It looks like you're new here. If you want to get involved, click one of these buttons!
Copyright 2021 Queer Indonesia Archive. See our Privacy Policy. Contact us at admin@boyzforum.com
Dengan menggunakan situs ini berarti Anda setuju dengan Aturan Pakai.
BoyzForum.com adalah situs anti pedofilia!
Comments
Jgn apdet lama2 ya mas TS
“Woi serius amat ngeliatinnya?”
“Haha, nggak Sam gw penasaran aja sama temennya Argo.”
“Yah kalo penasaran kenapa nggak ikut aja sekalian tadi bareng kesana.”
“Nggak ah males Sam, tapi temen si Argo cantik juga ya. Liat tuh Sam.” Aku menunjuk ke arah dua wanita yang saat ini sedang berjabat tangan dengan Ben dan Fadli.
“Oh iya sih cantik kok.”
“Kok gitu doank sih responnya, emang lo nggak tertarik?”
“Hmm nggak.”
“Oh bukan tipe lo juga ya. Trus emang tipe lo yang kaya gimana sih Sam?”
“Kamu emang mau tau beneran?”
“Iya lah, penasaran kali Sam gw.”
“Kaya …”
“Kaya siapa Sam?” Aku mulai penasaran dengan apa yang akan keluar dari mulut Sam.
“Yang jelas bukan cewe.” kata Sam sedikit berbisik.
Sejenak aku terdiam ketika Sam membisikkan kalimat terakhirnya di telingaku. Aku berada diantara kaget dan juga bingung apa aku nggak salah dengar dengan apa yang barusan dikatakan Sam.
“Lo … barusan ngomong apa .. Sam?”
“Kamu kaget ya? Yah yang kamu denger bener kok.”
Sekarang aku benar-benar terkejut dengan pengakuan Sam barusan. Baru seminggu kita berkenalanan aku sudah disuguhi dengan fakta yang luar biasa mengejutkan dari teman satu band ku. Pengakuan bahwa ia adalah homoseksual dan itu adalah Sam. Teman yang terlihat begitu ramah dan menurutku sempurna sebagai seorang pria. Bukan karena aku anti dengan kaum homoseksual tapi pengakuan Sam benar-benar membuatku bingung bagaimana meresponnya.
“Kok kamu diem Ko, aneh ya ngeliat aku?”
“Bukan gitu Sam…., cuma gw kaget aja.”
“Heh.. wajar kok, tapi sebenernya respon kamu bisa ketebak.”
“Sejak .. kapan Sam?” aku sedikit mengecilkan suaraku takut ada yang mendengar percakapan kami.
“Mungkin sejak SMA Ko.”
“Oh… anak-anak ada yang tahu soal ini Sam?”
“Nggak Ko, aku cuma bisa bilang ini ke kamu.”
“Hah, kenapa gitu Sam?”
“Aku juga nggak tahu pastinya, cuma menurutku kamu orang yang bisa dipercaya.” Sam menjawab setiap pertanyaanku dengan mata yang fokus menatapku. Air wajahnya benar-benar nampak biasa saja seolah-olah tidak ada yang aneh dengan pembicaraan kita.
“Hah kenapa bisa gitu? Kita kan baru kenal satu mingguan?”
“Kan kemarin waktu game ‘truth or dare’ aku nanya ke kamu soal masalah kamu sama Ben buat tahu gimana tanggapan kamu. Ternyata kamu tetep ngejaga privasi kalian. Jadi aku pikir kamu orang yang bisa aku percaya soal ini.”
“Terus kenapa lo mesti bilang ke gw?”
“Kalo bagian itu aku nggak tahu Ko. Cuma entah kenapa aku merasa bisa terbuka sama kamu. Soalnya kamu teman yang asik dan yang pasti kan kita temen satu band. Ke depannya pastinya bakal sering bareng dan kayanya aku merasa lebih nyaman kalo bisa ngebagi rahasiaku ke orang lain dan itu kamu Ko.”
“Jujur ya Sam, gw kaget karena merasa lo itu tipe cowo sempurna yang pasti diidolain sama cewe-cewe.”
“Hahaha masa si Riko.” Sam tertawa sambil mengacak-acak rambutku seperti anak kecil.
“Terus mau sampai kapan Sam lo mau nyembunyiin ini dari temen-temen yang lain.”
“Nggak tau Ko, sampai aku merasa kita semua siap mungkin. Atau..”
Belum selesai Sam menjawab pertanyaannya, tiba-tiba Argo datang mendekati kami. Kemudian dia menarik tanganku dan juga Sam.
“Buruan ikut deh, pada pengen kenalan tuh.”
“Siapa sih Go, lagian kan tadi katanya mau kenalan ama Ben.”
“Udah ikut ajalah, pokoknya dijamin nggak menyesal deh kenalan ama mereka.”
“Iya tapi nih gw abisin minum dulu Go.”
“Udah bawa aja lah.”
Wajar jika teman-teman wanita Argo ingin berkenalan dengan kami. Bukan bermaksud sombong tapi memang setiap wanita pastinya akan tertarik dengan wajah kami berlima. Paling tidak tertarik pada salah satu diantara kami mengingat tipe wajah kami yang memang berbeda-beda seperti tipe suara kami.
Semakin malam night club ini semakin ramai nampaknya. Terbukti aku dan Sam harus berdesak-desakkan dengan banyak orang yang sedang asik berjoged. Tidak seperti ketika kami datang di awal tadi. Tangan Argo masih memegang tangan kami berdua seolah tak sabar membawa kami untuk diperkenalkan pada temannya. Karena begitu riuhnya dan tangan Argo terus menarik tanganku, tanpa sengaja kakiku tersandung. Aku kehilangan keseimbangan. Tangan kananku yang tadi membawa gelas berisi minuman terlempar. Dan sialnya minuman itu mengenai salah seorang tamu yang sedang berjoged.
“Maaf mas maaf.” Refleks aku yang masih tersungkur di bawah dan sedang mencoba berdiri langsung meminta maaf pada tamu yang tersiram minumanku.
“Kamu nggak apa Ko?”
“Nggak Sam.”
“Eh mata lo diataro dimana sih bego.” Tiba-tiba orang yang tersiram minumanku tersebut marah dan membentakku. Beberapa tamu lain di sekitar tempat itu melihat kearah kami.
“Maaf bang, temen saya nggak sengaja tadi soalnya buru-buru.” Ardo yang tadi berada di depan kami sepertinya tersadar bahwa aku terjatuh dan kembali. Dia mencoba membelaku.
“Maaf maaf bacot lo bangsat! Lo nggak liat baju gw basah gini.”
“Maaf mas tadi soalnya saya kepeleset rame banget mas soalnya.”
“Lo jangan macem-macem ya sama gw.” Orang itu mulai mendekat dan mendorongku. Dari matanya bisa aku lihat sepertinya dia mabuk.
“Mas biasa aja dong.” Argo menepis tangan orang itu. Sepertinya Argo mulai terpancing emosi.
“Udah Go, dia mabuk dia.” Aku menarik tangan Argo dan berbisik.
“Eh apa lo ngomong apa lo, mau macem-macem lo ama gw.” Orang itu kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Ternyata orang itu mengeluarkan sebilah pisau lipat dari kantongnya. Kami dan juga orang-orang di sekitar tempat itu terkejut karena ulah orang itu. Salah seorang temannya terlihat mencoba menenangkannya. Tapi dia malah mendorongnya dan mengacung-acungkan pisaunya kearah kami.
“Eh mas, tolong jangan main pisau ya. Kan bisa ngomong baik-baik.” Sam maju ke depan ku dan Ardo. Mencoba menenangkan suasana karena dia tahu situasi saat ini mulai memanas diantara kami dan orang itu.
“Banyak bacot lo, takut kan lo.” Beberapa orang di sekitar kami mulai bergerak menjauh. Beberapa diantaranya malah sempat berteriak. Sementara orang itu terus mengacungkan pisaunya kearah kami.
“Takut lo Anjing, lo tak….” Sebelum orang itu selesai berbicara tiba-tiba saja “buukk”. Satu pukulan keras mendarat di pipi kiri orang tersebut. Cukup keras sampai orang itu jatuh tersungkur ke lantai. Beberapa tamu mulai berteriak dan situasi semakin kacau.
ih si ts krg kerjaan bgt motong ceritanya nanggung -3-
sam bener" berani.. ngaku gitu langsung.. salut..
btw kk..
cerita hati untuk sahabat ada lanjutannya pas daniel balik lg ke indo gak?
Yang jelas let's enjoy the story ya hehehe
@yuzz sabar ya bang pasti segera dilanjut kok
@DItyadrew2 selamat datang dan selamat menikmati #kayamakanan :P
Sepanjang perjalanan aku melihat Ben yang masih seperti dibakar amarah. Tangannya masih mengepal penuh dendam. Walaupun Ben tentu saja bermaksud membelaku, tapi entah kenapa aku merasa reaksi Ben barusan sangat berlebihan. Seolah seperti dia memendam dendam yang sudah lama dengan orang itu.
“Ben udah Ben.” Aku merangkul bahu Ben sambil menepuknya untuk menenangkan Ben. Ben yang tadi menunduk melihatku dengan pandangan mata yang sangat tajam. Sama seperti ketika pertama kali kita bertemu kemarin. Aku sempat dibuat khawatir dengan pandangan mata Ben. Sampai akhirnya dia melepaskan tangannya yang tadi mengepal.
Di pos security sebagai prosedur standar kami diinterogasi. Begitu tahu identitas kami, security langsung menyuruh kami menghubungi pihak managemen. Ah sepertinya masalah akan panjang kalau sampai pihak managemen tahu. Kami menjelaskan semua detail permasalahannya demikian juga dengan pihak lawan. Sesekali terjadi perdebatan diantara kami karena merasa sama-sama tidak mau disalahkan. Dari semua keterangan akhirnya jelas bahwa kesalahan ada pada orang itu, karena dia membawa senjata tajam ke dalam night club tersebut yang tentu saja dilarang.
Tidak lama berselang pihak manajemen pun datang. Mereka sempat berbicara sebentar dengan pihak security dan manager tempat ini. Aku rasa mereka sedang berusaha bernegosiasi agar masalah ini tidak sampai keluar ke publik. Tentu saja mereka tidak mau citra kami buruk bahkan sebelum kami mulai diperkenalkan ke publik. Setelah itu kami berlima keluar dari tempat itu bersama pihak manajemen.
“Kalian bawa mobil sendiri kan?” kata Pak Feri dengan nada yang sangat datar
“Iya pak kita bawa mobil sendiri kok.”
“Ya udah kalian masuk mobil sekarang kita ketemu di vila ya. Ada yang harus kita omongin.”
Tanpa berani menjawab lebih lanjut kita semua masuk ke dalam mobil. Sam menyopir mobilnya. Argo duduk di depan, sedangkan Ben aku dan Fadli di belakang. Lima menit awal perjalanan kami hanya diliputi dengan kesunyian. Belum ada yang berani membuka topik setelah kejadian yang benar-benar di luar dugaan kami barusan.
“Sori ya Ko, gara-gara gw ngajakin kaian ke night club ultah lo jadi aneh gini.”
“Ah nggak papa Go, lagian kan kita juga nggak tahu bakal jadi kaya gini.”
Sejenak suasana kembali sepi.
“Sori tadi gw kebawa emosi.”
“Nggak apa kali Ben, wajar kok. Kalo bukan kamu juga pasti aku yang nonjok dia.” Sam mencoba menenangkan Ben yang sepertinya merasa sangat bersalah atas kejadian tadi.
“Iya Ben lagian kan lo kaya gitu juga buat belain kita. Harusnya kita lah yang malah makasi banget.” Aku berusaha meyakinkan Ben.
“Yoi Ben, gila tonjokan lo keren banget. Sekali langsung KO dia.” Aku mendaratkan siku ku ke lengan Fadli untuk memberi sinyal untuk menghentikan omongannya.
“Aduh … kok gw di sikut sih Ko.” Dasar Fadli entah terlalu polos atau bodoh atau pura-pura bodoh. Sejenak kami terdiam dan saling berpandangan hingga akhirnya tawa pecah diantara kami karena kekonyolan Fadli barusan. Aku juga sempat melihat Ben mulai bisa tersenyum.
“ Ya udah lah, kan udah telanjur terjadi. Yang penting kan kita semua nggak kenapa-napa.”
“Iya Sam bener. Lagian gw juga nggak nyesel kok hangout malem ini. Biarpun endingnya nggak enak tapi tetep seru dan pastinya memorable banget.” Terutama buatku. Tentu saja untuk pertama kalinya dalam hidupku di hari ulang tahunku, aku mendengar pengakuan mengejutkan dari temanku bahwa dia gay. Kemudian dilanjutkan dengan kekacauan yang belum pernah terjadi sebelumnya padaku yang bisa dibilang selalu hidup dalam kedamaian.
“Eh tapi nih ya, kayanya kita bakal kena marah nih sama managemen.”
“Iya lah pasti. Tapi ya udah kita adepin aja bareng-bareng. Kan kita berlima ya kan?”
“Hahaha, gw suka gaya lo Ko. Lo paling depan ya ntar.”
“Enak aja, jangan gitu juga. Hahaha.”
“Iya lah, lagian memang kita yang salah. Jadi apapun sanksinya yah udah jadi konsekuensi buat kita kan.”
Aku senang suasana di antara kami kembali seperti normal. Walaupun kami masih belum sepenuhnya lepas dari masalah yang terjadi pada kami malam ini. Bahkan bisa dibilang tahapan paling sulit sedang menanti kami yaitu bagaimana menghadapi pihak managemen yang tentu saja pasti akan marah besar.
Akhirnya saat yang mendebarkan pun tiba. Kami sampai di vila kami. Nampaknya malam ini vila ini akan jadi vila berdarah seperti apa yang dikatakan Fadli. Sesekali kami masih tertawa kecil karena teringat kekonyolan kami yang telah berbuat salah tapi malah tetap bercanda ria di perjalanan tadi. Walaupun demikian kami berusaha menahan tawa kami agar tidak terlihat oleh pihak manajemen. Perlahan kami berlima masuk ke dalam vila. Di sana ternyata sudah menunggu, 3 orang dari pihak manajemen termasuk kak Anita dan juga pak Feri. Dan juga yang paling mengejutkan Bapak produser kami juga ada di sana. Melihat beliau perasaanku jadi semakin tidak enak, apa benar masalah ini sampai seserius itu. Sampai-sampai seorang produser harus datang langsung malam-malam begini.
“Silakan duduk” kata Pak Feri dingin. Raut mukanya sangat serius. Kami hanya bisa menunduk dan mengikuti apa yang dia katakan.
“Kalian tahu kenapa kalian disini?” Pertanyaan retorika yang sepertinya semua diantara kami disini tau jawabannya. Tapi entah kenapa tak satupun diantara kami berani menjawab.
“Diem kalian ya. OK sekarang saya disini mau ngomong secara professional sama kalian.” Kali ini nada pak Feri mulai meninggi.
“Kalian sadar kan kalian ini siapa sekarang. Calon bintang besar. Kita dari pihak manajemen semuanya sadar itu. Makanya kami kerja keras ngebawa kalian ke Puncak untuk bisa benar-benar menghasilkan bintang besar.”… “Kalian tahu nggak apa yang buat orang bisa jadi besar di dunia entertainment. Image! Ngerti nggak kalian apa maksudnya?.... Maksudnya itu kelakuan kalian di depan publik. C’mon kalian ini bukan anak kecil lagi. Kalo mau main jago-jagoan jangan disini tempatnya. Saya ngomong gini tuh supaya kalian sadar betapa salahnya kalian dengan apa yang barusan kalian lakukan. Kalo belom jadi bintang aja kalian udah belagu kaya gini. Jangan harap kalian bisa maju. Ngerti nggak kalian!”
“Tapi pak sebenernya masalah ini, bukan sepenuhnya kesalahan kami. Kami cuma berusaha membela diri karena..”
“Saya tahu. Kamu nggak usah jelasin juga saya udah tahu semuanya dari security. Tapi kalian pikir masyarakat mau tahu apa? … Nggak akan pernah.” Pembelaan Sam akhirnya dipotong oleh pak Feri. Sebenarnya aku juga sadar apa yang dikatakan Pak Feri semuanya benar. Memang di posisi kami sekarang ini kami bisa dipastikan bersalah di depan pihak manajemen.
Sementara pak Feri terus memberikan wejangannya, kami hanya bisa tertunduk diam. Tawa yang tadi sempat menghiasi wajah kami sekarang benar-benar lenyap. Beberapa kali aku mencoba melihat ke arah pak produser kami. Aku penasaran bagaimana reaksi beliau dengan kejadian ini. Sebab dari tadi beliau hanya diam saja.
“OK, saya harap ocehan saya yang cukup panjang tadi benar-benar kalian dengarkan dan bukan cuma angin lalu.” …. “Sekarang saya mau kasi sanksi sama kalian. Bagaimanapun setiap tindakan ada konsekuensinya. Siapa yang mau bertanggung jawab buat masalah malam ini dan bersedia mundur dari projek kita?”
Hah! Aku benar-benar kaget mendengar pernyataan pak Feri barusan. Dan sepertinya juga teman-teman yang lain. Dikeluarkan? Apakah sanksinya harus sekeras itu. Tiba-tiba pikiranku menjadi sangat kacau. Kami saling berpandangan satu sama lain. Aku benar-benar nggak menyangka masalah bakal jadi seserius ini. Aku pribadi baru mulai merasa dekat dengan keempat teman satu bandku. Rasanya seperti mendapatkan 4 saudara baru. Dan sekarang kami harus memutuskan siapa yang harus dipisahkan.
“Ayo jangan diem aja. Nggak ada yang mau jadi jagoan nih.”
“Tapi pak apa sanksinya nggak terlalu keras?”
“Loh perbuatan kalian ini pelanggaran berat buat seorang artis asal kalian tau. Jadi ya memang itu sanksinya.”
Sejenak kami hanya bisa berdiam diri. Aku pun bingung apa yang harus aku lakukan untuk menanggapi pernyataan Pak Feri barusan. Rasanya aku ingin memohon keringanan terhadap sanksi ini. Tapi membuka mulut pun aku nggak punya nyali.
“Biar saya yang keluar Pak, toh memang saya yang mukul orang tadi.”