, Alif tak suka wanita! Jadi, bagaimana cara terbaik untuk `meluruskan` Alif?!
“Kau belum tidur?” Suara seorang wanita mengagetkan lamunan Antoni. Antoni kaget dan menoleh kearah sumber suara.
“Mama… ng, maksudku… Bu Rini.” Kata Antoni. Ia cukup terkejut juga melihat mamanya berdiri diteras dengan menggunakan piyama putih panjang dan terjumbai tertiup angin.
Rini hanya tersenyum. Ia mendekati Antoni yang sepertinya sedang kikuk mengatur nafas untuk bersandiwara menjadi Elia.
“Kau belum tidur?” Rini mengulang pertanyaannya dengan lembut. Ia kini berada disamping Antoni dan menatap ke halaman didepan rumahnya dilantai dasar.
“Belum bu.” Kata Antoni yang sekarang mulai berperan sebagai alter Elia-nya. Rini menghela nafas.
Untuk sesaat mereka berdua terdiam. Lewat manik mata Elia, Antoni menatap wajah mamanya yang sudah amat menua. Keriput dan uban sudah mulai terlihat dan sebagian kecantikannya mulai membusuk. Wajah lelahnya seolah mengatakan bahwa dia sudah seharusnya istirahat. Terlihat bening mata senjanya yang tampak berkaca – kaca seolah menjadi saksi betapa ia sangat kuat melebihi baja untuk mengurus Antoni sendirian.
Antoni terenyuh menatap wajah tua ibunya. Jika seandainya ia masih Antoni, pasti sudah dipeluk tubuh ringkih ibunya.
“Apa kau ada masalah… Antoni?” Tanya Rini. Satu hal yang selalu diucapkan Rini; Rini selalu menganggap Elia adalah Antoni. Antoni hanya tampak maklum dengan mamanya karena dia tahu akan penyakit delusi skezofrenia yang menggerogoti pikiran mamanya.
“Ya… sedikit.” Kata Elia jujur.
“Tak usah dipikirkan. Seberat apapun masalahmu, kau juga butuh tidur.” Kata Rini menenangkan.
“Lalu… kenapa ibu Rini ada disini?” Tanya Elia.
“Untuk menemanimu.” Gumam Rini sambil menatap ke langit malam.
“Maksudnya?” Tanya Elia.
“Aku sudah terlalu tua Antoni…” Gumam Rini. Namun Elia masih belum mengerti maksud dari perkataan Rini. Tapi kali ini ia lebih memilih diam dan menunggu Rini melanjutkan kata – katanya. “Aku sudah terlalu lelah untuk terus terjaga. Aku takut, saat aku tertidur… aku tak bisa terbangun lagi untuk menemanimu…” Kata Rini. Elia serasa tertampar oleh perkataan Rini. Ia mereguk ludah ketika mendengar ucapan mamanya kala itu. Ingin rasanya ia merangkul pundak mamanya yang lebih pendek darinya itu.
“Maaf ibu Rini. Aku…” Elia ingin berkata – kata namun ia tak tahu apa yang ingin diucapkan. Beberapa detik tak ada kata – kata balasan.
“Tolong Antoni. Jangan panggil aku dengan sebutan `ibu`…” Kata Rini lembut sambil menatap sayu kearah Elia.
“Memangnya kenapa… bu?” tanya Elia bingung.
“Rasanya aku seperti orang lain bagimu. Bukankah kau sering memanggilku dengan sebutan… `mama`?” Kata Rini. Elia terdiam. Dan untuk sesaat ia mengulum senyum.
“Tapi… aku bukan Antoni.” Kata Elia. Rini tersenyum kalem.
“Kata siapa? Kau anakku!” Tegas Rini lembut. Elia kembali tersenyum seolah secara kasarnya ia sedang meremehkan ibunya yang selalu berdelusi bahwa Elia adalah Antoni.
“Aku Elia, bu.” Kata Elia menegaskan. Rini hanya tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Kau pembohong yang payah Antoni.” Gumam Rini. “Sudah berapa tahun mama dan kamu tinggal dan merasakan susah senang bersama? Mama selalu mengobatimu saat akmu sakit. Mama selalu ada bersamamu saat kamu sedih. Apa kau masih meragukan mamamu yang bahkan bisa mengenalimu karena kau adalah darah daging mama? Jiwa dan diri mama sendiri?” Kata Rini kali ini membalas tatapan remehan. Elia sukses terdiam.
Elia cukup terkejut dengan ungkapan Rini. Tapi ia masih berasumsi bahwa mamanya terpengaruh skizofrenia. Ia mencoba membantah.
“Tapi bu…”
“Apa? Skizofrenia?” Kata Rini memotong seolah tahu apa yang akan dikatakan Elia. “Kamu masih percaya sama vonis dokter? Kamu lebih percaya sama apa yang dikatakan dokter daripada sama insting seorang ibu?” Kata Rini. Elia benar – benar bungkam.
“Aku ibumu... mamamu yang melahirkanmu! Aku bisa merasakan kehadiran anakku karena dia bagian dari darah dan dagingku. Aku tahu kau bukan Antoni yang dulu. Antoni yang bahkan sangat ganteng dimata mama. Tapi mama bisa merasakan kehadiran Antoni-ku yang mama selalu sayang. Mama tahu, Antoni pasti pulang lagi dan mama tahu, yang berdiri dihadapan mama adalah Antoni, putra kesayangan mama.” Kata Rini. Setitik Airmata mengalir diantara kelopak sayu bertabur senyuman.
Antoni kali ini lebih banyak bungkam dan syok. Cinta kasih mamanya bahkan bisa menyadari kehadirannya di tubuh Elia ini. Ia nyaris menumpahkan segala airmata kangen yang ia tahan sebagai Elia dulu.
“Dari mana… mama… tahu… ini Antoni?” Antoni berkata tersendat – sendat. Bahkan beberapa bulir airmata telah sukses jatuh dipipi wanitanya. Ia bahkan tak ragu lagi untuk menyebut Rini dengan sebutan… Mama.
“Kamu anak mama. Masa iya mama nggak kenal sama daging dan darah mama sendiri. Mama selalu yakin dengan kehadiran kamu Antoni.” Kata Rini sembari tersenyum penuh kelembutan seolah ia baru bertemu dengan anaknya yang telah lama hilang puluhan tahun.
Antoni menangis. Sesenggukan! Ia tak tahu harus berbuat apa. Kaget, haru, syok, dan seperti mimpi seolah berkecamuk menjadi satu. Sebegitu besarnya cinta seorang ibu bahkan hingga bisa menembus tubuh yang bahkan Tuhan ciptakan ini?! Tanpa diberi tahupun, ibunya tahu kehadiran dirinya berada dihadapannya.
Antoni menyesal telah menganggap ibunya gila karena selalu menyangka Elia adalah Antoni. Padahal semua itu benar adanya. Jika rasa cinta anak sebesar ibunya, pasti Antoni akan sadar lebih awal tanpa harus berpura – pura menjadi Elia dihadapan ibunya.
“Ma…ma…” Antoni memeluk mamanya tanpa ragu lagi. Rini membalas pelukan anaknya yang selama ini ia tahu ada dihadapannya. Ia juga tak kuasa menahan airmatanya tatkala semesta mengizinkan pertemuan ibu dan anak itu untuk pertama kali setelah sekian lama. Dan mungkin akan menjadi pertemuan terakhirnya.
“Sekarang istirahatlah nak. Sudah banyak cerita yang kau lalui dengan tangisan. Tidurlah, selama mama masih ada disisimu.” Kata Rini lembut sambil mengelus rambut mulus Elia yang menyimpan Antoni didalamnya.
Bintang disana berkelipan seolah mendendangkan lagu – lagu sedih untuk sebuah keharuan dibawah semesta malam.
*****
Pasca mamanya tahu bahwa Elia adalah Antoni, Antoni semakin sering berkunjung kerumah. Entah mengapa, Antoni yang dulu tertutup pada ibunya sendiri, kini malah makin manja setelah kejadian malam itu. Ia menceritakan tentang bagaimana perjalanannya mengarungin alam barzah ketika Tuhan menyuruhnya untuk menuntaskan tugas yang telah ia janjikan dihadapanNya.
Mama Antoni, Rini pun sekarang sudah mulai berangsur pulih dari penyakit skizofrenia dan leukemia yang di vonis dokter atas dirinya. Meski masih lemas, Rini sekarang tidak berdelusi atau mengalami halusinasi lagi ketika tidur. Keyakinannya terhadap kepulangan Antoni akhirnya membawakan hasil. Antoni benar – benar ada dihdapannya. Dan kini, Antoni yang sebelumnya sendirian dalam tubuh Elia, merasa memiliki semangat hidup dalam menjalani hidup keduanya.
Aditya yang belum mengetahui siapa Elia sebenarnya hanya mengangkat alis dan menatap bingung pada kepulihan ibunya. Ia juga cukup heran karena Elia sering sekali berkunjung kerumahnya dan membuatkan Rini dan Aditya sarapan. Meski Aditya adalah adiknya sendiri, Elia masih enggan untuk memberitahu siapa dia sebenarnya.
“Kenapa tidak diberi tahu?” Tanya Rini suatu ketika.
“Biarkan saja.” Kata Elia.
“Dia kan adikmu. Kau tidak kangen sama dia?”
“Kangen banget malah, ma! Tapi, aku belum siap saat semua orang langsung mengetahui siapa diriku. Nanti bisa – bisa terjadi kehebohan massal.” Kata Elia kala itu.
Ya, alasan itulah yang membuat Antoni alias Elia tidak memberitahukan secara umum siapa jati dirinya. Biar waktu saja yang memberi tahukan kapan ia harus memberi tahu siapa dia sebenarnya. Seperti halnya ia memberitahukan hal tersebut pada Kartika yang mendesaknya ataupun ibunya yang sudah merasakan Antoni dalam diri Elia.
Yah… biarlah… lagipula Tuhan memberikannya tubuh baru hanya untuk satu tugas dan untuk satu orang…
*****
“Kyaaa…. Terlambat!” Elia menatap jam dinding dikamarnya. Jam 6:45 WIB! Ia sudah terlambat masuk sekolah. Ya, semalaman ia pulang larut dari rumah ibunya dan sekarang ia akhirnya kesiangan.
“Elia! Udah terlambat!” Teriak Valent dari luar.
“Kenapa gak dibangunin sih?!” Balas Elia dari dalam. Ia buru – buru mencuci muka, memakai seragam, mencari sepatu dan memasukan buku kedalam tas dengan asal. Bahkan ia pun tak sempat untuk mandi!
“Udah dibanguni berkali – kali! Gak liat tuh kasur kamu basah gara – gara aku siram?!” Kata Valent dari luar. Namun Elia tak acuh. Ia sibuk memasukan sepatu dan kaos kaki kekakinya. Nyaris saja tertukar antara yang kanan dan yang kiri.
“Udah! Gak usah sekolah aja! Udah telat ini!” Teriak Fabian.
“Enak aja! Entar gak ketemu sama Alif dong!” Balas Elia keceplosan.
Ops!
“Cieee! Modus sekolah cuman buat pacaran doang!” Teriak Janetta dari luar. Lho? Mereka gak ada yang kuliah atau kerja apa? Dasar!
“Udah ah langsung cabut duluan ya!” Teriak Elia kesal. Ia lalu mengambil ancang – ancang dan kemudian langsung ngebut nyolong start dari dalam kamar. Tanpa menoleh lagi kearah kakak – kakaknya yang ceming ngeliat Elia maraton dan ngebut keluar biara.
“Eh! Kamu kan belum dapet ongkos sama sarapan, El!” Teriak Janetta yang langsung keluar biara dan meneriaki Elia dari beranda. Tapi Elia udah keburu jauh dan gak peduli sama teriakan Janetta saat itu.
“Kenapa Jane?” Tanya Valent yang menyusul keluar biara mendengar Janetta berteriak.
“ini, ongkos sama sarapannya…” Kata Janetta sambil menunjukkan uang lembar duapuluh ribu rupiah dan sekotak box makanan.
“Huh! Dasar Elia!” Gumam Valent sambil geleng – geleng kepala. “Sini deh aku aja yang anterin kesekolahannya.”
“Waduh! Tumben baik banget ya kamu Val.” Puji Janetta.
“Tapi nanti aja ya, jam delapanan.” Kata Valent sambil mengambil kotak nasi dan uang dari tangan Janetta lalu kembali kedalam.
“Yeee…. Sekarang!”
*****
“Yaaahhh… buka dong pak! Pliiisss. Cuman telat lima belas menit doang, kok.” Elia tampak memelas didepan pintu gerbang sekolahan yang sudah tertutup rapat. Seorang satpam yang sudah berusia paruh baya tampak prihatin dengan Elia. Tapi ia tak bisa berbuat apa – apa karena ia digaji untuk menegakkan peraturan sekolah.
“Maaf, ya non. Bapak cuma menjalankan perintah yang diberikan kepala sekolah, doang.” Kata satpam tersebut.
“Tapi, kan saya nggak telat – telat banget, pak. Cuma lima belasan menit doang.”
“Yang namanya telat, ya telat!” Kata satpam tersebut keukeuh. Elia berdecak kesal. Satpam dihadapannya memang terlihat nggak galak dan nggak tegas. Tapi terlalu disiplin!
“Sebelum – sebelumnya saya kan gak pernah telat, pak.” Elia tak kehabisan akal. Ia tidak mungkin tidak masuk sekolah hari ini. Dalam kamus keseharian Elia, ia anti yang namanya bolos! Apalagi saat dulu masih menjadi Antoni, sebagai waketos, ia dituntut untuk selalu on time!
“Siapa suruh hari ini telat!” Kata pak satpam.
“Saya kesiangan, pak.”
“Alasan yang terlalu umum itu, mah! Saya udah sering dikasih alasan macam non! Absurd!” Kata si satpam. Nih satpan ndeso bisa kenal kata `absurd` juga?!
Elia berdecak kesal kembali. Akhirnya ia memilih pasrah dan tidak mungkin dapat masuk sekolah hari ini.
“Mmmm…. Yaudah deh pak. Saya pulang.” Kata Elia kesal. Ia menghela nafas dan berbalik. Satpam penjaga gerbang hanya menggeleng – gelengkan kepala tampak prihatin.
‘Kemana lagi?’ Batin Elia. Ia tampak khawatir jika ia pulang ke biara malah akan dapat `jeweran` dari kakak – kakaknya yang over – posesif. Jika ia pulang kerumahnya, ia tak siap menerima pertanyaan – pertanyaan dari Aditya ataupun mamanya. Huhu. Galau.
“Elia?”
Untuk sesaat sebuah suara membuyarkan kebimbangan pikiran Elia. Elia menoleh kearah sumber panggilan.
“Alif?!”
Elia terkejut (Sekaligus deg – deg an!). Alif mendekatinya dengan tatapan bingung. Ia memakai baju sekolahan dan… ada rokok di sela dua jarinya!
“Kamu telat, ya?” Tanya Alif.
“He – eh.” Kata Elia. Ia lalu menatap bingung Alif. “Koq kamu nggak didalam sekolahan, sih? Kamu juga telat?” Tanya Elia.
“Nggak. Dari jam enam aku ada di warung itu…” Kata Alif sambil menunjuk sebuah warung kecil yang tak jauh dari sekolah. “Kebetulan aja aku ngeliat kamu disini. Jadi aku samperin.” Kata Alif. Beberapa saat ia menghisap rokoknya.
“Oh… kamu bolos, ya?!” Tuding Elia langsung.
“Iya.” Kata Alif nyantai.
“Koq nyantai banget sih jawabnya!” Kata Elia.
“Loh, emangnya kenapa? Kamu kan udah tahu kalo aku sering bolos.”
“Dulu kamu kayaknya nggak kayak gini.”
“Tahu apa kamu tentang aku yang dulu?” Tanya Alif sinis.
“Tahu! Tahu banyak banget malah! Aku tahu kamu tuh suka banget sama yang namanya musik – musik klasik. Kamu juga bisa main orkestranya. Aku tahu kamu tuh doyan banget nonton Spongebob Squarepants meski episodenya sering diulang – ulang. Kalau pulang sekolah kebiasaan kamu adalah berendam di bathub pake sabun aroma therapy. Kamu orangnya benci banget sama yang namanya OSIS.” Kata Elia meyakinkan bahwa ia memang tahu tentang seseorang yang dicintainya sejak dulu.
“Ah. Itumah rahasia umum. Semua orang juga udah tahu itu.” Kata Alif. Sekali lagi ia menghisap rokoknya dengan acuh. Elia tak kehabisan akal.
“Bagaimana kalau aku tahu bahwa kamu pernah melakukan ciuman pertama…” Elia tampak memerah, “ Di dermaga tanjung priok.”
ZINNGGG!!!
Alif menatap Elia dengan tatapan kaget. Elia merasa dirinya telah berhasil `menendang balik` Alif.
“Terus kamu pernah nembak almarhum cowok kamu di kantin sekolah pas lagi sepi dan itupun gak ada romantis – romantisnya. Payah banget!” Gumam Elia.
“Kamu…” Alif ingin memotong. Tapi hanya satu kata itu yang keluar dari bibirnya.
“Dan apa aku juga harus nyeritain tentang malam itu…” Elia tampak merona malu lagi. “ Malam saat mati lampu dan badai terjadi. Saat didalam kamar cuman di terangi lilin. Malam dimana kamu pertama kali melakukannya dengan seorang pria dan… HPPHH!!!” Elia tak berhasil menyelesaikan kalimatnya karena tangan Alif dengan cepat membengkap mulutnya.
“Psssst! Bagian yang itu nggak usah diceritain!” Bisik Alif tepat beberapa senti didepan wajah Elia yang mulutnya di bekap. Elia mengangguk. Tercium sekali aroma rokok dari nafas mulut Alif. “Oke – oke, sekarang aku jadi takut sama kamu!” Kata Alif sambil perlahan melepaskan bekapannya.
“Kamu sebenernya siapa, sih?” Tanya Alif sambil mengernyitkan dahi.
“Elia.” Jawab Elia dengan polosnya.
“Ye, aku juga tahu kamu Elia. Maksudku, darimana kamu tahu segalanya tentang aku, tentang Antoni, tentang kami berdua?” Tanya Alif kerasan.
“Internet.” Jawab Elia asal dengan senyuman yang memuakkan bagi Alif.
“Serius!” Desak Alif.
“Sumpah.” Kata Elia sambil membuat `V` dengan jari telunjuk dan tengahnya. Alif cengo dengan jawaban asal Elia. Ia menganggap Elia tak bisa dianggap serius dan segalanya terasa disembunyikan. Wanita aneh yang gila!
Alif akhirnya pasrah. Ia kemudian mendengus sambil tersenyum sinis dan menggelengkan kepala. Lalu ia berbalik dan hendak meninggalkan Elia.
“Eh, eh! Mau kemana?” Tanya Elia yang sebenarnya panik ketika Alif pergi. Ia mengejar langkah Alif dan mensejajarkannya.
“Bisa gila lama – lama ngajak ngobrok kamu!” Kata Alif tanpa menatap Elia. Ia menghisap rokok dan menghembuskan asapnya. Kemudian ia membuang puntungnya kesembarang jalan.
“Yeee, jangan ngambek dong cakep.” Kata Elia dengan wajah yang dibuat ceria. Alif tak peduli. Ia hanya meneruskan langkahnya.
“Sekarang kamu mau kemana?” Tanya Elia.
“Nggak tahu. Nggak punya tujuan.” Kata Alif.
“Lho, koq gitu?” Kata Elia.
“Semenjak Antoni pergi emang udah jadi kayak gitu, koq!” Kata Alif sinis. SKAK! Elia kehabisan kata – kata `gila`nya.
Kata – kata Alif barusan menjadi sebuah timpukan kesadaran baginya. Ia jadi salah tingkah dan hanya mengikuti Alif pergi dengan tatapan menunduk.
“Kenapa? Koq diem? Nggak ngoceh lagi?” Sindir Alif. Untuk sesaat Elia terdiam. Ia kemudian mencoba mengendalikan dirinya menjadi alter - Elia nya.
“Jalan – jalan yuk.” Ajak Elia kemudian. Alif kali ini menoleh.
“Kemana?” Tanya Alif.
“Kemana aja.” Kata Elia. Alif tersenyum sinis.
“Males ah. gak ada tujuannya!” Kata Alif. Elia tersenyum.
“Lho, bukannya itu jalan kesukaanmu? Nggak ada tujuan! Jadi, kenapa kamu tolak? Kan gak ada tujuannya kita kemana. Yang penting jalan.” Kata Elia seolah memiliki makna sindiran didalam kalimatnya.
Sontak Alif menghentikan langkahnya. Elia juga ikut berhenti. Alif menatap dingin wajah Elia yang tampak sumringah menatapnya. Seperti merasa tak berdosa telah mengatakan hal tadi.
“Jadi…” Elia memancing dengan tatapan mengiba dan nyengir.
Untuk sesaat Alif menatap tajam dan dingin Elia. Kemudian…
“Oke.” Jawabnya singkat.
“Yess….” Kata Elia.
“kamu udah maksa aku dengan cara yang licik.” Kata Alif sambil tersenyum samar.
“Biarin. Yang penting kamu jalan sama aku.”
~Biarkan saja kita jalan tanpa tujuan. Asalkan berdua, seolah aku telah menemukan labuhan dengan berbagi penderitaan bersamamu…~
****
Semuanya masih sama seperti dulu…
Anginnya, ilalangnya, gedung tuanya, mataharinya, pohon saganya, rumputnya, cahayanya, auranya… masih sama seperti terakhir kali Alif meninggalkannya.
Gedung tua Tanah Abang. Yang perhan menjadi saksi bisu dua insan yang saling mengutarakan perasaan dalam ilalang. Malam itu bersama jutaan bintang dan ribuan kunang – kunang, sebuah rasa akhirnya terungkap pertama kali di tempat Alif berdiri. Disini…
Rasa itu kembali muncul. Rasa kangen, rasa sedih, rasa kesal, rasa haru, bercampur aduk menjadi satu dan melebur bersama kenangan yang satu – persatu membuat ingatannya terasa ringan namun ingin ia tepis agar tak menjadi sebuah butir airmata kerinduan.
“Waah… disini keren! Anginnya adem!” Teriak Elia berlari diantara kerimbunan ilalang yang hanya memunculkan bagian tubuh pinggang keatasnya. Ia berlari suka cita menuju pohon saga yang dulu pernah diduduki Alif dan Antoni dibawahnya. Alif tampak menggalau.
“Kenapa kita kesini, sih?!” Tanya Alif. Ya, jika bukan karena wanita gila itu, Alif tak mungkin sudi untuk datang ketempat penuh kenangan ini.
“Lho, emangnya kenapa? Tempatnya asik. Jarang – jarang kan ada tempat kayak begini di Jakarta.” Kata Elia riang. Angin meniupkan beberapa helai rambutnya yang liar.
Seketika senyuman Elia merekah. Membuat Alif tergugu.
Sekali lagi ia bertanya – tanya tentang siapa Elia. Tawa itu, senyum itu, tatapan itu, entah mengapa membuat Alif `pulang` ke masa lalu. Tempat seharusnya berada.
“Lif, koq bengong sih? Gak cape berdiri disitu?” Teriak Elia di kejauhan. Di dekat pohon saga. Alif menatap Elia dengan berjuta kegalauan dan kebimbangan.
“Aku pulang aja, yah.” Kata Alif sebelum pikirannya benar – benar gila dibuat oleh gadis aneh didepannya. Alif langsung berbalik dan hendak pergi. Tak ingin pikirannya jauh melayang ke masa lalu.
“Eh! Tunggu! Buru – buru banget, sih! Kita baru aja nyampe!” Kata Elia yang suaranya timbul tenggelam ditelan desau angin. Ia kemudian mencoba mengejar Alif.
“Alif!” Panggil Elia. Alif tak menoleh. Namun ia juga tak mempercepat langkahnya. Dan akhirnya Elia berhasil mensejajarkan langkah Alif.
“Lif, koq kamu diem aja sih aku panggil?” Selidik Elia ketika ia berhasil sejajar dengan langkah pria disebelahnya. Alif tak bergeming. Ia bahkan tak menghentikan langkahnya.
“Lif! Ada apa? Kenapa? Koq kayaknya kamu galau banget mukanya?” Kata Elia sambil memperhatikan wajah Alif. Alif tak mengubris.
“Alif! Kamu kenapa?!” Elia mulai kesal karena dari tadi tak dijawab oleh Alif. Dan kali ini Alif menghentikan langkahnya dan menoleh pada gadis disebelahnya. Untuk sesaat, kedua insan itu terdiam terpaku. Membiarkan angin berbisik diantara mereka.
“Aku kenapa?” Gumam Alif. Elia tak paham. “Kamu bilang `aku kenapa?!`” Ulang Alif. “Kamu yang kenapa?!” Kali ini Alif agak membentak.
“Maksud kamu?” Elia masih tak mengerti.
“Kamu masih nanya maksud aku apa?! Liat sekeliling kamu! Kita ada dimana?! Tempat apa yang kamu pilih buat aku?!” Kata Alif.
“Lho, ini kan cuma savannah di belakang gedung tua.”
“Aku tahu ini savannah! Jangan pura – pura bodoh! Selama ini aku selalu yakin kamu tahu segalanya antara aku dan Antoni! Aku selalu yakin kamu kenal Antoni lebih dari yang aku tahu!” Pekik Alif. Elia tergugu dan terdiam.
“Apa kamu masih mau nanya `maksud aku apa?!`. Oke! kita main hitung – hitungan! Pertama, kamu bisa deket banget sama Pratama, temen terbaik Antoni. Kedua, kamu juga tahu keluarga bahkan sampai adik Antoni yang orang lain nggak tahu tentang keberadaan Aditya selama ini. Ketiga, Kamu juga tahu tentang aku, masa lalu aku, bahkan hubungan aku dengan Antoni. Dimana aku pernah nembak dia, kapan aku pernah ciuman, bahkan sampai hal paling privasi sekalipun!” Kata Alif sedikit tegas. Elia membisu. Matanya melirik kesana kemari seolah tak berani menatap langsung Alif.
“Elia. Siapa kamu?” Alif mengulang pertanyaang yang sering sekali diajukan. Kali ini dengan nada lembut namun tajam. Elia menunduk. Membiarkan angin menutupi debar jantungnya yang memompa lebih cepat histeria dalam pikirannya.
Semua ini terlalu cepat untuk diungkapkan dan untuk diketahui. Jika berhadapan dengan Kartika ataupun ibunya sekalipun, ia masih bisa bernafas teratur karena mereka bukanlah tokoh utama dalam cerita cintanya. Tapi Alif… Romeo hatinya, takdir cintanya! Untuk inilah ia dihidupkan kembali. Untuk Alif!
“Elia. Jujur sama aku, siapa kamu?” Alif kembali mendesak Elia. Elia memejamkan mata. Meminta bantuan kepada angin untuk menyampaikan suara hatinya. Memohon kepada ilalang agar berbisik syahdu menghibur degup kejujurannya. Membiarkan bias mentari pagi yang menuju hari menghangatkan peluhnya. Disinilah ia berpijak, dalam kebimbangan. Haruskah sekarang?
Dalam diam dan keraguan, kata itu terlontar begitu saja...
“Biarkan sajalah wajah ini saling berdekatan…” Gumam Elia sambil memejamkan mata. Kata – katanya masih membingungkan Alif.
“ kalau bisa buatlah kita jadi lebih dekat…” Bait kedua keluar dari bibir tipis Elia. Alif tampak familiar dengan ucapan itu. Otaknya kini menerawang menembus mozaik – mozaik masa lalu.
“ karena kita memang sepasang Magnet…” Ucapan selanjutnya membuat Alif tersengat dan tersentak. Magnet! Seperti sebuah ucapan yang pernah di ucapkan oleh orang terkasihnya.
“Walaupun kita sesama jenis yang seharusnya saling tolak-menolak bagaikan sepasang kutub utara atau kutub selatan magnet yang didekatkan. Tapi... Bukan masalah kan jika kita adalah sepasang kekasih?” Elia mengakhiri ucapannya. Kini matanya agak sedikit terbuka. Alif tampak ternganga.
Kata – kata yang pernah diucapkan Antoni saat mereka berucap janji di tepi dermaga Tanjung Priok. Saat matahari terbenam dan setetes airmata berada dipipi kukuh Antoni. Sesaat sebelum bibir mereka bertemu untuk yang pertama kali. Magnet.
‘Elia… apa maksudnya itu?” Alif tercekat. Gumaman yang di lontarkan Elia, seolah membuat sengatan di hatinya. Menyentuh sisi paling sensitif dirinya yang terkenang kembali akan semuanya. Seolah kembali mengangkat alter Alif yang sebenarnya. Dan semua sentakan itu, tak terasa membuat dada Alif terasa berdesir dan membuat matanya berkaca – kaca hingga bulir airmata terjatuh dari sana. Hatinya kembali basah.
“Ya Alif…” Gumam Elia. Atau mungkin sekarang kita harus mulai menyebut tokoh yang satu ini dengan…
“Aku Antoni.” Kata Antoni. Jauh berasal dari tubuh wanita Elia.
Alif tercekat. Tak mampu bereaksi. Ia tahu semua itu mungkin benar adanya. Tapi logikanya mengalahkan hatinya. Mana mungkin?! Antoni itu seperti sebuah pahatan patung Yunani. Dibuat seindah mungkin seolah diciptakan dari batu kasturi. Pakaiannya hanyalah kepalsuan belaka karena didalamnya tersimpan keeksotisan pria – pria tropis yang memukau. Matanya tajam dibawah alisnya yang lebat dan hitam. Rahangnya kukuh persegi menjadi daya tarik tersendiri bagi Alif.
Sementara dihadapannya adalah seorang gadis cantik berparas Asia. Ia jauh dari kata cokelat eksotis, melainkan kuning langsat. Tubuhnya bahkan langsing tanpa otot bisep – trisep. Matanya sendu dan sayu, seolah ia baru saja melewati kubangan siksaan menyedihkan. Rambutnya panjang terurai. Menyadarkan Alif bahwa semuanya hanyalah lelucon yang dibuat – buat.
“Jangan becanda, El.” Gumam Alif. Ia mengelap setetes airmata yang sempat membuat hatinya basah. Namun hati itu perlahan mulai mengering dan mengeras kembali.
“Aku nggak becanda. Bukankah kamu pengen tahu siapa aku sebenarnya. Aku sudah jawab dengan jujur, Lif.” Elia kerasan.
“Haha. Elia…” Alif menatap mata Elia dengan tatapan konyol namun menyimpan debu – debu kesedihan. “ Antoni udah meninggal.” Kata Alif parau.
“Tapi ini aku! Antoni Hendrawan! Putra sulung dari Hendrawan.” Kata Elia meyakinkan.
“Aku tahu kamu suka sama aku. Tapi jangan begini caranya. Berpura – pura menjadi orang yang gak ada. Kamu harusnya tahu perbedaan yang nyata antara kamu dengan Antoni!”
“Ini bukan soal rasa suka, Lif. Aku dihidupkan lagi itu buat kamu! Buat nyelamatin kamu!”
“Nyelamatin aku dari apa?”
“Dari dunia hitam kamu! Dari dunia kamu yang udah nyimpang.” Elia masih mencoba meyakinkan.
“Oh, jadi sekarang kamu mencoba buat ngelurusin lagi besi yang udah bengkok?” Cibir Alif. “Asal kamu tahu aja, besi yang udah dilurusin sekalipun, gak akan sesempurna sebelum ia bengkok.” Kata Alif.
“Tapi Lif. Aku ini beneran Antoni!”
“Jangan berpikir kamu bisa memiliki aku dan menormalkan aku lagi!”
“Tapi itu harus terjadi sebelum kamu…”
“Antoni gak bakal tergantikan di hati Aku, El. Inget itu!”
“Tapi aku…”
PLAKKK!!!!
Deg! Elia terdiam ketika sebuah tamparan mendarat dipipinya. Elia menatap Alif tak percaya. Begitupula Alif yang tak percaya akan kelakuannya. Ia menampar seorang wanita?! Alif tampak menyesal menatap tangan kanannya. Sementara Elia memegangi pipinya tak percaya dan sejuta rasa beraduk dihatinya.
“Maaf, El. Aku gak bermaksud. Kamu yang memaksa aku melakukannya.” Gumam Alif lirih. Diantara desau angin dan gesekan – gesekan dahan dan daun di pohon saga. Sunyi. Hanya suara tarian ilalang yang saling bersaut – sautan.
“Alif. Kenapa…”
“Cukup, El! Jangan bicara denganku untuk saat ini! Atau lebih baik... selamanya.” Gumam Alif tanpa melihat mata Elia.
Alif berbalik dan melangkah pergi. Elia hendak menyusulnya namun Alif melarangnya. Elia hanya terpaku ditempatnya, menatap punggung Alif yang menjauh meninggalkannya.
Sebelum Alif benar – benar pergi ditelah jarak, ia menoleh dan berbisik dengan mata sendu. Menatap Elia dingin.
“Bahkan, kuyakin Antoni pun takkan pernah melakukan hal itu padaku!” Bisik Alif lirih. Sebelum akhirnya ia benar – benar pergi.
Ketika sang Romeo itu pergi, sontak airmata tak terbendung lagi. Bulirnya menganak sungai dari kedua mata Elia. Bukan, bukan Elia yang kala itu tengah menangis, tapi Antoni yang benar – benar menangis! Jauh didalam sana, Antoni menrintih sedih!
Antoni menatap langit. Wajahnya saat itu sangat kepedihan. Bahkan ia tak kuat menahan beban tubuhnya dan akhirnya terjatuh bertumpu lutut dan menangis sepuasnya. Sekerasnya! Legenda terulang lagi. Ketika Apollo menangisi kepergian Hyakinthos dan menyeseali jiwanya yang bersemayam dalam tubuh abadi. Antoni Jatuh terduduk, membuat tubuhnya tenggelam dalam keemasan ilalang yang juga ikut bersedih akan kenyataan yang dibuatnya.
“Kenapa…?” gumam Antoni menatap langit. “Kenapa Kau siksa aku dengan mengorbankan perasaanku, Tuhan!” Gumam Antoni sesenggukan.
“Dia benar… Alif benar! Aku pun tak kuasa untuk menanggung malapetaka dan tanggung jawab ini! Aku tak bisa untuk membuatnya berhenti mencintaiku!” Gumam Antoni parau. Menyakitkan! Sangat menyakitkan! Bahkan jikapun malaikat bisa mendengar tangisannya, niscaya seluruh langit akan bergemuruh ikut menangis bersamanya.
Matahari tertutup awan, membuat sebuah siluet bayangan memayungi savannah emas itu. Antoni lemah tak berdaya. Tenaganya seolah terkuras habis lewat deraian airmatanya yang mulai bertahan berhenti. Ia menahan sisa – sisa airmatanya untuk menangis kala esok lebih menyakitkan dari hari ini. Antoni menunduk dalam. Dalam. Jauh dari kesadaran duniawi.
Triiing… Triiing…
Tiba – tiba suara ringtone HPnya berbunyi. Antoni tak mengubris panggilan tersebut. Ia masih berada dalam pikirannya. Masih tenggelam dalam keremangan hatinya.
Namun ringtone HP itu terus menjerit mengganggu pendengarannya. Getarannya pun juga mengganggu kesibukannya dalam berandai dalam penyesalan.
Akhirnya dengan terpaksa ia merogoh sakunya dan mengambil si mungil yang bersuara cempreng tersebut.
Aditya. Nama si pemanggil.
“Halo.” Jawab Antoni parau.
“Elia… kau terdengar kurang sehat. Ada apa?”
“Tidak apa – apa. Hanya ada sedikit masalah. Ada apa, Dit?”
“Maaf mengganggumu. Tapi… mmm… mama…”
“Ada Apa dengan Mama?” Sontak Suara Antoni berubah khawatir dan meninggi. Untuk sesaat, ia melupakan Alif dalam pikirannya.
“Mama… masuk UGD.”
*****
roh itu akan ada dan hidup kekal...hanya wadahnya saja yg silih berganti
aseek . . .
ohya penulis nya gak ganti tetep holicmerahputih yg bersmayam dlm tubuh @alifholic
sperti antoni dlm diri elia.
hehehehe
next up mention aq ya
thanks.
aseek . . .
ohya penulis nya gak ganti tetep holicmerahputih yg
bersmayam dlm tubuh @alifhollic
sperti antoni dlm diri elia.
hehehehe
next up mention aq ya
thanks.