It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Five psychopaths??? ente baca juga toh :0. tadinya ane pengen hapus tuh cerita. abisnya gak ada yg comment ataupun ngasih kri-sar...-_-
Cerita 5 psiko itu di taro di sini aja. Spa tw laku.
Bangunan itu masih saja seperti dulu. Di kala malam masih tampak begitu misterius. Dengan pohon saga yang masih berdiri kokoh serta ilalang – ilalang yang bertiup anggun. Meski gelap, namun kunang – kunang mungil mampu menyinari savannah penuh kenangan itu. Savannah dimana awal cerita dan konflik di saksikan oleh bangunan tua yang melindungi tarian ilalang tersebut. Saat dimana kedua adam saling bertemu, dan akhirnya berpisah juga.
“Kenapa… kita kesini Alif?” Tanya Antoni sedikit canggung. Karena terakhir kalinya ia kesini, ia serasa mendapat sebuah mimpi buruk paling mengerikan sepanjang tidurnya. Gaun putihnya tertiup pelan saat ia mengikuti Alif menuju tengah – tengah savannah.
Alif tak menjawab. Ia hanya terdiam. Membiarkan angin berbisik dalam gemerisik gesekan daun – daun dari pohon saga. Ada pilu yang menandai kisah yang tertinggal disini.
Dalam tempatnya berdiri! Ada sebuah pusara tak tampak tentang kisah sedih yang ingin ia kubur dalam – dalam. Mencoba untuk mengelak tak mencium busuknya hasrat. Ada sesuatu yang ingin ia lupakan disini!
“Alif…” Panggil Antoni lagi. Ia merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan Alif.
“Mau berdansa?” tawar Alif tiba – tiba. Tentu saja Antoni terkejut. Seharusnya ia tak membahas lagi kejadian terakhir kali ia dan Alif datang kesini. Saat ia mengaku sebagai Antoni yang sebenarnya.
Namun mengapa Alif akhirnya malah mengundangnya untuk membuka lembaran hitam itu lagi?
“Dan… dansa?” Tanya Antoni tak paham. Sebelum ia membuat pikirannya makin penuh dengan tanda tanya, Alif menghadap kepadanya. Menatapnya dengan tatapan yang sama sekali tidak ia mengerti. Seolah ia ingin menjadikan Elia adalah pelariannya. Untuk menghapus jejak Antoni dari dasar hatinya.
Alif merentangkan tangannya. Menawarkan diri untuk menari dalam kegalauan. Membiarkan segala kesakitan dan kesedihan untuk dilupakannya.
Antoni mengerti akan hal itu. Kekasihnya itu hanya ingin terbebas dari belenggu kesedihan dan rasa sakit. Ia tahu hari ini ia hanyalah pelarian sesaat. Setelahnya Alif akan belajar untuk melupakannya!
Menyedihkan sekali untuk seseorang yang tidak ingin dilupakan. Namun apadaya, waktu tetap berjalan dan kehidupan Alif harus tetap maju. Ia harus meninggalkan Antoni yang sebenarnya telah tiada!
***************************************************************
Dengan tatapan sendu yang sama, Elia menerima tawaran Alif. Ia menggapai tangan yang berbalut kemeja putih itu dengan pelan seolah merasakan rapuhnya jiwa sang Apollo di depannya.
Pelan tapi pasti, kedua insan itu menari dalam hati yang merana. Orkestra alam kembali berdendang mengiringi tarian mereka pada malam itu. Hanya saja kali ini lebih terdengan sedih. Kunang – kunang seolah menjadi bagian paling romantis untuk menghibur hati dua insan yang sedang dilanda patah hati.
Biarlah tiada kata yang diucapkan. Cukup hati yang membuat kita saling memahami satu sama lain. Biar hari ini kita lupakan masa lalu. Mencoba untuk mencabut duri – duri yang menyakitkan yang sudah lama terbenam ribuan hari setelah kepergian sang kekasih.
Biarlah kini hanya pelarian… untuk seterusnya hanya untuk dilupakan…
“Beginikah rasanya…” Gumam Alif dalam rengkuhan tubuh Elia. Elia tak menyahut. Membiarkan Alif mengeluarkan semua kesenduannya. “Beginikah rasanya disentuh secara intim oleh lawan jenis…”
Elia menghela nafas. Menimbulkan keremangan di leher Alif.
“Apakah… ini adalah akhir kisahmu dengan sang Romeo?” Tanya Elia datar namun terasa keperihan.
“Aku hanya ingin melangkah maju dan meninggalkan masa lalu. Biarkan Antoni tenang dalam keabadiannya.” Kata Alif.
Elia memejamkan mata. Mencoba untuk menahan tangis. Tak kuasa dengan apa yang dikatakan oleh sang mentari yang pernah menghangatkan seluruh relung jiwanya.
“Meskipun kutahu, luka ini takkan sepenuhnya hilang. Meskipun sekuat apapun aku menyembuhkannya.” Gumam Alif dengan tatapan khasnya yang dingin. Elia menyandarkan kepalanya di dada bidang Alif. Setitik airmata jatuh menetes di pipinya. Lambang dari sebuah kesiapan untuk dilupakan di kisah mereka kemudian hari.
“kalau begitu…” Elia mendongakkan kepalanya dan menatap pemuda terindah yang telah menjadi bagian hidupnya. “Kalau begitu… biar aku menghapus lukamu. Biar aku juga merasakan sakitnya perasaanmu…”
Elia menatap dalam – dalam mata Alif. Mereka berdua membiarkan diri mereka terhipnotis akan satu sama lain. Mebiarkan debar berbicara dan nafas berkata. Seolah tahu apa yang ingin di lakukan oleh gadis yang kini tengah menangis sendu itu.
“bagilah sakitmu… kepadaku…” Gumam Elia. Alif menatap datar penuh kesenduan dalam kelopaknya. Untuk sesaat hanya sunyi yang menyelimuti mereka. Hingga perlahan wajah keduanya saling bertemu.
Dalam tangisan, Elia membiarkan Alif mengecup bibirnya. Hanya mengecup, tanpa melumat apalagi mengulumnya dengan mesra. Kecupan yang dingin dan terasa mati. Namun dari sentuhan itulah Alif merasa lebih tenang. Membuang segala kegundahan meski ia harus membiarkan hatinya kosong sama sekali. Setidaknya hatinya kosong dari rasa sakit!
Elia mendorong pelan tubuh Alif. Membuat kecupan dua belah bibir itu terpisah. Kembali Elia tak dapat menahan airmatanya. Entah apa yang ia rasakan kini. Namun Alif tampak tak enak hati melihat kedua mata wanita didepan matanya menangis.
“Maaf.” Gumam Alif.
“Untuk?” tanya Elia sambil mendongakkan wajahnya.
“Untuk semua yang telah kulakukan kepadamu selama ini.” Kata Alif menunduk. Elia menyentuh wajah Alif. Membuat manik hitam itu kembali menatap Elia.
“Aku juga minta maaf… untuk semua yang pernah ku katakana padamu.” Kata Elia. Alif tersenyum menenangkan. Sekarang ia tahu mengapa sejak kemarin ia merasa ingin bertemu dengan Elia. Ia menginginkan sebuah pelarian dan pelampiasan sakit hati. Hanya Elia yang bisa diajak untuk berbagi. Hanya Elia yang mampu menenangkannya dari sakitnya ditinggal mati.
Namun Alif tak tahu, jauh di dalam jasad Elia, Antoni tengah menangis menyadari ia akan segera kehilangan hati romeonya! Menyadari bahwa Alif akan segera belajar untuk melupakannya. Bahkan itu lebih buruk dibandingkan dengan kehilangan nyawa sendiri.
“A…Alif…” Gumam Elia. Alif mengangkat kedua alisnya.
“Apa?”
“Aku… lapar…” Kata Elia sambil menunduk. Alif tersenyum.
******************************************************************
Mereka berdua duduk di dalam sebuah café di tepian jalan Tanjung Priok. Tepat diseberang sana, adalah sebuah dermaga yang juga menjadi saksi percintaan mereka. Yang mungkin juga akan menjadi sebuah kenangan manis sekaligus hambar.
Diluar hujan sedang turun pelan. Meski tidak sederas sebelum – sebelumnya, namun hawanya tetaplah dingin bagi kulit Antoni yang terbuka dibagian bahunya. Untunglah Alif mau meminjamkan jaket kulitnya pada tubuh wanitanya.
Antoni menatap wajah Alif didepannya yang kini menyuap sepotong daging ke mulutnya. Entah mengapa, cahaya itu telah kembali. Cahaya yang membuat sang Apollo tampak rupawan. Ketampanan yang pernah membuat Antoni tergiur untuk sekedar mencicipi rasanya. Bulu mata yang lentik serta kulit putih bak pualam.
“Apa?” Alif menyadari dirinya tengah diperhatikan oleh gadis bermata sendu didepannya.
“Hah?! Tidak!” Antoni tergagap.
“kau memperhatikanku dari tadi.” Kata Alif memicingkan matanya. “Apa ada yang aneh di wajahku?” Tanyanya. Antoni tiba – tiba saja memerah. Namun untunglah Alif tidak menyadarinya.
“Kau… terlihat berbeda sekarang.” Kata Antoni.
“Apanya?” Tanya Antoni.
“Kau… terlihat lebih tampan. Eh! Maksudku… terlihat lebih baik dari sebelumnya.” Kata Antoni gugup. “Sebelumnya kau terlihat sangat menyedihkan, kurus dan… yaah… begitulah…” Kata Antoni memutar bola matanya. Alasan yang payah memang. Namun Alif terlihat tidak ambil pusing.
“Terimakasih. Aku hanya berusahan berhenti merokok.” Jawab Alif santai. Antoni tersentak.
“Kau berhenti merokok?” Tanya Antoni tak percaya. Alif mengangguk mengiyakan.
“Kenapa begitu?!” Antoni lantas tanpa sadar menanyakan hal itu.
“Apa kau tidak senang aku berhenti?” Tanya Alif.
“Tidak maksudku… nngg…” Antoni salah tingkah. Beberapa detik berikutnya, ia terlihat menggaruk – garuk kepala belakangnya yang tidak gatal. “Maksudku, kenapa tiba – tiba kau… begitu berubah?” Tanya Antoni.
“Entahlah. Kurasa sudah saatnya aku harus membuka lembaran baru.” Kata Alif santai. Sekali lagi ia menyuap daging ke dalam mulutnya.
Antoni menatap Alif dengan sebelah alis yang terangkat. Seolah masih menyimpan rasa penasaran disana. Namun ia tak bisa mengungkapkan rasa penasarannya. Ditambah lagi sepertinya Alif enggan bercerita lebih banyak.
Tiba Antoni tersadar akan obrolan mereka tadi siang. Mengenai apa yang ingin dibicarakan Alif.
“Mmmm… Alif.” Panggil Antoni. Nyaris tak terdengar.
“Apa?”
“Mengenai tadi siang, apa yang ingin kau bicarakan padaku?” Tanya Antoni mengingat ajakan Alif untuk bertemu karena ada hal penting ketika tadi ia bersama Pratama seusai ujian.
Alif terdiam. Kali ini ia terlihat berpikir.
Seolah baru tersadar apa yang ingin ia lakukan sebelumnya. Sebelum ia akhirnya ia duduk di kursi café ini.
“Alif…” Panggil Antoni tak sabaran menunggu.
“Mengenai… pembunuhan Antoni…” Gumam Alif. Antoni terhenyak dan mendapati tatapan mata yang sangat serius dari dua manik mata Alif. Seolah mengatakan aku ingin tahu lebih banyak tentang itu.
“Ada apa dengan Antoni?” Tanya Antoni.
“Ada hubungan apa kau dengan kematiannya?” Tanya nya.
“Maksudmu?” Antoni mencoba berkilah dengan sejuta pertanyaan yang memiliki topik lain. Alif menghela nafas. Ia tahu ia akan menceritakan lebih banyak alasan dibanding hanya sekedar memberikan pertanyaan – pertanyaan singkat.
“Aku sudah tahu sejak lama mengenai kasus kematian Antoni lewat Fabian. Aku tahu dia dibunuh dan pelakunya akan segera datang padaku karena aku incaran sesungguhnya. Namun saat itu aku tidak bisa berpikir jernih jadi aku mencoba untuk mengabaikannya.
Tapi sekarang, entah mengapa aku jadi penasaran dan ingin ikut mengungkapkan siapa pelaku yang nanti akan… mungkin… membunuhku! Ditambah lagi, seringkali kudapati pembicaraan – pembicaraan serius antara kau dan Kartika yang selalu menyebut – nyebut kasus pembunuhan Antoni.” Terang Alif. Entah mengapa, jantung Antoni kali ini berdegup dua kali lipat dari biasanya.
“Lalu?” Antoni masih mengulur – ulur tuntutan Alif.
“Apa hubunganmu dengan Kartika, Fabian dan tentu saja… Antoni.” Tanya Alif yang di telingan Antoni terdengar sangat dingin dan menusuk.
Apa yang harus kukatan? Begitulah batin Antoni. Tampak sekali ia menunduk dalam. Bingung untuk menjawab.
“Kenapa aku harus memberitahumu?” Tanya Antoni mencoba memberanikan diri menatap mata Alif. Menantang. Tapi tidak bermaksud mencari lawan.
Alif mengernyitkan dahi. Ia cukup terkejut dengan respon dingin yang dilempar Antoni. Seolah - olah ia seperti wanita menstruasi yang kalau di tanya malah ngomel!
“Kenapa kau tidak ingin memberitahuku?” Kali ini Alif membalasnya tak kalah tajam.
“Karena itu bukan urusanmu!” Jawab Antoni lebih tegas. Mencoba untuk mencari celah dan mengganti topik makan malam saat itu. Alif terdiam. Mendapat kesadaran bahwa gadis di depannya memang tidak ingin membuka topengnya.
“Kenapa saat itu kau mengaku dirimu adalah Antoni?” Tanya Alif dingin. Antoni merutuk. Kenapa pertanyaan – pertanyaan seperti itu yang ditujunya? Batin Antoni.
“Topik yang sensitif.” Gumam Antoni. “Kau yakin ingin membahasnya lagi?” Tanya Antoni dengan alis yang terangkat. Seolah berharap Alif akan menjawab ‘tidak!’. Minimal ia akan terdiam seribu bahasa.
“Ya.” Kata Alif. Tegas dan dingin. Antoni merutuk dalam hati. Entah mengapa ia jadi kesal dengan tingkah kekasihnya itu. Apa yang ingin dilakukannya? Menyudutkannya? Mengorek sebuah informasi?
“Well, anggap saja aku terobsesi dengan sosok Antoni.” Kata Antoni singkat sambil meletakkan perkakas perak di atas piring dan memutar bola matanya. Seolah mengatakan aku sudah nggak mood lagi makan malam karena topik pembicaraan ini!
“Terobsesi?!” Tanya Alif seolah menganggap wanita itu tengah meracau. “kau bahkan datang setelah Antoni tewas”
“Aku sudah muak.” Kata Antoni sambil melempar serbet dari pangkuannya. Bagaimanapun ia harus berusaha sekuat mungkin untuk menghindari topik sensitif tersebut. Dan cara inilah satu – satunya yang bisa ia lakukan.
Antoni bangkit berdiri hendak pergi. Tapi seketika itu juga Alif menahan pergelangan tangannya.
“Mau kemana?” Tanya Alif.
“Pulang! Aku sudah tak mood lagi melakukan makan malam denganmu!” Kata Antoni mencoba melepas cengkeraman Alif.
“Tunggu. Kita selesaikan dulu makan kita.” Alif mencoba menahannya.
“Tidak! Sudah kubilang aku sudah tidak mood lagi makan denganmu, Tuan!” Antoni terdengar menyindir.
“Oke – oke. Maafkan aku jika ucapanku membuatmu tak berselera.”
“tak perlu. Aku sudah akan pergi, kok!” Antoni keukeuh.
“baiklah jika kau ingin pulang. Tapi biarkan aku mengantarmu.” Alif akhirnya mencari jalan tengah
“Tak perlu merepotkan dirimu!”
“Tidak! Aku akan bertanggung jawab karena telah membawamu pergi, maka aku juga harus mengantarmu pulang.” Kata Alif sedikit memohon. Antoni menatapnya dengan mengernyitkan dahinya. “Kumohon. Apa jadinya aku di mata kakak – kakakmu jika aku membawamu pulang sendirian?!”
Tampak sekali Antoni mulai luluh dengan bujukan Apollo nya. Bagaimanapun ia tak bisa membiarkan Alif memohon lebih jauh apalagi mengiba. Bagaimanapun, Antoni masih punya hati apalagi dengan orang seperti Alif.
Antoni mengangguk pelan. Alif menghela nafas lega. Dengan perlahan, ia melepaskan pergelangan Antoni dari cengkeramannya.
“Tunggulah dulu. Aku harus pergi ke kamar kecil.” Kata Alif. Antoni mengangguk dan hanya patuh dalam diam. Detik berikutnya ia kembali duduk, membiarkan Alif menuntaskan urusannya.
Sesaat setelah Alif pergi ke toilet, Antoni melayangkan pandangannya ke seisi café. Hujan masih saja begitu derasnya diluar meski sekarang menyisakan rintik – rintik. Mungkin itulah yang membuat café ini tampak sepi. Hanya ada segelintir orang dan itupun hanya satu sampai tiga orang yang menduduk kursi. Hanya ada dua pasangan muda - mudi jauh disana dan seorang pria yang mengenakan raincoat yang tidak bisa dilihat wajahnya oleh Antoni karena ia membelakangi Antoni. Hujan memang membuat orang malas ke luar rumah.
Namun Antoni memikirkan sesuatu yang berbeda. Kata – kata dan pertanyaan Alif sebelumnya telah membuat otaknya berpikir keras. Bagaimanapun, sebisa mungkin ia harus bisa berperan sebagai Elia tanpa meminta untuk mengaku menjadi Antoni. Setidaknya saat ini bukanlah saat yang tepat untuk mengakhiri semuanya. Ia harus memikirkan sebuah rencana.
Karena terlalu serius memikirkan langkah selanjutnya, ia tak sadar bahwa ada orang lain yang berjalan melewatinya menuju toilet di ujung sana.
*****************************************************************
Alif membasuh wajahnya dengan air dari westafel. Entah mengapa kini hatinya dihinggapi rasa bersalah akibat segala tuduhan dan tuntutan yang ia tujukan untuk Elia.
Bagaimanapun, seharusnya malam ini adalah malam untuk memperbaiki hubungannya dengan Elia, bukan malah memperburuknya. Tapi entah mengapa, kata – kata itu mengalir begitu saja. Keluar tanpa bisa ditahan!
Alif menghela nafas. Menatap wajahnya pada cermin westafel. Entah apa yang tengah dipikirkan oleh pemuda berwajah sejuk itu. Namun bagaimanapun, ia selalu berpikir bahwa semuanya belum berakhir! Tapi apa?! Kematian Antoni kah? Kasus pembunuhannya kah?!
Kenapa semuanya tidak datang dengan mudah seperti halnya jelangkung yang datang tanpa diundang?!
Sekali lagi Alif membasuh wajahnya namun kali ini lebih kasar hingga menimbulkan cipratan di bajunya. Membuat kemejanya basah dibagian atas seperti orang yang habis kehujanan. Namun Alif tak peduli, toh tak ada yang melihat penampilannya sekarang ini. Bahkan orang – orang di café pun tampak sepi malam ini.
Sekali lagi Alif menghela nafas keras – keras. Ia mematikan kerannya dan pergi. Bagaimanapun, tidak akan mudah jika hanya memikirkan masalah ini. Dia harus segera menyelesaikan apapun yang belum selesai meskipun ia tak tahu apa yang harus diselesaikannya!
Alif membuka pintu toilet. Dan saat itu ada seseorang yang telah berdiri disana. Teresenyum menyeringai menatapnya dengan sebelah matanya!
Orang itu buta sebelah?!
Dan… orang itu…?!
“Abim?!”
Seketika darah alif berdesir. Kalut.
****************************************************************
“Hey. Kangen sama gua?” sapanya. Terdengar sepercik kebencian disana. Ia maju selangkah mendekati Alif dan perlahan menutup pintu di belakangnya. Alif mundur sejauh yang ia bisa. Entah mengapa ia begitu kalut melihat mantan rivalnya sekaligus musuhnya itu.
“Apa… apa yang kau mau?” Tanya Alif. Pertanyaan yang terdengar bodoh.
“Urusan kita belum selesai. Ingat?” Kata Abim menunjukkan seringainya yang penuh amarah. Wajah abim kini sangat menyeramkan. Bekas luka sayat nyaris merobek seluruh wajahnya. Namun yang paling mencolok tentu mata kirinya yang kini tak memiliki manik hitam! Apakah itu bekas luka yang diciptakannya?
“Kenapa? terkesima dengan mahakarya lo sendiri?” Sindir Abim menunjuk kepada mata kirinya. Alif menelan ludah.
“Apa kau kesini, untuk menghajarku?” Alif berkata dengan nada takut. Namun ia mencoba terlihat tegar.
“Lebih tepatnya…” Abim memasukkan tangan kanannya kedalam raincoat dan ia mengambil sebuah benda tajam berkilat. “Ngebunuh lo! Malam ini juga.” Mata pisau itu berkilat. Memantulkan wajah Alif yang tengah cemas.
“Dengar Abim. Jika ini tentang kejadian malam itu. Aku minta maaf.” Kata Alif mencoba menenangkan Abim meski ia tahu tidak akan mungkin.
“Ini bukan hanya tentang malam itu.” Gumam Abim dengan suaranya yang sudah diliputi nafsu membunuh. Abim kini terlihat seperti iblis. Berbeda sekali dengan Abim yang sering dilihat Alif di sekolahan. “Ini lebih dari itu!”
BUG!
Sontak Alif menendang pergelangan tangan Abim begitu ada kesempatan. Pisau nya terpental jauh dan menghilang dibalik bilik. Saat Abim kesakitan, Alif segera berlari menuju pintu untuk keluar atau setidaknya mencari pertolongan.
Sayang. Pintunya terkunci!
Abim tertawa puas sambil menunjukkan kunci kamar mandi yang ia pegang.
“Lo pikir gua nggak akan ngerencanain ini matang – matang?!” Cemooh Abim dan melempar kunci itu ke bawah westafel sehingga akan sulit bagi Alif untuk meraihnya karena berada di belakang Abim.
Jika ia berteriak, tidak akan ada yang mendengar karena sepinya pengunjung. Apalagi letak toilet yang berada di ujung gedung dan harus melewati lorong panjang terlebih dahulu.
Missed call? Ponsel nya tertinggal di meja café!
Otomatis, dia harus bertahan hidup disini dan melawan Abim habis – habisan. Setidaknya sampai ada bantuan datang.
Pertarungan dimulai!
*****************************************************************
Antoni menghela nafas. Sudah nyaris tiga puluh menit ia menunggu Alif kembali dari toilet. Kenapa pria itu belum juga kembali? Apa ia pergi tanpa sepengetahuannya? Tapi ponsel dan dompetnya masih tertinggal di atas meja!
Jujur saja, sejak dulu Antoni bukanlah orang penyabar. Namun untuk Alif, entah mengapa ia selalu rela menunggu meski untuk waktu yang lama. Dan menurutnya, tiga puluh menit adalah waktu yang sudah cukup lama untuk orang yang hanya pergi ke kamar mandi! Sebenarnya apa yang tengah di lakukan pria itu? Onani? Masa iya? Jangan buat pikiran seperti itu!
Antoni merutuk. Ia sudah cukup kesal menunggu Alif. Akhirnya ia putuskan untuk ke toilet. Tapi… saat ini di adalah wanita?! Mana mungkin ia masuk ke dalam toilet laki – laki!
“Ah… masa bodoh, lah!” Antoni bergumam pada diri sendiri. Ia akhirnya memutuskan untuk menyusul Alif.
*****************************************************************
BUG!
Abim meninju wajah Alif hingga hidungnya berdarah. Alif hilang keseimbangan hingga ia oleng ke belakang namun masih sempat membuat dirinya tidak terjatuh. Akan sangat fatal jika itu terjadi!
Abim melayangkan tinjunya untuk yang kedua kalinya namun kali ini berhasil ditangkis. Alif menendang perut Abim dan kini keadaan berbalik. Alif terpental hingga punggungnya menabrak dinding dan kesempatan itu di pakai oleh Alif untuk memberikan serangan bertubi – tubi.
Abim kembali memulai pertahanan yang menguras tenaga Alif sehingga dengan mudahnya tinju Abim melayang kembali ke wajah Alif yang mengakibatkan sudut bibirnya berdarah!
Saat Abim hendak memberikan tinjunya lagi, Alif mengelak dengan menundukkan kepalanya hingga kesempatan untuk meninju perutnya terbuka! Ia meninju keras perut Abim namun tubuh besar Abim berhasil bertahan hingga ia memakai kesempatan untuk menyikut punggung Alif.
BUG!
Sikutan keras itu membuat Alif tersungkur! Kesempatan itu digunakan Abim untuk melumpuhkannya. Sekonyong – konyong ia meraih sebuah cermin dan…
PRAAANNNG!!!
Cermin itu ia hempaskan kepada Alif sehingga membuat Alif tak sadarkan diri!
Alif tersungkur pingsan…
Dan itu membuat Abim memilik kesempatan untuk mengambil pisaunya yang sebelumnya sempat terpental dari genggamannya. Cukup mudah karena kilau mata pisaunya membuat Abim tahu dimana posisi pisaunya.
Sesaat setelah ia mengambil pisau itu, ia mendekati tubuh Alif yang tergeletak dengan kepala bersimbah darah. Ia memandang tubuh indah yang sesaat lagi akan ia habisi nyawanya.
“Mampus lo! kali ini lo akan bersatu sama pacar homo lo itu.” Kata Abim sinis sambil menendang lengan Alif. Tangannya menggenggam pisau yang sudah terhunus.
Abim mengangkat tinggi – tinggi pisaunya untuk siap ia lesatkan ke tubuh Alif. Ketika sedetik lagi nyawa Alif melayang…
BRAAAKKKKK!!!!
“Alif!!!”
PLETAK!!!!
Sebuah high melayang mengenai kepala Abim. Strike! Kali ini Elia harus berterimakasih pada Janetta yang telah merekomendasikan sepatu high heels malam itu. Mungkin itulah sebabnya kenapa wanita sangat menyukai high heels. Bisa dijadikan senjata!
Elia! Gadis itu! Mendobrak pintu untuk menyelamatkan Alif!
“Itu dia pelakunya, tangkap dia!” Teriak Elia. Ternyata gadis itu tak sendirian. Ia membawa dua petugas keamanan dan dua pelayan cafe. Sesaat sebelum berhasil mendobrak, ia mendengar suara keributan dari dalam toilet. Perasaannya tidak enak karena ada sesuatu yang janggal dari dalam.
Karena itu ia lebih dulu meminta bantuan dari petugas cafe dan satpam karena pintunya terkunci dari dalam.
Abim langsung melesat sekencang mungkin keluar café dan dikejar oleh petugas keamanan. Pemuda bermata juling itu kini tengah dalam pelarian ketika ia sudah nyaris menghabisi nyawa Alif.
“Astaga Alif!!" Pekik Elia menghampiri jasad Alif yang bersimbah darah.
*****************************************************************
Antoni langsung berlari menghampiri tubuh Alif yang terbujur. Ia memeriksa keadaan Alif. Masih bernafas!
“Masih hidup!” Pekik Antoni.
“Segera cari sesuatu yang bisa digunakan untuk menyumbat lukanya!” teriak salah satu pelayan café yang ada disitu.
“Pakai ini…” Kata Antoni sambil merobek lengan baju Alif. Ia kemudian membebat kepala Alif yang terluka.
“Cari bantuan! Ada orang yang terluka disini!” Teriak pelayan yang tampak paling tua kepada temannya. Tanpa disuruh lagi, temannya langsung berlari menuju pesawat telepon. Sementara pelayan lainnya membantu Antoni membebat kepala Alif dan membopongnya keluar dari toilet.
Sesaat setelah Alif dibaringkan di ruang ganti pegawai, pelayan yang tadi membopongnya segera keluar dan mengambil peralatan P3K yang mungkin akan berguna.
“Alif… bangun…” Panggil Antoni dengan nada cemas. Ia memukul – mukul kecil pipi Alif untuk menyadarkannya. Dan benar saja, sedetik kemudian Alif sadar meski masih sangat lemah. Ia mendapati dirinya berada di pangkuan Antoni.
“Alif… kau tidak apa – apa?” Tanya Antoni. Nyaris terdengar bergetar dari suaranya.
“Elia…” Gumam Alif lemah. “Abim…”
“Dia sudah kabur!” Potong Antoni. “Terlambat sedikit saja nyawamu pasti sudah melayang.”
“Kenapa dia… ingin membunuhku?” Alif masih bersuara. Ingin tahu.
“Dialah pembunuhnya, Alif.” Tegas Antoni. “Dialah yang membunuh Antoni! Sekarang kau sudah tahu kan siapa yang mengincar nyawamu?!”
Alif tak menjawab. Antoni tahu Alif sangat syok dengan apa yang dikatakan olehnya barusan. Namun itulah kenyataannya.
Tangan Antoni langsung beralih meraih ponselnya dan mencari nama Kartika disana.
******************************************************************
Malam larut di biara St.Louis.
Kartika berdiri bertopang dagu di depan sebuah tangga tegel. Ia tampak berpikir serius ketika Antoni menceritakan apa saja yang telah menimpa mereka beberapa saat yang lalu. Alif telah dilarikan ke UGD untuk pertolongan lebih lanjut. Namun kata dokter ia sudah bisa pulang besok. Fabian ke rumah sakit untuk ikut mengawasi Alif, khawatir jika Abim akan muncul disana dan mengulangi perbuatannya.
Bagaimanapun, Abim lagi – lagi berhasil lolos! Kedua petugas keamanan itu tak berhasil mengejarnya dan sekarang kehilangan jejaknya.
“Bagaimana ini, Kartika? Ini sudah terlalu gawat untuk sebuah ancaman. Bahkan nyaris saja pisau itu terhunus ke tubuh Alif.” Kata Elia. Ternyata Kartika tidak sendirian. Disana ada Antoni, yang menyaksikan segalanya.
“Aku tahu ini sudah terlalu gawat.” Gumam Kartika. “Tak kusangka dia akan melakukan tindakan seperti itu di tempat umum."
“Kurasa, dia telah mengikuti kami semenjak kami keluar dari biara. Dan menunggu hingga Alif benar – benar sendirian dan aku lengah.” Antoni melakukan analisa.
“Itu berarti, selama ini dia ada disekitar kita. Atau lebih tepatnya, di sekitar Alif.” Kartika memberikan opini.
Antoni terdiam. Ia juga tak tahu bagaimana mengalahkan pembunuhnya sendiri yang kini tengah mengincar nyawa pacarnya. Yang jelas, Abim saat itu terlihat sangat psikopat. Mengandalkan cara apapun untuk membunuh.
Tiba - tiba sebuah ide muncul.
“Kenapa tidak kita pancing saja dia ke permukaan?” Antoni memberikan ide. Kartika mengernyitkan dahi.
“Apa maksudmu?”
“akhir pekan ini akan ada pesta prome nite di sekolahku. Kurasa Abim masih akan terus mengincar Alif bagaimanapun caranya. Tak peduli di tempat sepi atau ditengah keramaian sekalipun. Dan…”
“Kita munculkan Alif saat itu juga.” Kartika langsung tahu apa yang ingin dikatakan Antoni. Antoni mengangguk.
“Benar. Untuk sementara, kita jadikan Alif sebagai umpan untuk memancing psikopat itu keluar!” Sambung Antoni.
“Tapi…”
“Tapi apa?” Kartika mengangkat alisnya. Antoni menatap cemas kepada Kartika.
“Apa tidak apa – apa menjadikan Alif sebagai umpan hidup?” Tanya Antoni khawatir.
“Jangan khawatir. Dari kejauhan, kami para polisi akan selalu mengawasi kalian berdua. Kami akan mencoba berbaur dengan para undangan prome nite. Intinya jangan terlalu jauh dari pengawasan kami.” Kartika memberikan pemikiran final nya yang bisa dibilang sangat cepat dalam memutuskan. Cepat dan cerdas. Dan mampu membuat Antoni bernafas lega meski belum sepenuhnya.
“Mulai malam ini sampai malam prome nite, biarkan Alif untuk tinggal sementara di biara ini. Karena akan bahaya jika dia kembali ke rumahnya dan lepas dari pengawasanku dan Fabian.” Kartika menyampaikan rencananya.
“Bagaimana dengan orang tua nya?” Tanya Antoni.
“Sudah kukatakan yang sejujurnya pada mereka. Dari awal kejadian kematianmu, sampai saat ini! Mungkin sekarang mereka sedang berada di rumah sakit menjenguk Alif. Namun, mereka dapat mengerti saat kukatakan bahwa Alif akan tinggal sementara waktu di Biara ini. Mereka setuju meski mereka ingin ikut ambil andil dalam kasus ini.
Tapi… menjaga seorang Alif saja sudah sangat merepotkan dan nyaris kecolongan! Jadi, aku tidak akan mengikut sertakan kedua orang tuanya.” Jelas Kartika panjang lebar. Antoni hanya mengangguk paham.
“Baik… aku mengerti.”
“Antoni…” panggil Kartika. Ia tampak meragu.
“Apa?”
“Apa kau yakin Abim akan datang pada malam itu?” Tanyanya. Antoni terdiam sejenak.
“Aku punya feeling. Ya, dia akan datang malam itu untuk menuntaskan semuanya!”
*****************************************************************
sip.... masih mateng.... maaf update dulu baru mention. jadi nengoknya ke atas yo.... :P
Five Psychopaths bukan cerita Gay. jadi kayaknya gak bakal ditaro di Boyzforum.
Amatiran?! JLEB!!! -_-