It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Huuuaaaaaaa....
Mama, mana mama ku, peluk mamaaaaaa....
jujur sampe kebawa gara² baca cerita ini
ohhh ya, awal bca tk perkenaan sosok "elia" Q smpet kagett.. Bukan kaget knapa.. Hanya salah baca nama.. Dikiran nama x "ella" juga wkwwkwk.. #geer
walopun geer bukan cuma ane aja yg slah baca. Tuh tmen ane di atas @Richi juga salah baca.. #ngaku kagak lu chi!!
.
Ne cerita ane baca atas recommended dari @Adityashidqi dan @Richi sohib2 ane..
.
Salutttt dahh ma author x... Sukses buat beberapa bulir air mata jatuh ke pipi.. QAQ)b
hubungan keluarga di cerita ini sangat erat. Saya suka... Saya suka..
.
Tar kalo update jgn lupa panggil2 yah??? Panggil aja nama Ella 3x (Reinkarnasi dari Elia(?)) #plak
See?
Baguskan? Ykan?
Awas aja lu ku klo lg tlponan nyuruh oku tobat.
Awkawkawk
tuh ku.. Eku ikut ma maen pera di sni.. #plak-di gampar author krna kepedean
wkwkwk XD
#fitrop mode on
Pede itu penting.. Wkwkwk
eh? O.o
maaf bagi yg pnya lapak.. Qmi ngacooo..
Eehehehe >//<a #cengengesan
Alif berjalan di koridor sekolahan sendirian. Kala itu pada saat jam istirahat. Ia berjalan santai sambil sesekali dengan enggan melihat sekelilingnya. Hanya orang yang berlalu lalang dan tampak membosankan menurutnya.
Fiuh…
Semenjak Elia mengaku – ngaku dirinya adalah Antoni, entah mengapa Alif sangat membenci gadis itu. Dengan bagaimana ia bisa sebegitu yakinnya bahwa ia adalah Romeo hatinya yang selama ini telah terkubur dibawah bumi dan tenang disana. Segala apa yang ia jelaskan, terlalu fiksi untuk bisa dicerna akal sehat. Tak ayal, perempuan yang selama ini ia kira sangat perhatian dengannya, ternyata menyimpan kebusukan dan mencoba membodohinya dengan keyakinan yang teramat gila untuk dicerna. Orang mati, tak mungkin bisa hidup lagi!
Namun Alif harus mengakui, saat ini ia sedang ingin menemui Elia! Entah, sangatlah rumit pemikirannya kala itu. Disatu sisi ia ingin menjauhi Elia, di sisi lain ia ingin menemuinya! Dan yang menjadi masalahnya, entah untuk apa dia harus menemui Elia. Terlalu murahan memang untuk mengakuinya. Tapi sepertinya, untuk saat ini Elia sangat dibutuhkan.
Alif menghela nafas. Setelah berjalan enggan di sepanjang koridor. Ia akhirnya duduk di kursi yang menyandar di tembok. Menghadap ke lapangan basket dan mengamati para siswa yang sedang asyik bermain basket.
Alif menatap seksama kearah pemuda – pemuda yang berkeringat dan mungkin akan terlihat sangat menggiurkan bagi para pemikir imajinasi tinggi. Namun anehnya, Alif tak terlalu tertarik. Inilah yang menjadi sesuatu yang `spesial` bagi perasaan Alif. Diluar sana banyak sekali pria – pria tampan yang lebih ganteng dari Antoni. Bahkan Alif pun mengakui bahwa Pratama juga tak kalah tampannya dengan Antoni.
Tapi perasaan Alif bukanlah barang murahan yang mudah dioper kemana mata melirik. Meski banyak gay yang mungkin lebih baik dari Antoni, Alif sama sekali tak berminat! Ia hanya menatap ke satu arah dan hatinya hanya tertuju ke satu jalan. Hanya dengan Antonilah ia bisa merasakan debar – debar yang menggiurkan. Bersama Antoni lah ia bisa merasakan keindahan dalam bercinta dan dicintai. Hanya dengan satu orang dan itu sudah cukup bagi Alif.
“Alif…” Sebuah suara membuyarkan lamunan Alif. Alif melirik kearah empunya suara.
Seorang wanita berambut keriting gantung dan panjang. Memakai kacamata dan memeluk sebuah buku di dadanya.
“Rani?”
Rani tersenyum hingga membuat matanya menyipit seperti bulan sabit.
“Sendirian aja nih. Apa kabar?” Tanya Rani.
“Baik.” Kata Alif datar.
“Boleh duduk sebentar disini?” Tanya Rani. Alif mengangguk. Rani sekali lagi tersenyum ramah dan duduk disebelah Alif.
Untuk sesaat suasana canggung. Tak ada yang bersuara terlebih dahulu. Alif hanya menunduk tampak terganggu dengan keterdiaman diantara mereka. Sementara Rani hanya menatap pohon mangga yang berdiri rindang tak jauh dari halaman didepan mereka. Hening.
“Syahdu sekali, bukan?” Gumam Rani. Nyaris tak terdengar.
“Nng...? Apa? Kau menagatakan sesuatu?” Respon Alif.
“Oh, tidak! Hanya berguman kecil.” Kata Rani. “Aku hanya merasa, melihat daun yang bergoyang dihempas angin, begitu syahdu dan menenangkan.” Kata Rani.
Alif menatap dedaunan yang ditatap Rani didepannya.
“Biasa saja.” Gumam Alif datar. Rani tersenyum.
“Mungkin akan nampak biasa saja bagi orang yang tidak memperdulikannya. Tapi bagiku, semua yang berjalan harmonis didunia ini, sangatlah indah.” Kata Rani puitis. Alif menggelengkan kepala. Rani memang terlalu puitis.
“Kau terlalu puitis!” Gumam Alif. Rani tersenyum.
“Kau terlalu mencibir, ya?” Kata Rani sambil tersenyum penuh arti. Alif hanya terdiam dan membuang wajahnya. Seketika, hening kembali berada diantara dua insan itu.
“Pernah ada seseorang yang mengatakan padaku. Dia menceritakan padaku tentang sebuah keharmonisasian dalam cinta. kalau salah satu dari mereka yang mencinta keluar dari kodratnya, mereka harus merasakan kehancurannya sementara yang lain merasakan pengorbanannya. Karena diantara putih dan hitam, pasti ada abu-abu. Diantara cinta pria dan wanita, pasti ada pertengahannya yang disebut penyimpangan. Karena cinta yang menyimpang, pasti membutuhkan pengorbanan meskipun lewat jalan kematian!” Gumam Rani. Alif mengangkat alisnya.
“Kau… menyindirku?” Celetuk Alif. Rani tertawa kecil.
“Haha… bukan itu maksudku. Aku tak bermaksud menyindir kisan cintamu. Tapi coba resapi. Lihatlah daun dan angin, mereka tampak syahdu dan damai jika dalam harmonisasi tanpa ada penyimpangan yang berarti. Kejadian alam diseluruh semesta pun juga begitu. Air yang mengalir, nafas yang berhembus, burung yang terbang, ikan yang berenang, mereka semua teratur dalam keharmonisan.
Jika suatu ketika mereka keluar dari apa yang seharusnya di kehendakkan, semisalnya, air tak lagi mengalir, tumbuhan tak lagi tumbuh, ikan tak berenang, dan bahkan nafas tak berhembus! Tak ada yang terjadi selain kehancuran, bukan?” Gumam Rani panjang lebar.
Alif hanya memilih diam. Ia menghela nafas panjangnya. Kemudian mencoba untuk tidak terlalu mengambil hati ucapan Rani. Rani dapat membaca gelagat Alif. Akhirnya ia hanya memilih diam dan tersenyum sedikit.
Alif mencoba mencari topik obrolah yang lain. Matanya yang menunduk, menangkap buku yang sedari tadi berada di pelukan dada Rani.
“Ngomong – ngomong, buku apa yang kau baca?” Tanya Alif datar. Rani menatap buku yang ditunjuk Alif.
9 Legenda Cinta Abadi.
“Oh ini. Biasalah, bacaan cewek. Love Story gitu, lah.” Gumam Rani.
“Ceritanya tentang apa? Kumpulan kisah cinta, gitu?” Kata Alif membuat topik obrolan.
“Ya begitulah. Kisah cinta Romeo n Juliet, Cleopatra, SanPek Engtai dan…” untuk sesaat Rani memotong omongannya. Membuat Alif tampak tergoda untuk mendengarnya.
“Black Vow.” Gumam Rani pelan.
“Black Vow? Baru denger ada dongeng percintaan yang judulnya gitu.” Kata Alif sambil mengernyitkan dahi.
“Hahaha. Ya, ini hanya selingan dari penulis aslinya. Kisah cinta hasil buatan sendiri.” Kata Rani.
“Emang ceritanya gimana?” Tanya Alif.
“Kamu banyak nanya, yah.” Sindir Rani.
“Yeee… kan cuma pengen tahu.” Sungut Alif. Rani terkekeh.
“Hehe… oke – oke. Kisahnya cukup imajinatif koq, gak terlalu sesuai sama dunia nyata.
Kisahnya itu tentang seorang malaikat bernama Raphael. Dia adalah seorang malaikat yang sangat tampan di surgawi. Penghuni surga hingga sangat tepukau dengan kerupawanan yang Tuhan berikan pada salah satu malaikat kudus itu. Sang malaikat yang bahkan telah dikabarkan secemerlang mentari.
Suatu ketika, ia terjatuh dari surga dan terantuk kebumi hingga mengakibatkan sayapnya patah. Ia mendarat tepat didepan gubug seorang pangeran yang sangat taat beribadah. Pangeran sopan bermata indah itu bernama Andreas. Seorang pangeran dari Andalusia.
Takdir mempertemukan kedua makhluk itu. Raphael yang sebelumnya adalah seorang malaikat tertampan dilangit, kini bertekuk lutut akan tatapan mata seorang anak manusia yang sangat indah dilihatnya. Ditambah lagi, Andreas menolong Raphael yang terjatuh dari langit dan terluka parah.
Cerita cinta mereka dimulai ketika Andreas merawat Raphael di sebuah mansion didekat istana. Membantu menyembuhkan sayap Raphael hingga sembuh. Hingga membuat benih – benih cinta tumbuh didalam hati sang malaikat rupawan itu.
Andreas, yang sudah mulai dekat dengan malaikat surgawi itu pun tak kalah jatuh cintanya dengan para penghuni surga yang sudah dimabuk asmara melihat indahnya Raphael. Ia bahkan sudah mulai mengakui bahwa sebenarnya ia jatuh cinta pandanya. Namun Andreas mengusir pemikiran itu. Bagaimanapun, mereka adalah dua makhluk berbeda dunia dan sudah sewajarnya mereka tak saling jatuh cinta. Apalagi Raphael adalah malaikat berwujud seorang pemuda tampan.
Kejujuran akhirnya terkuak. Ketika sayap Raphael sembuh, ia menyatakan cintanya pada Andreas. Betapa hati murni sang malaikat itu telah dihiasi oleh bunga – bunga cinta. Atau mungkin, dikotori oleh nafsu duniawi untuk memiliki. Ketika cinta pertama kali dirasakan oleh seorang malaikat kepada manusia.
Namun, Andreas menolaknya. Menolak dan mengusir perasaan yang seharusnya ia utarakan. Ia beranggapan, Raphael adalah seorang malaikat dan tidak sepantasnya bersanding dengan dirinya. Apalagi Raphael adalah malaikat jelmaan pemuda tangguh yang tampan dan tidak mungkin bersanding dengan Andreas yang juga seorang pangeran.
Dengan alasan demikian, Andreas terpaksa mengusir Raphael untuk menutupi kenyataan cintanya. Sejak saat itu, Raphael tak terlihat lagi sementara Andreas menjalani kehidupan yang sangat menyesakkan sebagai seorang manusia biasa.”
“Cerita yang fiktif. Tapi sangat bagus.” Komentar Alif.
“Cerita cinta yang non – fiksi pun juga tak kalah bagusnya dengan yang real, lho.” Kata Rani memuji berlebihan. Alif hanya tersenyum datar.
“Apa kisah Raphael dan Andreas hanya berujung sampai disitu?” tanya Alif.
“Tidak.”
“Lalu, bagaimana kelanjutannya?”
“Suatu hari, Andreas bertemu dengan seorang wanita cantik bermata sendu. Memiliki rambut indah namun matanya menyiratkan kesakitan. Gadis misterius itu bernama Sara.
Sara mengaku dirinya datang dari negeri yang jauh dari Andalusia bernama Betlehem. Ia datang menemui Andreas untuk menyatakan ke inginannya untuk bisa dekat dengan Andreas. Alhasil, Andreas menerima gadis misterius bermata sendu itu dengan suka cita. Ia dekat sekali dengan Sara hingga tak terasa perasaannya terbawa rasa bahagia.
Tatkala cinta tumbuh diantara Andreas dan Sara, sedikit demi sedikit Andreas meyakini rasa cintanya dan semua itu sampai kepada puncak saat Andreas menyetubuhi Sara. Ya, malam itu, semua rasa cinta tergantikan oleh gelapnya nafsu duniawi dan itu semua mereka lakukan dengan kehangatan cinta mereka. Sara dan Andreas.”
“Oke. Jadi akhirnya Andreas jadian sama Sara?” Potong Alif.
“Mmm… sebenarnya ceritanya belum sampai akhir.” Kata Rani.
“Oh. Maaf. Oke, lanjutkan.”
“Suatu ketika, seusai Sara dan Andreas mengucapkan janji mereka diatas altar suci pernikahan. Andreas ditemui oleh sesosok iblis. Iblis yang saat itu mendapati Andreas terduduk di sebuah tangga didepan kastil membuat Andreas terkejut akan kedatangan tamu yang tak diharapkan itu. Apalagi ketika sang iblis itu mengatakan untuk mengambil jiwa Andreas sebagai ganti kehidupan Raphael.
Tentu saja Andreas tak mengerti tatkala iblis itu menyebut – nyebut nama seseorang yang telah lama hilang dari muka bumi.
Namun sebelum Andreas benar – benar mengerti akan hal yang diutarakan. Sang iblis telah memanah jantung Andreas dan kala itu jiwa Andreas melayang seketika. Tak ada yang bisa diperbuat karena sang iblis mengambil jiwa manusia rupawan itu.”
“Kisah yang tragis. Lalu bagaimana dengan Sara?”
“Sara tentu saja syok mendapati kekasihnya telah bersimbah darah dihadapannya ketika ia datang. Ia menangis sejadi – jadinya dan merengkuh jasad kekasihnya yang jiwanya telah dibelenggu oleh sang iblis.
Dan dari itu semua, rahasia terungkap! Sara yang sebenarnya, adalah seorang malaikat; Raphael! Hari ketika Raphael pergi dari Andreas adalah hari ketika ia menemui sang iblis dan memohon bantuannya untuk bisa mengubahnya menjadi seorang manusia dan bisa bercinta dengan Andreas, pangeran yang telah merebut hatinya! Dengan ganti sayapnya yang dicabut paksa, Raphael mendapati dirinya menjadi seorang manusia perempuan dan mendekati Andreas untuk benar – benar menjadi kekasihnya.
Tatkala Raphael berhasil menyetubuhi Andreas, dikala itu sang iblis mengambil tumbalnya dengan membunuh Andreas. Dan saat itu, Raphael menyesal karena telah dibutakan oleh nafsu semata. Ia meraung sedih tatkala jasad Andreas tak bernyawa akibat kesalahannya.
Dan saat semua itu terlambat, Raphael memohon kepada Tuhan agar mengembalikan Andreas, orang yang dicintainya untuk hidup kembali. Andreas mungkin bisa dihidupkan kembali, namun Raphael menukar `jiwa Sara`nya untuk bisa menghidupkan Andreas kembali. Raphael rela menggantikan posisi Andreas hanya untuk membuat Andreas dapat bahagia lebih lama lagi dalam hidup.
Dan permohonan Raphael kepada Tuhan untuk menghidupkan Andreas disebut – sebut sebagai Sumpah Hitam.
Ketika Andreas membuka matanya dan terbangun dari kematiannya, ia belum menyadari ketiadaan Sara disekitarnya. Namun ia sadar ketika sehelai bulu sayap malaikat yang turun anggun telah membuat hatinya tersentak.
Ketika itu, ia baru menyadari cinta Raphael lebih besar dari siapapun. Pengorbanan Raphael lebih besar dari apapun. Dan saat itu, Andreas hanya bisa menangisi kepergian Sara dan Raphael dalam hidupnya ketika semuanya telah pergi.”
Rani menghela nafas. Menuntaskan ceritanya.
“Cerita yang sangat menarik. Meskipun sangat tak bisa diterima akal logika.” Kata Alif.
“Semua cerita cinta memang sangat menarik untuk diceritakan. Meskipun itu tak sesuai akal pikiran manusia sekalipun.” Bantah Rani.
“Tapi bagaimana kita bisa meresapi makna dari kisah cinta Andreas dan Raphael jika mereka hanya fiksi yang tertuang dalam kisah imajinasi fantasi?” Gumam Alif.
“Hey, bukankah itu yang menjadi daya tariknya?” Kata Rani sambil mengangkat alis. Alif hanya terdiam. Dalam hati, ia sangat tersentuh dengan kisah cinta yang terjadi antara Andreas dan Raphael. Meski fiksi, tapi semua itu membuatnya sangat tersentuh.
KRIIINNNGG!!!!
Bel tanda usainya jam istirahat berbunyi. Dengan kata lain, pertemuan singkat antara Alif dan Rani akhirnya harus terpisah akan waktu yang tidak mendukung mereka untuk bercakap lebih lama.
“Hmm, sepertinya kita sudah harus masuk kekelas masing – masing.” Kata Rani sambil membenahi tasnya yang ia sangkilkan di pundak.
“Yah, lebih baik aku segera mencari seseorang.” Kata Alif yang sudah lebih dulu beranjak dari kursi.
“Siapa yang kau cari?” Tanya Rani.
“Elia. Kau lihat dia?”
“Sepertinya tidak. Mungkin dia tidak masuk hari ini.”
“Ya, sepertinya begitu.” Kata Alif. Ada sedikit nada kecewa disana.
“Baiklah semoga beruntung. Kalau begitu aku pergi dulu. Bye.” Kata Rani berujar riang. Ia kemudian beranjak dan langsung berlalu tanpa menunggu balasan dari Alif.
Alif menatap kepergian Rani dan kemudian ia juga berlalu meninggalkan koridor lapangan.
**************
Cuaca di Jakarta terkadang tidak dapat ditebak. Di pagi hari cerah, maka di sore hari bisa saja terjadi hujan badai. Dan begitulah yang terjadi di Jakarta akhir – akhir ini. Tak ada yang dapat memprediksi bahwa Maha Langit akan memberikan kejutan disetiap waktunya. Saat pagi tadi, matahari masih menyapa dan tersenyum pada dunia. Namun menjelang sore, entah mengapa seolah hujan tak mau kalah untuk menyapa pada hari yang sama. Yah, mungkin inilah pengaruh dari global warming yang terjadi akhir – akhir ini. Menyebabkan musim hujan di Jakarta seolah menjadi permainan tebak - tebakan bagi Badan Pemprediksi Cuaca.
Dan yang paling menjengkelkan adalah ketika hujan terjadi disaat jam sibuk telah usai. Disaat anak – anak sekolahan memikirkan apa yang ingin dilakukannya selepas pulang nanti, malah terhalang oleh surai – surai bening yang diturunkan oleh semesta dari atas sana.
Dan begitupula Alif. Dua kali ia dikecewakan hari ini. Bukan oleh ‘siapa’, tapi oleh ‘apa’!
Pertama, ia tak menemukan Elia hari ini. Dan kedua, ia tak tahan dengan hujan yang turun ketika ia hendak pulang ini. Payah!
“Alif!”
Seseorang memanggil Alif yang kala itu sedang berteduh di koridor sekolahan. Alif menoleh dan mendapati seseorang berwajah polos.
“Pratama.” Gumam Alif tersenyum. Ia lalu mendekati Pratama dan mendapati Pratama memakai kemeja hitam.
“Darimana saja kau? Aku tidak melihatmu dikelas tadi. Dan… kenapa kau tidak memakai seragam?” Tanya Alif mengamati penampilan Pratama.
“Hehehe. Aku tadi izin untuk tidak masuk pelajaran.” Kata Pratama.
“Kenapa?” Tanya Alif.
“Aku menghadiri pemakaman.”
Alif mengernyitkan dahi. Sedikit terkejut dengan wajah yang mengernyitkan dahi. Ia menatap Pratama seolah mengatakan ‘siapa yang meninggal?’. Pratama dapat membaca maksud yang tersirat dari Alif.
“Ibunya Antoni.” Kata Pratama. Alif terdiam beberapa saat.
“Kenapa aku tak tahu?” Gumam Alif.
“Maaf. Kupikir Elia sudah memberitahumu.” Kata Pratama.
“Elia?” Alif tergugu menatap Pratama.
“Iya. Aku tahu dari Elia soal kematian ibu Antoni.” Kata Pratama.
Terdiam beberapa saat. Alif bermain – main dengan pikirannya. Ada sesuatu yang ganjil disana namun ia sama sekali tak bisa menafsirkannya. Kenapa sesuatu yang berhubungan dengan Antoni, ada Elia disana! Bahkan sampai kematian keluarga Antoni pun, Elia masih saja berada disana! Saat ia mencari – cari gadis bermata sendu itu, Elia justru datang padanya dengan nama Antoni!
Pratama menangkap wajah kebimbangan itu. Wajah yang penuh dengan kegalauan memikirkan sesuatu. Seolah mengetahui apa yang tengah dipikirkan oleh sahabatnya itu.
“Mau kuantar ke pemakaman? Para pelayat mungkin masih disana.”
**************
Hujan selalu menjadi gerbang perpisahan yang paling sendu suasananya. Dikala Tuhan telah mengizinkan seseorang terkasih untuk pulang, Antoni masih saja menghadap ke sebuah pusara yang telah ia antar kepergiannya. Hanya menatapnya, tidak menangis ataupun sesenggukan. Karena ia yakin ia telah berhasil mengantar orang terkasihnya dalam tidur lelap yang membahagiakan disana.
Namun, sebuah perpisahan tetaplah perpisahan! Tidak seindah kisah cinta atau sememoriabel pertemuan. Hanya kenangan yang merindukan dari sebuah perpisahan abadi. Tak bisa kembali karena sifatnya kekal. Sehingga membuat Antoni harus berlama – lama menatap agar kenangan itu tak cepat hilang dari pelupuk matanya. Atau mungkin agar para malaikat tidak pernah menemui kubur ibunya?
Para Pelayat sudah pergi semenjak tadi. Keempat anak – anak Biara juga sudah menunggui adik bungsu mereka di mobil. Aditya ingin menemani, namun hujan terlalu deras jika ia juga ikut menemani kakaknya untuk berlama – lama menatap pusara wanita yang pernah menjadikan mereka satu kandungan.
Seseorang berlari mendekati Antoni yang tengah berdiri. Suara becek akibat gesekan sepatu dengan tanah basah pemakaman membuat alas kakinya kotor tak karuan. Deru nafas yang ngos – ngosan akibat mendaki bukit pusara membuat langkahnya terasa berat. Ditambah hujan yang sampai sekarang tak berkurang kubiknya!
Namun pria itu berhasil berdiri di belakang Antoni meski dengan sisa nafasnya. Agak membungkuk untuk menetralkan degup jantung yang berpacu cepat.
Antoni menyadari kehadiran seseorang di belakangnya. Ia berbalik menoleh.
Alif.
Lagi – lagi takdir mempertemukan mereka dengan misterinya. Antoni menatap Alif kosong. Bahkan arah kornea matanya tak tertuju pada wajah rupawan Alif. Mereka saling berhadap – hadapan dalam diam. Dalam hujan ditengah pemakaman. Seolah merasakan de javu diantara keduanya. Tiada kata untuk membunuh kekosongan.
Antoni berjalan hendak melewati Alif. Namun langkahnya terhenti beberapa senti disebelah Alif. Lagi – lagi keterdiaman menjajah. Tanpa ada tatapan dan kata – kata, mereka menyadari kehadiran satu sama lain namun enggan saling menyapa.
Alif mengerti. Ada hati yang perlu untuk dihibur! Setidaknya untuk saat ini bahunya bisa dijadikan sandaran untuk seseorang yang hatinya tengah menangis. Ia mengulurkan telapak tangannya dan mencengkeram telapak tangan Elia. Elia tak membalas, tapi juga tak menolak. Namun jarinya terkait lemah seolah memang benar ia membutuhkan pegangan.
Jari mereka saling bertaut namun bukan dengan kemesraan, melainkan dengan kesedihan dan kegalauan. Misteri lagi – lagi tercipta pada akhirnya. Ketika mereka melangkah berdua meninggalkan bumi pemakaman, semesta memberikan matahari baru untuk sebuah kisah yang akan ditulis. Meski matahari itu masih ditutupi awan mendung, namun dari sini semuanya akan jelas!
“Hei, disini teduh! Sepertinya mama nya Aditya sering merawat pekarangan rumahnya.” Kata Elise menatap berkeliling halaman rumah keluarga Antoni. Ia berlari – lari kecil diantara taman kecil yang sengaja di tata rapih. Tidak terlalu besar memang, hanya saja tanah sekecil itu dapat disulap menjadi kebun pribadi yang dirawat Rini semasa hidupnya.
“El! Jangan mempermalukanku lagi. Kita disini bukan untuk bersenang – senang di taman bunga!” Janetta menegur dengan suara tenor nya. Ia cukup kesal ketika Elise mengabaikannya dan masih sibuk dengan mainannya.
“Hey, lihat! Hyacinth! Astaga, tak kusangka mama Aditya akan menanamnya di sini! Berwarnah merah pula.” Elise heboh sendiri.
“Elise!” Janetta mulai tak sabar dengan tingkah adik angkatnya.
“Biarkan saja Jane.” Valent yang memang lebih tua mencoba berpikir netral. “Kau juga jangan memancing ‘debat kusir’ dirumah orang.” Kata – kata Valent membuat Janetta merungut. Valent tersenyum dan mengacak – acak rambut Janetta dan mengajaknya untuk duduk – duduk di kursi beranda rumah.
“Sebenarnya apa yang kita lakukan?” Tanya Janetta.
“Aditya akan kembali lagi ke Sukabumi. Setidaknya di hari – hari terakhirnya di Jakarta kita harus sering berkunjung. Apalagi ini sudah genap sebulan semenjak kematian ibunya.” Valent berkata dengan nada bijak.
“Ya, aku tahu itu. Maksudku, kenapa kita menunggu di beranda rumah?” Tanya Janetta lagi sambil menyilangkan kakinya. Mencoba untuk mengalihkan matanya dari tingkah Elise yang sedang memetik – metik Hyacinth merah.
“Menunggu Fabian dan Kartika. Aku sudah bilang pada Aditya untuk menunggu di beranda rumah sampai Fabian datang.” Gumam Valent. Janetta memutar bola mata. Ia menyisir kecil rambut Barbie nya dengan ujung telunjuk kirinya.
Diwaktu yang sama, tepatnya di balkon rumah, kedua kakak adik sedang bercengkrama sambil menunggu beberapa tamu yang akan hadir dirumah mereka. Sambil menyender di pagar balkon, keduanya menatap langit cerah tanpa panas namun tak benar – benar fokus padanya. Keduanya hanya terdiam untuk beberapa saat. Bermain – main dengan pikiran sebelum memulai obrolan mereka.
“Jadi, kau benar – benar akan pulang ke Sukabumi?” Tanya Antoni tanpa menatap Aditya.
“Hei, meskipun kau berwujud pria sekalipun aku tetap akan kembali ke Sukabumi, kan?” Kata Aditya dengan seulas senyum dan melirik Antoni. Antoni tak menjawab. Hanya hembusan nafas yang membuat hatinya sedikit lapang.
“Aku kesini untuk mama. Dan karena mama sudah tiada, jadi tak ada gunanya aku berada disini.” Kata Aditya sambil menggamit tangan Antoni dengan lembut.
“Setidaknya kau bisa lebih lama menemaniku hingga Tuhan memanggilku lagi.” Kata Antoni datar. “Aku… hanya tak ingin sendirian menghadapi kematianku nanti.” Kata – kata Antoni membuat mulut Aditya bisu beberapa saat. Aditya hanya menatap wajah cantik abangnya yang masih tersimpan awan kelabu meski masalahnya sudah menemui titik terang.
“Apa setelah aku pergi, kita benar – benar tidak akan bisa bertemu lagi?” Tanya Aditya. Antoni menghela nafas.
“Entahlah. Aku pun tak tahu. Tapi perasaanku mengatakan demikian.” Jawab Antoni. Aditya terdiam beberapa saat.
“Hey Fabian!”
Suara sambutan Elise yang terdengar di bawah sana seketika memotong percakapan dua kakak beradik di balkon. Tatapan keduanya mencuri – curi pandang ke bawah. Melihat pintu gerbang rumah mereka yang tengah dimasuki oleh sebuah mobil hitam mengkilat. Fabian dan Kartika keluar dan menyalami ketiga anak biara yang tengah menunggu mereka disana.
Tak jelas apa yang tengah mereka bicarakan, tapi tampaknya Janetta tampak menggerutu dan Fabian tertawa – tawa. Elise bercerita heboh sementara Kartika hanya tersenyum menanggapinya. Terlihat ramai meski mereka tak bisa mendengar percakapan mereka semua.
“Kau tidak akan sendirian, kak.” Kata Aditya. “Kau masih mempunyai mereka. Keluargamu!” Sambungnya sambil menunjuk kearah teras dimana Valent dan yang lainnya berada.
Antoni tersenyum samar. Menatap saudara – saudara angkat mereka yang selama ini selalu hadir memberikan mereka tempat, keluarga, dan kenyamanan. Apa yang bisa dilakukannya jika saat itu ia tak terdampar di depan biara St. Louis? Mungkin tubuhnya tetap akan luntang – lantung tanpa ada yang mau menampungnya.
“Kau benar.” Tanggapnya. Aditya tersenyum. Disambung oleh tawa kecil Antoni. “Aku masih punya keluarga meskipun mereka tak seiman.”
“Jika kau masih merasa punya keluarga, lantas kenapa kau masih terlihat kesepian?” Tanya Aditya. Antoni tampak sendu. Ia tahu masih ada lubang yang belum ia tambal di hatinya. Masalahnya, ia tak pernah tahu bagaimana cara menutupnya. Karena ini masih menyangkut orang yang sama.
“Mengenai Sang Apollo?” Tanya Aditya dengan sedikit senyuman nakal yang membuat lesung nya muncul di sudut wajah.
Antoni tersenyum kecut. “Aku sudah ingin menyerah, Dit. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Ini sudah berada di ujung kuasaku.” Kata Antoni. Aditya berpikir sejenak. Tatapannya menerawang ke arah langit yang berarak dan mengombak di sana. Melebur dan hancur hingga bentuknya tak dapat ditebak.
Sendu…
“Apa yang sebenarnya kau inginkan darinya, kak? Apa kau ingin dia melupakan cintanya padamu?” Tanya Aditya sarkas. Antoni tertunduk.
“Apa kau ingin melepaskan dirinya dari jeratan cinta kalian yang tak pernah direstui?” Aditya memperjelas kalimatnya.
“Munafik jika aku berharap dia tak mencintaiku lagi!” kata Antoni. “Aku takkan pernah berharap dia berpaling dariku. Aku bahkan menginginkan dia untuk kumiliki selamanya.” Antoni mendesah dan ikut menerawang ke cakrawala.
“Lalu apa yang kau inginkan?” Aditya mendesak secara halus.
“Setidaknya aku tak ingin mendengar dari mulutnya bahwa Tuhan itu kepunahan! Apalah artinya cinta jika tiada Tuhan didalamnya? Apalah artinya sayang jika hanya kekaguman dan nafsu yang menjadi modalnya?!” Kata Antoni mengungkapkan rasa terdalamnya.
“Setidaknya, meskipun nanti ia tak bisa kumiliki, aku hanya berharap ia berada dalam lindungan Tuhan dan cintanya. Hanya itu. Itulah tujuanku dihidupkan kembali. Tuhan.” Lanjut Antoni menatap dan menembus keatas sana. Menembus awan yang berarak dan langit yang biru. Jauh menembus lapisan langit ketujuh seolah tengah menatap keatas Arasy.
Aditya menatap wajah Antoni yang diliputi kedamaian samar. Kelabu masih saja menggantung disana tanpa pernah menyingkir dari matanya yang sendu. Namun setidaknya, ada keindahan dibalik raut wajahnya yang kemayu yang membuat Aditya merasa nyaman menatapnya.
“Itu berarti kau sudah menemukan tujuan mu, kak.” Gumam Aditya. Antoni menghela nafas dan tersenyum tenang. Kedua kakak beradik itu kembali berbagi senyuman yang pernah mereka bagikan di masa kanak – kanak terindah yang pernah lewat dalam kehidupan mereka.
“Kapan kau akan pulang?” Tanya Antoni.
“Tanggal tujuh belas. Aku dan papa sudah memesan tiketnya.” Kata Aditya. “Kau sudah bertemu dengan papa?” Tanya Aditya lagi disambut dengan anggukan cepat Antoni.
“Aku sudah bertemu dengannya. Tapi tentu saja sebagai Elia, bukan Antoni.” Kata Antoni tersenyum.
“Kenapa?” Aditya mengernyitkan dahi.
“Cukup Kalian berdua saja yang tahu.” Kata Antoni tersenyum. Aditya tak membahas keputusan kakaknya.
“Tanggal tujuh belas, ya? Itu berarti kau masih sempat menghadiri acara sekolahku akhir minggu ini.” Kata Antoni.
Aditya menaikkan alisnya.
“Acara sekolah?”
“Iya. Prome Nite. Berhubung semester empat akan segera berakhir, kami membuat acara besar selain classmeet.” Antoni tampak antusias menjelaskan. “Tadinya aku yang akan jadi Ketua Pelaksana. Berhubung semua kejadian yang aku lalui, ditambah dengan peranku yang jadi Elia, akhirnya aku berhasil merekomendasikan orang lain untuk jadi Ketua Pelaksana nya.” Antoni tersenyum jahil.
“Siapa?” Tanya Aditya penasaran.
“Pratama.” Antoni tertawa lepas. Aditya melongo.
“Lho, bukankah katanya dia paling nggak mau pusing dengan urusan OSIS?” Aditya heran.
“Berterima kasihlah pada Elia yang mampu merubah jalan pikirannya.”
“Hah?” Aditya makin tak mengerti.
“Hei, Pratama adalah pria normal sementara Elia adalah sosok wanita cantik.” Jelas Antoni dengan tawa cekikikan. Untuk beberapa saat, Aditya terdiam hingga sebuah ungkapan tersirat dapat ia pecah kan. Dan beberapa saat kemudian mereka tertawa terbahak – bahak.
“Astaga, kau curang! Memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan!” Komentar Aditya di sela – selam tawanya. "Ternyata dia benar - benar jatuh cinta padamu!"
“Haha… ada untungnya menjadi wanita cantik.” Balas Antoni.
“Apa dia akan berhasil menjalankan acaranya?” Tanya Aditya.
“Aku yakin dia akan berhasil melakukannya. Dia punya leadership dan jiwa organisasi, kok.” Antoni tampak yakin. “Maka dari itu, sebelum kau benar – benar pulang, datanglah ke acaraku.” Antoni masih berharap.
“Akan ku usahakan.” Kata Aditya dengan senyuman.
“Ehm… Elia.” Seseorang memanggil dari belakang mereka. Wanita berkuncir kuda. Kartika.
Antoni dan Aditya menoleh.
“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan kepadamu.” Gumam Kartika. Aditya dan Antoni saling pandang. Kartika tampak serius sepertinya.
“Hmmm… kalau begitu aku ke teras dulu. Biar ku jamu Valent dan kawan – kawan.” Aditya menyingkir. Ia tahu sudah saatnya ia pergi dari situ. Dari pembicaraan yang akan dilakukan oleh Antoni dan Kartika.
Sesaat setelah Aditya turun dari balkon dan sudah tak terjamah oleh jarak dengar, Kartika langsung menarik Antoni untuk duduk di kursi yang tak jauh dari mereka.
“Ada apa? Kau tampak serius sekali.” Tanya Antoni menangkap gelagat ke khawatiran dari Kartika.
“Aku sudah tahu siapa pembunuhmu! Atau lebih tepatnya yang berniat ingin membunuh Alif saat itu.” Kata Kartika to the point. Antoni membelalakkan mata.
“Siapa?” Tanya Antoni tak sabar. Kartika tak langsung menjawab. Ia merogoh map cokelat dari dalam tas nya. Antoni menyambar map yang disodorkan Kartika padanya. Sebuah lembaran – lembaran foto.
“Abimanyu.” Gumam Kartika. Antoni mendongak tak percaya.
“Hah?!”
“Kami berhasil menyelidikinya sejauh ini. Tempat tinggalnya, kesehariannya, apa yang dia lakukan hari itu, latar belakangnya dalam mengenalmu juga Alif.” Kartika menjelaskan secara serius. “Dan lihat!” Ia mengambil salah satu foto dari map dan menyodorkannya didepan Antoni.
Sebuah mobil cokelat bermerek Volvo dengan kap mobil yang agak penyok. “Ini adalah mobil yang digunakannya untuk menabrakmu.” Tunjuk jari Kartika dengan yakin.
Antoni terdiam. Ada sesuatu yang mengusik perasaannya sekarang. Entah mengapa ada sesuatu yang mengganjal disana. Mengenai fakta dan bukti – bukti yang tertuju pada Abim.
“Antoni, ada apa?” Tanya Kartika.
“Entahlah. Aku tidak yakin dengan semua ini. Bagaimana kau bisa tahu ini adalah mobil Abim?” Tanya Antoni membutuhkan kejelasan.
“Aswan mengetahui nomor pelatnya karena saat itu ia berada di tempat kejadian saat kecelakaan itu terjadi. Dan mobil ini tepat diparkir didepan rumah Abim.” Kata Kartika mantap.
“Bagaimana keadaan rumah Abim?” Tanya Antoni.
“Kosong. Tak ada orang disitu. Menurut laporan, sudah lebih dari sebulan rumah itu ditinggal penghuninya. Kemungkinan besar, Abim telah menyadari dirinya menjadi buronan polisi dan menghilangkan jejaknya.”
“Bagaimana dengan keluarga dan kedua orang tuanya?”
“Selama ini Abim tinggal bersama pamannya. Orang tuanya tinggal di Tangerang. Menurut laporan pula, masih ada sepupu laki – laki dan kakak perempuannya yang tinggal bersamanya. Namun mereka sepertinya menutup diri dan kedua orang tua Abim tidak bisa dimintai keterangan. Namun kami masih memprosesnya secara hukum dan kepolisian.”
Antoni terdiam. Ia masih menatap potret – potret bukti yang tersebar diatas meja kecil didepannya. Potret mobil gelap, nomor pelat, kap penyok. Ia memang tampak familiar dengan mobil itu. Tapi entah mengapa hatinya merasa ada sesuatu yang lain mengganjal disana.
“Antoni?” Panggil Kartika. Antoni masih terdiam. Beberapa detik kemudian ia menghela nafas.
“Entahlah Kartika. Kenapa aku merasa ada yang aneh.” Antoni berpikir kembali. Kartika membiarkan Antoni bermain – main dalam pikirannya. “Kenapa ia tega melakukan itu?” Gumam Antoni pada dirinya sendiri yang masih didengar oleh Kartika.
“Kemungkinan besar; cemburu.” Kata kartika singkat. Antoni menoleh dan mengernyitkan dahi. “Riska adalah obsesi terbesar Abim. Namun wanita itu menyukai Alif yang pada kenyataannya lebih memilih menjadi gay dan jadi kekasihmu. Mengetahui itu semua Riska sakit hati dan Abim yang membalaskannya. Membalas sakit hati Riska, juga membalas Alif yang lebih menjadi perhatian Riska ketimbang dirinya.” Kartika menjelaskan. Antoni menjelaskan. Ia sudah tahu pasti tentang masalah itu.
“Aku tahu tentang perasaan Abim ke Riska. Tapi untuk suatu alasan mengapa aku di hidupkan kembali, kurasa alasannya tidak sesimpel itu.” Antoni tampak tak yakin.
“Lalu apa lagi? Apa ada orang lain selain Abim? Bukti – bukti ini mengatakan bahwa Abim lah tersangka tunggal dalam kasus percobaan pembunuhan Alif.” Kartika berkata tajam. Antoni berpikir keras seolah mencoba untuk mendengar fakta hati yang samar – samar terlintas di benaknya. Tapi ia masih tak dapat melihatnya!
“Antoni, tak ada waktu untuk berpikir?” Kartika menyela perdebatan hati Antoni. Ia menengadah dan mendapati wajah serius Kartika.
“Kenapa?” Tanya Antoni.
“Kita harus cepat. Kemungkinan besar Abim masih mengincar nyawa Alif setelah kejadian pertengkaran mereka di bar malam itu. Untuk membalas Alif yang telah membutakan sebelah matanya. Dan juga…” Kartika menggantung kalimatnya dan tampak ragu untuk meneruskannya.
“Dan juga?” Antoni memancing.
“Abim juga menyukaimu. Namun kau lebih memilih Alif. Itu berarti, dendamnya bertambah dua kali lipat kepada Alif.”
**********
Suara hati Antoni…
Beberapa minggu kemudian…
Tak terasa akhirnya musim ujian sudah tiba. Aku belajar mati-matian siang dan malam untuk medapatkan nilai terbaik. Pratama yang memang berotak encer sesekali mengajariku soal-soal fisika dan kimia yang tidak aku mengerti. Sebagai gantinya, aku membantunya dalam mempersiapkan acara akhir semester yang – memang pada dasarnya – aku tangguhkan kepadanya. Alif sepertinya untuk sesaat melupakan semua masalahnya dan mencoba untuk fokus dalam ujian kenaikan kelas. Tapi kelihatannya, masalah keluarganya bisa dibilang agak mencair dari sebelum – sebelumnya. Itu yang kutahu dari Pratama. Sykurlah.
Riska mulai melupakan sementara waktu ekskul cheersnya dan mencoba konsentrasi pada ujian akhir semester genap ini. Begitu juga Rani dan semua anak kelas XI-2 yang berlomba-lomba untuk naik ke kelas selanjutnya.
Tak terasa ini menjadi euphoria tersendiri di SMA 18 yang dimana-mana membicarakan kesiapan untuk ujian. Pak Ridwan sebagai wali kelas sekaligus Guru Konseling kami juga sering membimbing kami dalam persiapan ujian kenaikan kelas.
Setiap malam aku selalu begadang untuk belajar mempersiapkan ujian kenaikan kelasku. Terkadang Valent, Fabian, Janetta dan Elise juga ikut membantuku mempelajari soal yang tidak aku mengerti. Itu sebabnya setiap hari wajahku tampak kuyu dan mengantuk karena harus belajar hingga larut malam.
Hari pertama ujian pertama akhirnya tiba juga. Aku sedikit was-was dengan ujian kenaikan kelas ini. Pratama tampak santai-santai saja karena kuyakin ia terlalu cerdas dengan soal-soal yang akan diajukan nanti. Pelajaran pertama yang akan diujikan adalah kimia yang tidak aku mengerti. Namun untunglah perjuangan belajarku akhir-akhir ini membuahkan hasil meski belum seratus persen. Pratama tampak menikmati soal yang dujikan padanya bahkan tak ayal ia sering meminta kertas jawaban essai tambahan dan menulis jawabannya dengan yakin. Sombong nih orang!
Alif yang kulihat hanya diam tanpa kudapati menulis sesuatu di lembaran jawabannya, tak kusangka selesai lebih dulu dariku. Oh, mungkin hanya aku yang paling bodoh disini! hiksss :’( .
Namun aku berhasil menyelesaikan semua soal kimia yang aku takuti meski bersusah payah dan menguras otak.Fiuh… Berdoalah tahun depan pelajaran Kimia ditiadakan!
Hari berikutnya kembali kulalui dengan bersusah payah mengerjakan soal-soal ujian. Kali ini Fisika dan Matematika berada di satu paket hari yang sama. For God Sake! Kenapa hari awal ujian harus sesulit ini! Pratama lagi-lagi dengan santainya mengerjakan soal ujian dan yakin benar. Alif tampak menguras otak dan tampak ragu dalam mengerjakan soal matematika. Untunglah aku menguasai soal Matematika ini karena ini adalah salah satu pelajajaran yang banyak diajarkan Valent dan Janetta semalam sebelum ujian. Dan tujuh puluh persen soal yang kupelajari keluar semua dan kukerjakan dengan keyakinan. Tiga puluh persen lagi kuserahkan saja lah pada yang Maha Kuasa. Pasrah.
Dan sisa hari-hari berikutnya aku bisa menjalaninya dengan sedikit rileks dan santai dalam menjalani ujian karena aku sudah bisa menetralisir suasana ujian. Alif tampak serius menapaki soal-soal ujiannya. Sesekali tangannya menulis dan selanjutnya mengahapusnya kembali. Hari berikutnya kulalui dengan yakin akan jawaban dan hasil jerih payahku dalam belajar. Yah, semuan tampak lebih mudah untuk hari-hari berikutnya.
Memasuki hari-hari terakhir pikiranku jauh lebih rileks dari biasanya. Mungkin aku jauh lebih santai karena ini adalah hari terakhir. Apalagi biasanya hari terakhir adalah pengujian materi-materi pelajaran yang lebih mudah dari pelajaran sebelumnya. Sehingga aku jauh lebih santai dan nyaris seratus persen semua jawaban kuyakini kebenarannya.
Bel tanda akhir pengujian berbunyi. Aku menghela nafas lega karena akhirnya aku terbebas dari satu minggu memeras otak untuk ujian kali ini. Kami bersorak gembira meluapkan kebahagiaan dan bahkan ada yang sampai melempar kartu ujian karena tidak perlu digunakan lagi. Atau mungkin saking bersemangatnya karena terbebas dari jerat ujian. Entahlah.
Aku keluar kelas dengan perasaan lega dan melihat keliling koridor. Para murid sedang `berpesta pora` merayakan usainya ujian kenaikan kelas selama satu minggu. Itu berarti mereka akan meninggalkan kenangan mereka dikelas XI dan membuka lembaran baru dikelas XII.
Aku tersenyum melihat tingkah teman-teman sebayaku. Riska berjingkrak kegirangan diantara geng cheersnya. Saat mata kami bertemu, ia tersenyum dan mengangguk ramah dan kubalas dengan anggukan pula. Tentu aku tidak ikut nimbrung dengan geng cheersnya itu.
Pratama tiba – tiba hadir di sampingku dan menjabat erat tanganku lalu mengatakan kepadaku `sampai jumpa dikelas XII`. Aku tersenyum menanggapinya dan kami tertawa bersama.
“Bagaimana ujiannya?” Tanya nya basa – basi.
“Duh… plis deh jangan dibahas lagi. Pusing banget nih! Ingat nasihat orang tua jaman dulu.” Aku menanggapi dengan candaan.
“Nasihat? Apaan?” Tanya Pratama penasaran.
“Datang, Kerjakan, Lupakan.” Kataku dan terkikik.
“Hmmm… itu mah slogan orang malas, doang!” Pratama mengacak – acak rambut ku. Aku merungut kesal. Ia tertawa lepas.
“Ehem…”
Seseorang berdehem di belakang kami. Alif.
“A… Alif…” Gumam ku canggung. Entah mengapa seolah – olah aku tidak mengharapkan kehadirannya saat itu. Alif terdiam. Tak menyahut.
Pratama melirik ke arahku lalu ke arah Alif. Ia merasa seperti ada sesuautu diantara kami. Tentu saja.
“Hmmm… sepertinya kalian sedang sibuk. Kalau begitu aku ke ruang OSIS duluan, ya." Kata Pratama mencoba untuk menghindar dari situasi yang diciptakan oleh kami berdua. Tanpa bisa mencegah kepergian Pratama, kini aku dan Alif seolah membisu tak tahu harus memulai obrolan seperti apa.
“Mmm… hai…” Alif membuka obrolan dengan canggung.
“Hai…” Aku menjawab tak kalah canggung.
“A… Ada yang ingin kubicarakan padamu…” Kata Alif.
“Hmm… bicarakan saja disini…”
“Tidak. Bukan disini. Tapi… nanti malam…” Kata Alif sambil memalingkan wajahnya. Aku mengernyitkan dahi.
*****************
Malam Hari.
Valent membuka pintu biara dan mendapati sesosok wajah kalem disana. Dengan balutan kemeja putih yang kasual namun tidak terkesan formal. Rambutnya disisir rapih dan bau parfum merebak diantara sudut tubuhnya.
“Alif. Lama tak jumpa.” Sapa Valent. Alif seperti biasa tersenyum canggung. Valent mempersilakan tamunya untuk masuk. Alif melangkah dan mendapati biara mereka yang memang sudah pernah dilihatnya; bergaya roma klasik.
“Elia masih belum selesai. Kau tahu lah… wanita!” Kata Valent sambil memberikan tekanan pada kata terakhir. Alif hanya memberikan senyuman simpulnya.
“Daripada menunggu para wanita itu, lebih baik kuantar kau berkeliling.” Kata Valent sambil tersenyum. Alif hanya menyahut dan mengikuti Valent saja.
Sebenarnya malam ini ia ada janji kencan dengan Elia. Entah memang benar disebut kencan atau bukan, yang jelas ia harus mengakui jika saat ini gadis itu memang tengah membuatnya merasa campur aduk. Sekarang masalahnya dengan kedua orang tuanya sudah mulai membaik. Dukanya karena kepergian Antoni juga semakin memudar meski masih menyisakan lubang dihatinya. Dan menurutnya, berkenalan untuk yang kedua kalinya dengan gadis muslim biara itu akan membantunya mencari kehidupan yang berbeda dari sebelumnya.
Valent ternyata mengajaknya ke aula gereja yang saat itu sedang sepi. Mungkin karena pertengahan minggu.
Sebelumnya ia pernah kesini saat malam perjamuan waktu itu. Sekarang aula itu tampak lebih mendamaikan dari terakhir kali ia datang kesini.
“Kau punya grand piano?” Tanya Alif ketika matanya fokus kepada sebuah piano hitam di sudut altar. Sebelumnya ia tak mengingat ada piano disana.
“Benar. Sudah dari dulu disana. Kami biasa menggunakannya untuk iringan doa – doa. Tapi jarang dipakai karena hanya untuk keperluan upacara suci saja.” Kata Valent. Mereka berdua mendekati altar. Alif tak henti – hentinya menfokuskan indra penglihatannya kepada grand piano berwarna hitam mengkilat itu. Ia selalu terpana pada alat musik yang berdenting.
“Kau mau mencobanya?” Tawar Valent. Alif menoleh dengan sedikit guratan di dahinya. Ia menimbang sejenak.
“Memangnya boleh?” Tanya Alif. “Inikan untuk gereja.”
“Apa bedanya gereja dan panggung opera. Itu tetaplah sebuah piano.” Kata Valent diplomatis. Kembali ia menawarkannya pada Alif.
Kali ini meski masih bimbang, Alif melangkahkan kakinya menaiki altar. Ia mennyentuh rangka kokoh piano yang sangat menggoda para musisi untuk memainkan tuts nya. Dulu ia pernah menginginkan sebuah grand piano dirumahnya. Namun ayah tak pernah menginginkan dirinya menjadi seorang pemusik. Kejadian itu sudah enam tahun berlalu.
Apakah ayahnya masih melarangnya menjadi seorang musisi?
Alif duduk di kursi dan menghadap ke arah piano. Jemarinya telah siap diatas tuts. Ia memejamkan mata. Mengingat kembali saat dimana ia dikenal sebagai phantom of the opera karena bakat orkestranya yang terpendam. Suara lembut lagu Beethoven mengisi sudut pikirannya. Dan…
Ting…
************
“Nah, cantik kan?” kata Janetta sambil menghadapkan Antoni di depan cermin. Ia meminjamkan sebuah gaun simple berwarna putih polos. Rambutnya digerai dan dikeriting gantung di bagian bawah serta di beri jepitan kupu-kupu disisinya. Ditambah lagi dengan bibirnya yang diberi lipstick berwarna natural dan mengkilap.
Antoni memang tampak cantik. Namun ia masih jijik dengan penampilannya karena sisi lelaki nya yang menolak ini semua.
“Lipsticknya koq kayak minyak sih?” tanya Antoni kesal mencoba untuk menghapus sesuatu dari bibirnya.
“Eh, jangan di hapus! Nanti hilang dan belepotan kemana-mana!” Janetta memarahi Antoni. Ia memang tidak biasa memakai lipstick dan memakai gaun. Biasanya kesekolah pun dalam tubuh Elia, ia selalu memakai jaket belel berwarna hijau army. Namun sekarang ia harus tampil feminim atas tuntutan kakaknya yang perfeksionis.
“Aku nggak betah pakai gaun ini!” Kata Antoni kesal sambil mematut dirinya didepan cermin. Berputar – putar ala Marilyn Monroe.
“Ah, kamu ini! Makanya jadi orang jangan kelewat tomboy!.”
Kata Janetta. 'Aku kan memang laki-laki kak!' kata Antoni dalan hati.
Tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk. Fabian melongok di pintu dengan memperlihatkan sebagian tubuhnya saja.
“psst, Alif sudah datang! Cepatlah para gadis! Kau tidak tahu seberapa dongkolnya pria yang menunggumu kala sedang berdandan!” Kata Fabian berbisik.
“Oiya?! tunggu sebentar lagi! Sibukkan dia dulu.” Kata Janetta, ia bergegas menuju ke lemari dan mengambil sepasang sepatu slop putih yang cantik dengan tambahan hiasan pita berlian.
“Aku sudah menyuruh Valent untuk menyibukkan Alif. Baiklah, kau harus cepat Jane! Ngomong-ngomong, kau tampak cantik Elia.” Kata Fabian sambil tersenyum jahil. Ia kembali menutup pintu dengan perlahan dan pergi.
“Ini, pakai sepatu ini! Aku sengaja memilihkan sepatu slop untukmu. Karena kutahu kau takkan bisa berjalan jika memakai sepatu high.” Kata Janetta. Untunglah sepatu ini bermodel slop. Jika berhak tinggi, Antoni pasti sulit untuk berjalan tegak.
“Dan kalungkan scratch ini di lehermu.” Janetta memberikan sebuah scratch emas pada Antoni. Antoni menaikkan sebelah alisnya.
“Aku tidak mau mati di mobil!” Kata Antoni sambil memegang takut pada scratch. Ia jadi teringat dengan kisah Isodora Duncan, penari balet terkenal yang mati karena lehernya terlilit scratch panjang yang terlilit di roda mobilnya. Ketika mobilnya berjalan, scratch nya malah mencekiknya sampai mati! Kematian yang konyol!
Janetta memutar bola matanya. “ Terlalu banyak nonton on the spot sih!” Gumam Janetta. Ia lalu dengan santainya mengambil alih scratch dan memakaikannya pada adik bungsunya.
“Nah, sekarang Cinderella sudah siap bertemu dengan pangerannya.” Kata Janetta kembali mematut Antoni di depan cermin. Sesosok wanita tampak anggun di cermin itu dengan mengenakan gaun putih.
“lumayan.” Komentar Antoni.
“Sekarang cepat kau turun dan temui Alif.” Kata Janetta. Antoni menuruti perintahnya dan keluar dari kamar dengan jantung berdebar-debar.
******************
“Halo… Pratama?... Persiapan untuk acara prome nite akhir semester?... Apa?! Belum menemukan pemain piano?... waktunya tinggal seminggu lagi!!... baiklah, aku akan berusaha untuk membantumu…”
Klik.Antoni mematikan HPnya.
“Telepon dari siapa?” Tanya Janetta disebelahnya.
“Pratama!” Kata Janetta.
“Ya ampun! Udah mau ketemu pacar sendiri kok masih sempet – sempetnya selingkuh!” Janetta menggeleng seolah mengatakan 'ada – ada saja kau El…'
“Apaan sih, kak!” Kata Antoni berdecak pura – pura kesal.
Mereka menuruni tangga dan tak mendapati siapapun di ruang tamu. Padahal sebelumnya Fabian mengatakan bahwa Alif sudah datang dan kini harusnya di ruang tamu bersama Valent. Tapi ruang tamu tampak kosong melompong.
“Yang lain mana?” Tanya Antoni.
“Kamu gladi resik sendiri aja, ya. Teman – temanmu sakit.” Plak! Janetta mendapat tamparan ringan dari Antoni karena sempat – sempatnya becanda menirukan adegan di iklan obat sirup imun anak. Janetta cengengesan.
“Aku serius!” Kata Antoni pura – pura kesal.
“Hei Elia!” Seseorang memanggilnya dari arah pintu. Elise. “Mencari Alif, kan?” Tanya nya riang.
“Ya. Kau tahu dimana dia?” Tanya Antoni.
“Dia di aula gereja. Cepatlah! Dia memainkan musik kesukaanku. Kau akan terkejut melihatnya!” Kata Elise riang. Ia langsung menarik lengan Elia dan sedikit berlari menuju ruang aula.
“Hei! Tunggu aku!” Janetta menyusulnya dari belakang.
Sesampainya di aula, Antoni mendapati beberapa biarawati dan anak asuhnya sedang mengerumuni altar. Tak terkecuali Agustinus, Valent dan Fabian. Mereka semua terkesima dengan penampilan seseorang di atas altar.
Alif memainkan piano! Dan orang - orang terkesima dengan penampilannya!
Sungguh piawai dan syahdu setiap dentingan yang dihasilkannya. Seolah ia memang sudah terlahir untuk menjadi pianist berbakat. Benar, Pratama pernah mengatakan bahwa Alif memang jago bermain musik. Alif juga pernah mengungkit – ungkit bakatnya yang bahkan tidak pernah ditunjukkan sejak awal mereka bertemu dulu. Kalau tidak salah, pertentangan ayahnya lah yang membuatnya berhenti bermain musik.
Namun kini ia kembali bermain musik. Apa masalahnya dengan ayahnya sudah membaik? Atau ini hanya sementara saja?
Antoni terpana dengan penampilan Alif diatas altar saat itu. Benar – benar menawan. Sunggu hebat!
“Sudah kubilang kau akan terkejut. Dan dia memainkan lagu Fur Elise nya Beethoven! Seperti namaku!” Kata Elise riang. Antoni hanya tersenyum simpul.
“Elia. Kau tidak pernah bilang jika Alif piawai bermain piano.” Kata Janetta. Sepertinya ia juga hanyut dalam nada indah dari jemari piawai Alif.
“Aku pun tak pernah tahu.” Kata Antoni. Menatap tanpa berkedip ke arah kekasih sejatinya itu. “Bahkan dalam kehidupan ku sebelumnya.” Gumam Elia tanpa menoleh dari Alif. Lagu karangan Beethoven itu seolah membuat Antoni dapat melihat alter lain dalam diri Alif.
Sebelum terhanyut, ia masih tersadar untuk merogoh sakunya dan mengambil sebuah ponsel. Ia membuka kontak dan memilih nama Pratama.
“Pratama! Aku sudah menemukan pemain piano yang handal.” Gumam Antoni menyiratkan sebuah senyuman.
AKHIRNYA LULUS UN!!!!! ^_^. skrg sibuk nyari kuliahnya deh -_-.
udah lama gak buka BF. ternyata udh byk yg berubh. skrg udah bisa make Underline, Bold, Italic... yeyeyeye... jadi semangat deh. Kirain mah nih cerita udah kemana tahu. ternyata masih ada yg nyariin... hehe...
Sorriiiiiiiiiiiii bgt! dr januari ampe april kemaren emang bener2 ga ada wktu luang -_-. skrg aja lg sbk prsiapa SBMPTN (smoga diterima ya allah. amin.... )
Maaf bgt readers. kalo ada yg g mau di mention lagi. blg aja... aq rapopo.... -_-
mumpun usai pengumuman dan wisuda byk waktu luang, insya allah udah namati RBV ^_^ sesuai janji. palingan tinggal 2 -3 chapter lagi. sabar ya mba dan masbro. sesuai janji pasti akan selesaikan biar bisa lanjut ke cerita berikutnya ----> NUN. hehehe... smoga tidak mengewakan. dan semoga bisa cepet dapet kuliah... amiiin... ^_^