It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Hehehehe
Kamar Pratama…
Suara hati Alif…
Di tengah hiruk pikuk dunia yang serba hakim menghakimi, aku pun tengah asyik menyiksa diri sendiri dalam kamar yang saat ini berstatus kamar seseorang. Setelah terseok – seok tiba dirumah dengan wajah penuh debu dan tubuh yang membanjir peluh ditambah tak mengubris sapaan Pratama, ingin rasanya aku menghentikan laju kehidupanku saat ini juga. Kaki ini seolah tidak kuat lagi menapaki terjalnya jalan kehidupan yang harus kulalui. Punggung ini sudah tidak sanggup lagi memikul kesulitan demi kesulitan yang kuhadapi.
Otakku rusak, sistemnya kacau balau. Mungkin saraf – saraf di dalamnya sudah saling berhimpitan dan kusut. Ibarat robot, aku hanya seonggok tubuh rakitan yang siap – siap dicampakkan ke tempat pembuangan sampah. Rasanya, aku tidak mampu bertahan lebih lama. Demi tuhan, aku lelah.
Aku membanting pintu, mengurung diri dalam gelapnya kamar. Tak mengubris panggilan Pratama yang mungkin tampak khawatir. Pulang dengan wajah kusam, berpeluh, dan agak sedikit basah karena diluar sedang terjadi rintikkan hujan dengan guntur yang menggelegar.
Di pojokan kamar, di sela antara ranjang dan lemari aku menyudut. Menyimpan rasa takut, kesal, benci, entah apalagi. Marah, itulah rasa yang paling dominan kurasakan. Marah saat mendengar Elia, gadis yang kupikir peduli akanku, mencoba membodohiku. Marah dengan kedua orang tuaku yang sangat mengekangku. Marah kepada dunia yang mengutukku dan kekasihku. Marah kepada Antoni… yang meninggalkanku sendirian disini! Dalam kegelapan hati ini!
Mungkin, bukan disini tempat terbaikku. Dunia terlalu kejam, seolah tidak memberikan sedikit ruang untuk kusinggahi. Masa lalu yang demikian buruknya berhasil membuat potret sejarahku menjadi kusam dan buram. Belum lagi, kurangnya kasih sayang ayahku. Ia terlalu peduli dengan `sesuatu untuk memberikan makan` dibandingkan dengan `siapa yang diberi makan`. Bila pun ia disisiku, itu hanya sekejap. Dan itupun terjadi sudah sangat lama. Siapa lagi yang bisa mengobati masalah hatiku yang terasa pahit kutelan? Pratama? Antoni? Ibu?
Tuhan?
Ah… dia hanyalah manifestasi ketakutanku disaat aku memerlukan `sesuatu` untuk berlindung dari ketidakberdayaan. Tidak ada yang namanya Tuhan! Meskipun kuakui, aku membutuhkan `sesuatu` itu ketika aku terkapar dijalanan dan bersimbah darah nyaris mati. Tapi… saat itu, bukankah aku diselamatkan Pratama? Lagi – lagi, hanya makhluklah yang bisa menyelematkanku.
Apakah Pratama hanya perantara dari `tangan Tuhan` yang menolongku?
Jika ya, mengapa nyawa Antoni terenggut saat itu?!
Air mata yang bercucuran tak mampu lagi kuhitung jumlah bulirnya yang berjatuhan. Yang kutahu, aku kenyang berair mata sejak dulu. Sejak aku hanya bisa menatap punggung ayah dari belakang. Sejak aku lebih memilih menutup diriku bahkan menghilangkan bakat dari diriku!
`Apakah semesta ini tidak berpihak lagi kepadaku? Bila memang tidak, kirimkan saja aku keluar angkasa!. Mungkin alien lebih bersahabat dan membuatku tenang dibandingkan disini. Atau bila disanapun lebih buruk, biarkan mataku buta dan hatiku mati hingga aku tak lagi melihat keburukan – keburukan didunia ini lagi!`
Saat aku tersudut larut dalam pengkhianatan dunia yang seolah tidak menginginkan kehadiranku, halusinasi serasa aktif merajalela. Segala bayangan hadir dengan bentuk aneka rupa didalam pandangan semu. Seperti saat ini, siluet sesosok tubuh manusia tiba – tiba saja berada dihadapanku. Tubuh yang menjulang padat, menggiurkan dan telanjang. Berwajah tampan dan tersenyum menatapku. Hidung itu, rahang kokoh itu, alis itu, cambang itu…
“Antoni…” Gumamku.
Antoni tersenyum. Entah darimana ia muncul. Yang kutahu awal kehadirannya dimulai hanya dari setitik kecil cahaya putih. Lalu, semakin lama sosoknya semakin berbentuk manusia utuh dengan lingkaran elips menyala disekelilingnya.
Tubuhnya padat menggiurkan seperti biasa. Dengan otot membulat yang menggeliat. Namun anehnya, tiap kali aku mencoba menggapainya, aku hanya menggenggam udara kosong belaka.
Melihatku tertegun, ia datang menghampiriku dengan lengkung senyum yang menggembirakan. Perlahan ia mendekatiku dan memajukan wajahnya. Secara bersamaan, bibirnya memagut bibirku. Dingin. Terasa menyakitkan namun aku menikmatinya.
“Hai Alif. Apa kabar? Kau kenapa?” Tanya Antoni ramah.
Aku menggeleng berulangkali sembari menggosok – gosok mata dengan punggung tangan untuk memastikan apa yang sedang kulihat.
“Masih mau hidup didunia yang terkutuk ini, sayang? Dunia yang mengutuk hubungan kita untuk selamanya sampai akhir zaman?” Tanya Antoni dengan suara teramat lembut. “Disini banyak makhluk yang membencimu dan menghukummu karena cinta suci kita. Tidakkah kau membenci mereka?”
Aku mengangguk membenarkan ucapannya. Lidahku kelu untuk berkata – kata.
Antoni mengangkat tangannya kehadapanku. Mengajakku. “Ikut saja denganku. Aku punya tempat untuk kita berdua. Disana, cinta kita akan abadi. Bercinta setipa hari. Memagut setiap malam. Tanpa takut dibenci dan dijauhi. Tempat yang diperuntukkan hanya untuk kau, dan aku.” Kata Antoni dengan nada lembut dan tatapan sayu.
Ingin Kuanggukan kepala secepatnya menerima penawarannya. Tapi, ada `orang` lain yang berdiri di belakangku. Menahanku dengan memohon, yang secara tiba – tiba menahan tanganku untuk menggapai Antoni.
“Jangan.”
Aku menoleh. Disana Elia berdiri dengan tatapan mengiba. Rambutnya yang panjang terlihat keemasan. Berkibar tanpa angin. Matanya yang sangat sayu, berbeda dengan tatapan Antoni yang sangat lembut. Jika Elia adalah Antoni, mengapa tatapan mereka berbeda?!
Sosok Antoni dengan sabar menanti jawaban. Dia tidak memaksa, tapi dia juga tidak memilih enyah dari hadapanku. Tangannya tergantung menunggu sambutanku.
Dibelakangku. Elia juga mengangkat tangannya. Mengajakku untuk jangan `pergi` dengan tatapan memohon. “Aku hanya ingin menyelamatkanmu. Karena aku peduli padamu”. Gumam Elia.
Kini aku dihadapkan dengan dua tangan yang terjulur menyambut sambutan tanganku. Memilih `kembali` bersama Elia. Atau `pergi` bersama Antoni.
Dalam kondisi meragu, terngiang – ngiang ada yang berbisik di telinga kiri dan kananku. Tak berbentuk, hampa, tapi terasa ada dan berjarak sangat dekat.
`Ikut saja! Disini sudah tidak ada gunanya. Kau sampah! Semua orang menginjak – injakmu. Apalagi orang – orang yang memerangi kaum sepertimu. Orang – orang yang sok suci! Ikut saja! Bukankah Antoni adalah segalanya untukmu?!`
Sejurus kemudian, aku mengangguk menyetujui ajakan Antoni. Antoni tersenyum lembut, dan kemudian aku menggapai tangannya yang kekar, dingin, dan hampa.
Aku melirik sesaat pada Elia. Ekspresinya tampak syok dan kecewa namun ia tak berusaha mengejarku meski kutahu ia mempunyai kesempatan. Ia menarik tangannya yang tidak tersambut. Mengepalnya kedalam dada dan menunduk sedih.
Untuk sesaat, perlahan siluetnya mundur dan tenggelam dalam kegelapan.
“Ayo, Alif…” Gumam Antoni.
Aku yang semakin terpedaya dengan gamang berayun langkah mengikuti telunjuknya mengarah. Seperti dalam zona hipnotis, aku berhenti pada ujung cahaya yang keluar persis dari ujung telunjuknya. Tanganku terhenti tepat pada satu kotak kecil yang berisi silet. Kukeluarkan selembar tipis silet dari dalam kemasannya dan kukepit di antara ujung telunjun dak jempol. Semua terjadi tanpa instruksi, tapi entah mengapa, aku seakan mengerti apa yang diinginkan Antoni.
“Sayat nadimu Alif. Sayat sampai putus dan berdarah – darah!”
Aku termangu sesaat, tak langsung mengikuti perintah tersebut.
“Jangan, kumohon. Aku disini untuk membantumu.”
Suara itu lagi. Elia. Suaranya tampak terdengar meski tenggelam dalam bising sunyi dan kegelapan.
Suara Elia tidak terlalu mendominasi. Ia kalah dengan bisikan – bisikan yang terdengar begitu meriah di telingaku. Apalagi ketika kutatap sorot mata Antoni dihadapanku, berbinar tajam sangat menawan. Aku terbius hingga seolah – olah tubuhku tersedot dalam jiwa Antoni yang masih berdiri dihadapanku.
Semakin aku meragu, semakin kuat pula bisikan yang berungkali menginstruksiku untuk melakukan apa yang diperintahkannya.
`Ayo cepat! Sayat! Tunggu apalagi?`
Dorongan itu laksanan motivasi dari mulut sang motivator yang ulung mempengaruhi pikiranku. Dengan dungunya, kuanggukan kepala tanpa pertimbangan apa – apa lagi. Ketika bagian tepi silet yang tajam menyentuh nadi, ketika itu pula samar terlihat banyak wajah – wajah orang seolah menatapku sinis selama ini!
Kucoba bertahan dan memandang bayangan itu satu persatu. Semua terlihat bergelinjang menyerupai kolaborasi yang menyeramkan. Namun diantara semua bayangan itu, hanya Antoni yang tampak jelas tanpa ada kesamaran. Tersenyum dengan tatapan berbinar. Aku terbius.
Aku membalas senyum Antoni. Lalu diluar nalarku, tangan ini bergerak semakin laju… laju… dan laju. Tahu – tahu, silet ini sudah menyayat nadiku perlahan – lahan.
Cesssh…!
Darah segar merah menyembur dari lua robek yang menganga. Percikannya sempat menciprati wajahku sendiri – amis dan kental. Herannya, semakin silet itu merobek kulit semakin besar, semakin pula kunikmati torehannya. Menurutku, rasanya tidak sepedih ketika kulit terkena goresan benda tajam. Bahkan meski kulitku menganga dan terlihat mengerikan, tapi rasanya jauh lebih sakit dan mengerikan ketika semua orang menganggapku sampah dan tidak memperdulikanku lagi.
Sungguh benar – benar kunikmati pergerakan silet tajam ini di nadiku. Apalagi, dalam pandangan yang mulai mengabur kulihat bayangan Antoni semakin merekahkan senyum di wajahnya. Aku suka senyumnya. Bagiku, itu senyum kedamaian meski tatapan matanya agak aneh.
Tak lama, tubuhku terasa lebih ringan. Beban yang semula terasa berat kupikul seakan terlepas seketika. Semakin lama, sepasang kakiku terasa tidak lagi mencecah lantai. Aku mengambang, antara dimensi nyata dan semu. Seiring waktu berlalu, satu titik padangan mulai memudar, keabuan, hingga berujung pada satu titik pekat tanpa cahaya. Kelam.
*****
RSCM, VIP Room 23A
Suara hati Antoni…
Aku baru saja memasuki sebuah kamar di salah satu rumah sakit. Dengan sedikit berlari disepanjang koridor dan kini aku berdiri dengan nafas terengah – engah. Lelah dan berpeluh. Aku mendapati Seonggok tubuh lemah tak berdaya sedang terbaring lemas dengan selang infus dan inhalase di sekujur tubuhnya. Tampak sangat menyedihkan dengan raut wajahnya yang menua.
“Elia…” Gumam Aditya. Yang baru kusadari sedang terduduk tak jauh dari ranjang. Aku menoleh prihatin padanya. Aditya juga menatapku sama. Begitu penuh dengan kecemesan.
“Dit, maaf telat.” Gumamku. Hanya itu yang mampu kuucapkan. Aditya hanya mengangguk.
Aku berjalan mendekati ranjang berseprei putih itu. Tanpa suara mendekati mamaku yang mungkin sedang berada didunianya sendiri. Aditya juga ikut mendekati ranjang. Dan kini, ia berdiri disampingku. Tak ada yang bicara. Mata kami sama – sama menatap wajah mama yang tirus.
“Sudah telepon ayahmu?” Tanyaku. Aditya mengangguk.
Hening lagi.
“Dia akan datang?” Tanyaku lagi.
“Ya…”
Hening.
“Bagaimana ini bisa terjadi? Kenapa mamamu tiba – tiba bisa terbaring disini?” Tanyaku.
Hening lagi. Kali ini untuk waktu yang sangat lama. Tak ada jawaban apapun dari Aditya. Aditya tak menjawab satu kata pun dan aku tak mau memaksanya.
“Kak…” Gumam Aditya. Sedikit dengan emosi yang tertahan hingga membuat tenggorokannya tercekat dan suaranya parau. “Berhentilah memanggil mama dengan sebutan `mamamu`…” Gumam Aditya.
Aku terkesiap. Sesaat itu juga aku menoleh melihatnya. Aditya sedang menitikkan setetes – dua tetes airmata. Namun tanpa senggukan dibahunya. Matanya merah, menatapku sayu bercampur tajam. Begitu dalam. Aku mencoba menerkanya dengan memahami tatapan matanya.
“Apa yang kau maksud?” Tanyaku kelu.
“Aku sudah tau semuanya, kak.” Kata Aditya memaksakan sebuah senyum. “Kak Antoni.” Gumam Aditya.
Untuk sesaat aku terdiam. Tak ada reaksi spontanitas atau keterkejutan. Aku membuang tatapanku. Beralih kepada wajah mama. Tanpa memedulikan tatapan mata Aditya yang masih menelanjangiku dengan bening kedua manik matanya.
“Pasti mama…” Gumamku. Aditya tak menjawab. Ia hanya mengusap bulir airmatanya yang sempat jatuh.
“Sebelum mama terjatuh koma, dia sudah meyakiniku akan dirimu, kak. Awalnya aku memang tidak percaya. Tapi, dari tanda yang kau berikan kepada kami berdua. Mana mungkin aku bisa membatahnya lagi.” Kata Aditya. Tatapan matanya kini ikut menatap wajah tirus mamanya.
“Segampang itukah kau percaya?” Gumamku yang nyaris terdengar seperti cibiran. Mengingat kejadian tadi siang, betapa sulitnya meyakini hati seorang Alif bahwa aku adalah Antoni.
“Aku bukanlah orang bodoh.” Gumam Aditya.
“Berarti Alif yang bodoh.” Cibirku. Aditya sedikit mengguratkan senyuman.
“Jadi benar, ini semua ada hubungannya dengan kak Alif.” Kata Aditya.
“Dialah yang jadi faktor utamanya.” Kataku. Aditya membalasnya dengan sedikit senyuman.
“Kenapa kau tidak memberitahuku dari awal, kak?” Tanya Aditya.
“Memangnya kenapa? Bukankah sama saja? Kapanpun kau akan tahu, kau bukanlah yang menjadi tokoh penting dalam kelahiran keduaku.” Kataku.
“Ya. Tapi setidaknya…” Aditya menghentikan ucapannya. Terhenti ditengah jalan. Untuk sesaat, wajahnya merona merah.
“Oh. Biar kutebak. Kau sempat menyukaiku, kan?” Tanyaku iseng.
“Mengagumi. Lebih tepatnya.” Kilah Aditya cepat. Wajahnya masih bersemu. Aku tersenyum.
Hening. Kami bersuka cita dalam pertemuan ini dalam keterdiaman dan kebisuan. Bersorak girang namun tidak mengekspresikannya secara nyata.
“Kak…”
“Hmmm…”
“Aku kangen sama kakak.”
“Aku juga.”
“Boleh aku peluk?”
]
“Nggak! Aku nggak suka dipeluk.”
“Oh.”
Setelah itu, percakapan kami berlanjut. Dua kakak beradik yang telah lama saling merindukan. Menahan diri untuk tidak saling merayakannya dalam bentuk haru biru. Tertahan dalam kegengsian kedewasaan yang menuntut kami untuk tidak saling menunjukkan bahwa kami cengeng.
Tanpa mereka sadari, segurat senyum sedikit merekah di bibir mama mereka yang sedang terbaring lemah meski perasaannya takkan pernah buta.
*****
RSCM Unit Gawat Darurat jam 22:00 WIB
Suara Hati Alif…
Lorong itu begitu gelap lantaran tiada cahaya yang menemani langkahku yang tak pasti. Aku berjalan dalam kebutaan kegelapan yang mencekik sesak nafasku serta tatapan mataku. Aku meraba mencari jalan namun tak kutemukan pula jalan keluar. Aku kehilangan arah dan aku kehilangan jalan. Ingin menjerit, takkan ada yang mendengarkan karena aku merasa sendirian.
“Alif…” Lirih suara itu memanggil. Hanya suara itu yang bisa kudengar dan seolah itu menjadi suatu petunjuk bagiku yang berjalan dalam kegelapan.
“Alif…”
Lagi. Suara itu terdengar. Aku memutar berkeliling namun tak kutemukan seseorang. Kegelapan sepertinya berhasil membentengi pandanganku.
“Alif.” Kali ini aku melihatnya. Secercah cahaya seperti datang dan menerangi seseorang yang datang menghampiriku dengan terseok – seok. Aku bisa melihat orang tersebut dalam kegelapaan. Berjalan terpincang – pincang dan dari raut wajahnya, aku mengenalinya!
“Antoni!” teriakku. Aku langsung menghambur menubruk tubuh ringkih tersebut. Telah lama kurindukan sosok indah yang pernah ada untukku. Aku memeluk erat tubuh Antoni yang agak besar seperti biasanya.
“Akhh!” Antoni meringis kesakitan. Aku keheranan dan melepaskan pelukanku. Baru kusadari wajah dan tubuh Antoni penuh dengan luka. Bahkan baru kusadari saat itu Antoni bertelanjang dada dan berbau amis darah. Sangat mengiris hati melihatnya.
“Antoni… kau kenapa?” tanyaku padanya. Tak percaya akan apa yang kulihat.
“Tak apa – apa…” Gumam Antoni mencoba tersenyum.
“Apanya yang `tak apa – apa`?! Lihat dirimu! Begitu banyak luka ditubuhmu hingga tubuh dan wajahmu menjadi tak karuan.” Kataku. Antoni mencoba tersenyum.
“Ini akibat ulah kita.” Gumam Antoni.
“Apa maksudmu?” Tanyaku tak mengerti.
“Gara – gara kita telah menyelewengkan apa yang seharusnya kita kerjakan.”
“Aku masih tak mengerti.” Aku mengernyitkan dahi.
“Hubungan terlarang kita.” Gumam Antoni. “Telah membuat banyak orang terluka dan sakit hati. Orang tua, kerabat dekat, bahkan mungkin kamu juga.” Kata Antoni parau.
“Apa maksudmu semua ini salah kita?” Tanyaku tak sepaham.
“Kedua orang tua kita menjadi sakit hati. Sahabat dekat pun tak lagi mempercayai kita. Kita terlalu dipenuhi ego dan nafsu untuk tetap mempertahankan hubungan ini.” Kata Antoni.
“Tapi kenapa? Apa yang salah dari cinta kamu dan aku? Bukankah kita saling mencintai?” Kataku agak kerasan menanggapinya. Antoni tersenyum perih.
“Sudah kuduga kau juga termasuk dari penyiksaanku.” Gumam Antoni. “Selepas kepergianku, kau seolah membenci dan tak mengakui yang menciptakanmu. Bahkan kau sampai membangkang kedua orang tuamu dan tidak ingin mengenal mereka lagi! Kau kini bukan seperti Alif yang dulu kukenal. Kau sekarang lebih egois, suka merokok, mabuk – mabukan, bahkan sampai membuat kau mati perlahan. Tidakkah kau sadar bahwa aku yang menanggung siksanya sekarang?!” Kata Antoni agak sedikit tegas dan tajam.
Aku terdiam tak percaya. Semua dosa yang kulakukan, ditanggung perihnya oleh Antoni?
“Tapi… kenapa? Kenapa harus kamu yang nanggung ini semua?” Aku mulai miris.
Antoni tersenyum. “Janji cinta waktu itu sepertinya telah menjadi karma bagiku.” Gumam Antoni singkat. Aku merunduk. Sedih, takut, benci, menjadi satu dalam benakku. Tak terasa airmataku mulai menetes untuk yang kesekian kalinya.
“Sudah cukup Alif! Tak ada gunanya menangis! Ini semua sudah seharusnya!” Kata Antoni mempertegas. Padahal kutahu ada sedikit rasa pedih dimatanya.
“Bagaimana aku bisa membayar semuanya? Bagaimana aku bisa menyelamatkanmu?” Tanyaku disela – sela isak tangis.
Antoni tersenyum dengan tatapan matanya yang kering dan sayu.
“Aku mencintaimu Alif! Bahkan hingga hatiku terbakar sekalipun, cintaku tak akan hangus bersamanya. Tapi kusadari, bahwa rasa inilah yang membawa kita ke jurang kenistaan. Dan atas nama cintaku padamu, aku tak ingin kau juga mengalami apa yang kualami sekarang.” Kata Antoni. Untuk sesaat ia terdiam dan menghela nafas berat dan panjang.
“Lupakanlah aku.”
Aku terdiam tak bisa menjawab. Aku hanya menunduk.
“Dengan melupakanku, kau akan kembali utuh dengan kedua orang tuamu. Tak ada lagi Alif yang suka berfoya – foya atau dalam jurang godaan setan.” Kata Antoni. Aku terdiam. Antoni menunggu jawaban yang akan keluar dari bibirku.
“Maaf. Aku tak bisa.” Gumamku pelan. “Aku sudah pernah mencoba namun aku gagal. Aku tak bisa hidup tanpamu. Bahkan aku tak bisa kehilangan bayanganmu yang masih kusimpan di hatiku. Kau… cinta sejati yang pernah kutemui. Antoni… aku mencintaimu.” Aku berkata demikian.
Mengutarakannya sepenuh hati. Inilah rasa yang selama ini kusimpan dan sulit untuk aku buang dalam sanubariku.
Antoni tersenyum pahit tampak maklum dengan pernyataanku. Untuk sesaat ia tertunduk. Seperti dalam kepasrahan kenyataan. Entah mengapa, jantungku berdebar melihat ekspresi wajahnya.
“Kalau begitu…” Gumamnya pelan. Aku menarik nafas untuk mendengar kata selanjutnya. “Biarkan aku yang menanggung semuanya.”
WUSSSHHH!!
Seketika sebuah kobaran api menyala dibelakang Antoni.
Sangat besar seperti sebuah pemanggang raksasa yang dinyalakan tiba – tiba. Dan bahan bakarnya adalah… batu dan manusia!
Jeritan – jeritan kesakitan seolah terdengar dari dalam kobaran. Aku dapat merasakan hawa panas dan mengerikan yang tak pernah kulihat sebelumnya! Apa itu? Begitu mengerikan dan begitu membuatku ketakutan! Apakah itu…
Antoni menatapku datar. Namun kutahu ada secercah kepedihan disana. Seketika kulihat tangannya di gredel rantai besi panas yang tanpa kusadari telah mengikat pergelangan tangan Antoni.
“AKKHH!!” Jerit Antoni kesakitan ketika rantai itu membelenggunya. Rantai itu menariknya keras dan menyeretnya kedalam kobaran api yang siap melahapnya.
“Antoni!” Pekikku ingin menyelamatkan Antoni. Namun kurasakan, kakiku tak bisa kugerakkan seperti terpaku ke bumi. Kaki ku pun di rantai juga?!
Antoni terus menjerit kesakitan ketika besi itu melelehkan kulit tangannya. Ia terseret menjauh dariku dan menuju kobaran mengerikan itu. Antoni tak bisa melawan. Ia tak bisa melepaskan cengkraman mengerikan dari rantai yang berkilat merah itu. Sangat mengerikan. Sesaat, tubuh Antoni nyaris sampai kepada pembakaran jahanam itu, matanya masih sempat melihatku pilu dan kesakitan. Airmata beranak sungai di pipinya yang mulai menghitam kala itu.
“Kumohon…” Ungkapnya terakhir kali. Sebelum akhirnya besi itu menariknya kedalam kobaran dan membakarnya disana!
“TIDAAAKKKK!!!!!”
Aku berteriak sekuatnya meski kutahu neraka itu takkan pernah padam dengan airmataku yang bahkan telah kering. Aku tak bisa kemana – mana. Bahkan untuk lari dari kobaran saja aku tak berdaya. Antoni begitu tersiksa dalam jahanam itu! Padahal sebelumnya, dia mengajakku pergi dengan tatapannya yang memesona hingga aku harus mengorbankan pergelangan tanganku! Apakah Antoni yang berada dihadapanku adalah sebuah halusinasi?!
Perlahan, mataku menangkap sesosok wanita berpakaian putih anggun dengan wajahnya yang cemerlang. Seperti seorang penghuni surga yang berkunjung ke neraka. Gadis bermata sendu, berambut keemasan, dan berwajah tirus. Elia!
Meski ia tampak cemerlang didepan sebuah kobaran jahanam, namun wajahnya tampak sedih. Ia menangis menatapku. Perlahan langkahnya mendekatiku. Ia menangis menatapku. Aku tergugu dan terdiam.
TRANG!
Tiba – tiba saja sebuah rantai sudah membelegu kedua tanganku. Kini aku tak bisa kemana – mana. Posisiku seperti sedang disalib. Apakah aku juga akan dijerumuskan ke dalam jurang kenistaan seperti Antoni?
“Kenapa?” Gumam Elia sesenggukan. Tepat didepan wajahku.
Menatapku nanar.
“Kenapa kau masih saja keras kepala dengan jalan pikiranmu? Padahal aku sudah bersusah payah untuk mengeluarkanmu dari gelapnya dosa. Kenapa kamu masih seperti ini, Alif?” Katanya sedih. Sangat sedih. Begitu miris melihat airmatanya yang teramat kasihan denganku.
Elia menundukkan kepalanya. Menutup wajahnya seolah menahan kesedihannya yang sudah begitu besar dan tak kuat untuk di keluarkan. Ia berbalik. Hendak meninggalkanku!
Benar saja, langkahnya langsung sedikit berlari ketika ia memilih untuk meninggalkanku. Ia pergi.
“E… Elia!” Panggilku parau. “Jangan tinggalkan aku. Aku tak mau sendirian disini!” Entah mengapa aku mengharapkan Elia kembali. Namun Elia tak menoleh. Aku menangis karena tak bisa mengejarnya. Hanya bisa memperhatikan siluet tubuhnya yang perlahan memudar. Hatiku serasa ngilu ketika yang kulihat lagi hanyalah kobaran jahanam dan gelap. Ditambah dengan jeritan – jeritan kesakitan.
CSSSHHHH!!!
“Argghhh!!!!” Benar saja sesuai dugaanku. Rantai yang membelenggu tangan dan kakiku perlahan berubah menjadi panas. Melelehkan kulitku hingga sakitnya sampai ke tulangku. Tubuhku mendidih.
Oh Tuhan! Ini kah hari yang kau janjikan? Siksaan yang kau janjikan bagi umatmu yang membangkang?
Sesaat, kurasakan rantai itu menarik tubuhku secara paksa. Menarikku menuju jurang neraka. Kedalam kobaran yang bahkan asapnya meracuni paru – paruku! Aku meronta mencoba melepaskan diri. Namun cengkraman timah panas ditubuhku ini serasa begitu mengikatku kuat – kuat hingga aku serasa lumpuh total.
Hanya sedetik lagi, aku akan sampai pada jurang neraka tersebut…
*****
Tuutt… tuuuttt…
Alat pendeteksi detak jantung terdengar bunyinya disebuah kamar rumah sakit. Seorang dokter menggesekkan dua kutub alat kejut jantung agar saling berbagi daya. Dokter tersebut terus menerus melakukan kejut jantung kepada tubuh Alif yang terbaring lemah tak berdaya. Yang nyaris kehilangan nyawanya akibat bunuh diri!
“Sekali, lagi dok!” Gumam seorang perawat.
“Oke, kita coba sekali lagi. 1… 2… 3…” Gumam sang dokter.
DEEGGG! Tuuutt… tuuuttt….
Terus saja begitu. Hingga mereka berhasil membuat jantung Alif berdetak kembali. Membuat garis lurus di alat pendeteksi jantung itu bergerak naik turun seperti sebuah grafik.
Di luar ruang UGD
Widia, Pratama dan Tuan Rahman hanya terdiam. Tidak mengobrol satu sama lain. Widia menangis sesenggukan di kursi sebelah Tuan Rahman yang menenggelamkan kepalanya dalam. Entah apa yang dipikirkan di kepalanya yang kerasan.
Sementara Pratama hanya bisa melihat kedua pasutri itu mengkhawatirkan anaknya yang terbaring koma. Pikirannya bermain – main. Kembali kepada saat kejadian ia menemukan Alif bersimbah darah didalam kamar kost nya. Dengan silet dan nadi yang nyaris putus. Mengerikan!
Entah apa yang saat itu dipikirkan Alif. Namun kali ini sudah mencapai kata `kelewatan`. Untunglah Pratama masih sempat membawanya kerumah sakit. Bahkan darah Alif masih berbekas di pakaian Pratama.
Tuan Rahman hanya menunduk. Tak bergerak dan membatu. Namun dari gerakan bahunya, Pratama tahu ayahnya Alif juga menangis.
“Ini semua salahku!” Gumam Tuan Rahman nyaris tak terdengar. “Aku yang tak menyadari dan terlalu mengekang keinginannya hingga berujung seperti ini!” Kata Tuan Rahman menyalahkan dirinya sendiri. Menurutnya, karena dirinyalah Alif bahkan tega hendak menghabisi nyawanya sendiri!
“Ini bukan salahmu.” Gumam Widia. Disela – sela tangisnya, ia masih mencoba menenangkan suaminya. “Semuanya sudah terjadi. Tak ada yang patut disalahkan. Aku tahu kau hanya ingin yang terbaik buat anakmu.” Kata Widia sambil menyentuh bahu Tuan Rahman. Dalam hati sebenarnya ia juga menyalahkan dirinya sendiri.
Dalam pandangan Pratama, Alif sungguh menyia – nyiakan kedua orang tuanya. Tindakan bodoh yang ia lakukan seperti menyakiti diri sendiri, dinilai sangat tidak menghargai apa yang telah ia miliki. Kedua orang tuanya adalah contoh nikmat yang disia – siakan itu. Meskipun Pratama pun tahu, bahwa Alif memandang perhatian ayahnya seperti hendak mengekang dan menghukumnya dengan sifat dingin Tuan Rahman.
Namun kini, wajah yang biasa sangat keras dan dingin itu meleleh. Melebur seperti asap ketika Pratama melihat Tuan Rahman menangis untuk anaknya.
“Saya bisa bicara dengan keluarga Alif?” Suara dokter yang berdiri didepan UGD membuyarkan lamunan ketiga orang itu.
Sontak Widia dan tuan Rahman berdiri dan langsung menghampiri dokter tersebut. Pratama hanya melihatnya dari belakang kedua pasutri tersebut.
“Kami kedua orang tuanya, dok.” Kata Widia.
“Bagaimana keadaan anak saya, dok?” Seloroh Tuan Rahman sambil sedikit mengguncang bahu dokter.
“Anak ibu dan bapak berhasil diselamatkan meski beberapa saat yang lalu nyaris kehilangan nyawanya.” Kata dokter.
Sontak kedua orang tua Alif mengucapkan syukur. Bahkan Widia sampai berterima kasih dan memeluk Pratama. Karena, jika tidak karena tindakan cepat Pratama yang telat sedetik saja, nyawa Alif pasti sudah melayang.
“ Sekarang anak ibu dan bapak sedang mengalami masa koma. Mungkin hanya beberapa hari saja. Untuk saat ini tidak bisa dijenguk karena pasien sedang mengalami kekurangan banyak darah. Dan kami membutuhkan seorang donor.”
“Pakai darah saya saja dok. Darah Alif sama dengan golongan darah saya.” Kata Tuan Rahman cepat sambil menyelorohkan tangannya.
“Oke – oke. Selepas ini ikut saya ke lab. Karena kita akan melakukan tes terlebih dahulu. Dan satu hal lagi yang perlu diketahui mengenai pasien.”
“Apa itu dok.” Tanya Widia tak sabaran.
“Pasien menderita Skizofrenia.” Gumam dokter. Sontak ketiga orang dihadapan Pratama terkejut.
“Skizofrenia, dok? Tapi, dia masih terlalu muda untuk menjadi… gila!” Gumam Tuan Rahman. Sedikit emosi karena anaknya dikatakan tengah mengalami sakit jiwa.
“Tidak. Tenang dulu. Pasien hanya mengalami paranoid dan halusinasi depresif. Belum sampai pada taraf yang lebih parah. Kalau ini dibiarkan berlanjut, mungkin saja pasien bisa berakhir di rumah sakit jiwa. Yang saya tekankan disini, selama masa pemulihan, saya harap kedua orang tuanya ikut mendampinginya. Karena yang saya tahu, penderita skizofrenia seperti dia obat yang paling ampuh adalah kasih sayang kedua orang tuanya.
Mungkin, dia melakukan cobaan bunuh diri karena dia merasa dirinya tidak dianggap ditengah – tengah lingkungan keluarga atau pun masyarakat.” Kata sang dokter menjelaskan.
Widia, Tuan Rahman, dan Pratama terdiam. Begitu shock ketika mendengar Alif digerayangi oleh penyakit psikis. Selain homoseksual, dan self injury pastinya.
Dokter kembali kedalam ruang UGD. Widia dan Tuan Rahman kembali duduk. Terdiam. Kali ini tanpa tangisan namun lebih banyak beban pikiran. Pratama menatap prihatin pada kedua suami – istri tersebut.
*****
Waktu seolah berjalan terburu – buru untuk menyelesaikan kisah. Seolah meninggalkan apapun yang tertinggal sehingga menjadi sebuah kenangan. Entah bagaimana bentuk sang waktu, hingga tanpa sadar hari telah berganti menjadi satu minggu. Begitu cepat seperti apa yang dirasakan Alif.
Beberapa waktu yang lalu, ia baru saja tersadar dari komanya. Disambut oleh tangis haru ibunda tercintanya. Namun anehnya, tatapannya hanya kosong. Seolah seperti baru berpetualang kedalam mimpi buruk yang paling menyeramkan. Ia hanya terdiam seolah tubuhnya berjalan tanpa kendali otak. Yang ia lakukan hanya menengguk ludah seolah baru terbebas dari ketakutannya selama masa koma.
Tiga hari kemudian, Alif akhirnya diizinkan keluar rumah sakit. Dengan diiringi kedua orang tuanya beserta Pratama, Alif pulang. Benar – benar pulang! Tidak lagi kembali ke kamar kost Pratama, melainkan kembali ke rumahnya yang mewah di bilangan Jakarta. Meski istana megah telah menanti kepulangan nya, namun Alif tetap saja tak bergeming. Menatap kosong dan dituntun oleh kedua orang tuanya.
Tubuhnya saat ini seperti zombie yang baru dibangkitkan dari dalam kubur; lemah, kosong, dan tak berdaya.
Kata anjuran dokter, orang tuanya tetap harus mengawasinya selama masa pemulihan. Dan itulah yang sekarang dilakukan kedua orang tuanya (Meski hanya Widia yang mungkin lebih banyak meluangkan waktunya). Aktifitas Alif kini hanya dilakukan di tempat tidur. Yang dilakukannnya hanyalah kosong tak banyak gerakan. Seperti halnya orang yang stress dan depresif. Seolah Alif memiliki banyak beban pikiran yang memberatkannya. Aahh… seperti itukah orang yang depresif akan kehidupannya?
Widia kelimpungan sendiri. Entah bagaimana caranya untuk membuat Alif kurang lebihnya berbicara satu kata. Karena selama mereka keluar dari rumah sakit, Alif tak berbicara satu katapun. Bahkan jikalau ia membutuhkan sesuatu, ia tak pernah bilang pada ibunya yang selama ini mengurusinya. Makan pun terkadang ia hanya bisa menelan tiga sendok sehari. Entah apa yang tengah dipikirkan Alif saat ini hingga ia menjadi seperti mayat berdiri.
Suatu hari, akhirnya Tuan Rahman menyempatkan diri untuk berlama – lama di kamar Alif (atas perintah Widia). Sekedar untuk mengobrol, menghibur, atau apalah. Karena dari ucapan Pratama kepada Widia, Alif pernah curhat bahwa ia sebenarnya merindukan kasih sayang ayahnya. Bukan sikap dingin dan kasar ayahandanya tercinta.
Ketika Tuan Rahman memasuki kamar Alif, ia mendapati anaknya tetap terduduk dengan posisi yang sama; diatas tempat tidur, menatap kosong lurus kedepan! Dengan kantung mata (karena sudah beberapa hari Alif terjaga), dan tubuh ringkih yang kurus. Mengenaskan sekali.
Tuan Rahman mendekati anaknya. Menatapnya lama. Namun Alif tidak terganggu dengan tatapan ayahnya. Ia hanya menatap lurus kedepan. Seolah tidak terusik dengan ayahnya. Tuan Rahman terdiam beberapa saat. Perlu baginya untuk menyiapkan teks percapakan meski itu kepada anaknya sendiri.
Tuan Rahman berjalan mengelilingi kamar. Matanya menyapu setiap lukisan dan foto yang ada didalam kamar Alif. Ada bingkai foto berukuran besar yang didalamnya terdapat foto keluarga (Widia, Tuan Rahman, dan Alif). Lalu dibawahnya, ada sebuah meja kecil tempat memajang bingkai foto yang diletakkan diatasnya. Disana ada foto Alif yang sedang nyengir kuda kearah kamera. Tuan Rahman mengguratkan sedikit senyum. Itu foto yang diambil ketika Alif berusia delapan tahun. Sangat lucu.
Tatapannya beralih kepada foto disebalahnya. Alif bersama teman – temannya. Foto yang diambil dengan latar belakang aula besar gereja St.Louis. Foto yang saat supper diambil. Disana, Ada Alif, disebelah Elia. Berfoto bersama dengan Pratama, Riska, Kartika, Fabian, Valent, Elise, Aditya dan Janetta. Sungguh sangat terlihat seperti foto persahabatan.
Sekali lagi Tuan Rahman menyisir tatapannya ke foto terakhir di paling kanan. Foto Alif, bersama dengan seorang cowok. Tuan Rahman tentu sangat mengenalnya; almarhum Antoni! Mereka berdua terlihat sangat bahagia di foto itu. Alif tersenyum tulus (senyum yang bahkan tak pernah dilihat Tuan Rahman. Bahkan untuknya!), sementara Antoni seperti sedang tertawa sambil merangkul Alif. Benar – benar bahagia sekali.
Melihat foto – foto tersebut, ada setetes sesuatu yang basah dalam hati Tuan Rahman. Anaknya telah tumbuh besar dengan kebahagiaan yang dibuatnya sendiri. Bukan dengan kebahagiaan yang diberikan oleh ayahnya! Ketiga foto itu telah membuktikan bahwa masa – masa bahagia yang ada dalam sanubari anaknya telah mengerak abadi menjadi sesuatu yang langka didapatkan dalam masa hidupnya.
Sungguh ironis, mengingat betapa jarangnya Tuan Rahman yang tak pernah sekalipun berkunjung kekamar Alif seperti sekarang. Sekedar untuk mengobrol atau untuk apapun.
Kini, ia tak akan mengulang kesalahannya untuk kedua kalinya. Tuan Rahman mendekat kebelakang jendela. Tidak memandang keluar karena jendela ditutup dengan tirai putih.
Ia hanya duduk membelakangi Alif. Seolah ia baru mampu mengeluarkan sepatah kata saat tak ada orang lain yang menatapnya. Tuan Rahman menghela nafas.
“Alif anakku. Maafkan aku jika selama ini aku telah membuatmu tidak menyukai sifatku, nak.” Gumam Tuan Rahman. Alif tak bergeming.
“Aku tahu aku salah. Tak seharusnya aku memperlakukanmu terlalu keras seperti akhir – akhir ini. Aku hanya tak ingin mempunyai seorang anak yang lembek dan cengeng nantinya.” Kata Tuan Rahman.
“Tapi sepertinya, aku telah salah menduga, bahwa cara yang kulakukan untuk mendidikmu telah membuat dinding pemisah antar ayah dan anaknya! Aku baru menyadari, bahwa sebenarnya… kau membuat kebahagiaan dalam hidupmu sendiri tanpa campur tanganku! Dan aku sangat menyesali itu.” Kata Tuan Rahman seolah berbicara sendiri. Karena Alif tak bergerak sama sekali.
“Sekarang, aku melihatmu telah tumbuh menjadi orang yang sangat kesakitan melawan takdir. Hingga membuat hatimu rapuh seperti ini. Aku hanya…” Tuan Rahman menghentikan ucapannya sejenak. “Aku hanya ingin menunaikan janjiku sebaga seorang ayah. Aku tak ingin lagi mengulangi kesalahan yang sama. Aku mungkin kehilangan dirimu saat kita beradu emosi waktu itu. Tapi sekarang, mulai detik ini, aku akan melunaskan semua hutangku.” Kata Tuan Rahman.
Alif masih bergeming. Tuan Rahman tahu Alif mendengarkan apa yang sedang dibicarakan. Ia menghela nafas panjang.
Untuk sesaat tak ada jawaban dari Alif. Tuan Rahman akhirnya memilih untuk keluar dari kamar anaknya. Karena apa yang ingin disampaikan telah terucap secara lisan dan membuat kelegaan hatinya. Ia baru saja melangkahkan kaki ketika Alif membuka suaranya.
“Kau… tidak perlu berhutang.” Gumam Alif. Tuan Rahman terkejut, karena pertamakalinya Alif bicara padanya saat itu. Ia menghentikan langkahnya dan menunggu ucapan yang akan dikeluarkan oleh anaknya.
“Selama ini, kau membuatku merasa sendirian seolah aku tak mempunyai ayah. Setiap kali aku menginginkan sesuatu, ayah selalu melarangnya meskipun itu membuatku bahagia.” Gumam Alif lemah dan nyaris tak bersuara. Namun Tuan Rahman dengan jelas bisa mendengarnya.
“Aku selalu ingin menjadi seperti ayah saat itu. Aku bahkan sampai menghilangkan bakatku sebagai seorang pianis ketika ayah menyuruhku untuk menjadi penerus perusahaan. Aku selalu mengikuti apa yang ayah mau. Meskipun itu sangat menyakitkan bagiku! Entah ayah menyadarinya atau tidak, selama ini aku selalu menjadi seorang anak yang patuh. Hingga kesabaranku akan datangnya kasih sayangmu tak terbendung lagi sampai aku menemui Antoni.” Gumam Alif parau. Matanya berkaca – kaca tapi airmatanya tak jua jatuh.
Tuan Rahman terenyuh melihat kesedihan anaknya. Wajah yang selama ini menderita menanggung semua bebannya. Sekali lagi, Tuan Rahman merasa bersalah.
“Aku bercinta dengannya karena aku merindukan belaianmu ayah.” Kata Alif. Kali ini setitik airmata jatuh di pipinya yang pucat dan kurus. “ Namun ketika ayah menyuruhku untuk menjauhinya, itu sangatlah sakit meskipun aku tetap melakukannya. Bahkan sepertinya, takdir kematian Antoni juga patuh kepada perintah ayah.” Kata Alif tersendat.
“Segala yang ayah perlakukan kepadaku, sikap dingin ayah, peraturan ayah, atau apapun itu. Telah membuatku menjadi sosok yang kuat. Bayangkan sudah berapa banyak masalah kuhadapi sendirian. Sudah berapa lama aku berjalan di atas aspal tajam berduri. Hingga aku menjadi seperti ini.” Alif sedikit menekan suaranya. “aku sudah menjadi apa yang ayah inginkan, kan? Aku bukanlah anak ayah yang lembek dan cengeng. Perlakuan ayah telah membuatku menjadi lebih kuat. Aku anak kuat yang selalu ayah harapkan, kan?” Gumam Alif yang seperti sindiran di telinga Tuan Rahman. Namun kali ini, Tuan Rahman hanya tertunduk. Tidak emosian seperti biasanya.
“Ayah tak perlu berhutang apa – apa padaku. Ayah telah membuatku menjadi lebih kuat sekarang. Terima kasih untuk selama ini.” Kata Alif. Kemudian ia menunduk. Untuk sesaat, Tuan Rahman dan Alif terdiam. Tak ada yang berbicara karena masing – masing saling menunggu jawaban. Tapi tak ada yang berucap.
Tuan rahman tersenyum tulus. Menatap Alif yang sesenggukan diatas tempat tidur. Ya, Alif tak pernah mengecewakannya! Justru dirinya lah yang meminta lebih kepada anaknya. Sangat ironis saat seorang ayah meminta anaknya menjadi sempurna, padahal dirinya lah yang cacat!
Tuan Rahman menghela nafas. Beberapa saat kemudian, Tuan Rahman menaruh telapak tangannya di atas putranya. Ia mengelus penuh kasih sayang. Membelai lembut ujung kepala anaknya yang kini berusia tujuh belas tahun dan menyimpan rasa sakit yang mendalam. Sensasi getaran dari telapak tangan ayah nya membuat setruman yang dirindukan oleh Alif. Namun Alif hanya menunduk. Membiarkan ayahnya membelai lembut ubun – ubunnya.
“Ya. Kau sudah menjadi anak yang ayah harapkan. Kau kuat dan selalu menuruti perintah orang tua. Untuk kali ini, ayah akan biarkan pilihan dalam hidupmu yang kau inginkan. Atau mungkin ayah akan mendukung apa yang kau pilih sebagai jalan yang akan kau tempuh nantinya.” Kata Tuan Ramah sambil tersenyum.
Beberapa detik berlalu, Tuan Rahman melepaskan belaiannya. Ia menghela nafas dan hendak berbalik keluar kamar. Namun Alif menahan baju ayahnya. Seperti halnya seorang anak kecil yang menahan ayahnya untuk pergi! Tuan Rahman menoleh lagi kepada ayahnya.
“Ayah, aku takut sendirian.” Gumam Alif dengan matanya yang nanar dan sayu. “Bolehkan aku… minta dipeluk untuk sekali ini saja?” Tanya Alif. Tuan Rahman terpaku untuk beberapa saat. Kemudian ia mengguratkan senyuman.
“Tentu saja. Kau bisa minta berapapun pelukan yang kau inginkan.” Gumam Tuan Rahman.
Tuan Rahman merangkul Alif. Sensasi kehangatan yang sangat didambakan Alif. Begitu tenang dan nyaman. Akhirnya Alif bisa mendapatkan kembali apa yang diinginkannya dari ayahnya! Tuan Rahman pun mengeratkan pelukannya seiring kasih sayangnya yang mulai tumbuh dan berkembang dalam hatinya. Untuk anak kebanggaannya!
Widia yang mengintip dari balik pintu adegan ayah dan anaknya itu, tak tahan untuk ikut masuk dan merasakan keharuan yang diciptakan para laki – laki nya itu. Ia memeluk tubuh anak dan suaminya itu dengan penuh kebanggaan. Tak ayal, berkali – kali ia menciumi ubun – ubun anaknya sambil meneteskan airmata kebahagiaan. Sungguh pemandangan keluarga yang sangat mengharukan, bukan?
*****
RSCM VIP room 23A
Aditya berjalan tergopoh – gopoh begitu ia mendapat berita bahwa Alif baru saja keluar rumah sakit. Ya, rumah sakit yang sama tempat mamanya dirawat! Sebuah kabar yang menurutnya sangat berharga untuk disampaikan kepada kakaknya. Ditambah lagi ia melihat Alif begitu lemah dengan tangan kiri diperban. Seolah Alif baru saja mengalami sebuah kecelakaan!
Ketika Aditya sampai di belokan koridor, rencananya untuk memberitahukan kabar Alif begitu saja terlupa dari benaknya!
Pemikiran itu seolah menguap ketika ia melihat Antoni (Dengan tubuh Elia) menangis didepan kamar mama mereka dirawat. Sontak berbagai pemikiran muncul seketika didalam pikiran Aditya. Aditya mempercepat langkahnya.
“Kak, ada apa?” tanya Aditya panik. Begitu melihat Aditya datang, sontak Antoni langsung memeluk erat tubuh adiknya itu.
“Kak, jangan bikin panik dong. Ada apa ini, kak? Koq kakak nggak jagain mama didalam, sih?” Aditya makin khawatir dengan keadaan mamanya. Ia melirik sekilas kedalam.
Didalam sedang ada dokter dan beberapa perawat yang sedang memegang alat kejut. Meski tak terdengar, tampak sekali kepanikan sedang terjadi didalam.
Tangis Antoni semakin menjadi.
“Mama, Dit.” Hanya itu kata yang bisa dikeluarkan Antoni. Aditya mencoba untuk tidak berprasangka. “Jantung mama berhenti.” Antoni akhirnya berhasil mengeluarkan alasannya menangis dengan sisa – sisa kesadarannya. Aditya terdiam. Darahnya berdesir dan prasangkanya menjadi kenyataan. Ia memeluk tubuh kakaknya yang ~ dalam tubuh Elia ~ lebih pendek darinya. Kedua adik – kakak itu saling berpelukan satu sama lain. Tidak melepaskan dan saling mengunci.
Sontak pemikiran untuk memberitahukan Alif kepada Antoni pun dilupakan Aditya. Mereka lebih memilih untuk menunggu keadaan mamanya didalam sana.
Kaki Aditya serasa lemas, ia tak tahan menerima kenyataan sekaligus menahan beban tubuh kakaknya. Begitu berat rasanya.
Sepuluh, dua puluh, tiga puluh menit berlalu. Antoni dan Aditya masih pada posisi yang sama. Berpelukan dengan bibir yang terus menerus menggumamkan seribu doa. Entah apakah doa dari kedua anak manusia itu bisa terjawab dan sampai dilangit? Entah apakah kedua tangisan dua kakak beradik untuk mama mereka itu bisa menggetarkan tiang – tiang arsy? Yang jelas, tak ada yang bisa mereka lakukan kecuali berdoa. Hanya itu!
Genap tiga puluh menit berlalu. Penantian mereka belum juga berakhir. Aditya dan Antoni masih saja berpelukan erat. Tak lelah menunggu mama mereka.
“Apakah sudah selesai? Apakah mama baik – baik saja.” Tanya Aditya berbisik. Jelas sekali ada nada ketakutan disana.
Antoni sebagai seorang kakak harus bisa melindungi adiknya dari rasa takut meskipun ia sendiri takut dengan apapun yang nantinya bakal terjadi. “Entahlah. Berdoa saja semoga semuanya baik – baik saja.” Gumam Antoni. Mereka berdua kembali terdiam. Tetap saling berpelukan.
“Kapan papa tiba?” Tanya Antoni kemudian.
“Aku sudah meneleponnya. Nanti malam atau besok pagi dia baru bisa tiba.” Kata Aditya. Antoni terdiam lagi. Mencoba tak bersuara. Ia hanya takut di tinggal pergi mamanya! Suara dan garis datar dari alat pendeteksi jantung disebelah ranjang membuat bulu kuduknya merinding. Ia takut jika mamanya benar – benar…
Aaah… jangan pedulikan lagi. Semoga semuanya baik – baik saja.
Teringat kembali kenangan ketika Antoni masih menjadi keluarga utuh. Bersama mama, papa kandungnya, Aditya dan dirinya sendiri ketika mereka berusia delapan tahun. Saat mereka bermain dan tertawa di halaman belakang rumah mereka. Dulu sekali. Serasa itu hanya sebuah mimpi dalam ingatan Antoni.
Dibelakang rumah mereka, ada sebuah pohon mangga yang berbuah jika musim panen tiba. Di dekat pohon mangga itulah biasanya ia sering bermain – main bersama Aditya serta membuat ayunan bersama papanya di salah satu dahannya yang kokoh. Disanalah tempat ia menghabiskan masa kecilnya bersama keluarga sederhana yang sangat bahagia. Sebelum perceraian orang tuanya dan sebelum ia dan Aditya dipisahkan.
Jika mangga itu berbuah, biasanya mama memetiknya untuk membuat rujak dan mereka makan bersama. Sambil tertawa dan berbagi cerita diantara keluarga kecil mereka yang harmonis. Gelak tawa kekanak – kanakan menjadi nyanyian merdu bagi kedua orang tua Antoni dan Aditya. Sungguh sebuah masa yang sangat dirindukan.
Seandainya sekarang masih ada pohon mangga, apakah keluarga mereka bisa seperti dulu lagi. Hahhh…
Antoni mengusap airmatanya. Sungguh masa kanak – kanak yang sangat indah. Begitu mengharukan dang sangat dirindukan. Kini kedua anak Rini dan Hendrawan telah tumbuh menjadi para pemuda yang tampan dan gagah. Aditya yang menjadi sosok pria yang manis dan baik, sementara Antoni telah menjadi abang yang perkasa. Sebelum menjadi Elia tentunya.
“Keluarga ibu Rini?” Dokter keluar dari ruang kamar ibu mereka. Sontak kedua adik kakak tersebut langsung menghampiri dokter tersebut dan memberondong dokter tersebut denga pertanyaan.
“Kami anak – anaknya dok.”
“Apa yang terjadi dengan ibu kami?”
“Apakah dia baik – baik saja?”
“Apakah dia selamat?”
“Dia masih bisa sembuh kan, dok?” Aditya dan Antoni terus menanyai dokter tersebut yang bingung hendak menjawab apa.
“Tenang – tenang. Ibu kalian tidak apa – apa.” Jawab dokter. Sontak satu jawaban tersebut membuat kedua kakak adik itu bersyukur. Bahkan Aditya sampai melakukan sujud syukur.
Dokter hanya menatap mereka terdiam. Tatapannya begitu aneh dan… prihatin.
“Apakah kami bisa menemuinya, dok?” Tanya Antoni tak sabaran. Dokter tak langsung menjawab.
“Dok?” panggil Antoni lagi. Ada kejanggalan dimata sang dokter tersebut.
“Kalian bisa menemuinya. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dikatakan ibu kalian.” Kata dokter. Antoni dan Aditya saling pandang. Ada sesuatu yang ganjil dalam benak mereka.
“Apapun yang terjadi nantinya, kalian akan belajar mengucapkan selamat tinggal meskipun itu nantinya akan sakit.” Lanjut dokter.
*****
Suara deteksi jantung berkedap – kedip lemah membentuh sebuah kurva pendek. Naik, turun, naik turun. Suara nafas Rini begitu berat terdengar di inhalase dan alat pernafasan. Matanya sulit untuk dibuka namun ia usahakan untuk bisa melihat. Tangannya begitu lemah untuk terangkat. Rini siuman, namun sangat lemah. Airmatanya mengalir di pelupuk matanya.
Antoni dan Aditya berdiri dikanan dan kiri ranjang. Mereka berdua hanya terdiam sambil menggenggam kedua tangan ibunya. Aditya tampak hendak menangis lagi. Sementara Antoni, bagaimanapun juga, harus tetap terlihat tegar karena ia adalah yang paling tua diantara dirinya dan Aditya.
“Setelah ini, aku akan beristirahat dari tugasku sebagai seorang ibu.” Gumam Rini. Aditya dan Antoni terenyuh dengan samar – samar suara yang berbisik dari balik masker inhalase. Rini menyunggingkan senyuman. Sebuah senyum kebanggan dan ketulusan kepada anak – anaknya.
“Terima kasih Tuhan, engkau telah memberikan cukup banyak waktu untukku. Hingga aku bisa melihat anak – anakku tumbuh besar dan menjadi pemuda – pemuda yang tampan.
Terimakasih engkau telah melahirkanku kedunia dengan mengemban tugas sebagai seorang istri dari seorang suami yang sangat kucintai, dan menjadi seorang ibu dari kedua anakku yang gagah.” Gumam Rini. Aditya tak dapat membendung tangisnya lagi. Ia menangis sesenggukan. Rini mengeratkan genggaman tangannya pada jemari Aditya.
“Aditya.” Panggil Rini. Sambil menahan tangis, Aditya mendekatkan wajahnya untuk bisa lebih jelas mendengarkan apa yang ingin dibicarakan ibunya.
“Kau sudah tumbuh menjadi bocah yang tampan, sayang.” Kata Rini sambil mengelus rambut Aditya. “Maafkan mama, jika selama ini mama meninggalkan mu bersama papa dan memisahkan mu dengan Antoni selama belasan tahun.”
Tangis Aditya semakin menjadi. “Tapi bagaimanapu, Aditya tetap anak mama. Aditya tetap menjadi anak kebanggaan mama dan mama akan menyayangi Aditya sampai nanti mama menghembuskan nafas terakhir, dan setelahnya.” Gumam Rini lemah. “Tolong jaga papamu. Dia terkadang ceroboh. Sampaikan salam cinta mama untuknya. Dan juga, Aditya harus mengecam pendidikan setinggi – tingginya. Buat papa dan mama bangga.” Gumam Rini. Aditya mengangguk berat karena hatinya sudah terasa sesak oleh airmata.
Tangan Rini mengerat di jemari Antoni. “Antoni.” Panggil mama. Antoni menghela nafas, dan mecoba untuk tegar saat mamanya mengucapkan sesuatu nantinya. Antoni mendekatkan wajahnya.
“Kau masih pembohong yang buruk Antoni.” Kata mamanya.
“Kenapa tidak kau keluarkan saja airmatamu itu.” Tukas Rini. Antoni tertegun. Untuk beberapa saat, ekspresinya berubah.
Matanya mulai berkaca – kaca dan pelan tapi pasti, airmata menganak sungai dari matanya. Sontak Antoni langsung merangkul mamanya.
“Mamaaa...!!!” Seperti seorang anak manja, Antoni menangis dipelukan ibunya. Rini tersenyum untuk yang kesekian kalinya.
“Terimakasih Antoni. Untuk segala – galanya! Terimakasih sudah mau menemani mamamu yang merepotkan ini.” Gumam Rini. Antoni tak berhenti menangis. Ia mengangkat wajahnya dari bahu Rini. “Mama tak punya apa – apa untuk diwasiatkan kepadamu. Mama hanya meminta agar kalian berdua, kamu dan Aditya, hidup rukun meski sudah lama terpisah. Selesaikan tugasmu. Jadilah orang yang bertanggung jawab sebagai seorang kakak. Setelah semua yang terjadi sama kamu, kamu pasti akan menjadi anak mama yang kuat. Antoni harus janji itu.” Kata Rini kepada Antoni. Antoni mengangguk sambil mengusap airmatanya.
“Ma…” Panggil Aditya parau. “Jangan pergi.” Kata Aditya. Rini hanya menatap Aditya dan tersenyum lemah dan getir. Perlahan, matanya meredup lelah.
“Ma…” Panggil Aditya lagi. Kali ini ia mengguncang – guncangkan tubuh mamanya.
“Mama!!”
“Adit!” Panggil Antoni lemah. Aditya menoleh. Ia melihat Antoni menggelengkan kepala lemah...
Aditya melepaskan tangannnya di bahu mamanya. Dan menunduk dalam. Ia tahu, suatu hari dia harus belajar mengikhlaskan, dan hari ini adalah waktunya!
Antoni menatap mamanya. Ia mendekatkan bibirnya ke telingan Rini. Ingin mengatakan sesuatu.
“Ma. Antoni dan Aditya udah ikhlas kalau mama mau pergi. Semoga disana kita berkumpul seperti keluarga yang utuh lagi. Tunggu kami, ma.” Gumam Antoni. Aditya yang mendengar perkataan kakaknya hanya bisa tertegun. Membiarkan airmatanya terus mengalir tanpa henti meski matanya telah merah.
Suara di alat pendeteksi jantung akhirnya datar. Suara 'piiip' yang panjang dan tak berujung akhirnya menandai bahwa satu orang makhluk telah berpulang kerumahnya disana. Jasadnya menyiratkan kebanggaan hingga tanpa sadar telah membuat senyuman terkembang di bibirnya. Tugasnya sebagai seorang ibu telah selesai, dan para penerusnya akan bersiap menggantikannya...
~Selamat jalan mama, kita nggak akan bisa bermain di belakang rumah lagi. Kecuali jika di surga ada rumah yang mempunyai taman belakang.
Kita tidak akan bisa makan mangga lagi. Kecuali jika disurga ada pohon mangga.~
Sangat mengharukan.
Hikssssssss
Moga chapter kedepan bisa ada cerita bahagia
Cerita SMA yang TIDAK MENYE-MENYE!!
Gw susah ngungkapin atas cerita ini tapi yg pasti gw tersadar klo gw manusia biasa.
Walau crita ini belum selesai TAPI ini udh lebih dari cukup.
Thanks kawan akn ceritanya.
.
Dan klo lu online, gw cuma mau minta izin bwt nyimpen crita lu di blog gw.
Tapi tenang, psti gw sertakan blog lu juga dan lg pula bakal gw protect.
Hehee ..
Sekali'a thanks atas ceritanya.
@Adityashidqi blog nya namanya apaan??
Ayo berkunjung ke Adityashidqi.wordpress.com tapi sayangnya, semua cerita di blog gw, gw protect hahahaa ..